Wednesday, April 20, 2016

Mengintip Jejak Kejayaan Kerajaan Riau di Pulau Penyengat

Beberapa kali aku datang ke kota Tanjung Pinang, ibukota provinsi Kepulauan Riau yang terletak si Pulau Bintan, namun belum sekalipun singgah ke Pulau Penyengat. Di samping karena memang tidak ada alokasi waktu, maklum karena jadwal pekerjaan yang sangat padat hingga larut malam, juga karena kurang paham tentang apa sebenarnya Pulau Penyengat itu. Aku baru mendapatkan keterangan singkat tentang pulau tersebut setelah ketiga kalinya datang ke Tanjung Pinang. Itu pun aku masih belum mendapatkan waktu yang tepat untuk menyeberang. Baru, setelah kali ke empat aku kembali ke Bintan dan kebetulan ada waktu longgar, maka dengan tidak membuang-buang waktu aku langsung berniat untuk ke Pulau Penyengat. Paling tidak, aku punya waktu tiga hari yang agak longgar sepulang setibanya dari perjalanan jauh dari Anambas. Mungkin lebih baik kalau aku menawarkan ke beberapa orang dari rombonganku untuk menyeberang ke Pulau Penyengat, walaupun sebenarnya aku tidak pernah mempermasalahkan kalau harus jadi solo traveler. Sesuai perkiraan, dari delapan teman serombongan yang aku tawari untuk menyeberang, hanya satu orang yang bersedia gabung bersamaku. Ternyata beberapa orang sudah pernah ke Pulau Penyengat, sehingga enggan untuk beranjak kembali. Sedangkan yang lainnya beralasan karena masih ada yang harus dikerjakan atau karena masih merasa lelah setelah perjalanan kapal laut selama 18 jam. Okelah, akhirnya aku hanya berdua saja dengan salah seorang teman yang akan menyeberang ke Pulau Penyengat.



Aku mencoba mencari informasi dari internet mengenai sejarah dan seluk beluk Pulau Penyengat. Pulau Penyengat diketahui mengalami perubahan nama atau dikenal dengan nama lain sesuai dengan masa dan bangsa yang menyebutnya. Pulau Penyengat sudah sejak lama dikenal pelaut sejak beberapa abad yang lampau sebagai tempat persinggahan. Para pelaut yang berlayar di sekitar Selat Malaka tersebut singgah ke pulau ini terutama bertujuan untuk mengisi air tawar sebagai persediaan di kapal mereka. Atas dasar cerita rakyat yang telah diketahui secara turun temurun, nama pulau tersebut disematkan karena adanya sebuah mitos yang berupa pantangan yang berkaitan dengan sumber air. Alkisah diceritakan pada suatu waktu ada seorang pelaut yang melanggar pantangan pada saat mengambil air, seketika itu pelaut tersebut lalu diserang oleh ratusan serangga berbisa semacam lebah. Serangga tersebut memiliki senjata berupa penyengat untuk menyuntikkan bisanya. Bangsa Belanda mengenal pulau ini dengan sebutan Pulau Indera dan Pulau Mars. Tatkala Kerajaan Riau dipusatkan di pulau ini, pulau kecil ini dikenal dengan nama Pulau Penyengat Inderasakti.  


Pulau kecil yang berjarak kurang dari 2 km dari kota Tanjung Pinang diketahui memiliki sejarah yang panjang bagi sejumlah kerajaan atau kesultanan di bagian barat Indonesia, Singapura dan Malaysia. Pulau Penyengat berperan penting dalam jatuh bangunnya Imperium Melayu, yang terdiri dari Kesultanan Johor, Pahang, Siak dan Lingga. Peran penting tersebut dikarenakan kesultanan-kesultanan tersebut karena pengaruh dari Kerajaan Riau yang berdiri sejak tahun 1722. Berdirinya Kerajaan Riau berdiri sebagai buntut dari perang yang memperebutkan tahta Kesultahan Johor antara dua bersaudara keturunan sultan. Pemenang dari perang saudara tersebut kemudian mendirikan Kerajaan Johor-Riau-Lingga karena mendapatkan bala bantuan dari bangsawan Bugis, kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Kota Tinggi di Johor ke Hulu Sungai Carang di Bintan. Sedangkan saudaranya, sebagai pihak yang kalah, akhirnya menyingkir dan kemudian mendirikan Kesultanan Siak di daratan Sumatra.

Setelah pemerintahan Kerajaan Johor-Riau-Lingga berjalan, Pulau Penyengat berperan sebagai pusat pertahanan sekaligus sebagai  kediaman dan pusat pemerintahan dari Yang Dipertuan Muda setelah dipindahkan dari Hulu Sungai Carang. Sementara itu, Yang Dipertuan Besar atau sultan berpindah kedudukan ke Daik, Lingga. Beberapa tahun sebelumnya, Pulau Penyengat sebenarnya merupakan hadiah dari Sultan kepada istrinya yang memungkinkan pulau ini mendapat perhatian yang memadai dari sultan. Yang Dipertuan Muda memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan dengan Yang Dipertuan Besar. Namun demikian Yang Dipertuan Muda memiliki peran penting yaitu mengatur pemerintahan, perekonomian, angkatan perang dan masalah operasional lainnya. Pada awal tahun 1900an, kedudukan Yang Dipertuan Besar akhirnya juga dipindahkan ke Pulau Penyengat. Pemindahan kedudukan ini tentu saja diikuti dengan pembangunan simbol-simbol kekuasaan sultan, antara lain istana, kantor, mahkamah, rumah sakit dan lainnya. Sehingga akhirnya Pulau Penyengat selain dikenal sebagai pusat pemerintahan juga diketahui sebagai pusat agama, adat-istiadat dan kebudayaan Melayu. Pemerintahan Riau-Lingga mengalami antiklimaks pada tahun 1911, yaitu ketika Belanda menurunkan sultan. Sultan dianggap melawan pemerintah kolonial karena menolak menandatangani surat perjanjian. Sementara itu tidak ada seorang pun bangsa Melayu yang bersedia menjadi penerus sultan, bahkan sebagian besar penduduk memilih untuk pindah ke Singapura dan Johor. Belanda akhirnya diambil alih Pulau Penyengat.



Sepeninggal penduduk Pulau Penyengat, tersisa beberapa ratus orang dari 6000an yang pernah mendiami pulau, bangunan-bangunan menjadi terbengkalai dan tidak dapat dihindari penjarahan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung-jawab. Sultan yang kala itu juga telah mengungsi ke Singapura ketika mendengar bahwa Belanda akan mengambil alih simbol-simbol kerajaan, termasuk bangunan dan harta benda lainnya. Sultan kemudian memberikan perintah kepada rakyat yang masih tinggal di Pulau Penyengat untuk menghancurkan simbol-simbol kerajaan tersebut dan menanami lahan yang masih kosong. Tujuannya adalah untuk menghindarkan berpindahnya simbol-simbol kerajaan tersebut ke tangan Belanda. Akibatnya, walaupun masa berakhirnya kerajaan tersebut baru sekitar 100 tahun yang lalu, namun sangat sedikit bukti kejayaan kerajaan tersebut yang tersisa. Bukti yang masih dapat dinikmati hingga kini hanya berupa masjid, empat kompleks pemakaman diraja, dua bekas istana dan beberapa gedung lama, serta benteng dan sumur tua.

Untuk mencapai pulau dengan panjang sekitar 2000 meter dan lebar sekitar 850 meter ini bisa ditempuh dengan menumpang perahu motor untuk penyeberangan reguler selama kurang lebih 15 menit dari kota Tanjung Pinang. Ketika perahu yang kita tumpang tiba di dermaga pulau yang memiliki luas pulau 240 hektar ini, pandangan kita akan langsung tertuju pada sebuah bangunan megah berwarna dasar kuning. Ya itulah Masjid Sultan Riau, salah satu situs peninggalan keraraan yang tersisa dan masih terawat dengan baik. Aku datang ke Pulau Penyengat berbarengan dengan beberapa penduduk lokal yang bekerja di kota Tanjungpinang serta beberapa orang turis lokal. Beberapa pengemudi becak motor menyambut kedatangan para penumpang perahu dan langsung menawarkan jasa untuk berkeliling pulau. Mereka biasanya telah memiliki rute tetap ke berbagai situs wajib selama satu jam dengan harga yang telah ditetapkan. Akan tetapi jika kita ingin lebih lama atau ingin keluar dari rute biasanya, kita bisa nego harga sewa bentor kepada pengemudi. Pengemudi bentor selain sebagai pengantar para turis untuk berkeliling, dia juga dapat berperan ganda sebagai pemandu yang siap memberikan penjelasan dan menceritakan sejarah setiap situs yang didatangi. Di pulau ini memang tidak diperkenankan ada mobil atau kendaraan sejenisnya, sehingga untuk berpindah dari satu situs ke situs yang lain dengan cepat adalah dengan menumpang bentor atau menyewa motor. Kalaupun ingin menikmati pulau ini dengan berjalan kaki, sangat memungkinkan dapat mengelilingi pulau ini kurang dari satu hari dengan berjalan santai. Bukan saja mobil, di pulau ini pun tidak diperkenankan membangun hotel, sehingga jika ingin menginap bisa menumpang di rumah penduduk setempat.




Aku sengaja tidak menyewa bentor ataupun sepeda motor, walaupun sebenarnya tidak punya tujuan khusus mau kemana. Tapi yang pasti begitu menginjakkan kaki di pulau ini, aku bersama temanku langsung menuju ke Masjid Raya Sultan Riau. Masjid yang konon awalnya dibangun oleh Sultan pada tahun 1803 dan dilanjutkan oleh Yang Dipertuan Muda pada tahun 1832 ini memiliki keunikan karena mencampurkan putih telur sebagai bahan perekat untuk dinding. Berhubung aku datang sudah lewat waktu sholat Ashar, dan jadwal sholat Maghrib pun masih jauh, aku pun hanya berkeliling melihat-lihat detail bagian-bagian masjid. Selain bangunan utama sebagai rumah ibadah dan kegiatan keagamaan lainnya, di sekitar masjid juga terdapat beberapa bangunan tambahan, dua diantaranya adalah Rumah Sotoh yang berfungsi sebagai tempat pertemuan. Juga terdapat dua buah bangunan lain berupa balai sebagai tempat untuk menghidangkan makanan yang disediakan oleh pengurus masjid saat diadakan kenduri atau di waktu berbuka puasa. Masjid ini terbuka untuk umum, dalam artian bahwa siapa saja boleh masuk dengan catatan tetap menjaga kesopanan terutama dalam hal berpakaian dan berperilaku. Sebagai contoh, laki-laki yang hanya mengenakan celana pendek tidak diperkenankan memasuki masjid. Pengambilan gambar di dalam masjid pada dasarnya tidak diperbolehkan kecuali ada ijin khusus dari pengurus masjid. Lantaran keterbukaannya, tidak heran jika pada hari minggu atau hari libur jumlah pengunjung yang datang ke masjid ini menembus angka seribu orang. Halaman masjid yang bersih sering kali digunakan bukan hanya untuk kegiatan keagamaan namun juga untuk kegiatan dibidang seni dan budaya, misalnya untuk penyelenggaraan lomba pembacaan syair dan gurindam dua belas.

Tidak disangka, begitu keluar dari kompleks masjid aku melihat seseorang yang sepertinya tidak asing bagiku. Benar saja, sosok yang mengendarai motor bersama dua anak kecil itu adalah seseorang yang telah aku kenal cukup dekat sebelumnya. Dia adalah penduduk lokal Pulau Penyengat. Sebenarnya bukan orang asli dari Pulau Penyengat tetapi menurut ceritanya dia adalah keturunan Bugis yang memang memiliki hubungan yang erat dengan kerajaan Riau. Dalam perantauannya, seorang teman tadi akhirnya menikah dengan keturunan bangsawan kerajaan Riau, dan akhirnya menetap di Pulau Penyengat. Begitu saling melihat, kami pun langsung saling menyapa. Sejurus kemudian, dia menawarkan untuk mengajak keliling pulau dengan meminjamkan sepeda motornya kepada kami sedangkan dia memakai sepeda motor yang lainnya. Aku tidak tahu akan diaja kemana saja, hanya mengikutinya dari belakang. Melintasi pemukiman penduduk asli Pulau Penyengat yang damai. Melintasi perkebunan yang hijau. Dan akhirnya kami pun tiba di salah satu kompleks pemakaman. Di Pulau Penyengat ini paling tidak terdapat delapan kompleks pemakaman para bangsawan yang tersebar di seluruh pulau.



Perjalanan religi kami berziarah ke makam leluhur bangsa Melayu pertama-tama dimulai dari kompleks makam Engku Putri Raja Hamidah. Engku Putri Raja Hamidah yang merupakan anak dari Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau ke IV merupakan istri dari Sultan Mahmud. Mas kawin dari perkawinan tersebut adalah Pulau Penyengat. Dan dari perkawinan tersebut, Engku Putri Raja Hamidah menjadi tokoh penting karena sebagai pemegang amanat alat-alat kebesaran kerajaan yang diperuntukkan dalam penobatan sultan. Di dalam kompleks makam ini juga terdapat makam Raja Ali Haji, seorang bangsawan sekaligus seniman dengan karya besarnya yang berupa Gurindam Dua Belas. Gurindam Dua Belas sendiri sejatinya adalah sebuah petunjuk untuk menjalankan kehidupan sehari-hari yang bertujuan untuk membentuk akhlak mulia dan menegakkan ajaran agama Islam. Selanjutnya, aku diajak menuju ke kompleks makam Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV. Raja Haji Fisabilillah merupakan sosok pahlawan bagi masyarakat Melayu karena kegigihannya dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda, dan selanjutnya oleh pemerintah Republik Indonesia diagugerahi gelar pahlawan nasional. Kemudian kami menuju ke kompleks makam Raja Jakfar, yang merupakan putera dari Raja Haji Fisabilillah dan sekaligus sebagai Yang Dipertuan Muda VI. Pada masa pemerintahan Raja Jakfar inilah pusat kerajaan dipindahkan dari hulu Riau ke Pulau Penyengat sekaligus merubah tatanan Pulau Penyengat laksana kota yang berselera tinggi. Laju sepeda motor selanjutnya menuju ke kompleks makam Daeng Marewah atau juga dikenal dengan Kelana Jaya Putera, ialah Yang Dipertuan Muda I. Kami lalu meneruskan perjalanan menuju ke kompleks makam Daeng Celak, yaitu Yang Dipertuan Muda II sekaligus ayahanda dari Raja Haji Fisabilillah. Perjalanan religi kami diakhiri di ke kompleks makam Raja Abdurrahman, yang tidak lain adalah Yang Dipertuan Muda VII sekaligus pendiri Masjid Raya Sultan Riau. Dari sini, kompleks Masjid Raya Sultan Riau yang terletak di dekat dermaga dapat terlihat samar-samar karena tertutup oleh rimbunnya pepohonan. Di dalam masing-masing kompleks makam tersebut, selain terdapat makam bangsawan juga terdapat makam lain yang merupakan kerabat dan sahabat dekat dari bangsawan yang bersangkutan.



Di sela-sela perjalanan dari kompleks makam yang satu ke kompleks makam yang lain, aku juga diajak untuk singgah di beberapa situs dan bangunan lainnya. Balai Adat Indra Perkasa menjadi salah satu tempat yang sering dikunjungi oleh turis. Bangunan yang berupa rumah panggung khas Melayu, yaitu rumah adat Riau ini merupakan tempat perjamuan untuk menyambut tamu penting dan juga sebagai tempat untuk mengadakan musyawarah. Di dalamnya terdapat perlengkapan adat serta kesenian Melayu yang terdapat pada ruang utama. Bagi yang percaya, air dari sumber yang berada di bagian bawah rumah panggung ini berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit dan membukakan pintu jodoh. Situs lain yang masih dapat dijumpai adalah Istana Raja Ali yang dikenal dengan Istana Kantor, berfungsi sebagai kediaman dan sekaligus kantor bagi Raja Ali Yang Dipertuan Muda VIII. Hingga saat ini kondisi bangunan istana memang sudah tidak utuh, namun dari yang dapat dilihat, bangunan ini masih memperlihatkan kemegahannya di masa lalu. Situs yang tidak kalah nilai sejarahnya adalah Bukit Kursi. Di atas tanah yang paling tinggi di pulau inilah dibangun sebuah benteng pertahanan pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fisabilillah. Beberapa tahun yang lalu, pemerintah provinsi Kepulauan Riau merencanakan pembangunan sebuah monumen dengan nama Monumen Bahasa Melayu di atas tanah bekas benteng. Tujuannya adalah sebagai simbol penghormatan dan penghargaan kepada Raja Ali Haji atas jasa-jasanya dalam bidang bahasa. Namun sampai saat ini pembangunan monumen tersebut belum terealisasi.



Sampai disini perjalananku untuk sedikit mengenal tentang sejarah dan budaya Melayu melalui peninggalan Kerajaan Riau. Sebuah peninggalan besar yang sudah selayaknya diperhatikan oleh pihak-pihak yang terkait. Memang terdengar kabar bahwa sejak sepuluh tahun yang lalu Pulau Penyengat telah diusulkan ke badan PBB yang mengurusi masalah pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO) untuk dijadikan sebagai salah satu situs warisan dunia. Faktanya, jalan untuk mendapatkan status tersebut tidaklah mudah karena berbagai persyaratan yang harus dipenuhi. Satu dekade telah berlalu dan memang Pulau Penyengat tidak masuk daftar penilaian pada pembahasan tahun lalu. Tidak jelas kenapa Pulau Penyengat tidak masuk dalam daftar tersebut, dan itu artinya sampai dua dekade yang akan datang status sebagai situs warisan dunia belum akan disandang oleh Pulau Penyengat. Sangat disayangkan mengingat sebagai asal usul Bahasa Melayu berasal dari sini, dan bahasa tersebut juga digunakan di beberapa negara di Asia Tenggara. Lebih menyedihkan lagi karena Bahasa Melayu saat ini oleh dunia dikenal sebagai bahasa asli Malaysia. Padahal jika status sebagai situs warisan dunia disematkan kepada Pulau Penyengat, maka serangkaian keuntungan akan datang mengikuti selain menegaskan bahwa Bahasa Melayu berasal dari Indonesia, bukan Malaysia. Tempat yang mendapatkan status tersebut akan mendapatkan kucuran dana dari UNESCO untuk pemeliharaan dan pengelolaan. Di sisi lain, lokasi tersebut akan dikenal dunia yang menjadikan nilai jualnya melejit sehingga geliat pariwisata akan lebih bergairah.



Fakta memilukan yang membuat penantian akan status sebagai situs warisan dunia akan lebih panjang lagi setelah terungkap bahwa Pulau Penyengat belum termasuk benda cagar budaya nasional. Dengan tidak adanya status cagar budaya tersebut maka bukti legalitas bahwa Pulau Penyengat dilindungi secara nasional belum ada. Ketiadaan aturan perlindungan tersebut berarti ketiadaan jaminan bahwa situs tersebut masih asli atau sudah mengalami perubahan. Sedangkan keaslian sebuah situs merupakan kriteria yang disyaratkan oleh UNESCO untuk dapat masuk dalam daftar situs warisan dunia. Lebih parahnya lagi, ternyata pemerintah daerah belum menyatakan keseriusannya dalam upaya pengelolaan situs tersebut. Artinya bahwa hal ini menjadi kelemahan tersendiri yang paling mendasar. Pasalnya, UNESCO juga mensyaratkan keseriusan dari pemerintah daerah dan masyarakat dalam upaya pengelolaan sebuah situs sebelum didaftarkan. Berkaca dari fakta-fakta yang ada itulah, semoga ke depannya semoga ada niat dari berbagai pihak yang terkait dalam rangka mewujudkan status Pulau Penyengat sebagai salah satu situs warisan dunia. Dengan harapan bahwa masa keemasan kerajaan Riau dapat dikenal dan dikenang dengan baik, lebih jauh lagi dapat dibangkitkan kembali di jaman modern ini.




Aku menyeberang kembali menuju ke kota Tanjung menjelang senja, dengan membawa beberapa lembar catatan pribadi tentang Pulau Penyengat. Entah untuk siapa catatan tersebut akan kualamatkan, tapi yang jelas kini aku mulai mengerti bahwa tidak mudah untuk belajar sejarah, apalagi mengerti tentang sejarah. Karena pada setiap jaman, sejarah mengalami pergeseran. Dan terjadinya pergeseran tersebut memungkinkan terhapusnya sejarah yang telah lampau. Sekali lagi, harus dimaklumi bahwa sejarah ditulis oleh pihak yang berkuasa, yang berarti bahwa banyak sejarah yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan kebenarannya. Dan biarlah aku menulis sedikit tentang sejarah Pulau Penyengat dengan caraku sendiri sambil menikmati seporsi mie lendir, secangkir kopi O, sepaket otak-otak ikan khas Kepulauan Riau dan juga tidak lupa siput gonggongnya.





Bitung, 05042016, 03:14pm
*catatan seorang pejalan



Monday, April 11, 2016

Sekelumit Cerita tentang Budaya dan Alam Maumere, Flores

Dering ponsel membangunkan tidur siangku di kamar kos yang hanya didinginkan oleh kipas angin. Matahari di siang itu memang cukup terik, membuat suasana pinggiran Bogor tidak bersahabat untuk melakukan aktivitas di luar ruangan. Maunya bermalas-malasan di privat room sambil bersantai, bahkan kalau perlu tidur. Tapi ajakan untuk ke Sikka waktu itu cukup membuat semangatku timbul kembali. Apalagi kegiatan utama ke Sikka tersebut adalah menyelam. Tapi tunggu, ada yang aku lupa tanyakan. Sikka itu di mana? Mungkin karena poin pentingnya adalah menyelam jadinya aku tidak terlalu memperdulikan lokasi pastinya. Sejurus kemudian, aku baru mulai mencari-cari informasi mengenai di manakah lokasi Sikka itu. Dan ternyata lokasinya adalah di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mimpi apa aku waktu tidur siang tadi ya. Kalau memang terealisasi, itu artinya bahwa ini adalah kesempatanku untuk kedua kalinya menginjakkan tanah di Flores. Tahun 2003 dulu aku juga pernah ke Flores, tapi bukan ke Sikka dan bukan untuk menyelam. Waktu itu aku yang masih mahasiswa semester 6 tergabung bersama tim amdal sistem irigasi di beberapa lokasi di Flores. Selama seminggu plus perjalanan berangkat dan pulang aku bekerja di daerah pegunungan, hutan dan sungai. Menginapnya pun di kota tertinggi di Flores, Ruteng, yang memiliki cuaca dingin. Jadi, praktis tidak ada hubunganku dengan pekerjaanku saat ini. Bahkan sama sekali tidak melihat laut kecuali waktu berada di atas pesawat saat berangkat dan pulang kembali ke Surabaya.


Tahap selanjutnya yang harus aku persiapkan adalah alat selam dan segala sesuatu yang sekiranya nanti kubutuhkan saat berada di Sikka. Di samping menanyakan detail kegiatan kepada anggota tim dan peralatan yang diperlukan, seperti biasa aku melakukan riset kecil-kecilan mengenai seluk beluk daerah yang akan aku tuju. Rekomendasinya lumayang beragam, tapi ada satu lokasi yang langsung menarik perhatianku, Danau Kelimutu. Danau yang memilliki 3 warna air yang berbeda-beda berubah secara periodik tergantung jenis jasad renik yang dominan di perairan danau. Danau Kelimutu identik dengan uang lima ribu rupiah di era 90an. Uang tersebut suasananya memang sangat kental dengan Pulau Flores karena di sisi lain uang kertas itu juga ditampilkan salah satu alat musik tradisional dari tanah Flores, Sasando, tepatnya dari daerah Rote. Sedangkan danau Kelimutu sendiri terletak di daerah Ende, yaitu di puncak gunung Kelimutu dan merupakan kawah dari gunung tersebut. Nuansa Flores pada uang rupiah bertahan selama 9 tahun dari tahun 1992 hingga akhirnya diganti dengan nuansa tanah Sumatra pada tahun 2001. Sayang sekali, baik Danau Kelimutu maupun Rote jaraknya cukup jauh dari kota Sikka. Sehingga kemungkinan untuk singgah ke kedua tempat tersebut sangat kecil.













Semua perlengkapan untuk pekerjaan dan untuk traveling sudah siap, tinggal menunggu jadwal keberangkatan saja. Salah satu yang menjadi kendala dalam kegiatan outdoor adalah hujan. Bulan April kiranya merupakan waktu yang cukup ideal buat traveling, setidaknya hujan sudah tidak sering turun. Musim kemarau pun belum tiba, sehingga siang hari pun harusnya belum terlalu panas. Seperti banyak diberitakan di berbagai media bahwa Flores merupakan salah satu wilayah di negeri ini yang memiliki suhu yang paling panas di kala musim kemarau. Tidak pelak lagi, saat puncak kemarau, banyak titik di wilayah ini yang terlihat cokelat karena padang ilalang yang mongering. Tapi justru savana ilalang nan luas yang mongering itu justru yang menjadi daya tarik tersendiri untuk Flores dan kepulauan Sunda Kecil secara umum.

Melalui Denpasar, kami berangkat dari Jakarta menuju Sikka. Memang harus transit di Denpasar karena tidak ada pesawat langsung, itupun harus berpindah maskapai. Sungguh tidak menyenangkan kalau dalam perjalanan harus memakai dua atau lebih maskapai yang berbeda. Pertama karena aku berangkat bersama tim dengan barang bawaan yang tidak sedikit. Perbedaan maskapai berarti harus bolak balik ngurus bagasi, pekerjaan jadi lebih banyak. Kedua karena kemungkinan jadwal penerbangan yang mengalami perubahan secara sepihak dari salah satu maskapai. Jika memang terjadi perubahan jadwal di penerbangan pertama, bisa dipastikan penerbangan selanjutnya akan mengalami gangguan, bahkan tidak menutup kemungkinan gagal terbang karena terlambat. Apalagi kalau jadwal dari dua penerbangan tersebut tidak terpaut terlalu lama, sangat riskan mengalami batal terbang. Tapi begitulah realita pelayanan transportasi udara ke kota-kota kecil di luar pulau Jawa. Sebagai antisipasinya maka perlu dipertimbangkan untuk menginap satu malam di kota transit. Resikonya tentu saja jumlah hari perjalanan menjadi lebih lama, dan itu artinya memerlukan biaya ekstra terutama untuk akomodasi.

Pesawat jenis Foker yang membawaku dan tim mendarat di bandara Frans Seda di Maumere, Sikka. Cuaca siang yang cukup terik langsung membuat kulit protes. Sebelum menuju penginapan, kami singgah di sebuah rumah makan dengan menu masakan Padang. Panas-panas begini paling pas memang minum jus. Seporsi jus alpukat rasanya kurang dan terpaksa sebotol air mineral turut menghanyutkan ikan bakar dan daging rendang yang sudah lebih dulu kandas di dalam sistem pencernakanku. Usai makan siang, sambil nunggu anggota tim lainnya menyelesaikan urusannya, aku sengaja keluar dari rumah makan untuk sekedar mengamati suasana perkotaan. Kesan pertama yang muncul di benakku adalah sebuah pertanyaan, inikah pusat kotanya? Terntyata memang benar. Aku sedang berdiri di pusat kota Maumere, ibu kota kabupaten Sikka. Jika dibandingkan dengan di Jawa, tingkat keramaiannya mungkin setara dengan kota kecamatan di kabupaten  yang tidak terlalu besar. Memang tidak tepat membandingkan dengan di Jawa, jadi tidak perlu disbanding-bandingkan.




Wajah orang Flores ini memang khas. Walaupun serumpun sama orang Maluku, tapi tetap memiliki perbedaan mendasar perbedaannya. Pulau yang sempat mengheboskan di awal dekade 2000an oleh penemuan fosil manusia purba ini mayoritas pendudukanya beragama Katolik yang taat. Seperti halnya di beberapa daerah lain, hari minggu merupakan hari ibadah, itu artinya kebanyakan toko tutup di hari minggu. Geliat perekonomian baru kembali bergairah di sore hari menjelanjelang senja. Saat mobil yang membawa rombonganku jalan menyusuri perkampungan di hari minggu, nampak para penduduk memenuhi jalanan sepulang dari gereja. Aku jadi teringat waktu ke Ruteng di bulan Maret 2003 yang lalu. Saat menginap di salah satu penginapa di kota dingin itu, ada pemandangan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Ketika rombonganku akan keluar untuk makan malam, ternyata jalanan penuh dengan masyarakat yang sedang berpawai. Sebuah arak-arakan dengan membawa lilin dengan diiringi oleh semacam puji-pujian keliling kota melewati jalanan yang sengaja dikondisikan dalam suasana gelap. Beberapa waktu lamanya baru akhirnya aku mendapat penjelasan dari salah satu staf hotel bahwa pawai tersebut dalam rangka perayaan paskah. Aku sama sekali awam dengan hal ini, karena dari kecil hingga menjelang lulus kuliah tinggal di lingkungan yang tidak merayakan paskah. Dari pemandangan ini, aku bukan melihat dari sisi agama tapi dari sisi turisme. Dan memang ternyata perayaan paskah di beberapa kota di Flores menjadikan ritual keagamaan sebagai salah satu andalan untuk menarik turis untuk berkunjung. Bahkan aku pernah mendengar bahwa Flores dikenal sebagai salah satu sentral umat Katolik di Indonesia. Salah satu buktinya adalah adanya keuskupan agus di Ende. Yang menarik lagi, Sri Paus Yohanes Paulus II sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik dunia kabarnya pernah ke Maumere pada tahun 1989.

Maumere sebagai ibukota kabupaten Sikka memang cukup unik. Penduduk semakin beragam karena semakin banyak pendatang dari etnis Bugis, Jawa, China, Maluku dan lainnya yang membaur dengan penduduk asli yang mayoritas, yakni orang etnis Timor. Sebaran penduduk sebagian besar berada di pantai utara. Di samping karena daratannya yang landai, kondisi lautnya relatif tenang sehingga memungkinkan nelayan untuk melaut sepanjang waktu. Dulu sebenarnya penduduk tidak terkonsentrasi di daratan induk Pulau Flores saja, tetapi juga di beberapa pulau kecil di sebelah utara kota Maumere. Sebelum akhirnya gempa dahsyat yang yang berpusat di Larantuka di ujung timur Flores yang kemudian diikuti dengan tsunami memporak-porandakan perkampungan penduduk di pulau-pulau kecil tersebut. Sebagian besar mereka tidak bisa menyelamatkan diri dari maut, sedangkan yang masih diberikan kesempatan hidup akhirnya mengungsi ke daratan induk dan menetap membentuk perkampungan baru. Aku ingat saat kejadian itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang sedang terjadi. Di samping itu juga karena berita di media massa tidak segencar dan secepat saat ini. Siaran televisi yang ada pun hanya TVRI, itupun siaran televisiku hanya bisa dinikmati kalau aki masih ada strumnya yaitu lima hari dalam seminggu karena di kampungku waktu itu belum ada listrik. Jangan berbeda dengan yang terjadi saat gempa dan tsunami di Aceh. Pada hari itu juga berita sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia, dan hanya dalam beberapa hari bantuan sudah antri untuk masuk. Mungkin juga karena jumlah korban jiwa maupun korban material saat gempa dan tsunami di Maumere tidak sebanyak saat gema dan tsunami di Aceh.

Secara toponimi atau sejarah tata namanya, Maumere berasal dua kata dari bahasa Ende yaitu Ma’u yang berarti pelabuhan dan Mere yang berarti besar. Pemberian nama tersebut sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan Sikka. Raja Sikka pada waktu itu, Don Cosmo Semao Da Silva mengutus orang kepercayaannya yang bernama Moang Juang Korung Da Cunha untuk menjaga dan mengatur sebuah pelabuhan yang sarat pedagang bernama Alok Wolokoli. Saat menjalankan tugas dari kerajaan inilah Don Cosmo Semao Da Silva kemudian membangun perkampungan di daerah pantai sekitar cekungan teluk yang kini dikenal sebagai  Teluk Maumere. Nama-nama orang lokal Maumere dan Flores secara umum mirip dengan nama orang Portugis. Ini karena Flores saat jaman kolonial dikenal sebagai salah satu daerah pendudukan bangsa Portugis. Layaknya bangsa-bangsa Eropa lainnya, Portugis datang ke Flores untuk mempeluar daerah jajahan berkedok perdagangan. Dalam misi perdagangan ini, umumnya diboncengi oleh para misionaris yang bertugas untuk menyebarkan ajaran agama. Tidak pelak lagi, cukup banyak ditemukan peninggalan kolonial Portugis di tanah Flores. Sealin berupa simbol-simbol kekuasaan yang berupa benteng, tentu saja berupa simbol-simbol keagamaan berupa rumah ibadah. Aku berkesempatan melongok ke sebuah gereja tua, Gereja Tua Sikka, yang berarsitek khas Eropa di salah satu kampung di bagian pantai selatan Sikka. Gereja yang dirancang oleh perancang gereja katedral Jakarta ini dibangun pada era akhir 1800an itu masih dipertahankan bentuk aslinya, walaupun sudah beberapa kali mengalami pemugaran. Sayang sekali, aku tidak memiliki banyak waktu untuk melihat sisa-sisa kekuatan pertahanan serdadu Portugis di Flores.


 










Dalam perjalanan, di sebuah sudut jalanan aku melihat seorang ibu dan beberapa anak kecil sedang menjajakan buat srikaya, berharap ada pengguna jalan yang membeli buah yang sepertinya baru dipetik dari kebunnya. Berhubung aku sangat gemar makan buah, aku minta ijin ke rombongan dan minta agar sopir berhenti sejenak. Sebanyak 3 kilo buah srikaya dibeli dan dibawa ke penginapan. Ternyata tidak hanya ibu tadi yang menjajakan buah sirsak di pinggir jalan. Paling tidak ada empat atau lima orang yang jaraknya berjauhan. Aku jadi ingat waktu menjelajahi pantai selatan Jogja, tepatnya di daerah Gunung Kidul. Jika waktunya, buah srikaya sangat melimpah di sana, bahkan bisa dibilang nggak laku dijual karena saking banyaknya. Di Sikka mungkin jumlahnya tidak sebanyak di Gunung Kidul sehingga harganya relatif mahal. Atau mungkin dengan harga segitu sudah termasuk murah mengingat harga barang-barang di sini terhitung mahal. Maklum, sebagian besar kebutuhan masyarakat didatangkan dari luar daerah, terutama dari Surabaya. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab di kota yang terletak cekungan pulau Flores ini bertebaran mobil ber plat L alias nomor polisi Surabaya. Di sepanjang jalan menuju penginapan, entah berapa kali aku melihat mobil dari berbagai jenis yang ber plat L. Setibanya di penginapan, ranumnya buah srikaya menggoda imanku untuk segera menjamah dan menikmatinya. Hari yang panas seperti ini makan buah srikaya di pantai depan penginapan yang kebetulan posisinya memang menghadap ke laut itu pasti nikmat, pikirku. Benar saja, buahnya laris manis tak bersisa ketika teman-teman serombonganku ikut nimbrung menyerbu buah yang dalam bahasa daerah disebut dengan buah nona ini.



Satu lagi, Maumere memiliki kekayaan budaya yang tak ternilai harganya, yaitu kain tenun ikat Sikka yang khas dari daerah sini. Kain tenun ikat Sikka dikenal berkualitas tinggi karena disamping bahan benang dan pewarnanya yang alamiah juga dibuat dengan teliti oleh tangan-tangan trampil. Bahan pembuat benang dan pewarna untuk kain tenun ikat tersebut merupakan hasil dari bumi Maumere. Pengerjaan untuk satu lembar kain tenun ikat memerlukan waktu hingga delapan bulan lamanya sehingga memerlukan ketelitian dari penenunnya. Warna kain tenun ikat Sikka biasanya didominasi oleh kuning, merah, biru dan cokelat yang semuanya dari bahan pewarna alami. Bahan pewarna tersebut biasanya didapatkan dari akar berbagai macam tumbuhan seperti kunyit untuk mendapatkan warna kuning, kakao untuk mendapatkan warna cokelat, , sono untuk mendapatkan warna cokelat kekuningan, ketapang untuk mendapatkan warna hitam, indigo untuk mendapatkan warna ungu, pinang atau mengkudu untuk mendapatkan warna merah, saron untuk mendapatkan warna keemasan, suji untuk mendapatkan warna hijau, kulit manggis untuk mendapatkan warna biru dan lainnya. Kain tenun ikat Sikka yang asli adalah tersusun oleh benang yang dipintal sendiri oleh penduduk dari kapas yang juga ditanam oleh mereka. Walaupun dengan semakin terbukanya jalur perdagangan tidak bisa dihindarkan membanjirnya benang dari luar. Tidak pelak lagi, banyak beredar kain tenun ikat Sikka yang memiliki kualitas rendah karena berbahan sintetis. Untuk masalah harga, dengan tingkat kesulitan dalam proses pembuatan dan dari segi bahannya, kain tenun ikat Sikka tergolong murah.

Kain tenun ikat Sikka menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat asli Sikka, sudah menjadi budaya yang turun temurun. Kain tenun ini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, baik untuk keperluan hidup sehari-hari maupun untuk acara-acara yang bersifat khusus. Saat melintas di jalanan di Sikka, jangan heran kalau sebagian masrayakat setempat mengenakan kain tenun ini. Bukan hanya kaum ibu saja yang mengenakan kain tenun ini, tetapi juga kaum bapak, bahkan anak-anak. Kain tenun kadang dipakai seperti orang Jawa dengan saat memakai kebaya, kadang juga digunakan untuk melindungi diri dari terik matahari maupun debu. Saat menjalankan ritual keagamaan di gereja pun masyarakat Sikka memakai kain tenun ikat Sikka atau baju yang berbahan dasar kain tenun. Dan yang paling mencolok adalah saat diadakan acara pernikahan, pemakaman atau acara adat lainnya, kain tenun menjadi bagian yang wajib ada. Sekali lagi, kain tenun ikat Sikka adalah kekayaan budaya masyarakat Sikka dan sekaligus kekayaan nusantara yang mendunia.



Aku berkesempatan melihat rangkaian proses pembuatan kain tenun ikat Sikka di sebuah kampung di tepi pantai selatan. Dengan menempuh perjalanan sekitar 18 km dari pusat kota Maumere, akhirnya aku beserta rombongan tiba di kampung penenun kain tenun ikat Sikka. Di salah satu lokasi yang sepertinya telah disiapkan sebagai semacam tempat workshop untuk menyambut turis yang ingin melihat langsung proses pembuatan kain tenun ikat, terlihat beberapa orang menyambut kami. Suasana yang begitu sempurna tersaji, di tepi pantai dengan angin yang berhembus damai, di bawah rindang pepohonan kelapa dan keramahan penduduk. Lebih dari 30 orang yang berada di areal workshop tersebut, namun mereka tidak lantas berebut menyerbu turis yang datang. Mungkin sudah diorganisir dengan sedemikian rupa oleh sebuah kelompok, sehingga suasana begitu terkendali. Kami langsung diarahkan menuju bagian-bagian yang masing-masing merepresentasikan tahapan untuk membuat kain tenun. Mulai dari bagian pemintalan benang kapas, pencelupan benang atau pewarnaan, pembentukan motif, hingga penenunannya itu sendiri. Sejumlah mama, sebutan umum untuk ibu-ibu di kawasan timur Indonesia, sudah berada di posisi masing-masing untuk memperagakan bagian dari proses penenunan. Seorang guide dengan lancar menjelaskan setiap tahapan penenunan dan menjawab semua pertanyaan turis baik yang berkaitan dengan bahan maupun proses. Sekali lagi, apa yang mereka perlihatkan begitu rapi. Tidak mungkin kalau tidak diorganisir. Salut lah buat mereka. Semua yang terlibat dalam pekerjaan ini adalah kaum perempuan, sedangkan kaum laki-laki mengerjakan pekerjaan lain, terutama berkebun atau sebagai nelayan. Setelah selesai, barulah ibu-ibu lain yang sedari tadi hanya duduk-duduk di luar lokasi workshop mulai menyerbu kami dengan menawarkan barang dagangan mereka masing-masing. Bukan hanya kain tenun tapi juga beberapa kerajinan tangan lainnya dari kayu atau dari cangkang keong laut juga ditawarkan. Aku pun membeli, walaupun cuma satu lembar kain tenun dan satu lembar syal, sebagai bentuk penghargaan atas budaya tradisional masyarakat lokal sekaligus sebagai kenang-kenangan dari tanah Flores.




Maumere, geliat perekonomian dan pembangunannya memang terlihat sangat lambat. Namun demikian, harapan kemajuannya terbuka lebar di waktu yang akan datang. Tersedianya bandar udara terbesar di Pulau Flores, pelabuhan terbesar di Pulau Flores yang disinggahi kapal-besar besar dan santernya isu pembentukan provinsi baru semakin membuka peluang itu. Iya, provinsi Flores yang sudah diusulkan ke pemerintah pusat masih dalam proses realisasi. Dan Maumere lah kota yang digadang-gadang paling layak menjadi calon ibukota provinsi tersebut. Posisi kota Maumere yang terletak di tengah-tengah Pulau Flores semakin meningkatkan posisi jual sebagai pusat pemerintahan provinsi. Saingan terberatnya adalah kota Ende yang memiliki sejarah penting karena pernah menjadi lokasi pembuangan Presiden Soekarno, sekaligus memiliki posisi penting dalam bidang keagamaan karena sebagai keuskupan agung. Bagaimanapun juga, jika pembentukan provinsi baru itu terealisasi, baik ibukotanya di Maumere maupun Ende, kemajuan daerah ini tentunya akan semakin dapat diwujudkan. Maumere oh Maumere, namamu semakin dikenal karena belakangan ini ada lagu tentang Maumere yang cukup populer. Sikka oh Sikka, kapan ya aku punya kesempatan ke sana lagi. Flores oh Flores, eksotisme alam hadiah dari Yang Kuasa. 



Sebagai penutup aku meminjam ungkapan masyarakat Flores Timur / Lamaholot untuk menggambarkan budaya masyarakat Flores secara umum: Ola tugu, here happen, ILua watana, Gere Kiwan, Pau keha heka ana, Geleka lewo gewayan, toran murin laran, yang artinya: bekerja di ladang, mengiris tuak, berkerang (mencari siput di laut), berkarya di gunung, melayani / memberi hidup keluarga (istri dan anak-anak), mengabdi kepada pertiwi / tanah air, menerima tamu asing.
    
 
   


Bitung, 05042016, 03:14pm
*catatan seorang pejalan