Thursday, July 23, 2015

Sapaan Hangat dari Whale-Shark, Raksasa Penghuni Triton Bay

Senja kala itu, kapal KM Airaha 2 milik Akademi Perikanan Sorong telah merapat di sekitaran Pulau Namatotte, Kaimana. Terhitung, itu hari ke 12 pelayaranku bersama tim peneliti dari IRD Perancis, LIPI, dan beberapa instansi lokal tanah Papua. Sebelumnya, kami sudah berlayar lebih dari 50 jam dari Sorong menuju Kaimana, dan telah melakukan penyelaman di beberapa lokasi di wilayah perairan kabupaten di Papua Barat ini. Saat memasuki teluk yang terbilang lebar itu, deretan lampu yang terang benderang bagaikan pasar malam di tengah laut telah menyapa di kejauhan. Kenapa banyak lampu yang membentuk sejumlah koloni di tengah laut? Jawabannya adalah karena di situ bediri bagan-bagan tempat menangkap ikan puri. Bagan-bagan tersebut sebenarnya adalah semacam kapal kayu yang didesain sedemikian rupa sehingga memiliki struktur bangunan yang memungkinkan kapal tersebut menggelar jaringnya. Bagan, atau tepatnya kapal bagan tersebut diparkir dengan jangkar tertancap pada posisi yang telah ditentukan oleh pemilik bagan. Setiap bagan memiliki sejumlah lampu yang dinyalakan dari sebuah generator. Lampu-lampu tersebut memiliki tingkat penerangan yang cukup untuk mengundang ikan-ikan kecil semacam teri, yang dalam bahasa lokal disebut ikan puri. Tujuan peletakan bagan yang sebenarnya adalah menangkap ikan puri.  Tapi biasanya ada beberapa biota lain yang ikut tertangkap sebagai tangkapan sampingan, antara lain beberapa jenis ikan lain serta cumi-cumi. Ikan puri sendiri sebenarnya merupakan umpan pancingan untuk ikan yang lebih besar semisal ikan cakalang. Hampir setiap pagi, beberapa kapal penangkap ikan cakalang datang ke bagan untuk mengambil ikan umpan.



Adanya penerangan dari lampu tidak hanya mengundang ikan puri dan plankton. Nah, ikan puri dan plankton itulah yang pada akhirnya yang menarik perhatian Whale-Shark untuk datang secara periodik ke bagan tersebut. Lagipula, hampir setiap pagi atau setiap ada kapal yang ambil ikan puri, penjaga bagan biasa menghamburkan ikan puri ke arah Whale-Shark tersebut. Kebiasaan seperti ini nampaknya sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan dialami secara turun-temurun oleh Whale-Shark. Sehingga kesan yang timbul makhluk raksasa ini sebagai hewan piaraan, teman sekaligus sumber hiburan tersendiri bagi para penjaga bagan. Ada semacam ketergantungan dari hiu jinak tersebut terhadap uluran tangan penjaga bagan. Sama halnya dengan yang terjadi di kebanyakan tempat wisata perairan yang menawarkan memberi makan ikan saat snorkeling, seperti yang terjadi di Bali dan Lombok. Dari sisi ekologis, hal itu jelas menyalahi kodrat. Logikanya, sedikit banyak akan merubah perilaku sang biota. Dapat dibayangkan apabila kegiatan memberi makan tersebut tiba-tiba dihentikan sama sekali setelah berlangsung bertahun-tahun, mungkin secara psikologis biota-biota liar tersebut akan mengalami gangguan. Bahkan tidak mungkin akan terjadi kemungkinan terburuk, kematian, karena makanan yang biasanya tersedia sudah tidak ada lagi. Bagi Whale-Shark sendiri, secara alamiah dalam jaring-jaring makanan peranannya adalah sebagai pemakan ikan-ikan kecil dan plankton.


Whale-Shark? Whale apa Shark? Whale (paus) dan Shark (hiu) adalah dua makhluk yang kekerabatannya sangat jauh. Satunya keluarga mamalia, satunya lagi keluarga ikan. Nah, lantas kenapa disebut Whale-Shark? Usut punya usut, ternyata makhluk yang satu ini memang memiliki perawakan yang mirip paus (whale), tapi sebenarnya adalah keluarga hiu (shark). Whale-Shark (Hiu-Paus), atau oleh masyarakat Papua biasa disebut dengan nama Gunaro Bintang, dalam struktur tata nama memiliki nama ilmiah Rhincodon typus. Di berbagai tempat di Indonesia, Whale-Shark memiliki beberapa nama lokal antara lain Hiu-Bodoh, Hiu-Geger Lintang dan Hiu-Bintang. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah mungkin makhluk ini merupakan bentuk peralihan antara ikan dan mamalia, atau sebaliknya? Ilmu pengetahuan dan teknologi mungkin bisa menuntun kita pada jawaban yang tepat. Ilmu pengetahuan tentang biologi, evolusi, dan filogeni beserta analisis dan teori-teori yang berkaitan dalam takaran yang pas akan menyediakan jawabannya. Jika dengan analisis dan teori belum memberikan jawaban yang maksimal, tentunya teknologi akan sangat mendukung. Banyak tools yang bisa diaplikasikan, dengan memanfaatkan bantuan dari teknologi sekuensi DNA misalnya. Dewasa ini, pemanfaatan ilmu genetik dengan sekuensi DNA sudah berkembang dengan sangat pesat. Dengan batuan tool ini pula banyak spesies baru yang telah dideskripsikan, banyak hubungan kekerabatan antar biota yang sudah diungkapkan, bahkan hubungan nenek moyang antar individu dalam satu spesies yang tersebar di seluruh dunia.


Secara umum di perairan Papua, ada dua tempat yang telah diketahui menjadi habitat Whale Shark, yaitu di Namatotte, Triton Bay (Kaimana) dan di Kwatisore, Taman Nasional Teluk Cendrawasih (Nabire). Keduanya menjadi tempat mencari makan Whale-Shark karena sama-sama dimanfaatkan untuk meletakkan bagan penangkap ikan puri. Di Triton Bay ini, kisah tentang Whale-Shark sudah cukup lama diketahui. Sudah cukup banyak liputan media maupun tulisan tentang keberadaan makhluk anggun ini. Whale-Shark sebenarnya belum lama menjadi incaranku dalam berpetualang, mengingat kemungkinan untuk mewujudkannya sangat kecil. Bahkan baru sekitar dua tahun terakhir ini aku bisa dikatakan baru mengenal istilah Whale-Shark, walaupun sebelumnya pernah bertemu di aquarium milik salah satu eksportir biota hias di Jakarta. Pada akhirnya, aku benar-benar diperkenalkan dengan kisah tentang Whale-Shark oleh beberapa kesempatan yang tidak terencana. Aku teringat cerita seru saat ngobrol tentang Whale-Shark di Kwatisore dengan salah seorang public figure. Dia adalah Cahyo Alkantana, yang seorang diver, fotografer, videografer, sekaligus penggiat speleology, punya hobi paramotor, dan sekaligus host di salah satu acara petualangan di salah satu televisi swasta nasional. Dengan berapi-api Om Cahyo menceritakan kisah Whale-Shark Kwatisore saat kami bergabung dalam kegiatan penyelaman bersama di Raja Ampat. Dari cerita pembuatan video dan pengambilan foto Whale-Shark di Kwatisore hingga mempopulerkannya dalam sebuah film dokumenter, aku sudah terbawa dalam serunya berpetualang bersama sang raksasa. Tidak berhenti sampai disitu, waktu pertemuan dengan om Cahyo di acara Deep and Extreme Indonesia dan di acara peringatan 125 tahun National Geographic kembali aku dicekokin dengan cerita tentang Whale-Shark Kwatisore. Sedangkan cerita tentang Whale-Shark Triton Bay lebih banyak aku dapatkan dari kawan-kawan di Conservation International (CI) dan The Nature Concervancy (TNC). Kedua NGO internasional tersebut memang terbilang aktif dalam upaya pelestarian biota dan kawasan.


Kedua kisah tentang Whale-Shark di tanah eksotik Papua ini membuatku semakin penasaran dan ingin segera bertualang bersama. Dan akhirnya, rasa penasaran dan keinginan tersebut terwujud saat mengikuti joint research antara IRD (Prancis) – LIPI – Apsor di perairan Kabupaten Kaimana. Sebelum dapat melihat Whale-Shark, kru kapal KM Airaha 2 menuju ke bagan yang berada paling luar di mulut teluk untuk memastikan informasi mengenai Whale-Shark di malam itu. Informasi yang didapat, Whale-Shark biasanya ‘diberi makan’ di waktu fajar, atau saat kapal yang mengambil ikan puri biasa datang. Informasi lainnya, tidak boleh ada penyelam di sekitar bagan karena gelembung udara yang dikeluarkan oleh penyelam akan mengganggu keberadaan Whale-Shark. Selain itu, penjaga bagan menyarankan untuk membeli ikan puri jika ingin melihat Whale-Shark lebih lama, dengan cara menghamburkan ikan puri secara bertahap. Kenapa harus membeli, ternyata alasannya karena saat itu harga ikan puri sedang tinggi lantaran sedang tidak musim.


Keesokan harinya, selepas subuh semua tim bersiap menuju ke bagan tempat Whale-Shark biasa muncul. Tim yang akan ikut berjumlah 21 orang yang dibagi dalam dua perahu karet, terdiri dari lima orang penyelam, 14 orang hanya snorkeling, dan sisanya adalah motoris. Loh kok masih ada penyelam? Yang tidak diperbolehkan adalah penyelaman menggunakan SCUBA equipment, sedangkan mereka melakukan penyelaman menggunakan CCR equipment yang tidak menghasilkan gelembung udara. Usut punya usut, ternyata tidak ada larangan penyelaman menggunakan perlengkapan selam SCUBA. Larangan yang dimaksudkan di atas adalah yang dibuat oleh ketua rombongan, dengan maksud agar di dalam tidak terlalu padat oleh penyelam, sehingga proses pembuatan video tidak terganggu oleh penyelam lain maupun oleh gelembung udara. Awalnya aku sedikit kecewa dengan larangannya, tapi akhirnya tetap enjoy menikmati kebersamaan dengan sang primadona. Aku tergabung dengan teman-teman yang melakukan snorkeling.


Setibanya di dekat bagan, terlihat beelasan orang sedang sibuk di sebuah kapal yang ternyata ada kapal penangkap cakalang yang mengambil ikan puri. Beberapa orang di antaranya sudah tanggap dengan maksud kami datang ke bagan tersebut, mereka berteriak ‘dia ada di sebelah kanan’. Setelah perahu karet berhenti, kami pun segera turun ke air. Aku justru bertanya-tanya karena salah seorang teman yang sudah terlebih dahulu turun bilang kalo air keruh dan tidak ada apa-apa. Benar saja, setelah aku turun pun tidak melihat apapun sampai sekitar sepuluh menit kemudian. Yang terlihat hanyalah ratusan, mungkin ribuan, ikan puri yang sebagian besar telah mati yang melayang di air yang keruh. Keruhnya air tersebut ternyata diakibatkan oleh padatnya sisik ikan yang telah lepas dari badannya. Yang dinanti-nantikan pun akhirnya muncul juga dari dalam. Sang raksasa yang bergerak sangat anggun muncul dari kegelapan Teluk Triton menuju ke arahku. Entah berapa lama mata ini tidak berkedip seolah belum percaya bahwa ini adalah nyata. Detak jantung ini, berdegup sangat kencang, antara rasa kagum yang teramat bercampur dengan rasa kuatir jikalau ditabrak makhluk sebesar itu. Kalau kekhawatiran digigit memang hampir tidak ada, karena sudah sedikit memahami pola makannya.



Aku hanya terdiam dan membiarkan diri didekati oleh sang idola, sampai akhirnya dia berbelok ke arah gerombolan ikan puri ketika menjelang sampai ke permukaan. Sementara itu, anggota tim yang lain sedang asyik dengan kekagumannya masing-masing, baik yang sedang menyelam maupun yang hanya snorkeling. Kebanyakan mereka disibukkan dengan kamera, memfoto dan memvideokan dari berbagai sisi. Aku, hanya datang dengan alat perekam di otak karena memang kameraku sudah rusak saat penyelaman malam di lokasi sebelumnya. Namun aku sedikitpun tidak kecewa karena tidak bisa mengabadikan momen perjumpaan dengan Whale-Shark, tapi justru dengan demikian aku bisa memfokuskan diri untuk mengaguminya tanpa disibukkan dengan kamera. Di beberapa kesempatan, aku bahkan bisa dengan leluasa membelai kulit punggungnya, memegang siripnya, dan mengikuti gerakan gemulai dari kibasan ekornya. Aku sempat merasa miris karena ternyata bagian sirip dada kanannya terluka, kemungkinan bekas tercabik oleh serangan hiu. Lubang menganga selebar lebih dari 20 cm tersebut kelihatannya sudah ada sejak beberapa hari sebelumnya. Saking penasarannya, aku mencoba memegang sirip punggungnya, dan aku pun dibawanya berenang seolah menungganginya untuk beberapa saat sambil mengamati luka itu. Apa yang telah kulakukan memang tidak disarankan untuk alasa etika, baik sekedar mengelus kulitnya, apalagi sampai menungganginya. Akan tetapi ada pengecualian untuk alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, terutama untuk penelitian, hal-hal semacam itu masih diperbolehkan. Beberapa orang dari anggota tim terlihat sedang berusaha mengambil sampel dari daging maupun kulit Whale-Shark untuk keperluan analisis DNA.


Selain apa yang telah aku dan para penjaga bagan lakukan tadi, sebenarnya masih banyak perlakuan-perlakuan yang sebenarnya tidak seharusnya diterima oleh sang biota secara terus-menerus. Misalnya, kontak dengan para penyelam ataupun pesnorkeling yang melakukan pengambilan foto maupun video. Lambat laun perilaku alamiah dari biota akan berubah, tidak hanya berlaku untuk Whale-Shark saja namun semua biota. Sayangnya, hal-hal semacam ini sudah menjadi sarana hiburan bahkan untuk kepentingan komersial. Buktinya, sehari sebelum kami tiba di lokasi pengamatan Whale-Shark, seorang penjaga bagan memberitahukan bahwa ada peliputan biota eksotis tersebut dari salah satu stasiun televisi swasta nasional. Aku yakin, setiap bulan minimal ada tiga kali kegiatan yang berkaitan dengan keberadaan Whale-Shark. Artinya bahwa keberadaan manusia sudah menjadi hal yang biasa bagi satwa liar tersebut.


Dalam beberapa kesempatan aku memiliki harapan, apapun dan bagaimanapun kisah tentang Whale-Shark di perairan Triton Bay dan Papua secara keseluruhan, semoga makhluk yang sudah langka ini keberadaannya tetap lestari di habitat alaminya. Aku tidak ingin apa yang kulihat dan kagumi saat ini hanya tinggal cerita generasi lalu bagi anak cucu nantinya. Aku yakin semua orang pasti juga akan mengamini harapan aku itu.  Lagi pula, pemerintah dan dunia internasional sudah menetapkan aturan keras mengenai pemanfaatan hiu secara umum. Sampai ketemu di lain waktu, wahai sang raksasa…
(beberapa foto merupakan sumbangan dari: Gilles di Raimondo, Prancis)



Kaimana, 01112014, 10:42pm




*catatan seorang pejalan

Saturday, July 11, 2015

Saksi Bisu Murka Alam Tanah Rencong, Tragedi di Penghujung Tahun

Menara di depan Masjid Raya Baiturrahman
Pesawat yang membawaku terbang melakukan beberapa manuver saat mengitari perbukitan berkabut sebelum tinggal landas. Kedua kaki ini menginjakkan tanah di Bandar udara Sultan Iskandar Muda di suatu siang yang panas itu. Sekaligus sebagai tanda bahwa itu adalah pertama kalinya aku menjejakkan kaki di tanah Andalas, yang berarti bahwa daya jelajahku mengitari nusantara semakin luas. Bagian barat Indonesia memang belum pernah aku datangi sebelumnya, termasuk Pulau Sumatra dan Kalimantan bagian barat. Padahal, sebelumnya beberapa kali aku telah memiliki kesempatan untuk datang ke pulau yang pernah menyesatkan pelayar dari Eropa ratusan tahun silam, di kira sebagai India. Tetapi banyak hal yang menghalangi, yang kemudian menyebabkan aku gagal untuk berangkat kesana. Kakakku yang telah merantau ke Banda Aceh sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu tidak disangka bertemu dengan pujaan hatinya, kemudian menikah dan berdomisili di sana. Baru kali ini aku berkesempatan untuk singgah dan menikmati suasana sebuah wilayah paling barat negeri ini yang konon sangat kental dengan nafas islaminya, yang kemudian disebut sebagai negeri serambi Mekah. Syariat Islam menjadi sumber utama dari semua tatanan dalam setiap sendi kehidupan masyarakat di sana, termasuk yang paling mencolok adalah aturan pemakaian jilbab bagi setiap perempuan ketika beraktivitas di luar rumah.


Bendera parta lokal
Aceh, merupakan sebuah provinsi yang sebelumnya bernama Daerah Istimewa Aceh kemudian pada jaman pemerintahan presiden Gus Dur berubah nama menjadi Nangroe Aceh Darussalam. Dengan segala kesucian yang melekat padanya namun tetap memiliki masa lalu yang kelam, mulai dari isu adanya ladang ganja sampai konflik yang melibatkan gerombolan separatis yang menamakan diri mereka sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tidak berhenti di situ saja ternyata, cerita kelam tentang Aceh berlanjut hingga terjadinya peristiwa yang mengguncang dunia di suatu penghujung tahun. Lebih dari 200.000 nyawa melayang akibat tersapu gelombang tsunami yang dahsyat akibat gempa bumi yang menggetarkan tanah di sepanjang pantai barat Pulau Sumatra. Sebagian tubuh yang telah tak bernyawa tersapu hingga entah berapa jauh, sebagian lain tidak pernah diketemukan sampai saat ini. Tidak sedikit juga yang masih hidup tapi kehilangan beberapa anggota tubuhnya, menderita cacat fisik seumur hidupnya. Banyak di antara mereka yang dalam hitungan detik menjadi yatim piatu, menjadi sebatang kara, menjadi tuna wisma dan menjadi pengangguran.

Salah satu panorama sesaat sebelum turun hujan di tepian pantai di bagian utara kota Banda Aceh


Bentang alam tanah Aceh yang berbukit
Pergerakan lempeng bumi dalam rangka mencari kestabilan itu memang memang disadari sebagai peristiwa alam yang wajar terjadi kapanpun dan dimanapun. Namun letak masalahnya adalah kapan dan dimana peristiwa itu terjadi tidak akan pernah dapat dijawab oleh seluruh professor di seluruh muka bumi ini. Begitulah kira-kira yang terjadi di pagi ketika peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat Aceh dan seluruh dunia. Semua terjadi secara tiba-tiba, berlalu dengan begitu cepatnya, tidak memberikan kesempatan bagi siapapun untuk mengelak dari musibah. Peristiwa besar yang mengingatkanku pada lagu yang pernah dinyanyikan oleh Boomerang yang dipersembahkan untuk gempa dahsyat yang terjadi beberapa tahun sebelumnya di salah satu sudut Pulau Flores, Larantuka. Namun kejadian waktu itu tidak seheboh kejadian yang terjadi di Aceh, di samping karena pemberitaan belum bisa secepat waktu gempa dan tsunami Aceh juga karena korban jiwa yang ditimbulkan tidak sebanyak di Aceh.


Bentor mudah dijumpai di beberapa kota di Sumatra
Peristiwa yang kemudian menarik perhatian dunia yang dibuktikan dengan banyaknya bantuan yang datang ke tanah rencong tersebut tidak selamanya menjadi momok buruk bagi masyarakat disana. Perlahan namun pasti masyarakat berusaha bangkit dari trauma yang menghilangkan harta benda dan nyawa saudara-saudara mereka. Paling tidak, kelak sejarah baru dengan adanya kesepakatan damai yang ditandatangani oleh GAM, damai tercipta di bumi Aceh. Rasa senasib dan sepenanggungan serta persaudaraan yang pada akhirnya membawa ke sebuah kesepakatan damai. Setiap lapisan masyarakat bahu membahu membangun kembali peradaban yang sempat diporakporandakan oleh bencana alam. Bahkan beberapa orang entah bermaksud serius atau hanya sekedar candaan saja, berseloroh bahwa bencana gempa bumi dan tsunami tersebut adalah peringatan dari Yang Maha Kuasa kepada rakyat Aceh untuk segera mewujudkan perdamaian. Entah benar atau tidak pendapat tersebut, namun jika kita renungkan kembali memang sudah seharusnya seperti itu, tidak perlu lagi ada pertumpahan darah yang melibatkan saudara sendiri ke dalam konflik yang berkepanjangan.

Halaman depan Museum Tsunami Aceh di lihat dari teras museum

Latar depan Museum Tsunam
Kini, geliat pembangunan kembali peradaban yang pernah mati suri dalam keputusasaan telah nampak hasilnya. Gencarnya bala bantuan materiil dan spiritual dari relawan, pemerintah dan berbagai pihak dari luar negeri sangat bermanfaat bagi kebangkitan mereka. Duka memang masih terlalu segar untuk dilupakan, tapi terus berkutat dalam duka tidak akan merubah masa depan. Mungkin kira-kira begitulah semangat yang mereka tanamkan ke dalam benak masing-masing pribadi hingga menjadi spirit massal. Museum tsunami telah dibangun, bukan untuk bermaksud mengulik kembali kesedihan di hati yang tak mungkin akan pernah hilang tetapi sebaliknya untuk menumbuhkan benih harapan hari depan yang ceria. Aku datang ke museum tsunami di saat yang kurang tepat, selain karena bukan pas hari kerja juga bertepatan dengan persiapan acara peringatan 10 tahun peristiwa itu. Sayang sekali, kenapa hari libur akhir pekan kenapa museum ditutup, padahal biasanya di hari libur tersebut kunjungan dari turis lebih banyak dibanding hari kerja. Mungkin ada alasan tersendiri dari pihak pengelola museum mengapa dilakukan penutupan di saat libur akhir pekan, aku hanya sekedar menebak bahwa penutupan dilakukan karena menjelang diadakannya peringatan 10 tahun tsunami tersebut.




Museum Tsunami menjadi obyek wisata bagi turis
Tidak ada pihak yang bisa dijadikan tempat untuk bertanya saat itu, aku hanya berkeliling di seputaran museum saja. Sejumlah bendera negara yang menurut pengunjung lain merupakan negara-negara yang turut memberikan bantuan ke Aceh dipajang disana. Juga bola-bola beton yang bertuliskan nama-nama negara tersebut, yang diatur mengelilingi sebuah kolam yang dijadikan tempat duduk-duduk bagi para pengunjung. Terlihat juga sebuah helicopter dengan logo kepolisian RI yang dalam keadaan rusak parah dipajang di salah satu sudut museum. Menurut informasi dari salah satu pedagang asongan yang saat itu sedang mangkal di seputaran museum, di dalam museum terdapat semacam gedung teater yang biasa memutar film tentang tsunami dan juga sebuah diorama tentang peristiwa tsunami yang terjadi di Aceh. Di seberang museum, terdapat sebuah lapangan yang disekelilingnya juga terdapat semacam prasasti kecil-kecil berbentuk perahu. Di setiap prasasti tersebut terdapat nama negara beserta bendera negara-negara pemberi bantuan pembangunan Aceh pasca tsunami. Juga sebuah tugu yang berisi rangkuman nama-nama negara yang terdapat pada prasasti-prasasti kecil tersebut. Jelas dari fakta-fakta yang aku temukan di museum dan lapangan tersebut bahwa perhatian dunia internasional sangat besar terhadap peristiwa yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai bencana nasional ini. Entah, apakah karena faktor Aceh yang sarat kepentingan politik ataukah benar-benar murni soal kemanusiaan.

Salah satu sisi interior Museum Tsunami
Salah satu sisi interior Museum Tsunami

Museum Tsunami sebagai wahana penyimpan cerita tentang tsunami Aceh sekaligus edukasi tentang tsunami 

Museum Kapal PLTD Apung 1
Museum Kapal Nelayan

Selain museum tsunami, saksi bisu yang dapat bertutur dalam diam tentang betapa dahsyat gelombang tsunami waktu itu adalah sebuah kapal sejenis kapal tongkang. Kapal tersebut terdampar hingga beberapa kilometer ke arah pemukiman, dan  akhirnya tersangkut di pemukiman padat penduduk. Kini kapal yang sejatinya adalah sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung 1 tersebut menjadi salah satu obyek wisata yang ramai dikunjungi oleh wisatawan. Sebenarnya kisah tentang kapal yang terseret ombak hingga berkilo-kilometer ke wilayah perkotaan bukan hanya satu saja, akan tetapi ada beberapa kejadian lain yang serupa. Misalnya saja yang kapal nelayan yang terdampar di suatu persimpangan di depan sebuah hotel. Bedanya, bangkai kapal tersebut telah dipindahkan karena dianggap mengganggu jalan arteri yang menjadi urat nadi transportasi masyarakat. Kini, hanya foto yang dipajang di lobi hotel yang tersisa sebagai bukti.

Menara Masjid Raya Baiturrahman
Menara Masjid Raya Baiturrahman



Bagian depan Masjid Raya Baiturrahman, masjid yang menjadi saksi dahsyatnya peristiwa tsunami Aceh


Masjid Raya Baiturrahman
Peristiwa tsunami super dahsyat tersebut juga tidak lepas dari kisah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Konon kabarnya, masjid yang secara fisik terlihat kokoh ini membuktikan kekokohannya kala goncangan gempa yang menyebabkan tsunami itu datang. Bangunan masjid masih berdiri tegak sedangkan bangunan-bangunan yang berada di sekelilingnya sudah rata dengan tanah. Masa air dari gelombang tsunami pun tidak berhasil masuk ke dalam masjid. Ratusan nyawa manusia terhindar dari ganasnya gelombang karena berlindung di dalam dan di atas atap masjid ini. Bahkan sempat ada pemberitaan tentang masjid ini di televisi bahwa relawan dan wartawan asing yang akan membantu dan meliput bencana alam ini dibuat tercengang oleh keberadaan sebuah bangunan yang masih tegak berdiri di antara puing-puing bekas bangunan lainnya. Entah karena kekuatan ghaib dari Yang Kuasa atau karena sebab lain, yang jelas masjid ini menjadi ikon sekaligus kebanggaan masyarakat Aceh. Saat ini, Masjid Raya Baiturrahman selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat lokal maupun turis nasional maupun asing. Keramaian semakin terasa saat menjelang masuk waktu sholat dan setelahnya. Terlihat kemeriahan di dalam dan di sekitar masjid bukan hanya berkaitan dengan kegiatan keagamaan, seperti sholat dan pengajian saja. Tidak jarang pengunjung masjid ini datang hanya sekedar duduk-duduk santai, berfoto, ataupun yang lain di luar kegiatan keagamaan. Aku pun sempat menjumpai beberapa orang fotografer keliling yang mencari nafkah dengan cara menawarkan jasa kepada pengunjung masjid.

Fotografer keliling di sekitar masjid raya
Fotografer keliling di sekitar masjid raya





Bagian dalam Masjid Raya Baiturrahman yang pernah menjadi tempat berkumpulnya pengungsi tsunami


Berbagai macam kopi dalam kemasan khas Aceh
Nama besar Aceh juga tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kopi. Tercatat beberapa jenis kopi kualitas unggul dihasilkan dari tanah di bagian ujung utara pulau Sumatra ini. Sebut saja kopi Ulee Kareng dan kopi Aceh Gayo, dua jenis kopi yang namanya sudah mendunia. Cerita yang aku dapatkan dari kakakku, keberadaan kedai kopi di kota Banda Aceh sebelum tsunami layaknya yang ada di kota-kota lain. Namun, pasca tsunami kedai kopi di kota Banda Aceh tumbuh bak jamur di musim penghujan. Awalnya kedai kopi dijadikan sebagai tempat berkumpul untuk berjaga-jaga dari adanya peristiwa yang mengharuskan masyarakat mengungsi, misalnya adanya tsunami serupa. Namun akhirnya kedai kopi diseting sedemikian rupa sehingga memiliki penampilan yang menarik sebagai tempat berkumpul dari berbagai kalangan usia maupun tingkat ekonomi. Kedai kopi mengalami pergeseran menjadi sebuah sarana untuk bergaul, membicarakan bisnis, mengerjakan skripsi dan masih banyak lagi alasan yang digunakan untuk bisa nongkrong di kedai kopi. Semula kedai kopi hanya berupa warkop sederhana, kini mereka berlomba-lomba untuk memberikan service yang seoptimal mungkin kepada pengunjung. Kebanyakan kopi telah dilengkapi dengan fasilitas wifi yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Menjamurnya kedai kopi menjadi keunikan tersendiri bagi kota Banda Aceh, menjadi salah satu daya tarik wisata, dan akhirnya menjadi salah satu penggerak roda ekonomi masyarakat. Salah satu hikmah yang lahir dari peristiwa yang meluluhlantakkan tanah Aceh.


Sedikit bergeser ke selatan dari kota Banda Aceh, aku bersama kakak dan temanku melaju ke arah Meulaboh dengan mengendarai sepeda motor. Kami berhenti sejenak di sebuah pantai berpasir putih kecoklatan yang berada di dekat pabrik semen Andalas di Lhok-nga. Menurut penuturan dari kakakku, pabrik semen yang sudah beroperasi kembali tersebut juga tidak luput dari amukan gelombang tsunami. Kami melanjutkan perjalanan melalui jalanan berkelok dan menanjak hingga akhirnya berhenti di atas sebuah titik yang berada di perbukitan. Pemandangan yang menakjubkan terhampar dihadapan kami, birunya air laut Samudra Hindia yang dihiasi oleh hijaunya beberapa buah pulau kecil yang terserak di dekat pantai. Di sisi lain, perbukitan yang berdiri kokoh di belakang kami membelokkan arah angin dari samudra yang berhembus membelai ranting pepohonan di Bukit Gerutee tersebut. Puas mengagumi panorama ciptaain Ilahi sambil menikmati seporsi mie goreng instan dan kelapa muda, kami kembali menuju Banda Aceh. Sepanjang perjalanan, aku dibuat kagum oleh bagusnya kualitas jalan raya yang kami lalui, seolah-olah bukan tipikal jalan raya di negaraku. Benar saja, ternyata jalan raya yang dibangun kembali pasca tsunami tersebut dibangun atas prakarsa negara donor yang membantu memulihkan prasarana transportasi. Tentu saja pihak pendonor memberlakukan standar pembangunan yang berkualitas super sehingga hasilnya juga memiliki kualitas baik.

Panorama dari bukit Gerutee yang memperlihatkan beberapa pulau kecil berlatar belakang Samudera Hindia



Akhirnya, Aceh, dengan sederet cerita dan kisahnya meninggalkan jejak yang menggambarkan masa lalunya dan bibit-bibit yang akan tumbuh menjadi bagian awal dari masa depannya. Beberapa penciri yang menjadi identitas Aceh dengan serta merta dibolak-balikkan oleh kejadian mahadahsyat yang datang di penghujung tahun. Peristiwa tersebut sekaligus menjadi tonggak sejarah bagi hidup baru masyarakat aceh di masa yang akan datang. Beberapa bukti dan saksi perubahan revolusioner selain yang sudah kusebut tadi masih banyak yang dapat ditemukan. Kopi dan kuliner menjadi cerita baru dan cerita lama yang diperbarui yang menjadi pengiring perubahan gaya hidup masyarakat aceh. Mie Aceh yang legendaris tetap menjadi salah satu kuliner Aceh yang menjadi favoritku, terutama rasa kepiting. Tidak lupa, sejumlah jenis kopi dari Aceh pun tidak luput dari pandanganku, dan dalam sekejap sudah berpindah ke dalam tas punggungku. Aceh, negeri serambi Mekkah nan damai ini semoga tetap damai sampai kapanpun. Suatu hari nanti aku ingin datang lagi ke sana, semoga.
  






Banda Aceh, 26122013, 10:47 pm



*catatan seorang pejalan

Friday, July 3, 2015

Dokter Ekspedisi: Kisah dan Perannya dalam Tim Penelitian

Stiker yang menandakan fasilitas kesehatan di kapal
Sebelum mengikuti ekspedisi di Kaimana ini, aku belum pernah sekalipun bertemu dengan dokter ekspedisi. Di samping aku tidak memiliki banyak teman yang berprofesi sebagai dokter, juga karena memang sebelumnya belum pernah melibatkan seorang dokter selama mengikuti ekspedisi. Aku memang pernah mendengar istilah tentang dokter ekspedisi, itu pun hanya sekali dua kali saja dan tidak secara detail. Waktu aku menang kontes Blacktrail ke Raja Ampat yang diselenggarakan oleh salah satu perusahaan pembersih muka dan National Geographic, salah seorang pemenang lain adalah seorang dokter. Teman tadi banyak bercerita tentang kisahnya menjadi seorang dokter di negara-negara miskin bekas konflik di Afrika. Aku juga menyempatkan membaca cerita-ceritanya yang ada di blog pribadi dan aku twitter serta facebook miliknya. Banyak hal-hal seru yang dialami, dengan segala keterbatasan fasilitas dan tentunya keluar dari zona nyaman, dia harus memberikan pelayanan kepada pasien yang ada disana. Menurutku seperti itulah harusnya dokter, sesuai dengan sumpah dan janji yang mengikat pada profesinya, bukan malah mencekik pasien dengan obat-obatnya yang mahal. Dari kisah-kisah yang diceritakan oleh teman dokterku tadi, aku langsung membayangkan mungkin seperti itulah kehidupan yang dialami oleh seorang dokter ekspedisi, dan ternyata dugaanku tidak semua benar.


Fasilitas kesehatan di ruang kesehatan
Berdasarkan dari pengamatan dan pengalamanku bersama dokter ekspedisi pada sebuah ekspedisi yang aku ikuti, terlihat bahwa fasilitas obat-obatan yang dibawa ke lapangan relatif lengkap, minimal obat-obat sebagai pertolongan pertama. Karena memang tidak mungkin membawa fasilitas layaknya sebuah klinik kesehatan. Awalnya aku mengira bahwa dokter tersebut merupakan dokter yang sengaja dibayar dari budget yang diambil dari keuangan ekspedisi untuk pelayanan kesehatan peserta ekspedisi. Atau sebagai salah satu staf di lembaga penelitian yang mengadakan ekspedisi tersebut. Namun akhirnya terbukti bahwa dugaanku itu salah sama sekali. Dari informasi yang aku dapatkan, dokter ekspedisi tersebut ternyata mendapatkan sponsor tersendiri untuk bergabung dengan tim ekspedisi. Dia mencari sendiri sumber dana di luar sumber dana yang digunakan untuk pembiayaan ekspedisi. Persis seperti cerita dari ekspedisi lainnya, yang ternyata hampir sebagian peserta ekspedisi berusaha mencari sumber dana sendiri sebagai sponsor untuk bisa bergabung dengan tim ekspedisi. Berbeda dengan yang selama ini aku ketahui, dari semua kegiatan penelitian yang diadakan oleh instansi dalam negeri, semua anggota tim mendapatkan honor dari kegiatan tersebut.

Fasilitas ruang kesehatan yang cukup memadai di kapal riset Baruna Jaya VIII


Perlengkapan untuk pertolongan pertama
Adanya fakta bahwa anggota tim penelitian tidak harus menjadi tanggungan finansial sebuah kegiatan penelitian patut menjadi wacana untuk diterapkan di Indonesia, termasuk melibatkan dokter ekspedisi. Harus menjadi bahan pertimbangan bahwa keberadaan dokter ekspedisi sangat vital karena resiko kecelakaan di lapangan saat penelitian sangat besar. Ironisnya, di samping tidak ada dokter yang menyertai suatu kegiatan penelitian, faktanya juga tidak ada asuransi jiwa yang menanggung kecelakaan dalam penelitian. Seolah-olah bahwa kegiatan penelitian (baik di lapangan maupun di laboratorium) tidak memiliki resiko kecelakaan. Padahal, tidak sedikit kisah tragis yang berakibat fatal dalam kegiatan penelitian, apalagi penelitian yang di lakukan di alam bebas yang tidak bisa diprediksi sumber bahaya yang mengancam.Pada suatu hari seorang teman peneliti dari salah satu pusat penelitian di tempatku bekerja pernah menceritakan pengalamannya tentang perubahan jadwal penelitian karena salah satu anggota tim mengalami sakit yang cukup parah. Penelitian yang dilakukan di sebuah pulau terpencil di wilayah Maluku harus dihentikan dan rute kapal terpaksa dialihkan ke kota terdekat yang memerlukan waktu berhari-hari. Padahal biaya operasional per hari untuk kapal yang dipakai dalam penelitian tersebut sangat mahal. Pernah juga aku mendengar cerita tentang salah satu tim penelitian yang meninggal di lapangan saat sedang melakukan penelitian. Penyebabnya adalah semacam serangan jantung yang tidak segera ditangani oleh tim medis dikarenakan lokasinya yang jauh dari keberadaan dokter. 


Pertolongan pertama akibat racun biota laut berbisa
Atau, dari pengalamanku sendiri ketika dua kali terkena racun dari biota laut saat tergabung dalam sebuah penelitian, yang mengharuskan aku istirahat total dan tidak bisa bekerja selama berhari-hari. Untungnya daya tahan tubuhku cukup bagus sehingga dapat melawan racun biota laut tersebut, jika tidak mungkin ceritanya akan berbeda. Waktu pertama kali terkena racun biota di sekitar Manado (Sulawesi Utara), enam tahun yang lalu, aku bisa pulih tanpa harus mendapatkan pertolongan dari dokter. Di sinilah pentingnya pengetahuan pertolongan pertama pada kecelakaan dan teori survival. Beruntung aku pernah mempelajarinya beberapa waktu sebelumnya sehingga sedikit mengetahui apa yang harus aku lakukan jika mengalami sedangkan tiada dokter yang menangani. Namun setahun yang lalu waktu terkena lagi di Pulau Pari (Jakarta), aku terpaksa dibawa ke dokter untuk mendapatkan pertolongan pertama, kebetulan ada dokter jaga di puskesmas. Belum lagi cerita-cerita dari pengalaman orang lain yang banyak sekali jenis kecelakaan yang dialami.


Perlengkapan di ruang kesehatan sebuah kapal riset
Dari satu ekspedisi yang aku ikuti kali ini saja, entah berapa orang yang akhirnya harus mendapatkan penanganan dari dokter. Mulai dari luka di kepala akibat terbentur atap kapal, kaki tertusukpaku yang sudah berkarat, infeksi akibat sengatan ubur-ubur, demam dan panas tinggi, luka-luka akibat terantuk batu, hingga patah di tangan akibat terjatuh saat penelusuran gua. Dapat dibayangkan betapa repotnya jika tidak ada dokter yang ikut dalam ekspedisi ini. Mungkin harus bolak balik ke kota mengantarkan orang sakit ke rumah sakit, sedangkan jarak lokasi penelitian dengan kota terdekat adalah sekitar 6 jam perjalanan dengan perahu karet, sangat tidak efektif. Di sinilah peran seorang dokter ekspedisi benar-benar terasa manfaatnya. Bukan hanya bagi anggota tim ekspedisi, melainkan juga bagi masyarakat lokal di sekitar lokasi penelitian yang memerlukan bantuan medis, sedangkan dokter sulit dijangkau atau ketiadaan biaya. 

Peran ahli pijat kadangkala sangat membantu saat terjadi kecelakaan waktu di lapangan


Dokter ekspedisi ikut menyiapkan mesin boat
Dalam beberapa kesempatan aku mendapati dokter sedang memberikan pelayanan medis kepada anak-anak di kampung karena suatu penyakit, sedangkan orang tuanya tidak memiliki biaya untuk pergi ke dokter atau membeli obat. Atau saat akan meninggalkan sebuah kampung kecil nan terpencil, terlihat dokter memberikan stok obat-obatan kepada salah seorang penduduk yang dari penampilannya mencerminkan seorang gadis yang terpelajar. Pernah juga aku terlibat dalam sebuah adegan yang mendebarkan ketika salah satu taruna kolaps di kelas. Aku terlibat membantu dokter dalam memberikan pertolongan kepada taruna tersebtu, karena orang lain yang ada di situ tidak ada yang bisa berbahasa Inggris. Sekali lagi aku mencatat pentingnya seorang dokter dalam sebuah ekspedisi, apalagi yang dilakukan di daerah terpencil dan dalam waktu yang lama.Dokter yang ikut dalam ekspedisi di Papua ini ternyata tidak hanya melulu memberikan pelayanan medis saat ada yang sakit, lalu berdiam diri saat semua anggota tim sehat-sehat. Ternyata dia juga proaktif dan terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh anggota tim lainnya. Terlihat sang dokter menjadi orang yang paling sibuk menyiapkan perahu karet yang akan dipakai selama ekspedisi. Mulai dari menyeting sampai memperbaiki bagian yang rusak, hingga perahu karet siap digunakan. Bukan hanya satu perahu karet tapi ada tujuh, walau akhirnya hanya memakai empat saja karena yang lainnya rusak. Tidak berhenti sampai disitu, sang dokter juga terlihat aktif mengangkut barang-barang ekspedisi dari gudang ke kapal. Intinya, walaupun profesinya sebagai dokter tapi bukan berarti menutup mata ketika ada hal lain yang bisa dikerjakan dan melibatkan dia. Aku jadi terkesan kepadanya sebagai pribadi, bukan sebagai seorang profesional.


Dokter ekspedisi membantu menyiapkan boat
Ada kasus yang menurutku sangat fatal, dan beruntung ada dokter ekspedisi di antara kami. Pada tiga malam terakhir ekspedisi, ketika kami sudah tinggal beres-beres menjelang pulang, tiba-tiba salah satu anggota tim mengeluh dada sakit. Kejadiannya lewat tengah malam, dan harus di bawa ke rumah sakit karena kondisinya yang cukup parah, sementara dokter ekspedisi terlihat kurang fit sejak sore. Ternyata, yang bersangkutan adalah penderita jantung yang secara kontinyu mengkonsumsi obat, dan pasca perawatan enam bulan kemudian. Serangan tiba-tiba malam itu dipicu oleh kopi yang seharusnya jadi salah satu pantangan yang harus ditaati. Setelah dibawa ke rumah sakit, hanya ditangani oleh dokter jaga seperlunya saja, baru ketika hari sudah pagi kemudian diperiksa oleh dokter penyakit dalam. Oleh pengantar sudah diceritakan kronologis di lapangan serta riwayat sebelumnya, termasuk adanya penyakit diabetes yang juga diderita. Dokter rumah sakit kemudian memberikan resep dan meminta susternya melanjutkan tugas sesuai instruksi dokter. Salah satu pengantar kemudian mengklarifikasikan kepada dokter ekspedisi tentang obat-obatan yang diberikan berdasarkan diagnosa dari dokter rumah sakit, karena ada kecurigaan dengan proses diagnosanya. Benar saja, diagnosa yang diberikan tidak tepat, akibatnya obat yang diberikan pun salah, ditambah pemberian infus glukosa padahal pasien menderita diabetes. Sempat terjadi ketegangan antara dokter ekspedisi dan dokter rumah sakit. Dokter rumah sakit tetap pada keyakinannya bahwa diagnosa yang diberikan tersebut sudah tepat, sedangkan dokter ekspedisi berpendapat lain. Dokter ekspedisi bilang bahwa obat yang diberikan dokter rumah sakit salah karena obat tersebut merupakan antibiotik, sedangkan seharusnya tidak ada kaitannya dengan antibiotik. Artinya bahwa hampir terjadi malpraktek. Untungnya koordinator tim atas rekomendasi dokter ekspedisi segera bergerak cepat, dan memutuskan untuk tidak melanjutkan menggunakan jasa dokter rumah sakit tetapi dialihkan ke dokter dari pihak asuransi. Aku tidak mengerti, jika dilihat dari aspek hokum atau etika kedokteran apakah hal-hal seperti ini akan menimbulkan dampak lanjutan atau tidak. Tapi yang paling penting adalah terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan yang dikarenakan oleh ketidakhati-hatian dokter rumah sakit tadi.

Selain menjadi tenaga medis, dokter ekspedisi turut membaur dalam pekerjaan lain selain pekerjaan utama


Pelajaran yang dapat diambil dari kisah dan peran dokter ekspedisi ini sungguh banyak. Tentang sebuah profesi, tanggung jawab, sisi kemanusiaan, solidaritas, team work, pembentukan jati diri, multi talent, dan masih banyak lagi. Alangkah indahnya jika setiap anggota tim dalam ekspedisi, atau dalam forum apapun, ditanamkan nilai-nilai seperti itu. Atau, apabila ada kesadaran dari setiap pribadi untuk menjadi seperti itu. Niscaya kesan yang akan dibawa ketika ekspedisi berakhir menjadi sangat bermakna. Mendapatkan keluarga baru, berperan dalam tim, menjadi bagian yang menyenangkan dalam tim, sungguh sebuah impian. Semoga apa yang aku lihat dan alami ini juga menjadi pelajaran bagi anggota tim ekspedisi yang lain, terutama teman-teman yang berasal dari dalam negeri. Untuk kemudian jadi bahan pertimbangan mengusahakan adanya seorang dokter dalam sebuah tim ekspedisi, bukan sebagai pilihan tetapi sebuah keharusan. Tentunya akan jauh lebih baik lagi apabila didukung oleh pembuat kebijakan, karena harusnya mereka juga tahu dan sadar tentang resiko dari sebuah penelitian. Mustinya mereka mengerti bahwa keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang mengikuti kegiatan penuh risiko tersebut memerlukan jaminan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Sungguh, sebuah pekerjaan besar untuk menanamkan iklim penelitian yang aman di negeri ini.


Dokter ekspedisi saat menyiapkan pengobatan di kapal
Kabar gembira akhirnya datang dari institusi tempatku bekerja. Dalam kegiatan yang diadakan di awal tahun ini, seorang dokter diikutsertakan dalam ekspedisi yang dilakukan di sepanjang pesisir barat Sumatra. Dengan adanya dokter dalam kegiatan ekspedisi, minimal sudah ada perhatian terhadap risiko kegiatan di lapangan, apalagi sudah sejak dua puluhan tahun yang lalu sudah tidak ada asuransi untuk kegiatan penelitian di lapangan. Padahal, risiko terjadinya kecelakaan ketika di lapangan sangatlah besar. Semoga ke depannya perhatian pemerintah dan pihak-pihak terkait terhadap segala risiko yang menyangkut keselamatan jiwa ketika mengikuti kegiatan ekspedisi dan penelitian di lapangan semakin baik lagi.



  



Sorong, 22112014, 11:59 am


*catatan seorang pejalan