Monday, June 29, 2015

Selat Lembeh, Surga Underwater Macrophotography

Nudibranch
Saat mendengar kata Sulawesi Utara, pikiran sebagian besar orang biasanya akan segera terbayang oleh keindahan bawah laut Bunaken. Iya, Taman Nasional Laut Bunaken memang sudah menyandang predikat sebagai salah satu destinasi selam andalan Indonesia yang namanya telah mendunia. Tidak jarang, aku mendengar ungkapan bahwa belum afdhol pergi ke Sulawesi Utara (Manado) kalo belum singgah di Bunaken. Walaupun, berdasarkan cerita yang aku dapatkan ternyata banyak juga wisatawan yang datang ke Bunaken bukan untuk menyelam, tapi hanya melihat pemandangan bawah laut dari atas kapal. Tersedia beberapa kapal yang disebut dengan kapsul yang bagian bawahnya terbuat dari bahan tembus pandang. Atau yang lebih hemat dengan naik kapal nelayan yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga seperti kapsul yang tarifnya cukup mahal. Dunia bawah air Sulawesi Utara sejatinya sangat beragam, namun masih banyak yang belum dieksplorasi. Mulai dari pulau-pulau kecil di Sangihe-Talaud, hingga di di sebelah selatan semenanjung utara Pulau Sulawesi yang membawa keunikan Teluk Tomini. Setiap wilayah geografis di Sulawesi Utara memiliki keunikan masing-masing mengikuti pola pergerakan masa air dan geologi yang sangat dinamis. Salah satu alternatif tujuan penyelaman di Sulawesi Utara yang mulai mendunia selain Bunaken adalah Selat Lembeh yang terletak di Kota Bitung.


Pelabuhan Samudera di Kota Bitung
Secara finansial, sebenarnya berwisata bawah air di Selat Lembeh jauh lebih mudah dan murah dibanding ke Bunaken. Dari Bandara Internasional Sam Ratulangi Manado, kita bisa menyewa mobil / taksi ke Bitung dengan tarif sekitar Rp. 200.000,-. Di sini kita harus pandai tawar-menawar harga tarif taksi agar tidak jadi objek ‘pemerasan’ oleh sopir. Ada beberapa operator taksi yang beroperasi di bandara, tapi tarifnya bisa dibilang sama dengan penyewaan mobil. Alternatif lainnya dengan tarif yang jauh lebih murah adalah naik angkutan umum. Keluar dari bandara, naik angkot menuju Paal II, kemudian disambung dengan bis antar kota sampai pinggiran Kota Bitung. Untuk mencapai pusat kota, dari terminal bis kemudian naik angkot. Jarak tempuh dari bandara ke pusat Kota Bitung adalah sekitar 60 km yang bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu setengah jam untuk kondisi lalu lintas normal. Selama tiga tahun berdomisili di Sulawesi Utara, aku jarang sekali menemukan lalu lintas macet antara bandara sampai Kota Bitung.

Hiruk pikuk aktivitas di seputar Selat Lembeh dilihat dari salah satu sisi


Kapal pesiar sebagai simbol aktivitas pariwisata
Sesampainya di Kota Bitung, ada beberapa model penginapan yang bisa jadi pilihan. Mulai dari losmen, hotel kelas melati sampe resort yang kelasnya setara dengan hotel berbintang. Lokasi penginapan pun ada pilihan, di pusat kota, di pelosok, atau bahkan sekalian di Pulau Lembeh. Sejumlah resort sudah tersedia di Pulau Lembeh. Aku lebih menyarankan untuk menginap di sekitar kota jika ingin sekalian menikmati suasana kota pelabuhan yang kian ramai ini. Hotel Nalendra dan Wisma Pelaut mungkin bisa jadi pilihan. Suasana kota juga sangat menarik untuk diabadikan, terutama di waktu malam. Lain ceritanya kalau ingin mendapatkan suasana tenang yang jauh dari kebisingan kota, penginapan di Pulau Lembeh mungkin menjadi pilihan yang tepat. Bitung merupakan kota industri yang berkembang pesat, dan didukung oleh keberadaan pelabuhan besar di ujung tenggara Selat Lembeh. Tidak heran jika sebagian besar penduduk Kota Bitung adalah pendatang. Mulai dari Minahasa, Sangir, Gorontalo, Makassar, Maluku, Papua, Jawa, dan masih banyak lagi. Berbagai macam latar belakang budaya, bahasa, agama, etnis dan adat istiadat yang akhirnya membentuk budaya baru yang telah berkembang. Berkeliling Kota Bitung bisa memanfaatkan angkot yang bisa kemana saja sesuai request penumpangnya. Atau jika ingin lebih leluasa bisa menggunakan jasa ojek, tentunya kalau kita bersolo traveler. Ojek bisa ditemukan di pangkalan ojek yang jumlahnya sangat banyak, atau tukang ojek yang mondar-mandir mencari penumpang.

Nudibrach yang menjadi indikator kerusakan terumbu karang


Scorpion fish, si cantik yang berbisa
Kembali ke Selat Lembeh, selat yang memisahkan daratan induk Sulawesi dan Pulau Lembeh merupakan selat sempit yang membujur dari timur laut ke arah barat daya dengan sedikit melengkung. Selat Lembeh yang memiliki panjang sekitar 20 km merupakan objek daya tarik wisata (ODTW) Kota Bitung. Selat Lembeh bagi pecinta underwater photography manca negara mungkin sudah tidak asing lagi, tapi justru masing jarang wisatawan lokal yang mengetahuinya. Aku juga baru mengetahui begitu menariknya Selat Lembeh setelah berdomisili di Kota Bitung sekitar sembilan tahun yang lalu. Wajar, karena dunia penyelaman di negeri ini baru nge ­trend beberapa tahun terakhir, sementara di negara-negara maju sudah berkembang lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Cukup banyak publikasi tentang keunikan biota laut Selat Lembeh, tapi hampir seratus persen yang mempublikasikan adalah orang asing. Kemajuan hobby menyelam yang berkembang pesat di Indonesia akhir-akhir ini turut mendongkrat popularitas Selat Lembeh sebagai destinasi selam dengan keunikan tersendiri. Hal ini juga didukung dengan banyaknya dive operator yang ada di Kota Bitung. Hampir semua resort memiliki fasilitas dan paket diving. Penginapan-penginapan kecil pun sudah memiliki hubungan baik dengan dive master yang nantinya disambungkan ke dive operator. Selama menyelam di Selat Lembeh, biasanya aku hanya menyewa kapal nelayan dan tabung saja karena sudah memiliki semua peralatan selam pribadi. Jika selam sudah menjadi hobby, sebaiknya memang memiliki peralatan dasar selam (masker, fin, booth, BCD dan regulator) sendiri sehingga biaya yang harus dikeluarkan bisa ditekan saat melakukan trip selam.


Ikan khas terumbu karang
Topografi pantai di Selat Lembeh secara umum memiliki pantai tidak terlalu lebar kemudian diikuti tubir, bahkan banyak lokasi memiliki pantai berupa tebing. Ukuran selat tidak terlalu lebar, dengan jarak tersempit sekitar 800 meter menyebabkan arus cukup kuat pada beberapa titik. Hal ini mengingat pada ujung utara Selat Lembeh berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Kondisi seperti ini menyebabkan terumbu karang jarang ditemukan. Berdasarkan catatanku, hanya di Tanjung Batuangus dan Pulau Serena yang memiliki terumbu karang dengan kategori sehat. Aktivitas nelayan yang tidak sehat di masa lalu menjadi faktor penting bagi kerusakan terumbu karang Selat Lembeh. Di samping itu, kegiatan industri dan lalu lintas perairan yang padat di sekitar Selat Lembeh juga menjadi ancaman tersendiri. Namun, di sisi lain tingginya tekanan dan kondisi alam yang ada di Selat Lembeh tersebut justru membentuk sebuah ekosistem yang unik, termasuk biota-biota yang berasosiasi di dalamnya.

Sontong yang banyak ditemukan di Selat Lembeh
Udang karang sebagai salah satu biota eksotis


Walaupun kondisi karang secara umum jelek, berbagai macam anemon masih ditemukan di Selat Lembeh


Kawanan ikan sering dijumpai di bagian luar selat
Bila perairan Bunaken di kenal akan keindahan terumbu karang dan keanekaragaman jenis ikannya, maka Selat Lembeh dikenal akan keunikan biota yang berasosiasi  di dalamnya. Bahkan, sebenarnya perairan Selat lembeh tidak memiliki terumbu karang yang cukup bagus seperti yang terdapat di sekitar Bunaken. Memang, harus dipahami sejak awal bahwa tujuan menyelam di Selat Lembeh bukan untuk menikmati keindahan terumbu karang dan aneka warna ikan. Keistimewaan Selat Lembeh justru terletak pada keunikan biota yang berukuran kecil dan biota-biota yang berkamuflase dengan baik pada habitat. Sebagian dari biota-biota tersebut bahkan termasuk langka dan bahkan tidak dapat ditemukan di tempat lain, atau bersifat endemik. Karena keistimewaan tersebut, Selat Lembeh sering kali dijuluki sebagai The Mecca of Divers atau The Mecca of Macro Photography. Pengalamanku menyelam di Selat Lembeh, dive site yang memiliki terumbu karang bisa dihitung dengan jari, dan di antaranya yang memiliki terumbu karang dalam kondisi masih bagus hanya ada beberapa spot saja. Padahal, terdapat lebih dari 80 dive site yang sudah teridentifikasi dengan baik di seluruh wilayah Selat Lembeh.


Biota di antara sampah menjadi daya tarik tersendiri
penyelam yang baru pertama kali menyelam di Selat Lembeh mungkin akan kecewa dan cepat merasakan kebosanan ketika sudah berada di dalam air. Pasalnya, sebagian titik penyelaman yang ada di Selat Lembeh adalah berupa hamparan pasir hitam bekas erupsi gunung berapi di masa lampau. Namun, dengan bantuan kejelian mata dive guide, biota-biota eksotis satu per satu akan kita jumpai. Di sinilah letak keunikan penyelaman di Selat Lembeh. Yang menarik lagi dari destinasi selam di Selat Lembeh adalah jenis penyelaman muck dive. Ya, menyelam di antara sampah. Beberapa jenis sampah seperti kaleng, botol, gelas, dan banyak lagi justru menjadi pilihan bagi beberapa biota unik untuk tinggal atau sekedar bersembunyi dari pemangsa untuk sementara waktu. Beberapa ship wreck dari kapal sisa Perang Dunia juga menjadi destinasi selam unggulan di Selat Lembeh. Tercatat, berbagai jenis kelompok gurita dan cumi-cumi unik hanya dapat ditemukan di Selat Lembeh, endemik di wilayah sempit ini. Berbagai jenis nudibranch juga menghuni wilayah ini. Pada suatu kesempatan, aku sempat berdiskusi dengan ilmuwan dari Belanda dan Amerika bahwa Selat Lembeh merupakan salah satu surga bagi nudibranch langka. Frog fish dengan beraneka warna, pigmy sea horse, sea dragon, crocodile fish, pipe fish, dan masih banyak lagi jenis ikan unik dan langka semakin membuat Selat Lembeh spesial. Dan bahkan jenis-jenis biota yang sudah masuk dalam daftar spesies dilindungi pun masih dapat ditemukan di kawasan perairan Selat Lembeh ini. Kesadaran masyarakat untuk tidak menggunakan bom saat menangkap ikan turut membantu pemulihan kondisi terumbu karang di wilayah ini.

Di antara hamparan pasir hitam, berbagai jenis nudibranch seringkali terlihat mencolok


Nudibranch di antara karang
Selat Lembeh menjadi bagian penting bagi kemajuan perekonomian Kota Bitung, bahkan Sulawesi Utara secara umum. Berbagai kegiatan industri yang turut menyumbang kemajuan perekonomian Sulawesi Utara berlangsung di wilayah ini. Pengamatanku di lapangan, lebih dari sepuluh perurahaan ikan berada di kawasan Selat Lembeh. Sejumlah perusahaan besar juga berdiri dengan megah di sekitar Kota Bitung. Pada satu sisi, Selat Lembeh telah dikenal oleh ilmuwan dan wisatawan manca negara sebagai daerah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, dan di sisi lain keberadaan industri yang berkembang pesat di daerah ini menjadi ancaman bagi kelestarian ekosistem perairan. Dengan kondisi seperti itu, akhirnya muncul upaya perlindungan dalam bentuk Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Dan kebetulan aku pernah mengikuti sosialisasi dari Pemerintah Daerah mengenai rencana penetapan untuk wilayah konservasi tersebut. Bahkan terdengar isu agar Selat Lembeh diupayakan menjadi situs warisan dunia atau marine world heritage site bersama Taman Nasional Laut Bunaken dan perairan Likupang berdasar North Sulawesi Tourist Guide. Kenyataannya, ancaman tekanan lingkungan yang berasal dari kegiatan industri di sekitar Selat Lembeh saat ini justru menjadikan ekosistem di wilayah geografis yang sempit ini menjadi unik. Peran dan kesadaran masyarakat sangat penting sangatlah penting untuk menjaga keharmonisan alam ini. Mudah-mudahan kekayaan alam tersebut tetap lestari agar predikat Selat Lembeh sebagai kiblat untuk underwater macro photography tetap melekat.


Salah satu jenis nudibranch yang cantik
Selepas menikmati serangkaian penyelaman, sambil menikmati segarnya kelapa muda dan sajian khas Sulawesi Utara, klapper tart, tidak ada salahnya untuk juga menikmati trip wisata lain di sekitar Kota Bitung. Beberapa destinasi wisata alam antara lain Cagar Alam Tangkoko dan Batuangus, Gunung Dua Saudara, Taman Marga Satwa Tandurusa, Pantai Tanjung Merah dan Batu Nona. Selain itu, juga terdapat destinasi wisata sejarah, yaitu Monumen Trikora Mandala Sakti di Pulau Lembeh serta wisata religi di Klenteng Seng Bo Kiong. Sekedar menikmati wisata kuliner malam hari di kawasan Pasar Tua yang menyediakan berbagai olahan dari laut, atau jalan-jalan di Pelabuhan Samudera Bitung dan dermaga Ruko Pateten. Harap berhati-hati saat hari sudah larut karena banyak kasus kejahatan yang diawali oleh minuman keras. Seperti wilayah lain di Indonesia timur, masyarakat memiliki kebiasaan meminum minuman keras tradisional, Cap Tikus. Tapi dengan mengetahui adat dan kebiasaan masyarakat setempat, tetidaknya kita memiliki persiapan dan antisipasi agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa menjustifikasi bahwa kebiasaan yang mereka lakukan adalah sesuatu yang tidak baik. Kita harus tetap menghargainya sebijak mungkin. Akhirnya, selamat berwisata di negeri nyiur melambai. Torang samua basudara.






Bitung, 30112014, 03:59pm


*catatan seorang pejalan



No comments:

Post a Comment