Tuesday, October 13, 2015

Bukittinggi: Perpaduan Indah alamnya dan Kentalnya Sejarah Paris van Sumatra (Fort de Kock)

Menara Jam Gadang
Sesuai dengan namanya, Bukittinggi sebagian wilayahnya merupakan daratan perbukitan. Bukittinggi, namanya menegaskan posisinya, sudah bukit yang secara jelas merujuk pada sesuatu yang tinggi, ditambah dengan kata tinggi pula. Bukittinggi, sebuah wilayah yang terletak di salah satu sudut Bukit Barisan yang membentang dari ujung utara sampai bagian selatan Pulau Sumatra. Suasananya yang asri dengan sebagian wilayahnya berupa hutan lindung, udaranya yang sejuk karena berada pada ketinggian di atas 900 mdpl dan bentang alam berbukit-bukit dan berlembah yang menyenangkan, serta diapit oleh dua buah gunung berapi yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Marapi. Tidak salah jika kota ini disebut sebagai Paris van Sumatra. Dari wilayah perkotaan, terlihat kedua gunung tersebut berdiri dengan gagahnya seolah-olah menjaga keutuhan kota. Karena kemiripannya, kota ini juga disebut-sebut sebagai saudara kembar (sister city) dari kota Seremban di Negeri Sembilan, Malaysia. Di awal kemunculannya, kota Bukittinggi semula merupakan pasar mingguan bagi masyarakat Agam Tuo, yang kemudian berkembang pesat menjadi kota (stadsgemeente) setelah kedatangan penjajah Belanda. Bahkan karena berkembang dengan begitu pesatnya akhirnya berubah fungsi menjadi ibukota  Afdeeling Padangshce Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam. 

Salah satu sudut di pedesaan Bukittinggi
Pada masa pendudukan Belanda, Bukittinggi pada tahun 1828 dikenal dengan sebutan Gemetelyk Resort. Karena suasananya yang begitu menyenangkan dengan iklim yang sesuai untuk ukuran orang Eropa, oleh Belanda kawasan ini dijadikan sebagai salah satu pusat pemerintahan sekaligus tempat peristirahatan para opsir. Nama Bukittinggi pernah dikenal dengan nama Fort de Kock. Fort de Kock sendiri sebenarnya adalah nama sebuah benteng peninggalan Belanda yang berada di Bukit Jirek. Seiring dengan berjalannya waktu, lambat laun tumbuh dan berkembang pemukiman di sekitar benteng hingga menjadi sebuah kota, yang dikenal dengan nama Fort de Kock, kini Bukittinggi. Fungsi utama pembangunan benteng ini adalah untuk pertahanan kubu Belanda dari gempuran rakyat Minangkabau pada masa Perang Padri (1821 – 1837). Perang Padri sendiri sebenarnya bukan perang antara Belanda melawan penduduk pribumi antar kelompok adat dan kelompok agama, tetapi perang saudara penduduk pribumi yang disusupi oleh Belanda. 

Persawahan yang subur simbol kemakmuran
Hingga kini, masih bisa ditemukan beberapa meriam di sekitar benteng yang menjadi saksi sejarah peristiwa yang terjadi di wilayah ini. Benteng ini dibangun sebelum di Jawa mulai berkecamuk Perang Diponegoro yang konon membutuhkan biaya yang hampir membuat tentara Belanda bangkrut. Atas komando Kapten Bouer sekitar tahun 1825, atau pada masa Baron Hendrik Merkus de Kock sewaktu menjadi komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jendral Hindia Belanda, oleh karenanya benteng ini dinamakan Fort de Kock. Masa penjajahan Belanda berakhir seiring dengan kekalahannya oleh tentara Jepang. Akan tetapi kemasyuran kota Bukittinggi tidak begitu saja luntur bersama tentara Belanda yang mulai angkat kaki. Jepang menjadikan kota Bukittinggi sebagai pusat pengendalian pemerintahan militer untuk kawasan Sumatra, Singapura, bahkan sampai Thailand. Saking istimewanya, Bukittinggi dijadikan sebagai tempat kedudukan komandan militer ke 25 Kempetai di bawah pimpinan Mayor Jendral Hirano Toyoji. Perubahan penguasa berakibat pada perubahan nama kota, dari yang semula bernama Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Shao. Oleh Jepang wilayah kota kemudian diperluas dengan memasukkan beberapa nagari (desa) disekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah.

Tanah dataran tinggi yang yang subur menjadi latar belakang pembentuk budaya Bukittinggi yang menawan

Nama Bukittinggi begitu istimewa bagi perjalanan sejarah Negara RI. Sejarah bangsa ini tidak bakal dapat dilepaskan dengan salah satu kota di tanah minang ini. Bukittinggi pernah menjadi sebuah kota yang sangat penting di masanya. Kota terbesar kedua di Sumatra Barat ini pernah dijadikan sebagai ibukota negara pada masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia, pernah menjadi ibukota provinsi Sumatra, pernah menjadi pernah ibukota provinsi Sumatra Tengah, dan juga menjadi ibukota provinsi Sumatra Barat. Pada tanggal 19 Desember 1948 kota Bukittinggi berfungsi sebagai ibukota negara dengan status Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Peristiwa pemindahan ibukota negara tersebut dilakukan setelah Yogyakarta yang menjadi ibukota negara jatuh ke tangah Belanda saat agresi militernya. Tanggal tersebut lalu ditetapkan sebagai Hari Bela Negara oleh pemerintah berdasarkan keppres tanggal 18 Desember 2006. Awalnya Sumatra hanya terdiri dari satu provinsi, dan Bukittinggi lah yang menjadi ibukota provinsi. Namun, peta pemerintahan dan wilayahnya mengalami dinamika yang relatif cepat di tahun 50 an. Saat menjadi ibukota provinsi Sumatra Tengah (tahun 1956), wilayahnya meliputi beberapa karesidenan seperti Sumatra Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau. Kini karesidenan-karesidenan tersebut telah berkembang menjadi provinsi sendiri. Peta wilayah terus berkembang, selanjutnya setelah Sumatra Barat ditetapkan menjadi provinsi, ibukota provinsi kemudian dipindahkan ke kota Padang. Faktanya memang status ibukota provinsi telah dipindahkan dari kota Bukittinggi ke kota Padang sejak tahun 1958, namun di atas kertas stastus tersebut baru resmi pada tahun 1978 dengan adanya Peraturan Pemerintah. Layaknya seorang tokoh besar yang mempunya beberapa nama lain atau julukan, kota Bukittinggi walaupun kota kecil namun tercatat menyandang beberapa nama julukan. Beberapa julukan bagi kota ini selain Fort de Kock dan Paris van Sumatra antara lain Kota Pendidikan, Kota Jam Gadang, Kota Wisata, Kota Sejarah, Kota Tri Arga, Kota Jasa dan Perdagangan, Kota Pelayanan Kesehatan, Kota Dahlia, Kota Perjuangan, serta Kota Kuiner. Beberapa kuliner yang sangat akrab bagi pengunjung kota Bukittinggi diantaranya nasi kapau, katupek pical, dan tentu saja rendang yang ditetapkan sebagai makanan terlezat di dunia beberapa waktu yang lalu. Saking terkenalnya kelezatan masakan minang kota Bukittinggi, kawasan ini dijuluki sebagai the paradise of culinary.

Jalanan yang mulus menuju kota Bukittinggi
Membanggakan. Itu mungkin sebuah kata yang bisa menggambarkan betapa kota ini  memang patut untuk dibanggakan, baik oleh masyarakat lokal maupun nasional. Betapa tidak, sederet nama dikenal dalam skala nasional, bahkan internasional, dikaitkan dengan Bukittinggi. Sejumlah tokoh nasional lahir, atau minimal pernah menghabiskan sebagian masa hidupnya di kota ini. Sebut saja Abdoel Halim (Perdana Menteri Indonesia, Pahlawan Nasional), Abdulgani (Direktur Utama Garuda Indonesia), Aisjah Girindra (World Halal Council), Arif Arryman (Penasehat Senior Menko Ekuin), Asvi Warman Adam (Sejarawan, Peneliti LIPI), Ayub Rais (Saudagar), Dahlan Djambek (Pejuang Kemerdekaan, Menteri Kabinet PRRI), Datuk Halim Thantawi (Konglomerat, Pendiri HIPMI), Dino Patti Djalal (Duta Besar Indonesia, Juru Bicara Presiden), Elprisdat M. Zen (Ketua Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik TVRI), Emirsyah Satar (Dirut Garuda Indonesia), Fazwar Bujang (Dirut Krakatau Steel), Hasnul Suhaimi (Presdir XL Axiata), Hasyim Djalal (Duta Besar Indonesia, Ahli Hukum Laut Internasional), Hasyim Ning (Pejuang Kemerdekaan, Konglomerat), Hazairin (Menteri Indonesia, Ahli Hukum Adat), Irwan Sjarkawi (Presiden Komisaris Bakrie and Brothers), M. Fuad Basya (Kepala Pusat Penerangan TNI), Maizar Rahman (Sekjen OPEC, Ketua Dewan Gubernur OPEC), Mohammad Hatta (Proklamator, Wakil Presiden, Pahlawan Nasional), Mursyid Bustami (Dirut RS Otak Nasional), Rizal Satar (Presdir PricewaterhouseCoopers FAS), Samsuridjal Djauzi (Dirut RS Dharmais, Guru Besar FKUI), Sotion Ardjanggi (Dirjen Aneka Industri Depperin, Ketum Kadin), Srahril Sabirin (Senior Financial Economist World Bank, Gubernur BI), Syarifah Nawawi (Pejuang Pendidikan Perempuan Indonesia), Yasirwan Uyun (Dirut TVRI), Yunahar Ilyas (Ketua MUI, Ketua PP Muhamaddiyah, Guru Besar UMY), Zulharmans (Ketua Umum PWI, Anggota DPR RI). Dan pastinya masih banyak yang lain.

Pemukiman di wilayah kota Bukittinggi
Bukan kebetulan aku mengenal kota Bukittinggi. Sudah lama aku mendengar kemasyurannya, membaca beritanya, mengikuti sejarahnya, sampai berangan-angan tentang realitanya. Sampai beberapa tahun yang lalu, Bukittinggi menjadi salah satu lokasi yang masuk dalam daftar yang ingin aku datangi. Pucuk di cinta ulam pun tiba, kalau sudah rejekinya nggak akan kemana. Kesempatan untuk ke Bukittinggi pun datang juga, saat aku terima telfon beberapa hari setelah lebaran. Sebenarnya, tujuan ke Bukittinggi bukan untuk berwisata atau ber haha hihi sambil duduk ongkang-ongkang kaki, tapi untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Sebenarnya juga, tawaran pekerjaannya bukan untuk ke Bukittinggi, tetapi ke pulau-pulau kecil di seberang kota Padang. Lagipula kerjaanku memang hampir selalu berhubungan dengan laut, sementara Bukittinggi berada di pegunungan. Jadinya kalau ingin ke Bukittinggi ya harus meluangkan waktu di luar waktu kerja. Aku memberanikan diri untuk menjadwalkan ke Bukittinggi karena biasanya dalam satu trip kerjaanku ada sisa dua sampai tiga hari untuk istirahat dan menyusun laporan sementara sebelum kembali ke kantor. Pekerjaan di lapangan sudah selesai, laporan sementara sudah kelar, beres-beres perlengkapan lapangan pun sudah oke, selanjutnya adalah merealisasikan keinginan menikmati indahnya kota Bukittinggi. Perjalanan di mulai dari kota Padang. Jarak antara kota Padang dengan kota Bukittinggi tidak terlalu jauh. Waktu tempuh perjalanan sekitar dua sampai tiga jam jika kondisi lalu lintas lancar. Akan berbeda ceritanya jika perjalanan dilakukan pada akhir pekan atau bertepatan dengan hari libur. Beberapa ruas jalan akan mengalami kemacetan sehingga menjadikan waktu tempuh semakin molor. Tersedia angkutan umum yang cukup memadai yang menghubungkan kedua kota tersebut. Namun jika ingin privasi dan agar lebih leluasa mendatangi destinasi-destinasi menarik engan menyewa mobil. Berhubung perjalananku menuju ke Bukittinggi bertepatan dengan hari pasar di suatu negeri (desa), terpaksa aku beserta rombongan harus rela bermacet ria hingga beberapa jam lamanya. Berangkat dari Padang jam 9 pagi, dan baru tiba di Bukittinggi menjelang jam 2 sore.

Air terjun Lembah Anai di pinggir jalan
Pengunjung air terjun yang cukup padat













Di tengah perjalanan, aku bersama rombongan singgah untuk beberapa waktu di sebuah air terjun yang letaknya berada tepat dipinggir jalan, air terjun Lembah Anai. Anggota rombongan yang sebagian besar sudah pernah ke Bukittinggi sudah mengetahui keberadaan air terjun tersebut. Sementara aku baru mengetahuinya dari obrolan di mobil setelah berangkat dari Hotel Padang. Aku hanya menerka, kira-kira seperti apa penampakan dari air terjun tersebut. Sama sekali tidak terpikirkan olehku untuk mencoba mencari tahu lewat internet. Aku biarkan imajinasiku mengembara liar membayangkan indahnya air terjun tersebut. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa jalanan mulai menanjak, di kanan dan kiri mulai diwarnai dengan lembah dan gunung, serta suhu udara yang kian terasa sejuk. Menurut obrolan tadi, itu artinya bahwa air terjun tersebut sudah kian dekat. Mobil diparkir pada tempat yang telah disediakan, dan segera semua anggota rombongan berhamburan keluar dari mobil. Ada yang langsung menuju ke air terjun, ada yang membelokkan arah kaki ke beberapa toko oleh-oleh dan jajanan khas setempat yang berjajar di pinggir jalan di sekitar air terjun, dan tentunya ada pula yang sibuk mencari toilet. Suasana di kawasan air terjun pagi itu lumayan ramai, karena kebetulan waktunya berbarengan dengan musim liburan sekolah. Tidak pelak lagi, banyak remaja yang kemungkinan adalah pelajar SMP dan SMA silih berganti berpose di depan air terjun. Beberapa orang terlihat asik menceburkan diri di dinginnya air terjun, sebagian lainnya sibuk ber selfie dengan ponselnya, atau foto grup dengan gayanya masing-masing. Memang, air terjunnya bisa dikatakan bagus, tapi kalau penuh sesak oleh pengunjung seperti itu menurutku jadinya terlihat kurang menarik. Dengan ketinggian sekitar 30 meter, kabarnya air terjun ini tidak pernah kering, hanya debitnya yang sedikit berkurang saat musim kemarau. Selain posisinya yang berada di samping jalan raya dan juga alirannya memotong jalan, di depan air terjun ini juga membentang rel kereta api. Karena posisinya tersebut, hampir dipastikan para pelancong terutama yang dari luar daerah yang melintas akan menyempatkan diri untuk singgah dan menikmati sejuknya suasana di sekitar air terjun.


Hidangan di Nasi Kapau Uni Lis
Perjalanan menuju ke Bukittinggi kembali dilanjutkan, pemandangan di sepanjang perjalanan sungguh sayang untuk dilewatkan, dan rasanya lebih sempurna lagi perjalanan ini karena ditemani beberapa jenis cemilan khas masyarakat Minangkabau. Setibanya di Bukittinggi, tujuan pertama adalah mencari tempat makan siang. Kami langsung menuju ke sebuah tempat makan di sebuah pasar, Pasar Lereng yang merupakan bagian dari Pasar Atas Bukittinggi dan tentu saja dengan menu utama nasi kapau. Letak destinasi wisata kuliner ini sebenarnya berada di sebuah lahan miring. Namun sudah ditata sedemikian rupa selama puluhan, mungkin ratusan, sehingga terasa nyaman walaupun untuk menjangkaunya harus menuruni anak tangga yang lumayan tinggi. Terdapat juga pasar tradisional dan pasar baju bekas layak pakai yang menurut informasi sudah dikenal luas oleh masyarakat minang, bukan saja masyarakat di Bukittinggi tetapi juga di daerah lain. Ternyata, tidak hanya satu dua warung saja yang menawarkan nasi kapau, tapi puluhan, dengan menu dan penyajian yang cenderung seragam. Nasi Kapau Uni Lis merupakan yang paling tersohor namanya karena kono warung inilah yang menjadi perintis sejak tahun 1970an dan hingga kini cita rasanya tetap terjaga. Satu demi satu menu ditawarkan kepada kami. Seperti halnya masakan padang lainnya, lauk pauk yang disajikan di warung nasi kapau juga identik dengan masakan pedas, bersantan, berbumbu yang kental dan tentu saja berkolesterol tinggi. Satu yang paling unik dari cara penyajian di warung makan nasi kapau adalah pada sendok kuah santan yang memiliki ukuran tangkai tidak lazim. Jika biasanya panjang tangkai sendok kuah kurang dari 30 cm, yang ini panjangnya bisa mencapai 80 cm, mungkin ada yang lebih.

Pintu masuk utama ke goa Jepang
Vandalisme di dalam goa Jepang
Setelah makan siang, tujuan selanjutnya adalah menuju sebuah goa peninggalan tentara Jepang. Goa yang dimaksud bukan merupakan goa yang terbentuk oleh proses alam, tetapi dibuat sebagai bagian dari sistem pertahanan. Goa ini berada di bawah kota Bukittinggi dengan salah satu ujungnya berada di bibir tebing menuju lembah Ngarai Sianok. Untuk masuh ke dalam goa Jepang tersebut, atau orang lokal menyebutnya sebagai lobang Jepang, setiap pengunjung dikenai biaya retribusi dari Dinas Pariwisata setempat. Seliain itu, setiap pengunjung yang datang secara berkelompok wajib didampingi oleh pemandu wisata yang keberadaannya juga atas koordinasi dari Dinas Pariwisata. Mula-mula, kami diberikan penjelasan umum mengenai bagian per bagian dari goa tersebut, kemudian masuk menyusuri rute yang telah ditentukan. Sang pemandu seperti sudah mengenal betul dengan seluk-beluk setiap bagian dari goa, dengan cekatan dia menjelaskan dan menjawab setiap pertanyaan yang kami lontarkan. 

Kera ekor panjang yang banyak dijumpai di sekitar goa
Kesan yang aku dapatkan, kondisi goa cukup terjaga dan terlihat banyak perbaikan di sana sini. Fasilitas pendukung pun terlihat dibangun, termasuk lampu penerangan, papan informasi, cctv, dan perangkat keamanan lainnya. Walaupuan pengoperasionalannya terlihat tidak berjalan sebagai mana mestinya dan yang paling memprihatinkan adalah terlihat adanya vandalisme, corat-coret yang dilakukan oleh tangan jahil yang menyasar ke fasilitas yang disediakan. Begitu keluar dari mulut goa di pintu yang berbeda dengan pintu masuk, kami disambut oleh kawanan kera ekor panjang. Keberadaan kera ini sudah sangat akrab dengan penduduk dan pengunjung goa, bahkan seolah-olah menunggu uluran tangan berupa makanan dari pengunjung. Di kompleks goa ini juga berderet bangunan kios oleh-oleh khas Minangkabau, kebanyakan berupa kerajinan tangan.

Pemandu wisata sedang memberi penjelasan
Fasilitas penerangan yang cukup memadai













Menara pandang Ngarai Sianok
Destinasi berikutnya adalah menuju ke salah satu lokasi yang juga menjadi ikon Bukittinggi, yaitu Ngarai Sianok. Keberadaan ngarai ini sangat tersohor ke seluruh penjuru tanah air, bahkan dari obrolan dengan salah seorang teman yang berasal dari Malaysia, ketenaran Ngarai Sianok juga sudah lama samapi di negeri tetangga tersebut. Posisi Ngarai Sianok berada tepat dipinggiran kota Bukittinggi dimana salah satu view point untuk menikmatinya berada di dekat pintu masuk pintu goa Jepang. Tersedia juga sebuah menara pandang yang berada di atas goa Jepang yang sangat cocok untuk menikmati panorama Ngarai Sianok dengan latar belakang Gunung Marapi, terutapa pada saat menjelang matahari tenggelam. Didasar ngarai, terdapat sebuah sungai yang memiliki aliran yang cukup besar dengan air jernih dan lumayan dingin. Sekedar mencuci muka dengan air dari aliran sungai tersebut cukup membuat badan segar setelah seharian berkeliling kota Bukittinggi. Di beberapa titik di tepian sungai tersebut, masyarakat setempat memanfaatkan aliran airnya sebagai sumber pengairan persawahan. Damai rasanya berada di areal persawahan yang terletah di tepian sungai, sambil menikmati angin sore yang mulai terasa dingin. Angina yang berhembus cukup kencang karena mengalir dari gunung melalui dasar ngarai yang diapit oleh tebing kapur di samping kiri dan kanannya. Sebenarnya ada satu lokasi lagi yang disediakan sebagai lokasi view point Ngarai Sianok dari sisi lain, yaitu Great Wall. Namun kami batal mendatangi lokasi tersebut karena waktu sudah terlampau sore dan sebagian dari kami sudah tidak mampu untuk melewati jalan mendaki tersebut.



Aliran sungai di lembah Ngarai Sianok
Satu sisi Ngarai Sianok dilihat dari menara pandang













Menara Jam Gadang
Belum lengkap rasanya ke Bukittinggi kalau belum ke menara Jam Gadang, walau sekedar foto-foto di sekitarnya saja, karena memang kami tidak diijinkan untuk masuk. Menara setinggi 26 meter ini dulunya dibangun sebagai penanda kota Bukittinggi (nol kilometer) dan menjadi ikon kota tersebut hingga sekarang. Jam Gadang merupakan sebutan yang merujuk pada empat buah jam berukuran besar yang berada di keempat sisi menara. Kata Gadang dalam bahasa Minangkabau berarti besar, seperti halnya Rumah Gadang yang berarti rumah atau bangunan yang berukuran besar. Yang menarik lagi, menurut sejarah Jam Gadang didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda dan merupakan produk terbatas (limited edition) dari sebuah pabrik jam di Jerman yang bernama Vortmann Relinghausen pada tahun 1892. Di dunia, pabrik jam yang dimaksud hanya membuat dua, satu untuk Big Ben (Inggris) dan satunya lagi untuk Jam Gadang (Hindia-Belanda). Jam Gadang sendiri dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada sekretaris Fort de Kock, Rook Maker. Yazid Rajo Mangkuto, arsitek yang putra daerah Bukittinggi membuat atap berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke timur, mungkin sesuai dengan yang diinginkan oleh pemerintah. Pergantian penguasa membuktikan turut mempengaruhi arsitek Jam Gadang, terutama hiasan pada atapnya. Terbukti bahwa pada masa pendudukan Jepang, atap Jam Gadang dirubah menjadi berbentuk pagoda. Kemudian pada masa pemerintahan kita, walau perubahannya baru dilakukan pada tahun 2010, atap Jam Gadang tersebut kembali mengalami perubahan menjadi bentuk gonjong atau seperti atap rumah adat Minangkabau. 

Menara Jam Gadang seiring dengan perkembangan jaman menjadi jantung kota Bukittinggi yang ikonik

Museum Bung Hatta di sekitar kompleks Jam Gadang
Suasana di seputaran menara yang pembangunannya menghabiskan dana yang cukup fantastis pada waktu itu (sekitar 3000 Gulden) cukup semarak mulai pagi hingga larut malam. Puncak keramaian terjadi pada sore hari menjelang matahari tenggelam hingga selepas jam makan malam. Dan pada hari minggu atau hari libur nasional pengunjung biasanya jauh lebih banyak. Kondisi ini tentu menjadi lahan bagi para pedagang asongan, tukang foto keliling, dan kawan-kawannya untuk mengais rejeki di seputaran taman Menara Jam Gadang. Taman yang asri, berada di pusat kota, pemandangan yang tergolong mewah, ditambahi dengan sejarah yang cukup penting menjadikan tempat ini sangat ideal untuk bersantai. Apalagi tidak jauh dari kompleks menara Jam Gadang berdiri sebuah bangunan yang didedikasikan kepada salah satu pahlawan nasional yang juga sebagai bapak proklamator, Bung Hatta. Saying sekali kedatanganku ke Bukittinggi relatif singkat dan momennya kurang pas sehingga tidak berkesempatan untuk masuk ke dalam Museum Bung Hatata. Namun hal itu tidak serta merta mengurangi makna kedatanganku ke Bukittinggi secara signifikan, karena suasana yang seistimewa ini terlalu berharga untuk sebuah penyesalan karena tidak dapat masuk ke dalam museum. Suasana yang memang sangat ideal, dan suasananya menjadi lebih pas saat menjelang petang, duduk santai sambil menyeruput secangkir kopi hitam dan kentang atau pisang goreng di kafe yang banyak terdapat di sekitar Jam Gadang.

Salah satu pusat oleh-oleh makanan khas Bukittinggi
Pingin rasanya menginap di Bukittinggi, menghabiskan malam di kota impianku ini, tapi aku harus menunda keinginanku itu untuk sementara ini. Perjalanan kembali ke kota Padang pun dimulai sebelum hari terlalu malam karena ada beberapa persinggahan lagi yang akan kami tuju. Sebelum jauh meninggalkan kota Bukittinggi, kami singgah di salah satu toko oleh-oleh khas kota ini yang cukup terkenal. Sebenarnya tidak hanya satu toko, tapi ada beberapa toko yang umumnya menjual makanan khas, seperti sanjai atau kripik singkong balado dan semacamnya. Bukittinggi dan kota-kota lain di Minangkabau ini memang surganya kuliner, banyak sekali ragamnya dan umumnya dengan rasa bumbunya yang kuat serta kebanyakan berselera pedas. Puas dengan segala macam oleh-oleh makanan ringan khas Bukittinggi, perjalanan kami berlanjut menuju sebuah rumah makan dengan sajian utama berupa sate padang, Rumah Makan Sukur. Dibandingkan dengan semua sate padang yang pernah aku makan, citarasa sate pada di rumah makan ini memang paling lezat. Apalagi dengan minuman penutup berupa jus pinang muda atau pinang muda hangat yang rasanya agak sepat. Tidak mengherankan jika mantan presiden SBY beserta rombongan pernah menjadikan rumah makan ini sebagai rujukannya ketika berkunjung ke Bukittinggi. One day trip yang sempurna ini ditutup dengan perjalanan menurun melalui jalanan berlika-liku menuju kota Padang. Sebelum tengah malam, mobil yang kami sewa sudah memasuki pelataran hotel tempat kami menginap. Puas rasanya, dan jika ada kesempatan lagi, aku tidak akan pernah merasa bosan mengunjungi Bukittinggi. Hanya macet lah mungkin yang dapat merusak trip ke Bukittinggi yang telah disusun.














Padang, 4 September 2014


*Catatan Seorang Pejalan

3 comments: