Tuesday, June 30, 2015

Mengendap-endap dan Mengintip Penyu Bertelur

Penyu hijau (Chelonia mydas)
Penyu, apa bedanya dengan kura-kura? Jelas berbeda. Namanya saja sudah berbeda. Bukan begitu cara menjawab yang tepat. Jadi begini, penyu dan kura-kura berbeda secara ilmu biologi (beserta ilmu-ilmu turunannya). Dilihat dari klasifikasinya, kedua kelompok hewan reptil ini terpisah walaupun memiliki nenek moyang yang sama. Secara taksonomi, keduanya memiliki posisi yang berbeda kelompok sesuai karakter-karakter yang dimiliki. Di pandang dari faktor habitatnya saja kedua kelompok hewan yang tulang belakangnya termodifikasi menjadi seperti tempurung ini sudah berbeda, penyu hidup di laut sedangkan kura-kura hidup di darat dan air tawar. Dan yang pasti, semua jenis penyu tidak seperti kura-kura yang dapat menarik kepala dan kakinya ke dalam tempurung. Di Indonesia jenis penyu tidak lah banyak, hanya enam jenis saja, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu tempayan (Caretta caretta) dan penyu ridel (Lepidochelys olivacea). Penyu hijau adalah jenis penyu yang paling umum ditemukan di perairan Indonesia, sedangkan penyu belimbing merupakan jenis terbesar yang dapat ditemukan.


Telur penyu di habitatnya
Dalam dunia zoology, penyu diketahui merupakan salah satu hewan purba yang masih hidup, maksudnya adalah hewan yang ditemukan hidup pada zaman dinosaurus dan masih dapat ditemukan di zaman modern sekarang ini. Oleh karena itu penyu, dan beberapa jenis hewan lainnya yang dapat ditemukan di zaman yang berbeda ini, juga disebut sebagai fosil hidup atau living fosil. Penelitian fosil menunjukkan tidak ada, atau sangat sedikit, perubahan struktur tulang pada tubuh penyu. Artinya bahwa perjalanan evolusi dari penyu berjalan sangat lambat, demikian halnya yang terjadi pada kura-kura yang merupakan saudara terdekat penyu. Umur penyu secara normal bisa mencapai ratusan tahun, tergantung dari jenisnya. Pemangsa utama penyu adalah manusia. Sedangkan pemangsa penyu dewasa di alam sangatlah sedikit, hanya predator raksasa dari kelompok hiu. Pemangsaan terhadap penyu biasanya saat penyu masih dalam fase telur oleh biawak, dan pada saat masih juvenil (tukik) terutama oleh burung elang dan burung pemangsa lainnya. Beberapa hasil penelitian dari peneliti penyu menyatakan bahwa hanya kurang dari 10% dari telur yang ditetaskan yang mampu bertahan hidup hingga dewasa.


Kisah tentang penyu juga diceritakan dalam sebuah adegan pada film kartun untuk anak-anak ‘Finding Nemo’. Aku menilai film kartun tersebut sangat bagus, sarat dengan pendidikan dan pengetahuan, yang dikemas sedemikian rupa sehingga porsinya pas untuk konsumsi anak-anak (maupun dewasa). Dikisahkan bahwa penyu yang berumur seratus tahun dengan beberapa ekor tukik anaknya termasuk dalam kategori penyu yang masih muda. Mereka berpindah dari suatu wilayah perairan ke wilayah perairan lainnya dalam sebuah migrasi dengan memanfaankan pola arus yang melintas di sekitar benua Australia. Sangat menarik dan banyak sekali pengetahuan yang bisa didapat dari film kartun tersebut, sesuai banget dengan pelajaran ilmiah yang aku dapatkan dari bangku pendidikan formal.

Bangunan berbentuk penyu sebagai bagian dari lembaga konservasi penyu di Pangumbahan, Sukabumi


Fasilitas di lokasi penangkaran penyu di Pangumbahan
Salah satu misteri sekaligus keunikan dari penyu adalah yang kalau dalam pelajaran sastra mereka tidak mengenal pepatah ‘bagai kacang lupa kulitnya’. Maksudnya adalah mereka tidak akan melupakan asal usulnya ketika dilahirkan (lebih tepatnya ditetaskan). Jika induk mereka bertelur di sebuah pulau, maka suatu saat nanti setelah dewasa dia akan kembali ke tempat semula untuk tujuan bertelur mengikuti jejak induknya. Walaupun dalam perjalanan hidupnya dari mulai pertama kali dia keluar dari sarang di waktu masih tukik sampai usia dewasa yang siap bertelur dia mungkin mengembara ke seluruh samudera di dunia. Hal ini telah banyak dibuktikan oleh para ilmuwan dengan hasil-hasil penelitian mereka, jadi bukan hanya sebuah isapan jempol belaka. Jika kita searching di google atau youtube, banyak sekali film dokumenter tentang kisah penyu yang kembali ke tempat asalnya dia ditetaskan, hanya untuk bertelur.


Pangumbahan, Sukabumi
Mengamati penyu yang sedang bertelur memang sangat mengasyikkan, dari mulai menunggu dia naik ke pantai, mencari lokasi yang pas, menggali pasir, mengeluarkan telur, menimbun telurnya, hingga kembali lagi masuk ke laut. Cukup banyak lokasi di Indonesia yang telah diketahui sebagai tempat pendaratan penyu (istilah yang digunakan untuk menunjukkan lokasi bertelurnya penyu), baik yang rutin maupun yang dalam waktu tertentu saja. Aku memang belum banyak memiliki pengalaman mengikuti proses penyu bertelur, baru di empat lokasi saja. Pertama di Taman Nasional Meru Betiri – Jember (Jawa Timur), kedua di Kema – Minahasa Utara (Sulawesi Utara), ketiga di Pangumbahan – Sukabumi (Jawa Barat), dan yang keempat di Pulau Tumbu-tumbu – Kaimana (Papua Barat). Dan satu lagi lokasi tempat pendaratan penyu yang pernah aku datangi, tapi aku tidak mengikuti prosesi penyu bertelur, yaitu di Teluk Buli – Halmahera Timur (Maluku Utara). Berita baiknya pemerintah, LSM, maupun masyarakat adat telah menetapkan sebagian lokasi pendaratan penyu sebagai kawasan yang dilindungi. Meru Betiri, Pangumbahan dan Pulau Tumbu-tumbu merupakan kawasan konservasi yang bertujuan untuk melindungi penyu. Meru Betiri yang termasuk dalam kawasan taman nasional sudah jelas statusnya dikelola oleh pemerintah pusat melalui Kementrian Kehutanan. Pangumbahan yang tidak termasuk dalam kawasan taman nasional tentunya memiliki metode pengelolaan yang sedikit berbeda, tetapi pengelolaannya tetap dilakukan oleh pemerintah. Lain lagi ceritanya dengan Pulau Tumbu-tumbu yang dikelola oleh salah satu LSM internasional, jelas mereka memiliki standar tersendiri dalam upaya pengelolaan, walaupun atas persetujuan pemerintah. Yang patut dikhawatirkan adalah lokasi-lokasi pendaratan penyu yang tidak (atau belum) mendapatkan status kawasan konservasi, seperti halnya Kema dan Teluk Buli.


Menunggu penyu yang sedang bertelur
Pada dasarnya, dimanapun lokasinya prosesi penyu bertelur memiliki kesamaan dalam tahapan. Penyu akan naik ke pantai untuk bertelur biasanya mengikuti keberadaan bulan. Saat bulan gelap, sulit sekali mendapatkan penyu yang naik ke pantai untuk bertelur. Sebaliknya, saat sekitar bulan purnama, di lokasi yang diketahui sebagai tempat pendaratan penyu bisa beberapa ekor penyu yang naik untuk bertelur dalam satu malam. Setelah berada di pantai berpasir, penyu akan mencari lokasi yang dianggap pas dan aman dari pemangsa. Begitu menemukan lokasi yang dimaksud, proses selanjutnya adalah menggali lubang untuk menyimpan telur hingga kedalaman tertentu dengan menggunakan keempat kakinya. Pada beberapa kasus diketahui bahwa kadang-kadang penyu membuat dua lubang dalam sekali naik ke pantai. Salah satu di antara dua lubang tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi biawak dan anjing yang suka mencari telur penyu dengan cara membongkar lubang. Sekali bertelur, penyu bisa menghasilkan puluhan hingga ratusan butir telur. Proses mengeluarkan telur tersebut bisa berlangsung lebih dari satu jam lamanya.


Penyu selesai bertelur
Dua hal yang harus dipatuhi saat melakukan pengamatan proses penyu bertelur kalau tidak ingin penyu batal bertelur. Pantangannya adalah tidak boleh berisik dan tidak boleh menggunakan cahaya apapun dari mulai penyu naik ke pantai hingga penyu mengeluarkan telur. Jika pantangan tersebut dilanggar, maka penyu akan merasa terganggu dan segera kembali ke laut walaupun sudah menggali lubang untuk bertelur. Penggunaan cahaya diperbolehkan apabila penyu sudah mengeluarkan telur yang ke sekian, lebih dari sepuluh. Sampai tahap ini, penyu tidak akan mempedulikan kondisi berisik maupun penerangan oleh cahaya model apapaun, dia akan tetap melanjutkan prosesinya. Setelah selesai bertelur, penyu biasanya akan beristirahat sejenak, mungkin terlalu payah seperti orang bersalin. Jika diamati lebih dekat, penyu akan terlihat menangis dan kelelahan. Kemudian, lubang tempat meletakkan telur tersebut ditutup kembali seperti semula. Dan setelah selesai semua, penyu akan kembali ke laut. lamanya proses dari pertama kali penyu naik ke pantai hingga kembali lagi ke laut bisa menghabiskan waktu 2 – 3 jam.

Setelah selesai bertelur, penyu menimbun telur dengan cara menutup lubang


Cangkang penyu akan dijual di Halmahera
Sampai disitu, telur penyu tidak berarti sudah aman, karena selain ancaman dari predator alami dan juga dari tangan manusia nakal yang suka mengambil telur. Terutama lokasi-lokasi pendaratan penyu yang tidak berada dalam kawasan konservasi, sangat rawan bagi proses pendaratan penyu dan juga bagi kelestarian penyu. Aku pernah menjumpai dan mendengar kabar bahwa telur penyu di jual bebas di beberapa kota di Indonesia, seperti di kota Padang (Sumatra Barat). Sayang sekali aku tidak mendapatkan gambar sebagai dokumentasi penjualan telur penyu yang dijajakan di pinggir jalan raya dekat pantai. Sebenarnya aparat keamanan sudah beberapa kali melakukan razia terhadap pedagang telur penyu, beberapa kali pula mereka diberikan sanksi. Namun tingginya permintaan membuat perdagangan penyu tetap saja marak. Memakan telur penyu dipercaya mampu meningkatkan keperkasaan pria, padahal itu hanya mitos saja. Bahkan yang benar adalah sebaliknya, jika dilihat dari komposisinya, sebagian besar telur penyu terdiri dari lemak, yang tidak bagus bagi tubuh. Di sinilah pentingnya upaya perlindungan penyu dan kawasan yang menjadi tempat perlindungan penyu, meminimalkan kekhawatiran akan pengambilan telur penyu oleh manusia. Walaupun tidak menutup kemungkinan di dalam kawasan konservasi pun masih terjadi pencurian telur penyu, ironisnya melibatkan orang dalam. Petugas yang diharapkan dapat menjaga dan mencatat jumlah telur penyu justru berbuat nakal, menjual secara illegal dan melaporkan jumlah yang jauh di bawah jumlah aslinya. Belum lagi permintaan daging penyu yang berkedok untuk keperluan upacara keagamaan umat Hindu, seperti yang terjadi di Bali. Atau permintaan penyu hidup untuk ritual keagamaan di salah satu kelenteng di Tuban (Jawa Timur). Begitu besarnya ancaman bagi penyu mulai dari telur, baik oleh predator alami maupun untuk dikonsumsi manusia, sampai permintaan dagingnya. Untungnya berita miring tersebut, menurut kabar yang beredar, tidak berlangsung di Kaimana (Papua Barat), khususnya di kawasan konservasi penyu Pulau Tumbu-tumbu.

Penjagalan penyu di Kema
Penyu setelah dijagal


Pos monitoring penyu di Kaimana
Pada saat pengamatan penyu di Pulau Tumbu-tumbu, aku bersama empat belas orang lainnya datang ke sebuah pulau kecil bernama Pulau Venu yang tak berpenghuni. Di sana hanya ada sebuah bangunan rumah yang difungsikan sebagai pos pengamatan penyu oleh salah satu LSM internasional, yaitu Conservation International. Sebuah LSM yang tidak asing bagiku karena aku pernah terlibat beberapa ekspedisi dan kegiatan dengan mereka, sampai akhirnya mendapatkan beasiswa untuk studi master juga dari mereka. Karena sebelumnya aku juga telah mengenal beberapa orang yang bekerja di LSM tersebut, sehingga waktu ngobrol dengan penjaga pos pemantau tersebut jadinya lebih nyambung. Dan ternyata sang penjaga juga mengenal baik nama teman-teman yang aku sebutkan karena ternyata beberapa dari mereka pernah bertugas di pulau tersebut. Berdasarkan cerita singkat dari sang penjaga pos, penyu yang biasa mendarat ke pulau tersebut adalah penyu hijau (yang paling sering), penyu sisik, penyu pipih dan kadang penyu belimbing. 


Fasilitas pos pengamatan penyu
Sebelum mencari penyu yang akan bertelur, aku sempatkan ngobrol dengan salah satu dari empat orang penjaga pos, sedangkan anggota rombongan yang lain sudah berlalu menyusuri pantai. Beberapa saat kemudian aku menyusul mereka. Dan belum lama berjalan, dari kejauhan aku sudah mendapati mereka sedang mengendap-endap, sebagian besar lainnya hanya tiarap. Pikirku, pasti sudah ada penyu yang naik ke pantai. Benar saja, setelah aku bergabung dengan mereka, aku melihat sesuatu yang bersinar. Sorot mata penyu yang mengkilap terkena sinar bulan, bagaikan mata kucing yang terkena sinar di malam hari. Sekian lama kami menunggu, dan menunggu. Kemudian mendekat pelan-pelan setelah penyu menggali lubang yang cukup dalam. Kami masih menunggu pada jarak yang sekiranya tidak mengganggu penyu, dalam diam dan tanpa penggunaan lampu penerangan. Sampai akhirnya penyu terlihat berdiam diri, sudah tidak menggali lagi. Itu artinya bahwa proses mengeluarkan telur sudah berlangsung, tapi kami masih ragu dan belum berani mengganggu. Dengan sedikit menyesal akhirnya aku bilang ke rombongan yang kebanyakan adalah peneliti dari Prancis, bahwa proses mengeluarkan telur sudah selesai karena penyu sudah mulai menutup lubangnya. Aku bilang sudah bisa menyalakan lampu dan mengambil gambar dengan kamera. Satu per satu mencoba menyapa penyu, memegang punggungnya, berfoto bersama, bahkan ada yang berusaha menunggangi tapi tidak diperbolehkan sama anggota rombongan yang lain.



Beberapa orang terlihat sedikit kecewa karena tidak bisa melihat dan mengabadikan momen proses penyu bertelur dengan sempurna. Tapi secara umum mereka sudah cukup puas karena tidak perlu waktu lama untuk bertemu dengan penyu yang sedang mendarat, sebuah keberuntungan. Rombongan meninggalkan penyu yang masih berusaha menutup lubang tempat bertelurnya, dan kembali ke kapal. Masing-masing pulang dengan membawa cerita berdasarkan versi dan sudut pandang mereka, seperti halnya dengan aku. Aku manggut-manggut saja mendengarkan celoteh dari pengalaman teman-temanku tadi,  sambil sesekali membantah dengan kalimat guyonan yang sebenarnya mengejek. Tapi apapun yang dikatakan oleh teman-temanku tadi, aku berharap bahwa penyu akan tetap lestari di alam, bukan di kebun binatang atau taman safari. Dengan begitu anak cucu nanti tidak hanya mendengar cerita dariku atau membaca tulisanku saja tentang keberadaan penyu dan proses bertelur mereka. Mari kita lestarikan penyu. Katakan tidak untuk konsumsi daging dan telur penyu!! Stop perdagangan daging dan telur penyu!! Stop perburuan penyu!!









Kaimana, 22112014, 08:57am



*catatan seorang pejalan

Monday, June 29, 2015

Selat Lembeh, Surga Underwater Macrophotography

Nudibranch
Saat mendengar kata Sulawesi Utara, pikiran sebagian besar orang biasanya akan segera terbayang oleh keindahan bawah laut Bunaken. Iya, Taman Nasional Laut Bunaken memang sudah menyandang predikat sebagai salah satu destinasi selam andalan Indonesia yang namanya telah mendunia. Tidak jarang, aku mendengar ungkapan bahwa belum afdhol pergi ke Sulawesi Utara (Manado) kalo belum singgah di Bunaken. Walaupun, berdasarkan cerita yang aku dapatkan ternyata banyak juga wisatawan yang datang ke Bunaken bukan untuk menyelam, tapi hanya melihat pemandangan bawah laut dari atas kapal. Tersedia beberapa kapal yang disebut dengan kapsul yang bagian bawahnya terbuat dari bahan tembus pandang. Atau yang lebih hemat dengan naik kapal nelayan yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga seperti kapsul yang tarifnya cukup mahal. Dunia bawah air Sulawesi Utara sejatinya sangat beragam, namun masih banyak yang belum dieksplorasi. Mulai dari pulau-pulau kecil di Sangihe-Talaud, hingga di di sebelah selatan semenanjung utara Pulau Sulawesi yang membawa keunikan Teluk Tomini. Setiap wilayah geografis di Sulawesi Utara memiliki keunikan masing-masing mengikuti pola pergerakan masa air dan geologi yang sangat dinamis. Salah satu alternatif tujuan penyelaman di Sulawesi Utara yang mulai mendunia selain Bunaken adalah Selat Lembeh yang terletak di Kota Bitung.


Pelabuhan Samudera di Kota Bitung
Secara finansial, sebenarnya berwisata bawah air di Selat Lembeh jauh lebih mudah dan murah dibanding ke Bunaken. Dari Bandara Internasional Sam Ratulangi Manado, kita bisa menyewa mobil / taksi ke Bitung dengan tarif sekitar Rp. 200.000,-. Di sini kita harus pandai tawar-menawar harga tarif taksi agar tidak jadi objek ‘pemerasan’ oleh sopir. Ada beberapa operator taksi yang beroperasi di bandara, tapi tarifnya bisa dibilang sama dengan penyewaan mobil. Alternatif lainnya dengan tarif yang jauh lebih murah adalah naik angkutan umum. Keluar dari bandara, naik angkot menuju Paal II, kemudian disambung dengan bis antar kota sampai pinggiran Kota Bitung. Untuk mencapai pusat kota, dari terminal bis kemudian naik angkot. Jarak tempuh dari bandara ke pusat Kota Bitung adalah sekitar 60 km yang bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu setengah jam untuk kondisi lalu lintas normal. Selama tiga tahun berdomisili di Sulawesi Utara, aku jarang sekali menemukan lalu lintas macet antara bandara sampai Kota Bitung.

Hiruk pikuk aktivitas di seputar Selat Lembeh dilihat dari salah satu sisi


Kapal pesiar sebagai simbol aktivitas pariwisata
Sesampainya di Kota Bitung, ada beberapa model penginapan yang bisa jadi pilihan. Mulai dari losmen, hotel kelas melati sampe resort yang kelasnya setara dengan hotel berbintang. Lokasi penginapan pun ada pilihan, di pusat kota, di pelosok, atau bahkan sekalian di Pulau Lembeh. Sejumlah resort sudah tersedia di Pulau Lembeh. Aku lebih menyarankan untuk menginap di sekitar kota jika ingin sekalian menikmati suasana kota pelabuhan yang kian ramai ini. Hotel Nalendra dan Wisma Pelaut mungkin bisa jadi pilihan. Suasana kota juga sangat menarik untuk diabadikan, terutama di waktu malam. Lain ceritanya kalau ingin mendapatkan suasana tenang yang jauh dari kebisingan kota, penginapan di Pulau Lembeh mungkin menjadi pilihan yang tepat. Bitung merupakan kota industri yang berkembang pesat, dan didukung oleh keberadaan pelabuhan besar di ujung tenggara Selat Lembeh. Tidak heran jika sebagian besar penduduk Kota Bitung adalah pendatang. Mulai dari Minahasa, Sangir, Gorontalo, Makassar, Maluku, Papua, Jawa, dan masih banyak lagi. Berbagai macam latar belakang budaya, bahasa, agama, etnis dan adat istiadat yang akhirnya membentuk budaya baru yang telah berkembang. Berkeliling Kota Bitung bisa memanfaatkan angkot yang bisa kemana saja sesuai request penumpangnya. Atau jika ingin lebih leluasa bisa menggunakan jasa ojek, tentunya kalau kita bersolo traveler. Ojek bisa ditemukan di pangkalan ojek yang jumlahnya sangat banyak, atau tukang ojek yang mondar-mandir mencari penumpang.

Nudibrach yang menjadi indikator kerusakan terumbu karang


Scorpion fish, si cantik yang berbisa
Kembali ke Selat Lembeh, selat yang memisahkan daratan induk Sulawesi dan Pulau Lembeh merupakan selat sempit yang membujur dari timur laut ke arah barat daya dengan sedikit melengkung. Selat Lembeh yang memiliki panjang sekitar 20 km merupakan objek daya tarik wisata (ODTW) Kota Bitung. Selat Lembeh bagi pecinta underwater photography manca negara mungkin sudah tidak asing lagi, tapi justru masing jarang wisatawan lokal yang mengetahuinya. Aku juga baru mengetahui begitu menariknya Selat Lembeh setelah berdomisili di Kota Bitung sekitar sembilan tahun yang lalu. Wajar, karena dunia penyelaman di negeri ini baru nge ­trend beberapa tahun terakhir, sementara di negara-negara maju sudah berkembang lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Cukup banyak publikasi tentang keunikan biota laut Selat Lembeh, tapi hampir seratus persen yang mempublikasikan adalah orang asing. Kemajuan hobby menyelam yang berkembang pesat di Indonesia akhir-akhir ini turut mendongkrat popularitas Selat Lembeh sebagai destinasi selam dengan keunikan tersendiri. Hal ini juga didukung dengan banyaknya dive operator yang ada di Kota Bitung. Hampir semua resort memiliki fasilitas dan paket diving. Penginapan-penginapan kecil pun sudah memiliki hubungan baik dengan dive master yang nantinya disambungkan ke dive operator. Selama menyelam di Selat Lembeh, biasanya aku hanya menyewa kapal nelayan dan tabung saja karena sudah memiliki semua peralatan selam pribadi. Jika selam sudah menjadi hobby, sebaiknya memang memiliki peralatan dasar selam (masker, fin, booth, BCD dan regulator) sendiri sehingga biaya yang harus dikeluarkan bisa ditekan saat melakukan trip selam.


Ikan khas terumbu karang
Topografi pantai di Selat Lembeh secara umum memiliki pantai tidak terlalu lebar kemudian diikuti tubir, bahkan banyak lokasi memiliki pantai berupa tebing. Ukuran selat tidak terlalu lebar, dengan jarak tersempit sekitar 800 meter menyebabkan arus cukup kuat pada beberapa titik. Hal ini mengingat pada ujung utara Selat Lembeh berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Kondisi seperti ini menyebabkan terumbu karang jarang ditemukan. Berdasarkan catatanku, hanya di Tanjung Batuangus dan Pulau Serena yang memiliki terumbu karang dengan kategori sehat. Aktivitas nelayan yang tidak sehat di masa lalu menjadi faktor penting bagi kerusakan terumbu karang Selat Lembeh. Di samping itu, kegiatan industri dan lalu lintas perairan yang padat di sekitar Selat Lembeh juga menjadi ancaman tersendiri. Namun, di sisi lain tingginya tekanan dan kondisi alam yang ada di Selat Lembeh tersebut justru membentuk sebuah ekosistem yang unik, termasuk biota-biota yang berasosiasi di dalamnya.

Sontong yang banyak ditemukan di Selat Lembeh
Udang karang sebagai salah satu biota eksotis


Walaupun kondisi karang secara umum jelek, berbagai macam anemon masih ditemukan di Selat Lembeh


Kawanan ikan sering dijumpai di bagian luar selat
Bila perairan Bunaken di kenal akan keindahan terumbu karang dan keanekaragaman jenis ikannya, maka Selat Lembeh dikenal akan keunikan biota yang berasosiasi  di dalamnya. Bahkan, sebenarnya perairan Selat lembeh tidak memiliki terumbu karang yang cukup bagus seperti yang terdapat di sekitar Bunaken. Memang, harus dipahami sejak awal bahwa tujuan menyelam di Selat Lembeh bukan untuk menikmati keindahan terumbu karang dan aneka warna ikan. Keistimewaan Selat Lembeh justru terletak pada keunikan biota yang berukuran kecil dan biota-biota yang berkamuflase dengan baik pada habitat. Sebagian dari biota-biota tersebut bahkan termasuk langka dan bahkan tidak dapat ditemukan di tempat lain, atau bersifat endemik. Karena keistimewaan tersebut, Selat Lembeh sering kali dijuluki sebagai The Mecca of Divers atau The Mecca of Macro Photography. Pengalamanku menyelam di Selat Lembeh, dive site yang memiliki terumbu karang bisa dihitung dengan jari, dan di antaranya yang memiliki terumbu karang dalam kondisi masih bagus hanya ada beberapa spot saja. Padahal, terdapat lebih dari 80 dive site yang sudah teridentifikasi dengan baik di seluruh wilayah Selat Lembeh.


Biota di antara sampah menjadi daya tarik tersendiri
penyelam yang baru pertama kali menyelam di Selat Lembeh mungkin akan kecewa dan cepat merasakan kebosanan ketika sudah berada di dalam air. Pasalnya, sebagian titik penyelaman yang ada di Selat Lembeh adalah berupa hamparan pasir hitam bekas erupsi gunung berapi di masa lampau. Namun, dengan bantuan kejelian mata dive guide, biota-biota eksotis satu per satu akan kita jumpai. Di sinilah letak keunikan penyelaman di Selat Lembeh. Yang menarik lagi dari destinasi selam di Selat Lembeh adalah jenis penyelaman muck dive. Ya, menyelam di antara sampah. Beberapa jenis sampah seperti kaleng, botol, gelas, dan banyak lagi justru menjadi pilihan bagi beberapa biota unik untuk tinggal atau sekedar bersembunyi dari pemangsa untuk sementara waktu. Beberapa ship wreck dari kapal sisa Perang Dunia juga menjadi destinasi selam unggulan di Selat Lembeh. Tercatat, berbagai jenis kelompok gurita dan cumi-cumi unik hanya dapat ditemukan di Selat Lembeh, endemik di wilayah sempit ini. Berbagai jenis nudibranch juga menghuni wilayah ini. Pada suatu kesempatan, aku sempat berdiskusi dengan ilmuwan dari Belanda dan Amerika bahwa Selat Lembeh merupakan salah satu surga bagi nudibranch langka. Frog fish dengan beraneka warna, pigmy sea horse, sea dragon, crocodile fish, pipe fish, dan masih banyak lagi jenis ikan unik dan langka semakin membuat Selat Lembeh spesial. Dan bahkan jenis-jenis biota yang sudah masuk dalam daftar spesies dilindungi pun masih dapat ditemukan di kawasan perairan Selat Lembeh ini. Kesadaran masyarakat untuk tidak menggunakan bom saat menangkap ikan turut membantu pemulihan kondisi terumbu karang di wilayah ini.

Di antara hamparan pasir hitam, berbagai jenis nudibranch seringkali terlihat mencolok


Nudibranch di antara karang
Selat Lembeh menjadi bagian penting bagi kemajuan perekonomian Kota Bitung, bahkan Sulawesi Utara secara umum. Berbagai kegiatan industri yang turut menyumbang kemajuan perekonomian Sulawesi Utara berlangsung di wilayah ini. Pengamatanku di lapangan, lebih dari sepuluh perurahaan ikan berada di kawasan Selat Lembeh. Sejumlah perusahaan besar juga berdiri dengan megah di sekitar Kota Bitung. Pada satu sisi, Selat Lembeh telah dikenal oleh ilmuwan dan wisatawan manca negara sebagai daerah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, dan di sisi lain keberadaan industri yang berkembang pesat di daerah ini menjadi ancaman bagi kelestarian ekosistem perairan. Dengan kondisi seperti itu, akhirnya muncul upaya perlindungan dalam bentuk Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Dan kebetulan aku pernah mengikuti sosialisasi dari Pemerintah Daerah mengenai rencana penetapan untuk wilayah konservasi tersebut. Bahkan terdengar isu agar Selat Lembeh diupayakan menjadi situs warisan dunia atau marine world heritage site bersama Taman Nasional Laut Bunaken dan perairan Likupang berdasar North Sulawesi Tourist Guide. Kenyataannya, ancaman tekanan lingkungan yang berasal dari kegiatan industri di sekitar Selat Lembeh saat ini justru menjadikan ekosistem di wilayah geografis yang sempit ini menjadi unik. Peran dan kesadaran masyarakat sangat penting sangatlah penting untuk menjaga keharmonisan alam ini. Mudah-mudahan kekayaan alam tersebut tetap lestari agar predikat Selat Lembeh sebagai kiblat untuk underwater macro photography tetap melekat.


Salah satu jenis nudibranch yang cantik
Selepas menikmati serangkaian penyelaman, sambil menikmati segarnya kelapa muda dan sajian khas Sulawesi Utara, klapper tart, tidak ada salahnya untuk juga menikmati trip wisata lain di sekitar Kota Bitung. Beberapa destinasi wisata alam antara lain Cagar Alam Tangkoko dan Batuangus, Gunung Dua Saudara, Taman Marga Satwa Tandurusa, Pantai Tanjung Merah dan Batu Nona. Selain itu, juga terdapat destinasi wisata sejarah, yaitu Monumen Trikora Mandala Sakti di Pulau Lembeh serta wisata religi di Klenteng Seng Bo Kiong. Sekedar menikmati wisata kuliner malam hari di kawasan Pasar Tua yang menyediakan berbagai olahan dari laut, atau jalan-jalan di Pelabuhan Samudera Bitung dan dermaga Ruko Pateten. Harap berhati-hati saat hari sudah larut karena banyak kasus kejahatan yang diawali oleh minuman keras. Seperti wilayah lain di Indonesia timur, masyarakat memiliki kebiasaan meminum minuman keras tradisional, Cap Tikus. Tapi dengan mengetahui adat dan kebiasaan masyarakat setempat, tetidaknya kita memiliki persiapan dan antisipasi agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa menjustifikasi bahwa kebiasaan yang mereka lakukan adalah sesuatu yang tidak baik. Kita harus tetap menghargainya sebijak mungkin. Akhirnya, selamat berwisata di negeri nyiur melambai. Torang samua basudara.






Bitung, 30112014, 03:59pm


*catatan seorang pejalan



Sunday, June 28, 2015

Geliat Pergantian Tahun di Titik Kilometer Nol

Peta lokasi selam di Pulau Weh
Tawaran trip ke Pulau Weh ini tiba-tiba datang ketika salah seorang teman butuh seseorang untuk menemani ke lapangan mencari jenis lamun tertentu. Lamun adalah salah satu kelompok jenis tumbuhan yang hidup di laut, yang bentuknya mirip dengan ilalang yang ada di darat. Lagipula, trip ini sebenarnya bukan single trip, tetapi serangkaian trip mulai dari Batam, Natuna, Aceh dan kemudian baru Pulau Weh. Sebelum tiba di Sabang, begitu susahnya mencari tempat penginapan, maklum momen pergantian tahun di ujung barat nusantara ini merupakan salah satu destinasi favorit bagi para pelancong. Pada akhirnya kami nekat datang tanpa tahu harus menginap dimana sesampainya disana nanti. Begitupun dengan informasi mengenai keberadaan lamun di wilayah Pulau Weh. Beruntung, setelah membongkar nomor kontak di ponsel dan friend list di salah satu media social, akhirnya ada beberapa teman di Aceh yang kami hubungi. Sambil menyesap secangkir kopi Aceh Gayo yang sudah tersohor itu, kami membicarakan tentang Pulau Weh dan seluk beluknya di sebuah warung kopi yang kian menjamur di negeri Serambi Mekah ini. Beberapa informasi penting berhasil kami dapatkan, termasuk alternatif penginapan yang bisa kami jadikan sebagai tempat istirahat. Untuk urusan transportasi penyeberangan laut dari Banda Aceh menuju Sabang, kami mempercayakannya kepada kakakku. Kakakku walaupun bukan orang asli Aceh tetapi sudah cukup lama berdomisili di Banda Aceh dan telah beberapa kali melakukan penyeberangan ke Pulau Weh.


Antrian di loket penjualan tiket penyeberangan
Benar saja, begitu mengecek jadwal kapal menuju Pulau Weh di pelabuhan penyeberangan Ulee Lheue, banyak sekali orang yang mengantri membeli tiket untuk jadwal penyeberangan besok. Memang, tidak banyak kapal yang melayani penyeberangan dari Banda Aceh menuju Sabang dan sebaliknya, dan kondisinya lebih parah lagi apabila masuk musim angin dan ombak besar. Alternatif penyeberangan ada dua macam yaitu dengan menggunakan kapal feri atau dengan menggunakan kapal cepat. Perbedaan di antara keduanya pada durasi penyeberangan, kondisi tempat duduk dan harga tiket. Kami memutuskan untuk lebih memilih menggunakan kapal feri, mengingat bahwa kami tidak perlu tergesa-gesa untuk segera sampai di tempat tujuan. Aku justru ingin bersantai selama perjalanan, menikmati alat transportasi publik bersama masyarakat lokal kelas menengah ke bawah, sekaligus melakukan observasi ringan tentang sosiologi dan antropologi penduduk setempat. Karena menurutku justru di sinilah letak keunikan sebuah perjalanan, mengenal hidup dan kehidupan masyarakat lokal. Kalau aku memilih menggunakan kapal cepat, mungkin yang aku dapati adalah penumpang dari kalangan borjuis dan turis-turis berkantong tebal dengan gaya parlente mereka. Aku bukan anti kemapanan, tapi bagiku di beberapa momen dan lokasi pemandangan seperti itu tidaklah ada sisi menariknya.


Suasana penyeberangan menggunakan kapal cepat
Satu jam sebelum jadwal keberangkatan kapal, aku dan temanku sudah berada di pelabuhan, dengan menyewa becak motor yang membawaku dari penginapan. Lagi-lagi, aku bertemu dengan orang Jawa yang awalnya datang ke Aceh sebagai relawan pasca gempa dan tsunami di penghujung tahun 2005 lalu. Sang pengemudi becak motor akhirnya bertemu dengan pujaan hatinya yang gadis asli Aceh dan kemudian dia memutuskan untuk menjadi warga Aceh dengan menikahi gadis tersebut. Cerita tentang orang Jawa yang akhirnya menetap banyak terjadi di Aceh dan di daerah lain yang pernah aku kunjungi, tidak hanya dialami oleh kakakku dan sang pengemudi becak motor tadi. Takdir memang tidak pernah dapat kita ketahui akan membawa kita kemana dan untuk menjadi apa (atau siapa). Di mana ada peluang bagi kita untuk maju dan memperoleh penghidupan yang lebih baik, di sanalah kita akan berada dan menjadi apa yang telah telah tertulis pada garis tangan kita.

Bongkar-muat penumpang kapal feri dari dan menuju Sabang di dermaga penyeberangan Ulee Lheue


Duduk menyendiri di tepian dermaga, aku melamun sambil sesekali sambil melihat lalu lalang orang yang lewat di depanku. Penumpang dengan segala model lah, pedagang asongan lah, pengemis lah, dan tidak menutup kemungkinan copet, calo dan kawan-kawannya. Setengah jam kemudian aku bangkit dari anganku mengenai nasib dan masa depan, ketika kapal feri yang akan membawaku ke Pulau Weh mendekati dermaga pelabuhan. Temanku juga sudah terlebih dahulu tersadar dari dunia lamunannya sendiri sebelum aku datang menghampirinya. Kami tidak dapat langsung naik ke kapal walaupun kapal sudah merapat ke dermaga. Aku melihat calon penumpang yang sudah menunggu berkemas-kemas untuk kemudian antri menaiki kapal, sambil menunggu penumpang dari Sabang yang turun dari kapal. Aku sengaja memilih posisi paling belakang antrian, di samping untuk menghindari desak-desakan saat masuk kapal, aku berusaha menangkap momen-momen menarik ketika bongkar muat penumpang kapal. Berbagai ekspresi dan model dandanan para penumpang kapal dengan berbagai barang bawaan mereka menjadi objek tersendiri bagiku. Aku bersama temanku memilih bagian belakang kapal, duduk di atas koran yang digelar di atas lantai, bukan di dalam kapal dengan harapan bisa berbaur lebih dekat dengan penumpang lainnya.


Suasana di atas kapal feri menuju Sabang
Dengan durasi perjalanan lebih dari empat jam berarti cukup waktu untuk memejamkan mata atau sekedar duduk selonjor menikmati angin laut di siang hari. Sesekali aku berkeliling, menyusuri beberapa sudut kapal, menyapa beberapa penumpang yang sekiranya bisa dijadikan sebagai teman ngobrol. Aku bertemu dengan seorang biker yang datang bersama beberapa orang rombongannya dari kota Samarinda, Kalimantan Timur. Tujuan mereka adalah touring Kalimantan – Sumatra – Jawa – Kalimantan dengan mengendarai sepeda motor, dan salah satu titik yang menjadi tujuannya adalah kilometer nol di Pulau Weh. Mereka sengaja menyusun jadwal sedemikian rupa sehingga pada malam pergantian tahun mereka berada di titik kilometer nol tersebut. Salah satu kejadian lain yang akhirnya menjadi tontonan tersendiri bagi penumpang kapal adalah ketika sekelompok bencong dengan dandanan khas mereka mondar-mandir kesana kemari dengan sengaja menarik perhatian. Serentak penumpang bersorak sorai begitu salah satu bencong bertingkah. Aku lebih memilih menikmati hamparan air laut di tepeian Samudera Hindia yang siang itu sedang tenang, tanpa sengaja sekawanan lumba-lumba asik bermain pada jarak beberapa puluh meter dari kapal.


Selamat datang di Kota Sabang, Pulau Weh
Kapal masih jauh dari dermaga Kota Sabang, sementara para penumpang sudah disibukkan dengan persiapan turun beserta barang bawaan dan rombongannya. Selamat datang di pulau paling ujung di bagian barat negeri ini, kataku kepada diri sendiri yang aku lafalkan dalam hati saja. Sebenarnya Pulau Weh bukan merupakan pulau paling barat nusantara, karena masih ada lagi pulau kecil yang lokasinya lebih di barat. Pulau Rondo, sebuah pulau kecil tak berpenghuni itulah yang jatinya merupakan pulau paling depan di ujun barat wilayah NKRI. Pulau kecil tersebut tidak berpenghuni, namun untuk menjaga kedaulatan negara kita, disana sejumlah prajurit ditempatkan sebagai penjaga perbatasan. Kembali ke perjalananku yang hampir tiba, akupun menghampiri temanku, merapikan kembali barang-barang bawaan kami untuk dibawa turun ke dermaga. Turun dari dermaga, setelah lihat kanan kiri, kami lalu memutuskan untuk naik ojek motor menuju ke penginapan yang ditunjukkan oleh salah satu teman sewaktu masih di Banda Aceh. Kebetulan teman tersebut memang berasal dari Sabang, yang kemudian merantau ke daratan utama untuk sekolah dan bekerja. Ojek motor yang kami tumpangi langsung mengantarkan kami ke tempat tujuan, dan ketika tiba di lokasi yang dimaksud ternyata adalah sebuah penginapan yang dikelola oleh sebuah sekolah menengah kejuruan. Kami tidak pikir panjang karena harus segera mendapatkan tempat untuk menginap di malam itu. Aku langsung mengusulkan kepada temanku untuk menyewa motor agar dapat mencari penginapan lain yang lebih nyaman dan dekat dengan pusat keramaian. Penginapan sementara tempat kami menginap berada jauh dari perkotaan dan kondisinya tidak nyaman karena kurangnya perawatan. Dengan kondisi seperti itu, ditambah harga yang terlampau tinggi membuat semuanya menjadi tidak nyaman.

Salah satu sudut Pulau Rubiah yang mempesona
Seorang turis dengan perlengkapan keselamatan

Keesokan harinya sebelum pergi ke beberapa lokasi tujuan, kami sudah berpindah penginapan di salah satu hotel kecil di pusat kota. Dari berbagai sisi, kondisi hotel ini jauh lebih baik dibandingkan dengan penginapan yang ada di sebuah SMK tersebut, dan tarifnya pun lebih murah. Kami pun selain menginap di hotel tersebut juga menyewa motor dari pemilik hotel tersebut. Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan salah satu karyawannya, ternyata pemilik hotel tersebut adalah orang Jawa yang menurut sejarahnya dulu sebagai transmigran. Pagi itu kami belum berkesempatan untuk bertemu dengan pemilik hotelnya, tapi kami sudah harus berkeliling ke beberapa pantai untuk survey keberadaan lamun. Sambil survey, aku teringat oleh salah seorang teman fotografer underwater dari National Geographic yang beberapa waktu sebelumnya melakukan kegiatan di Pulau Weh dalam rangkaian Blacktrail yang tahun sebelumnya aku ikuti. Dari teman tersebut, aku mendapatkan informasi tentang sebuah dive operator yang bisa aku datangi jika aku ingin melakukan kegiatan penyelaman. Lokasi dive operator yang dimaksud berada di dekat Pulau Rubiah yang menjadi destinasi utama dari setiap penyelam yang datang ke Pulau Weh dengan tujuan penyelaman.



Pantai Iboih dengan latar belakang Pulau Rubiah
Aku bertemu dengan salah seorang yang ternyata adalah pemilik dive operator tersebut yang bertindak sebagai manajer, bersama adiknya yang seorang dive master mengelola usaha jasa pariwisata selam. Sejurus kemudian aku ungkapkan maksud dan tujuanku datang ke Pulau Weh. Dan ternyata pemilik dive operator tanggap dengan yang aku inginkan dan menyarankan untuk mengikuti trip diving besoknya. Pembicaraan kami kian lama semakin akrab dan seakan-akan seperti teman lama ketika aku menyebutkan asal institusi tempatku bekerja. Usut punya usut, almarhum orang tua mereka ternyata memiliki kedekatan emosional dengan instansi tempatku bekerja. Semasa hidupnya, orang tua mereka awalanya adalah pengebom ikan yang oleh instansiku tempat bekerja kemudian dilatih menjadi pengawas sumber daya laut. Hasil dari kegiatan pelatihan tersebut yang dikemudian hari menjadi modal yang terus dikembangkan oleh yang bersangkutan, hingga pada puncaknya beliau mendapatkan sebuah penghargaan yang begitu prestisius. Kalpataru sebagai bentuk penghargaan kepada para pahlawan di bidang lingkungan hidup diterima langsung dari presiden beberapa tahun sebelum meninggal. Pemilik dive operator berkisah bahwa sewaktu masih kecil dia dan adiknya selalu diajarkan untuk menghargai lingkungan di sekitarnya. Dia juga bilang bahwa rumahnya berjajar buku-buku tentang lingkungan dan sumber daya alam, yang sebagian besar didapatkan dari instansi tempatku bekerja saat ini. Selepas membuat semacam janji dengan dive master untuk bergabung dengan kegiatan penyelaman esok hari, aku bersama temanku langsung menuju ke tugu nol kilometer di ujung barat Pulau Weh, sekaligus ujung barat Indonesia. Perjalanan menuju ke tugu nol kilometer terasa cukup jauh karena di samping belum pernah kesana, juga karena kami harus menyusuri jalan kecil yang sepi menembus hutan lindung yang cukup lebat. Apalagi waktu itu mendung gelap tengah menyelimuti, dan nampaknya tidak lama lagi hujan besar akan segera turun. Kami tiba di tugu nol kilometer ketika hari sudah menjelang ashar, disana sudah ada belasan orang yang sudah tiba sebelumnya. Aku langsung memarkir motor, orientasi singkat, dan mulai berkeliling melihat apapun yang aku temukan disana. Beberapa orang penjaja kios souvenir menyambut kedatangan kami yang memang terlihat sebagai orang asing. Sebuah struktur bangunan dalam formasi tertentu seketika menjadi pusat perhatianku, itulah tugu kilometer nol yang menjadi objek tujuanku datang.

Tugu Kilometer Nol di ujung barat nusantara


Dari kejauhan bangunan itu memang tampak megah di antara rerimbunan pohon yang kemungkinan sudah berusia seratusan tahun. Namun saat aku mencoba mendekati, ternyata kondisi bangunan tidak terawat dan terkesan terbengkalai. Di sana sini terlihat bagian bangunan yang sudah lapuk dan bekas tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab yang telah meninggalkan coretan hampir di seluruh bagian, vandalisme. Prasasti yang berisi ketetapan titik kilometer nol sekaligus sebagai penanda tahun penetapannya juga tidak luput dari vandalisme tersebut. Sekawanan monyet abu-abu ekor panjang yang sibuk mencari sisa-sisa makanan yang dibuang oleh pengunjung atau warung-warung makan yang ada di kawasan itu pun tidak luput dari pengamatanku. Mereka sedang asik bersama kawanan di pepohonan dan di sekitar tebing yang di bawahnya terbentang samudera luas, Samudera Hindia. Aku sempat mengobrol dengan dua orang pengendara vespa tua yang telah dimodifikasi. Penampilan mereka dengan gaya rastafaria semakin menegaskan kekompakan dengan tunggangan yang ingin mereka tonjolkan. Yang membuat aku cukup kaget bahwa mereka datang ke Pulau Weh dalam rangka touring berdua dari Semarang, dan hari itu adalah perjalanan yang telah memasuki hari ke dua puluh.


Sisi lain Tugu Kilometer Nol
Kilometer nol, tentunya kita cukup sering menjumpainya karena di setiap kota memiliki lokasi yang disebut sebagai titik kilometer nol. Tapi, titik kilometer nol yang satu ini berbeda dan memiliki keistimewaan tersendiri, karena merupakan titik kilometer nol dari negara kita. Kilometer nol Pulau Weh, sebuah tempat yang berada di titik paling barat negeri ini, ditandai dengan adanya sebuah tugu yang dibangun oleh pemerintah beberapa tahun silam. Ditetapkan pada tanggal 24 September 1997 oleh Menristek B.J. Habibie pada posisi GPS 05o54’21,42” LU dan 95o13’00,50” BT pada ketinggian 43,6 meter di atas permukaan laut. Tempat ini pada hari-hari biasa tidak begitu ramai, bahkan cenderung sunyi dari pengunjung. Namun kondisinya menjadi berbeda ketika menjelang pergantian tahun, banyak pengunjung yang datang berbondong-bondong ke tempat ini. Bukan hanya pengunjung dari wilayah kota Sabang saja, tetapi juga berbagai kota di Indonesia, bahkan juga dari manca negara. Tujuannya tidak lain adalah ingin melewati malam pergantian tahun di tepian wilayah NKRI. Lalu apa istimewanya berada di kilometer nol ketika malam pergantian tahun?? Karena letaknya yang berada di titik paling barat Indonesia, maka tempat ini adalah tempat menikmati matahari di tahun yang dimaksud paling terakhir tenggelam di ufuk barat dibandingkan tempat lain di seluruh Indonesia, sebagai tempat terakhir yang mengalami momen pergantian tahun.


Motor milik biker dari Semarang di Tugu Kilometer Nol
Untuk mencapai tugu kilometer nol, dari pusat kota pengunjung harus melewati jalan berkelok-kelok, serta melalui tanjakan dan turunan. Perjalanan juga akan melintasi jalan curam di antara tebing yang terjal di satu sisi dan jurang yang curam di sisi lainnya. Selain itu, hamparan perkebunan rakyat dan belantara yang lumayan lebat akan menjadi pemandangan yang cukup menyejukkan ketika hari panas. Namun, akan jauh berbeda ceritanya jika sudah datang musim penghujan. Di beberapa titik kita akan mendapati jalanan yang banjir, dan dengan kondisi jalanan yang licin menuntut kehati-hatian dari pengemudi, apalagi jika melakukan perjalanan dengan mobil. Jalanan yang tidak terlalu lebar seringkali memaksa kita untuk mengurangi kecepatan jika tidak ingin bersinggungan dengan kendaraan lain, terlebih saat kita berpapasan dengan kendaraan besar. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan sebelum menuju ke tititk nol kilometer adalah kondisi kendaraan, karena jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dengan kendaraan kita saat perjalanan maka akibatnya akan sangat fatal. Dengan durasi perjalanan dari pusat kota ke titik kilometer nol yang hampir dua jam tersebut hampir dua per tiganya adalah areal perkebunan dan hutan lingdung. Artinya jika ada masalah dengan kendaraan kita, maka kita akan dihadapkan pada kesulitan yang bisa bikin stress.


Bentor sebagai sarana transportasi orang dan barang
Tidak tersedia kendaraan umum yang menghubungkan antara pusat kota dengan titik kilometer nol  tersebut, sehingga jalan satu-satunya untuk menuju kesana adalah dengan menyewa kendaraan. Pilihannya adalah dengan menyewa mobil dengan atau tanpa sopir, atau cukup dengan motor yang keduanya cukup mudah didapatkan di pusat kota. Atau, jika ingin santai kita juga bisa menyewa ojek becak motor yang merupakan sarana transportasi publik di Sabang dan juga di Aceh. Biaya sewa untuk hari-hari biasa tidak jauh berbeda dibandingkan dengan di tempat-tempat lain di Indonesia, namun sedikit lebih mahal jika mendekati pergantian tahun. Selama berada disana, aku lebih memilih untuk menyewa motor sebagai kendaraan untuk mobilitas sehari-hari. Dengan harga sewa Rp. 50.000 per hari, aku bisa dengan leluasa berkeliling pulau dan mengunjungi tempat-tempat yang aku inginkan. Berbekal informasi tempat-tempat menarik di Sabang dari hasil gugling di internet, aku juga menyempatkan untuk mengunjungi tempat lain selain titik nol kilometer. Lokasi utama yang aku pilih untuk dikunjungi adalah pantai dan lokasi penyelaman, karena memang tujuan utamaku ke Pulau Weh sebenarnya untuk mencari lokasi yang terdapat lamun atau seagrass. Kebetulan saja jadwal perjalananku te tempat ini bertepatan dengan momen pergantian tahun, bukan sebuah kesengajaan karena rencana yang serba mendadak dan tidak banyak mikir itinerary nya. Mendung kian gelap, kami pun memutuskan untuk untuk segera beranjak meninggalkan kawasan tugu kilometer nol menuju kota Sabang. Hujan yang turun dengan begitu lebatnya memaksa kami untuk berhenti sejenak di tengah hutan. Kami keliling Pulau Weh naik motor tetapi tidak dilengkapi dengan jas hujan, diperparah lagi dengan lampu utama yang dalam keadaan mati. Tiba di hotel ketika hari sudah malam, tetapi sudah tidak turun hujan lagi. Setelah makan malam, kami keliling kota sekedar mencari suasana, sekaligus berharap bertemu sesuatu yang khas dari kota ini. Kami pun singgah di suatu tempat dekat pasar karena disitu ada sesuatu yang pastinya menjadi daya tarik tersendiri buat kami, duren. Tawar menawar harga pun terjadi, dua buah duren ukuran jumbo sudah tersedia di hadapan kami, siap untuk dilahap. Nikmat sekali rasa duren yang ternyata didatangkan dari Medan, dengan harga yang sangat murah jika dibandingkan dengan harga di Jawa. Puas menikmati duren, kami kembali ke hotel dan langsung terlelap setelah menyiapkan peralatan selam yang akan di bawa besok pagi.



Schooling fish yang menjadi daya tarik tersendiri di salah satu dive spot Pulau Weh

Daftar jadwal dan peserta selam
Hari masih pagi, kami mencari warung untuk sarapan pagi di sekitar pantai. Di sebuah warung terlihat ramai oleh pengunjung, langkah kami terhenti di situ. Sejenak kami mengamati dari jauh kira-kira menu apa yang ditawarkan oleh warung tersebut sehingga membuatnya seramai itu. Samar-samar nampak beraneka jenis jajanan dan beberapa pelayan warung yang sedang mengantarkan minum ke pelanggan yang datang. Kami pun segera mengambil tempat duduk dan memesan beberapa makanan dan dua porsi minuman. Selesai sarapan, kami bergegas menuju ke dive operator agar tidak ketinggalan rombongan yang akan menyelam pagi itu. Perjalanan dengan motor dari hotel ke dive operator hampir satu jam lamanya. Setibanya di dive operator tersebut, kami langsung bertemu dengan managernya lalu diajak ke salah satu ruang untuk memilih perlengkapan selam yang belum kami bawa. Kami mengisi formulir dan mengikuti briefing sebentar untuk koordinasi selama trip penyelaman tersebut. Tim selam kami terdiri dari delapan orang ditambah dua boat man, kami digabungkan dengan wisatawan lain yang berasal dari luar negeri. Hanya satu lokasi yang kami selami, dengan kondisi gelombang yang sangat besar tapi pemandangan bawah airnya begitu luar biasa. Jika melihat schooling ikan seperti itu, aku teringat akan penyelaman yang pernah aku lakukan di Raja Ampat beberapa waktu sebelumnya. Dari informasi yang tersedia di dive operator, diketahui bahwa di wilayah Pulau Weh terdapat sejumlah titik penyelaman dengan karakter yang berbeda-beda. Mulai dari tempat berombak dengan atraksi ikan schooling nya, hamparan pasir dengan tipe muck dive nya, spot yang menawarkan keindahan terumbu karang, gunung api bawah laut hingga wreck dive. Dari sekian banyak penyelam yang datang, terlihat orang asing yang mendominasi. Kondisi seperti ini tidak hanya berlangsung saat liburan pergantian tahun saja tetapi memang biasanya juga seperti itu. Bahkan dua orang dive master yang bekerja untuk dive operator adalah orang asing. Orang lokal datang ke lokasi tersebut umumnya adalah penikmat wisata pantai, atau maksimal hanya sebatas snorkeling saja.


Moray eel di salah satu titik penyelaman
Penyelaman kali ini berakhir dengan sebuah obrolan panjang tenjang sejarah pendirian dive operator dengan pemiliknya sambil minum kopi. Sang pemilik dive operator sangat antusias menceritakan masa lalu yang dialami keluarganya hingga menjadi seperti yang terlihat sekarang ini. Kisah sukses dive operator yang dimilikinya tidak terlepas dari kisah sukses bapaknya memperbaiki hidup dan kehidupan dari seorang perusak lingkungan menjadi pahlawan lingkungan. Disitulah keluarganya merasakan begitu besarnya peran instansi tempatku bekerja, hingga dia dan keluarganya merasa sangat berhutang budi. Ujung-ujungnya, ketika aku hendak meminta nota untuk penyewaan alat selam dan biaya trip selam siang itu, sang manajer muda malah bilang kepadaku ‘kalau aku sampai meminta bayaran dari orang yang bekerja pada instansi yang telah menjadikan keluarganya sukses, sama artinya dengan meminta bayaran atas makanan yang disuguhkan kepada saudaranya sendiri’. Aku sangat terharu mendengar ucapannya itu tadi, sampai enggan meninggalkan dive operator tersebut begitu saja. Perhatianku kemudian tertuju ke deretan souvenir yang dipajang di salah satu sudut ruangan, dan akupun membeli dua buh kaos. Selain sebagai kenang-kenangan dari Pulau Weh, tujuanku membeli kaos adalah sebagai bentuk ungkapan terima kasih kepada pemilik dive operator dengan cara membeli barang dagangan yang dijajakannya.


Penyelam bercengkrama dengan kawanan ikan
Sambil menikmati makan siang seafood di sekitar dive operator tersebut, aku sempat ngobrol dengan teman tentang apa yang kami alami dari sebelum datang ke Sabang sampai kejadian yang berkaitan dengan kisah sukses pemilik dive operator. Memang, di daerah Iboih itu bukan hanya dive operator itu saja yang telah sukses dengan usaha jasa penyelaman. Terlihat sekitar sepuluh dive operator beroperasi dan bersandingan dengan beberapa toko souvenir dan rumah makan yang siang itu tampak begitu ramainya. Bahkan untuk mencari tempat parkir saja tidak mudah, apalagi jika datangnya sudah terlalu siang. Apa yang kami cari di Pulau Weh belum ada tanda-tanda keberadaannya sampai hari ketiga kami berada di Sabang. Sebelum kembali ke hotel, berdasarkan informasi dari salah satu grup chatting ku sebelumnya pernah menginformasikan bahwa terdapat air terjun yang hendaknya disinggahi ketika berada di Pulau Weh. Air terjun Pria Laut, begitulah namanya, sebuah air terjun yang aksesnya harus dijangkau dengan cara berjalan kaki. Sebenarnya air terjun tersebut tidak begitu menarik bagiku saat aku membandingkan dengan beberapa air terjun yang pernah aku datangi. Tapi paling tidak saat mandi di air terjun itu aku merasakan segarnya air yang khas dari pegunungan, walau warnanya agak putih entah kenapa. Tidak banyak kegiatan untuk menutup hariku waktu itu. Pulang ke hotel, bersih-bersih diri, makan malam dan istirahat dengan nyenyak di kamar hotel. Menyiapkan tenaga untuk petualangan besoknya yang entah akan kemana dan akan seperti apa.


Panorama di sisi jalan pinggiran Kota Sabang
Pencarian kami terhadap keberadaan lamun masih terus berlanjut, dan pagi itu kami memutuskan untuk menyewa perahu nelayan yang kebetulan sedang menambatkan talinya di pantai yang aku datangi. Sebenarnya mereka tidak berniat mencari uang hari itu karena sedang mengajak keluarganya pergi tamasya ke pantai, tepatnya di Pulau Rubiah. Tetapi akhirnya bersedia membawa kami setelah negosiasi harga, lagipula arah tujuan kami sebenarnya sama. Sekitar tiga jam kami berputar-putar mencari kemungkinan keberadaan lamun, namun hanya sekedar serasah sisa-sisa daun maupun batangnya pun tidak kami temukan. Kesimpulan akhir yang kami buat bahwa memang tidak ada lamun jenis apapun yang tumbuh di Pulau Weh, apalagi jenis tertentu yang kami cari. Dalam keputusasaan tentang target yang kami cari, kami akhirnya hanya berusaha untuk membawa suasana menjadi menyenangkan. Beberapa tempat yang sudah terkenal sebenarnya bisa menjadi alternatif kami menghapus kekecewaan kami, sebut selain Tugu Kilometer Nol, Pulau Rubiah, Pantai Iboih dan Air Terjun Pria Laot. Sebut saja Pantai Gapang, Pantai dan Benteng Jepang Anoi Hitam, Pantai Sumur Tiga, Pantai Kasih, Gunung Berapi Jaboi, dan lainnya. Kota Sabang sebenarnya juga memiliki peran penting dalam sejarah Republik ini, namun sangat jarang liputan dan bukti-bukti tentang perjalanan sejarah kota ini.

Sate gurita sebagai panganan khas Sabang
Lokasi pedestrian di pinggir pantai

Salah satu tempat yang romantis untuk menikmati sore dan malam sambil berwisata kuliner

Hari sudah menjelang petang dan kami pun memutuskan untuk segera kembali ke hotel sebelum sinar matahari meninggalkan Pulau Weh. Dalam perjalanan kembali ke arah kota, kami menjumpai sebuah warung kopi yang berada di pinggir jalan tepi jurang. Suasana warung yang di satu sisi menyajikan panorama laut dari sebuah bukit, tidak mengherankan kalau banyak pengunjung yang datang untuk menikmati sajian alam terutama menjelang senja. Satu cangkir kopi dan beberapa bungkus kacang goreng menemai kami ngobrol ngalor ngidul sampai dunia menjadi gelap. Kami pun beranjak ke arah kota setelah membayar apa yang telah kami makan dan minum. Tujuan utama kami adalah tempat makan di sekitar pantai di sisi lain kota Sabang. Penelusuran kami dengan motor berakhir di sebuah lokasi semacam pujasera yang berada di pinggir pantai. Menu favoritku di tempat itu adalah sate gurita dan secangkir kopi gayo, tapi suasananya menjadi sedikit terganggu oleh kedatangan pengamen.


Loket menuju sebuah wahana di lokasi pasar malam
Malam itu suasana kota terlalu sepi untuk disebut sebagai sebuah kota kabupaten. Aku baru ingat kalau malam itu adalah malam pergantian tahun, jadi kemungkinan sebagian penduduk kota sengaja tidur di kala masih sore dan bangun menjelang detik-detik pergantian tahun. Satu-satunya yang terlihat ramai adalah pasar malam yang berada tidak jauh dari pujasera tersebut. Aku iseng-iseng menarakan kepada temanku untuk menceburkan diri dalam hiruk-pikuknya suasana pasar malam. Awalnya temanku ragu, tetapi akhirnya kami berkeliling melihat-lihat dan menikmati beberapa jenis jajanan yang sebenarnya adalah jajanan untuk anak kecil. Beberapa momen sempat aku abadikan di sekitaran pasar malam, termasuk beberapa pedagang dan penjaga permainan untuk anak-anak yang kebanyakan datang dari Jawa. Kesibukan kecil yang sempat aku lihat yaitu di sisi lain di seberang pujasera, sekelompok orang menyiapkan panggung dan kembang api yang memang sudah menjadi agenda rutin setiap malam pergantian tahun di tempat tersebut. Mendung gelap nampak sudah menyelimuti langit kota Sabang, mungkin tidak lama kemudian akan turun hujan. Benar saja, menjelang tengah malam hujan turun dengan lebatnya, akupun memilih tidur karena besok pagi akan kembali ke Banda Aceh.

Kemeriahan pasar malam menjelang malam pergantian tahun bagi anak-anak

Jajanan tradisional di pasar malam
Wahana khas pasar malam


Kopi gayo, kopi khas daerah Aceh
Pagi datang, hari sudah berganti, bulan juga sudah berganti, tahun pun berganti beberapa jam yang lalu. Benar, sekitar tujuh jam sebelumnya adalah momen malam pergantian tahun yang aku alami di ujung barat nusantara. Bagiku secara pribadi tidak ada bedanya pergantian tahun dimanapun berada, karena memang tidak ada sesuatu yang istimewa yang aku alami. Hanya sekedar sebah kebetulan saja malam pergantian tahun kali ini aku berada di tempat yang oleh sebagian orang dianggap sebagai tempat yang spesial pada saat malam pergantian tahun. Lagian sarapan pagi itu, di tanggal 1 Januari, tidak ubahnya dengan sarapan-sarapan biasanya. Mungkin karena aku harus segera berkemas karena menjelang siang aku harus menuju ke pelabuhan agar tidak tertinggal oleh kapal yang membawaku ke Banda Aceh. Tidak ingin direpotkan dengan barang bawaan yang lumayan banyak, kami memutuskan untuk memesan becak motor yang akan mengantar kami ke pelabuhan. Lagi-lagi, kebaikan hati dari pemilik hotel yang mengusahakan becak motor dengan harga yang menurutku sangat murah dibandingkan dengan ongkos dua ojek motor saat kami datang.  Kami menyempatkan untuk basa-basi sebentar dengan pemilik hotel yang sekaligus pemilik toko yang lumayan besar di samping hotel. Perjalanan kembali dari kota Sabang menuju Banda Aceh menyisakan banyak kisah dan pelajaran bagiku. Kota Sabang, Pulau Weh, titik kilometer nol di ujung barat nusantara yang fenomenal dan akan selalu menjadi lokasi favorit bagi yang ingin melewati malam pergantian tahun. Namanya akan tetap abadi sampai kapanpun, seabadi lagu ‘Dari Sabang Sampai Merauke’ yang tersohor. Sabang…. nama besarmu, kopimu, durenmu, sate guritamu akan menjadi daya tarik yang membuatku ingin kesana lagi suatu saat.


 
   




Sabang, 01012014, 07:21am


*catatan seorang pejalan