Wednesday, April 20, 2016

Mengintip Jejak Kejayaan Kerajaan Riau di Pulau Penyengat

Beberapa kali aku datang ke kota Tanjung Pinang, ibukota provinsi Kepulauan Riau yang terletak si Pulau Bintan, namun belum sekalipun singgah ke Pulau Penyengat. Di samping karena memang tidak ada alokasi waktu, maklum karena jadwal pekerjaan yang sangat padat hingga larut malam, juga karena kurang paham tentang apa sebenarnya Pulau Penyengat itu. Aku baru mendapatkan keterangan singkat tentang pulau tersebut setelah ketiga kalinya datang ke Tanjung Pinang. Itu pun aku masih belum mendapatkan waktu yang tepat untuk menyeberang. Baru, setelah kali ke empat aku kembali ke Bintan dan kebetulan ada waktu longgar, maka dengan tidak membuang-buang waktu aku langsung berniat untuk ke Pulau Penyengat. Paling tidak, aku punya waktu tiga hari yang agak longgar sepulang setibanya dari perjalanan jauh dari Anambas. Mungkin lebih baik kalau aku menawarkan ke beberapa orang dari rombonganku untuk menyeberang ke Pulau Penyengat, walaupun sebenarnya aku tidak pernah mempermasalahkan kalau harus jadi solo traveler. Sesuai perkiraan, dari delapan teman serombongan yang aku tawari untuk menyeberang, hanya satu orang yang bersedia gabung bersamaku. Ternyata beberapa orang sudah pernah ke Pulau Penyengat, sehingga enggan untuk beranjak kembali. Sedangkan yang lainnya beralasan karena masih ada yang harus dikerjakan atau karena masih merasa lelah setelah perjalanan kapal laut selama 18 jam. Okelah, akhirnya aku hanya berdua saja dengan salah seorang teman yang akan menyeberang ke Pulau Penyengat.



Aku mencoba mencari informasi dari internet mengenai sejarah dan seluk beluk Pulau Penyengat. Pulau Penyengat diketahui mengalami perubahan nama atau dikenal dengan nama lain sesuai dengan masa dan bangsa yang menyebutnya. Pulau Penyengat sudah sejak lama dikenal pelaut sejak beberapa abad yang lampau sebagai tempat persinggahan. Para pelaut yang berlayar di sekitar Selat Malaka tersebut singgah ke pulau ini terutama bertujuan untuk mengisi air tawar sebagai persediaan di kapal mereka. Atas dasar cerita rakyat yang telah diketahui secara turun temurun, nama pulau tersebut disematkan karena adanya sebuah mitos yang berupa pantangan yang berkaitan dengan sumber air. Alkisah diceritakan pada suatu waktu ada seorang pelaut yang melanggar pantangan pada saat mengambil air, seketika itu pelaut tersebut lalu diserang oleh ratusan serangga berbisa semacam lebah. Serangga tersebut memiliki senjata berupa penyengat untuk menyuntikkan bisanya. Bangsa Belanda mengenal pulau ini dengan sebutan Pulau Indera dan Pulau Mars. Tatkala Kerajaan Riau dipusatkan di pulau ini, pulau kecil ini dikenal dengan nama Pulau Penyengat Inderasakti.  


Pulau kecil yang berjarak kurang dari 2 km dari kota Tanjung Pinang diketahui memiliki sejarah yang panjang bagi sejumlah kerajaan atau kesultanan di bagian barat Indonesia, Singapura dan Malaysia. Pulau Penyengat berperan penting dalam jatuh bangunnya Imperium Melayu, yang terdiri dari Kesultanan Johor, Pahang, Siak dan Lingga. Peran penting tersebut dikarenakan kesultanan-kesultanan tersebut karena pengaruh dari Kerajaan Riau yang berdiri sejak tahun 1722. Berdirinya Kerajaan Riau berdiri sebagai buntut dari perang yang memperebutkan tahta Kesultahan Johor antara dua bersaudara keturunan sultan. Pemenang dari perang saudara tersebut kemudian mendirikan Kerajaan Johor-Riau-Lingga karena mendapatkan bala bantuan dari bangsawan Bugis, kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Kota Tinggi di Johor ke Hulu Sungai Carang di Bintan. Sedangkan saudaranya, sebagai pihak yang kalah, akhirnya menyingkir dan kemudian mendirikan Kesultanan Siak di daratan Sumatra.

Setelah pemerintahan Kerajaan Johor-Riau-Lingga berjalan, Pulau Penyengat berperan sebagai pusat pertahanan sekaligus sebagai  kediaman dan pusat pemerintahan dari Yang Dipertuan Muda setelah dipindahkan dari Hulu Sungai Carang. Sementara itu, Yang Dipertuan Besar atau sultan berpindah kedudukan ke Daik, Lingga. Beberapa tahun sebelumnya, Pulau Penyengat sebenarnya merupakan hadiah dari Sultan kepada istrinya yang memungkinkan pulau ini mendapat perhatian yang memadai dari sultan. Yang Dipertuan Muda memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan dengan Yang Dipertuan Besar. Namun demikian Yang Dipertuan Muda memiliki peran penting yaitu mengatur pemerintahan, perekonomian, angkatan perang dan masalah operasional lainnya. Pada awal tahun 1900an, kedudukan Yang Dipertuan Besar akhirnya juga dipindahkan ke Pulau Penyengat. Pemindahan kedudukan ini tentu saja diikuti dengan pembangunan simbol-simbol kekuasaan sultan, antara lain istana, kantor, mahkamah, rumah sakit dan lainnya. Sehingga akhirnya Pulau Penyengat selain dikenal sebagai pusat pemerintahan juga diketahui sebagai pusat agama, adat-istiadat dan kebudayaan Melayu. Pemerintahan Riau-Lingga mengalami antiklimaks pada tahun 1911, yaitu ketika Belanda menurunkan sultan. Sultan dianggap melawan pemerintah kolonial karena menolak menandatangani surat perjanjian. Sementara itu tidak ada seorang pun bangsa Melayu yang bersedia menjadi penerus sultan, bahkan sebagian besar penduduk memilih untuk pindah ke Singapura dan Johor. Belanda akhirnya diambil alih Pulau Penyengat.



Sepeninggal penduduk Pulau Penyengat, tersisa beberapa ratus orang dari 6000an yang pernah mendiami pulau, bangunan-bangunan menjadi terbengkalai dan tidak dapat dihindari penjarahan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung-jawab. Sultan yang kala itu juga telah mengungsi ke Singapura ketika mendengar bahwa Belanda akan mengambil alih simbol-simbol kerajaan, termasuk bangunan dan harta benda lainnya. Sultan kemudian memberikan perintah kepada rakyat yang masih tinggal di Pulau Penyengat untuk menghancurkan simbol-simbol kerajaan tersebut dan menanami lahan yang masih kosong. Tujuannya adalah untuk menghindarkan berpindahnya simbol-simbol kerajaan tersebut ke tangan Belanda. Akibatnya, walaupun masa berakhirnya kerajaan tersebut baru sekitar 100 tahun yang lalu, namun sangat sedikit bukti kejayaan kerajaan tersebut yang tersisa. Bukti yang masih dapat dinikmati hingga kini hanya berupa masjid, empat kompleks pemakaman diraja, dua bekas istana dan beberapa gedung lama, serta benteng dan sumur tua.

Untuk mencapai pulau dengan panjang sekitar 2000 meter dan lebar sekitar 850 meter ini bisa ditempuh dengan menumpang perahu motor untuk penyeberangan reguler selama kurang lebih 15 menit dari kota Tanjung Pinang. Ketika perahu yang kita tumpang tiba di dermaga pulau yang memiliki luas pulau 240 hektar ini, pandangan kita akan langsung tertuju pada sebuah bangunan megah berwarna dasar kuning. Ya itulah Masjid Sultan Riau, salah satu situs peninggalan keraraan yang tersisa dan masih terawat dengan baik. Aku datang ke Pulau Penyengat berbarengan dengan beberapa penduduk lokal yang bekerja di kota Tanjungpinang serta beberapa orang turis lokal. Beberapa pengemudi becak motor menyambut kedatangan para penumpang perahu dan langsung menawarkan jasa untuk berkeliling pulau. Mereka biasanya telah memiliki rute tetap ke berbagai situs wajib selama satu jam dengan harga yang telah ditetapkan. Akan tetapi jika kita ingin lebih lama atau ingin keluar dari rute biasanya, kita bisa nego harga sewa bentor kepada pengemudi. Pengemudi bentor selain sebagai pengantar para turis untuk berkeliling, dia juga dapat berperan ganda sebagai pemandu yang siap memberikan penjelasan dan menceritakan sejarah setiap situs yang didatangi. Di pulau ini memang tidak diperkenankan ada mobil atau kendaraan sejenisnya, sehingga untuk berpindah dari satu situs ke situs yang lain dengan cepat adalah dengan menumpang bentor atau menyewa motor. Kalaupun ingin menikmati pulau ini dengan berjalan kaki, sangat memungkinkan dapat mengelilingi pulau ini kurang dari satu hari dengan berjalan santai. Bukan saja mobil, di pulau ini pun tidak diperkenankan membangun hotel, sehingga jika ingin menginap bisa menumpang di rumah penduduk setempat.




Aku sengaja tidak menyewa bentor ataupun sepeda motor, walaupun sebenarnya tidak punya tujuan khusus mau kemana. Tapi yang pasti begitu menginjakkan kaki di pulau ini, aku bersama temanku langsung menuju ke Masjid Raya Sultan Riau. Masjid yang konon awalnya dibangun oleh Sultan pada tahun 1803 dan dilanjutkan oleh Yang Dipertuan Muda pada tahun 1832 ini memiliki keunikan karena mencampurkan putih telur sebagai bahan perekat untuk dinding. Berhubung aku datang sudah lewat waktu sholat Ashar, dan jadwal sholat Maghrib pun masih jauh, aku pun hanya berkeliling melihat-lihat detail bagian-bagian masjid. Selain bangunan utama sebagai rumah ibadah dan kegiatan keagamaan lainnya, di sekitar masjid juga terdapat beberapa bangunan tambahan, dua diantaranya adalah Rumah Sotoh yang berfungsi sebagai tempat pertemuan. Juga terdapat dua buah bangunan lain berupa balai sebagai tempat untuk menghidangkan makanan yang disediakan oleh pengurus masjid saat diadakan kenduri atau di waktu berbuka puasa. Masjid ini terbuka untuk umum, dalam artian bahwa siapa saja boleh masuk dengan catatan tetap menjaga kesopanan terutama dalam hal berpakaian dan berperilaku. Sebagai contoh, laki-laki yang hanya mengenakan celana pendek tidak diperkenankan memasuki masjid. Pengambilan gambar di dalam masjid pada dasarnya tidak diperbolehkan kecuali ada ijin khusus dari pengurus masjid. Lantaran keterbukaannya, tidak heran jika pada hari minggu atau hari libur jumlah pengunjung yang datang ke masjid ini menembus angka seribu orang. Halaman masjid yang bersih sering kali digunakan bukan hanya untuk kegiatan keagamaan namun juga untuk kegiatan dibidang seni dan budaya, misalnya untuk penyelenggaraan lomba pembacaan syair dan gurindam dua belas.

Tidak disangka, begitu keluar dari kompleks masjid aku melihat seseorang yang sepertinya tidak asing bagiku. Benar saja, sosok yang mengendarai motor bersama dua anak kecil itu adalah seseorang yang telah aku kenal cukup dekat sebelumnya. Dia adalah penduduk lokal Pulau Penyengat. Sebenarnya bukan orang asli dari Pulau Penyengat tetapi menurut ceritanya dia adalah keturunan Bugis yang memang memiliki hubungan yang erat dengan kerajaan Riau. Dalam perantauannya, seorang teman tadi akhirnya menikah dengan keturunan bangsawan kerajaan Riau, dan akhirnya menetap di Pulau Penyengat. Begitu saling melihat, kami pun langsung saling menyapa. Sejurus kemudian, dia menawarkan untuk mengajak keliling pulau dengan meminjamkan sepeda motornya kepada kami sedangkan dia memakai sepeda motor yang lainnya. Aku tidak tahu akan diaja kemana saja, hanya mengikutinya dari belakang. Melintasi pemukiman penduduk asli Pulau Penyengat yang damai. Melintasi perkebunan yang hijau. Dan akhirnya kami pun tiba di salah satu kompleks pemakaman. Di Pulau Penyengat ini paling tidak terdapat delapan kompleks pemakaman para bangsawan yang tersebar di seluruh pulau.



Perjalanan religi kami berziarah ke makam leluhur bangsa Melayu pertama-tama dimulai dari kompleks makam Engku Putri Raja Hamidah. Engku Putri Raja Hamidah yang merupakan anak dari Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau ke IV merupakan istri dari Sultan Mahmud. Mas kawin dari perkawinan tersebut adalah Pulau Penyengat. Dan dari perkawinan tersebut, Engku Putri Raja Hamidah menjadi tokoh penting karena sebagai pemegang amanat alat-alat kebesaran kerajaan yang diperuntukkan dalam penobatan sultan. Di dalam kompleks makam ini juga terdapat makam Raja Ali Haji, seorang bangsawan sekaligus seniman dengan karya besarnya yang berupa Gurindam Dua Belas. Gurindam Dua Belas sendiri sejatinya adalah sebuah petunjuk untuk menjalankan kehidupan sehari-hari yang bertujuan untuk membentuk akhlak mulia dan menegakkan ajaran agama Islam. Selanjutnya, aku diajak menuju ke kompleks makam Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV. Raja Haji Fisabilillah merupakan sosok pahlawan bagi masyarakat Melayu karena kegigihannya dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda, dan selanjutnya oleh pemerintah Republik Indonesia diagugerahi gelar pahlawan nasional. Kemudian kami menuju ke kompleks makam Raja Jakfar, yang merupakan putera dari Raja Haji Fisabilillah dan sekaligus sebagai Yang Dipertuan Muda VI. Pada masa pemerintahan Raja Jakfar inilah pusat kerajaan dipindahkan dari hulu Riau ke Pulau Penyengat sekaligus merubah tatanan Pulau Penyengat laksana kota yang berselera tinggi. Laju sepeda motor selanjutnya menuju ke kompleks makam Daeng Marewah atau juga dikenal dengan Kelana Jaya Putera, ialah Yang Dipertuan Muda I. Kami lalu meneruskan perjalanan menuju ke kompleks makam Daeng Celak, yaitu Yang Dipertuan Muda II sekaligus ayahanda dari Raja Haji Fisabilillah. Perjalanan religi kami diakhiri di ke kompleks makam Raja Abdurrahman, yang tidak lain adalah Yang Dipertuan Muda VII sekaligus pendiri Masjid Raya Sultan Riau. Dari sini, kompleks Masjid Raya Sultan Riau yang terletak di dekat dermaga dapat terlihat samar-samar karena tertutup oleh rimbunnya pepohonan. Di dalam masing-masing kompleks makam tersebut, selain terdapat makam bangsawan juga terdapat makam lain yang merupakan kerabat dan sahabat dekat dari bangsawan yang bersangkutan.



Di sela-sela perjalanan dari kompleks makam yang satu ke kompleks makam yang lain, aku juga diajak untuk singgah di beberapa situs dan bangunan lainnya. Balai Adat Indra Perkasa menjadi salah satu tempat yang sering dikunjungi oleh turis. Bangunan yang berupa rumah panggung khas Melayu, yaitu rumah adat Riau ini merupakan tempat perjamuan untuk menyambut tamu penting dan juga sebagai tempat untuk mengadakan musyawarah. Di dalamnya terdapat perlengkapan adat serta kesenian Melayu yang terdapat pada ruang utama. Bagi yang percaya, air dari sumber yang berada di bagian bawah rumah panggung ini berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit dan membukakan pintu jodoh. Situs lain yang masih dapat dijumpai adalah Istana Raja Ali yang dikenal dengan Istana Kantor, berfungsi sebagai kediaman dan sekaligus kantor bagi Raja Ali Yang Dipertuan Muda VIII. Hingga saat ini kondisi bangunan istana memang sudah tidak utuh, namun dari yang dapat dilihat, bangunan ini masih memperlihatkan kemegahannya di masa lalu. Situs yang tidak kalah nilai sejarahnya adalah Bukit Kursi. Di atas tanah yang paling tinggi di pulau inilah dibangun sebuah benteng pertahanan pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fisabilillah. Beberapa tahun yang lalu, pemerintah provinsi Kepulauan Riau merencanakan pembangunan sebuah monumen dengan nama Monumen Bahasa Melayu di atas tanah bekas benteng. Tujuannya adalah sebagai simbol penghormatan dan penghargaan kepada Raja Ali Haji atas jasa-jasanya dalam bidang bahasa. Namun sampai saat ini pembangunan monumen tersebut belum terealisasi.



Sampai disini perjalananku untuk sedikit mengenal tentang sejarah dan budaya Melayu melalui peninggalan Kerajaan Riau. Sebuah peninggalan besar yang sudah selayaknya diperhatikan oleh pihak-pihak yang terkait. Memang terdengar kabar bahwa sejak sepuluh tahun yang lalu Pulau Penyengat telah diusulkan ke badan PBB yang mengurusi masalah pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO) untuk dijadikan sebagai salah satu situs warisan dunia. Faktanya, jalan untuk mendapatkan status tersebut tidaklah mudah karena berbagai persyaratan yang harus dipenuhi. Satu dekade telah berlalu dan memang Pulau Penyengat tidak masuk daftar penilaian pada pembahasan tahun lalu. Tidak jelas kenapa Pulau Penyengat tidak masuk dalam daftar tersebut, dan itu artinya sampai dua dekade yang akan datang status sebagai situs warisan dunia belum akan disandang oleh Pulau Penyengat. Sangat disayangkan mengingat sebagai asal usul Bahasa Melayu berasal dari sini, dan bahasa tersebut juga digunakan di beberapa negara di Asia Tenggara. Lebih menyedihkan lagi karena Bahasa Melayu saat ini oleh dunia dikenal sebagai bahasa asli Malaysia. Padahal jika status sebagai situs warisan dunia disematkan kepada Pulau Penyengat, maka serangkaian keuntungan akan datang mengikuti selain menegaskan bahwa Bahasa Melayu berasal dari Indonesia, bukan Malaysia. Tempat yang mendapatkan status tersebut akan mendapatkan kucuran dana dari UNESCO untuk pemeliharaan dan pengelolaan. Di sisi lain, lokasi tersebut akan dikenal dunia yang menjadikan nilai jualnya melejit sehingga geliat pariwisata akan lebih bergairah.



Fakta memilukan yang membuat penantian akan status sebagai situs warisan dunia akan lebih panjang lagi setelah terungkap bahwa Pulau Penyengat belum termasuk benda cagar budaya nasional. Dengan tidak adanya status cagar budaya tersebut maka bukti legalitas bahwa Pulau Penyengat dilindungi secara nasional belum ada. Ketiadaan aturan perlindungan tersebut berarti ketiadaan jaminan bahwa situs tersebut masih asli atau sudah mengalami perubahan. Sedangkan keaslian sebuah situs merupakan kriteria yang disyaratkan oleh UNESCO untuk dapat masuk dalam daftar situs warisan dunia. Lebih parahnya lagi, ternyata pemerintah daerah belum menyatakan keseriusannya dalam upaya pengelolaan situs tersebut. Artinya bahwa hal ini menjadi kelemahan tersendiri yang paling mendasar. Pasalnya, UNESCO juga mensyaratkan keseriusan dari pemerintah daerah dan masyarakat dalam upaya pengelolaan sebuah situs sebelum didaftarkan. Berkaca dari fakta-fakta yang ada itulah, semoga ke depannya semoga ada niat dari berbagai pihak yang terkait dalam rangka mewujudkan status Pulau Penyengat sebagai salah satu situs warisan dunia. Dengan harapan bahwa masa keemasan kerajaan Riau dapat dikenal dan dikenang dengan baik, lebih jauh lagi dapat dibangkitkan kembali di jaman modern ini.




Aku menyeberang kembali menuju ke kota Tanjung menjelang senja, dengan membawa beberapa lembar catatan pribadi tentang Pulau Penyengat. Entah untuk siapa catatan tersebut akan kualamatkan, tapi yang jelas kini aku mulai mengerti bahwa tidak mudah untuk belajar sejarah, apalagi mengerti tentang sejarah. Karena pada setiap jaman, sejarah mengalami pergeseran. Dan terjadinya pergeseran tersebut memungkinkan terhapusnya sejarah yang telah lampau. Sekali lagi, harus dimaklumi bahwa sejarah ditulis oleh pihak yang berkuasa, yang berarti bahwa banyak sejarah yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan kebenarannya. Dan biarlah aku menulis sedikit tentang sejarah Pulau Penyengat dengan caraku sendiri sambil menikmati seporsi mie lendir, secangkir kopi O, sepaket otak-otak ikan khas Kepulauan Riau dan juga tidak lupa siput gonggongnya.





Bitung, 05042016, 03:14pm
*catatan seorang pejalan



No comments:

Post a Comment