Thursday, April 7, 2016

Selayang Pandang BlackTrail Raja Ampat dari National Geographic

Sebuah iklan besar di umumkan beberapa kali di majalah National Geographic Indonesia kala itu. Iya, pengalaman itu ternyata sudah sudah tiga tahun lebih berlalu, dan aku masih tetap ingin menuliskannya. Kebetulan aku berlangganan dan mengoleksi majalah ini sejak muncul edisi berbahasa Indonesia, walaupun beberapa edisi gagal aku koleksi. Iklan yang menawarkan petualangan seru ke lima destinasi yang masing-masing tentunya menawarkan keseruannya. Blacktrail, begitulah judul besar even ini. Sebuah even yang diadakan oleh nama besar National Geographic yang disponsori oleh sebuah produsen pembersih muka dengan produknya L’Oreal Men Expert. Tidak tanggung-tanggung, even tersebut merupakan bagian dari acara yang bernuansa petualangan yang ditayangkan oleh Kompas TV. Teroka nama acara tersebut, dengan host yang dikenal cukup ulet mempromosikan potensi alam nusantara dari sudut pandangnya. Dia adalah Cahyo Alkantana, yang bagi penggiat caving pasti sudah tidak asing lagi namanya. Tidak hanya itu, untuk memikat even petualangan yang ingin menonjolkan sisi maskulin, bintang tamu yang dihadirkan adalah seorang aktor ternama yang telah membintangi sejumlah film nasional, dialah Nicholas Saputra.







Blacktrail sendiri pada waktu aku tertarik untuk mencoba peruntungan mengikutinya telah diadakan di tiga destinasi, yaitu Pulau Komodo, Gunung Rinjani, Sungai Tangkahan. Sedangkan bulan itu akan diadakan di Dayak Iban. Artinya dari kelima destinasi yang ditawarkan tinggal satu destinasi lagi yang bisa diikuti. Pada masing-masing destinasi, lima orang yang beruntung diajak berpetualang gratis ke destinasi tersebut. Bedanya, untuk destinasi terakhir yang akan diselenggarakan di akhir tahun 2012 itu hanya tiga orang saja yang berkesempatan untuk menjadi pemenang. Sedangkan dua orang lagi akan dipilih dari pemenang pada destinasi sebelumnya, sehingga jumlahnya tetap lima orang. Bisa dikatakan peluangku untuk menang menjadi lebih kecil. Pada destinasi-destinasi sebelumnya, aku memang sengaja tidak mendaftar karena lebih memilih destinasi yang ada kegiatan menyelamnya. Padahal sewaktu destinasi Pulau Komodo, selain menyapa sang naga purba juga diselingi kegiatan menyelam. Aku sebenarnya sedikit menyesal karena terlambat merespon iklannya sehingga tidak sempat mendaftarkan diri.


Mengenai persyaratan untuk pendaftaran pada even ini terbilang sangat simpel. Hanya berbekal struk pembelian produk sponsor dan memiliki akun twitter atau facebook saja sudah cukup sebagai modal untuk mendaftar. Akupun segera beranjak ke salah satu minimarket yang tidak terlalu jauh dari tempat kos di sekitaran kampusku. Kebetulan juga waktu itu statusku sebagai mahasiswa pascasarjana di sebuah kampus negeri di Bogor. Berbekal uang pas-pasan yang kubawa ke minimarket, hanya untuk mendapatkan struk, akhirnya aku mendaftarkan diri di hari terakhir batas pendaftaran. Menjelang tengah malam aku baru berhasil mengunggahnya. Benar-benar injury time. Tetapi lega rasanya, dan tinggal menunggu hasil pengumumam untuk seleksi selanjutnya. Beberapa hari kemudian aku terima kabar dari panitia, bahwa aku lolos ke tahap selanjutnya. Syaratnya adalah membuat esai singkat mengenai pengalaman petualangan yang pernah kulakukan. Aku mengerjakan dalam waktu kurang dari satu jam di perpustakaan kantorku, kemudian dibaca dan dikomentari oleh teman kantor yang sekarang sudah almarhumah. Aku kirimkan kembali persyaratan yang diminta oleh panitia seleksi.


Beberapa hari kemudian, aku dipanggil untuk interview ke kantor National Geographic Indonesia di Jakarta. Aku termasuk satu dari sepuluh orang nominator. Padahal posisinya hari itu aku ada jadwal kuliah yang statusnya aku wajib hadir. Dengan penjelasan sejujurnya, aku meminta ijin kepada dosennya untuk mangkir dari kuliah, dan ternyata diijinkan dengan syarat mengganti di hari lain. Sampai di sini berbagai kemudahan yang aku rasakan, dan semoga terus dilancarkan sampai interview. Masalahnya, aku sangat awam dengan Jakarta Barat, sehingga agak sulit bagiku menemukan lokasi interview. Taksi jua lah pilihan paling rasional untuk mencapai tempat tujuan. Sebelum jadwal interview, aku telah tiba di kantor NG Indonesia dan bertemu beberapa nominator lain. Sempat berkenalan dan ngobrol-ngobrol sedikit dengan mereka. Saat interview, ada tiga orang interviewer yang kuhadapi. Aku lupa siapa saja namanya yang jelas mereka dari NG dan dari sponsor. Intinya, aku ceritakan beberapa pengalamanku terutama di bidang penyelaman. Karena sebagian pekerjaanku menyelam, dengan pengalaman menyelam yang cukup banyak itu aku yakin menjadi poin tersendiri yang akan dipertimbangkan oleh para interviewer. Apalagi kegiatan Blactrail Raja Ampat nanti utamanya adalah menyelam.

Tidak meleset, beberapa hari kemudian namaku muncul sebagai pemenangnya. Yes…. berangkat juga ke Raja Ampat, surganya para penyelam dunia. Salah satu lokasi penyelam impianku selain Wakatobi, Takabonerate dan Banda Neira. Sebelum hari keberangkatan, panitia memanggil lagi untuk technical meeting, kali ini tidak di kantor NG, tapi di kantor L’Oreal. Di sana aku ketemu dengan tiga pemenang lainnya, yaitu Indra, Zamroni dan Yudi. Satu pemenang lainnya tidak bisa hadir karena berdomosili di Makassar. Selain itu, kami juga dipertemukan dengan kru Kompas TV, Fitra dari NG, Indarto dari L’Oreal dan dua orang instruktur selam NG yaitu dua bersaudara Glenn dan Michael Sjukrie.













Hari keberangkatan pun tiba. Aku berangkat dari kantor dan berkumpul di tempat yang telah disepakati di bandara Soetta. Begitu semua sudah kumpul, seporsi makan malam pun dibagikan ke seluruh anggota tim. Jadi, total anggota tim adalah sebanyak 15 orang. Kalau disebut satu per satu anggota tim yaitu lima orang pemenang (aku, Indra, Zamroni, Yudi dan Husni), tim dari L’Oreal (Nicholas Saputra dan Indarto), tim dari Teroka Kompas TV (Cahyo Alkantana, Daday, Lawin, Qidqid dan satu lagi lupa namanya), dan tentu saja tim dari NG Indonesia (Vitra serta duo bersaudara NG dive instructor Glenn dan Michael Sjukrie). Praktis, hanya satu cewek dalam tim ini, Qidqid. Menggunakan pesawat Batavia Air Y6-845 kami berangkat dari terminal 1B pukul 22:45 WIB menuju Sorong dengan transit sebentar di Makassar. Di bandara Sultan Hasanuddin kami sempat menikmati secangkir kopi sembari menunggu jadwal penerbangan selanjutnya. Waktu itu memang belum ada penerbangan Garuda menuju ke Sorong. Total perjalanan dari Jakarta menuju ke Sorong ditempuh dalam waktu sekitar 7 jam. Kami tiba di bandara Domine Eduardo Osok, pagi sekitar pukul 08:00 WIT.


Kesan pertama ketika masuk ke areal ruang kedatangan bandara ini adalah, banyak orang yang hitam kulit dan keriting rambut. Ya tentu lah, kan di tanah Papua. Jadi keingat lagu yang didedikasikan untuk masyarakat Papua di film Di Timur Matahari karya Ari Sihasale. Yang jelas, kondisi bandara sangat minim. Cuaca di luar yang hangat telah membelai kulit dengan begitu mesranya. Lapar mendera. Dari bandara kami mampir sarapan di sebuah warung Coto Makassar Bhatta yang terletak di pinggir jalan di seberang pantai. Selanjutnya, kami menuju dermaga penyeberangan privat Usahamina untuk naik speed boat menuju base camp di Kepulauan Raja Ampat.

Kondisi laut sangat bersahabat di pagi yang terik itu. Tiga jam kira-kira lama perjalanan dari kota Sorong menuju ke resort. Aku mencari posisi duduk yang paling nyaman yang masih tersisa untuk sekedar menikmati perjalanan ini. Sebagian anggota tim asyik dengan kamera atau ponsenya masing-masing, bahkan ada juga yang terlelap untuk menuntaskan hutang tidur yang tersita karena perjalanan panjang semalam. Zamroni bahkan berkelakar bahwa tidur selama perjalanan di pesawat sepertinya masih belum cukup baginya yang katanya yang masih dalam taraf pertumbuhan ini.

Speed boat tiba-tiba melambat dan mulai membelok. Tibalah kami di sebuah tempat yang akan menjadi base camp selama even ini. Namanya Raja Ampat Dive Lodge yang terletak di Pulau Mansuar. Kami disambut oleh kru resort yang memakai pakaian adat salah satu daerah di Papua. Namun secara umum resort ini bernuansa Bali. Benar saja, ternyata owner dari resort ini adalah orang Bali. Setelah urusan check-in dan pembagian kamar, kami beristirahat sejenak. Aku kebagian sekamar dengan Zamroni. Selesai makan siang, ada instruksi kalau sore hari nanti akan direncanakan check dive untuk memastikan segala kesiapan peserta dan sesuatu yang perlu dikoreksi. Lokasi yang dipilih adalah di seputaran jetty (dermaga kayu) di depan resort. Setengah jam lebih check dive dilakukan, dan ternyata walaupun lokasinya hanya berada di depan resort tapi ikan dan biota lainnya cukup beragam, walau kondisi karangnya hancur.
















Keesokan harinya, penyelaman yang sebenarnya baru dimulai, walaupun bagiku check dive itu pun aku lakukan dengan serius dan benar-benar memperhatikan prosedur selam. Selama 3 hari ke depan kegiatan diisi dengan menyelam, dengan total penyelaman adalah 11 kali termasuk check dive, dengan formasi penyelaman 1-4-4-2. Titik-titik penyelaman yang direncanakan adalah Arborek Jetty, Manta Sandy Bottom, Yenbuba Corner, Cape Kri, Chicken Reef, Mike’s Point, Kuburan Point, Blue Magic, Mioskon, dan penyelaman terakhir kembali ke Manta Sandy Bottom. Airborek Jetty menawarkan suguhan kekayaan biota di seputar jetty, terutama soft coral dan berbagai jenis ikan. Manta Sandy Botto merupakan sebuah panggung atraksi manta, lokasi ini merupakan lokasi mencari makan bagi manta karena mungkin plankton yang melimpah. Melalui batas yang telah ditentukan, kami berdiam dengan fin pifotting di kedalaman 15 meter. Manta menjadikan lokasi ini sebagai cleaning station bagi mereka. Karang yang terlihat hanyalah dari kelompok boulder di antara hamparan pasir.akan tetapi ikan cukup beragam, terutama yang berinteraksi langsung dengan manta dalam sebuah hubungan simbiosis mutualisme. Yenbuba Corner menampilkan atraksi berbagai jenis ikan yang berasosiasi dengan karang yang cukup beragam di lokasi ini. Cape Kri merupakan lokasi penyelaman dimana berbagai jenis ikan melintas dalam kondisi schooling di satu tempat. Sebut saja, school of jackfish, grouper, snapper, barracuda bahkan black tip-shark juga beberapa kali melintas. Di akhir penyelaman, arus menghantam cukup kuat hingga diperlukan memasang hook. Kami pun berebut posisi untuk menjaga diri dari terpaan massa air agar tidak hanyut. Dalam keadaan yang demikian pun pandangan kami masih terpaut pada pesta pora ikan yang sedang memamerkan kekeluargaan mereka. Mike’s Point terletak di sebuah pulau karang kecil yang memiliki arus cukup kuat, sebuah indikasi bahwa di lokasi itu banyak ikan bermain. Di lokasi ini terdapat goa yang terdapat banyak ular laut, keanekaragaman jenis karang yang menjadikan pemandangan spektakuler dan schooling batfish yang seolah mengajakku bercengkerama. Blue Magic selain memiliki keanekaragaman karang dan ikan yang fantastis juga merupakan habitat dari wobbegong, atau juga dikenal dengan sebutan hiu karpet. Penyelaman di Kuburan Point dilakukan menjelang senja. Walaupun kondisi karang kurang bagus, berkat kejelian dive guide kami diajak menyapa beberapa ekor pigmy seahorse yang berpegangan pada akar bahar. Saking kecilnya, kameraku tidak bisa menangkap fokus ikan yang termasuk dalam keluarga kuda laut ini. Blue Magic yang merupakan bukit karang dengan puncak berada di kedalaman 9 meter di bawah permukaan juga laut memiliki arus yang juga lumayan kencang. Dan di Mioskon juga disajikan keanekaragaman karang dan ikan.



Kelar sudah rangkaian kegiatan penyelaman kali ini. Begitu cepat selesainya, kurang rasanya, tapi cukup terpuaskan dengan tontonan kekayaan ekosistem terumbu karang di salah satu sisi bird-head seascape ini. Walaupun demikian, aku yakin bahwa yang aku lihat sama sekali belum bisa merepresentasikan kekayaan biota laut perairan ini. Jelas saja, penyelaman hanya dilakukan di sekitar Selat Dampier, hanya bagian kecil dari Kabupaten Kepulauan Raja Ampat. Bagaimanapun juga, even ini aku anggap sebagai hadiah terindah dari National Geographic Indonesia dan L’Oreal. Hadiah selanjutnya adalah mengunjungi Wayag, sebuah bentang alam yang menjadi ikon Raja Ampat dan juga kebanggaan Indonesia yang direncanakan esok. Tidak hanya itu, hadiah lainnya adalah kami juga mendapatkan lisensi selam khusus yaitu National Geographic Diver yang berafiliasi dengan organisasi selam internasional PADI.

Tujuan final di Raja Ampat adalah Wayag. Estimasi lama perjalanan dari resort menuju wayag memakan waktu 3 jam dengan speed boat dalam kondisi perairan yang bersahabat. Durasinya akan sedikit lebih lama apabila kondisi laut sedang bergejolak. Itu artinya bahwa jam 6 pagi kami sudah beres sarapan dan bersiap berangkat. Ternyata kurang dari 3 jam kami pun melihat dari kejauhan gugusan kepulauan kecil Wayag. Wayag terletak di ujung utara Kabupaten Kepulauan Raja Ampat. Saat sampai di Wayag, kami harus melapor dulu ke kantor Conservation International. Di jetty stasiun CI, kami cukup terhibur oleh hadirnya beberapa ekor blacktip shark yang dengan tenangnya bermain-main dekat bibir pantai.



Proses perijinan sudah beres, waktunya kembali menuju ke tujuan semula, Wayag. Speed boat memasuki sebuah cekungan yang dikelilingi oleh perbukitan karang. Di salah satu bukit yang telah ditentukan itulah kami akan dibuat merinding oleh kebesaran Sang Maha Kuasa. Di sebuah pantai berpasir putih, speed boat berhenti dan semua penumpang turun ke pantai untuk bersiap mendaki. Iya, mendaki bukit karang. Mencapai puncak Wayag ternyata tidak mudah, seperti sebuah slogan ‘untuk mencapai surga butuh perjuangan dan pengorbanan’. Apalagi setelah tiga hari penyelaman, melalui perjalanan panjang, dan kondisi fisik yang mulai menurun. Bagiku, walaupun jalur pendakian tidak terlalu tinggi dan relatif mudah, namun ternyata hampir membuatku pingsan. Pelan-pelan akhirnya aku pun tiba di puncak bukit. Sejenak mata kupejamkan, mengatur nafas dan bersiap menerima hadiah dari alam. Memang benar apa yang terlihat dari foto-foto di internet tentang Wayag. Hari itu aku berhasil membuktikannya dengan mata kepalaku sendiri, dan mengabadikan dengan kameraku sebagai bahan untuk berbagi kelak. Kami benar-benar merasa terharu, dan terhipnotis oleh surge dunia tanah Papua.



Sampai di sini perjalanan kami dalam even BlackTrail destinasi terakhir 2012, Raja Ampat. Ada dua hal penting bagiku tentang perjalanan ke Raja Ampat. Pertama, ke Raja Ampat kalau tidak menyelam ya lebih baik ke tempat lain yang lebih terjangkau biaya dan waktu. Kedua, ke Raja Ampat kalau belum sampai di puncak Wayag sama saja dengan belum sah. Karena memang begitulah realitanya. Raja Ampat sangat identik dengan kegiatan penyelaman yang melibatkan kekayaan biota lautnya, dan pendakian puncak Wayag yang berarti menangkap eksotisme bentang alamnya. Sebuah warisan anak cucu masyarakat nusantara yang dititipkan kepada saudara-saudara kita di tanah Papua yang harus dijaga bersama. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga keutuhannya. Kalau tidak mulai dari sekarang, kapan lagi kita tergerak untuk menjaga kelestariannya. Dengan retribusi sejumlah Rp. 100.000,- (dan Rp. 250.000,- untuk turis asing) dalam bentuk sebuah pin bagi turis domestik untuk masuk ke wilayah Raja Ampat pun sebenarnya masih terlalu murah dibandingkan dengan kepuasan yang didapatkan. Apapun itu, dengan pengalaman menyelami perairan dan menjejaki tanah Papua ini berarti memperlebar jelajahku mengenal nusantara. Karena trip ke Raja Ampat ini adalah yang pertama bagiku ke wilayah Papua. Dan aku bertekat untuk datang kembali ke Papua di lain waktu, entah di bagian mana dari bumi cenderawasih ini. Sampai jumpa lagi, Raja Ampat. (Some photos take by Mike Sjukrie and Indra Adi Wijaya).

Hitam kulit, keriting rambut, aku Papua…






Bitung, 31032016, 11:22pm
*catatan seorang pejalan

No comments:

Post a Comment