Tuesday, October 13, 2015

Bukittinggi: Perpaduan Indah alamnya dan Kentalnya Sejarah Paris van Sumatra (Fort de Kock)

Menara Jam Gadang
Sesuai dengan namanya, Bukittinggi sebagian wilayahnya merupakan daratan perbukitan. Bukittinggi, namanya menegaskan posisinya, sudah bukit yang secara jelas merujuk pada sesuatu yang tinggi, ditambah dengan kata tinggi pula. Bukittinggi, sebuah wilayah yang terletak di salah satu sudut Bukit Barisan yang membentang dari ujung utara sampai bagian selatan Pulau Sumatra. Suasananya yang asri dengan sebagian wilayahnya berupa hutan lindung, udaranya yang sejuk karena berada pada ketinggian di atas 900 mdpl dan bentang alam berbukit-bukit dan berlembah yang menyenangkan, serta diapit oleh dua buah gunung berapi yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Marapi. Tidak salah jika kota ini disebut sebagai Paris van Sumatra. Dari wilayah perkotaan, terlihat kedua gunung tersebut berdiri dengan gagahnya seolah-olah menjaga keutuhan kota. Karena kemiripannya, kota ini juga disebut-sebut sebagai saudara kembar (sister city) dari kota Seremban di Negeri Sembilan, Malaysia. Di awal kemunculannya, kota Bukittinggi semula merupakan pasar mingguan bagi masyarakat Agam Tuo, yang kemudian berkembang pesat menjadi kota (stadsgemeente) setelah kedatangan penjajah Belanda. Bahkan karena berkembang dengan begitu pesatnya akhirnya berubah fungsi menjadi ibukota  Afdeeling Padangshce Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam. 

Salah satu sudut di pedesaan Bukittinggi
Pada masa pendudukan Belanda, Bukittinggi pada tahun 1828 dikenal dengan sebutan Gemetelyk Resort. Karena suasananya yang begitu menyenangkan dengan iklim yang sesuai untuk ukuran orang Eropa, oleh Belanda kawasan ini dijadikan sebagai salah satu pusat pemerintahan sekaligus tempat peristirahatan para opsir. Nama Bukittinggi pernah dikenal dengan nama Fort de Kock. Fort de Kock sendiri sebenarnya adalah nama sebuah benteng peninggalan Belanda yang berada di Bukit Jirek. Seiring dengan berjalannya waktu, lambat laun tumbuh dan berkembang pemukiman di sekitar benteng hingga menjadi sebuah kota, yang dikenal dengan nama Fort de Kock, kini Bukittinggi. Fungsi utama pembangunan benteng ini adalah untuk pertahanan kubu Belanda dari gempuran rakyat Minangkabau pada masa Perang Padri (1821 – 1837). Perang Padri sendiri sebenarnya bukan perang antara Belanda melawan penduduk pribumi antar kelompok adat dan kelompok agama, tetapi perang saudara penduduk pribumi yang disusupi oleh Belanda. 

Persawahan yang subur simbol kemakmuran
Hingga kini, masih bisa ditemukan beberapa meriam di sekitar benteng yang menjadi saksi sejarah peristiwa yang terjadi di wilayah ini. Benteng ini dibangun sebelum di Jawa mulai berkecamuk Perang Diponegoro yang konon membutuhkan biaya yang hampir membuat tentara Belanda bangkrut. Atas komando Kapten Bouer sekitar tahun 1825, atau pada masa Baron Hendrik Merkus de Kock sewaktu menjadi komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jendral Hindia Belanda, oleh karenanya benteng ini dinamakan Fort de Kock. Masa penjajahan Belanda berakhir seiring dengan kekalahannya oleh tentara Jepang. Akan tetapi kemasyuran kota Bukittinggi tidak begitu saja luntur bersama tentara Belanda yang mulai angkat kaki. Jepang menjadikan kota Bukittinggi sebagai pusat pengendalian pemerintahan militer untuk kawasan Sumatra, Singapura, bahkan sampai Thailand. Saking istimewanya, Bukittinggi dijadikan sebagai tempat kedudukan komandan militer ke 25 Kempetai di bawah pimpinan Mayor Jendral Hirano Toyoji. Perubahan penguasa berakibat pada perubahan nama kota, dari yang semula bernama Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Shao. Oleh Jepang wilayah kota kemudian diperluas dengan memasukkan beberapa nagari (desa) disekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah.

Tanah dataran tinggi yang yang subur menjadi latar belakang pembentuk budaya Bukittinggi yang menawan

Nama Bukittinggi begitu istimewa bagi perjalanan sejarah Negara RI. Sejarah bangsa ini tidak bakal dapat dilepaskan dengan salah satu kota di tanah minang ini. Bukittinggi pernah menjadi sebuah kota yang sangat penting di masanya. Kota terbesar kedua di Sumatra Barat ini pernah dijadikan sebagai ibukota negara pada masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia, pernah menjadi ibukota provinsi Sumatra, pernah menjadi pernah ibukota provinsi Sumatra Tengah, dan juga menjadi ibukota provinsi Sumatra Barat. Pada tanggal 19 Desember 1948 kota Bukittinggi berfungsi sebagai ibukota negara dengan status Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Peristiwa pemindahan ibukota negara tersebut dilakukan setelah Yogyakarta yang menjadi ibukota negara jatuh ke tangah Belanda saat agresi militernya. Tanggal tersebut lalu ditetapkan sebagai Hari Bela Negara oleh pemerintah berdasarkan keppres tanggal 18 Desember 2006. Awalnya Sumatra hanya terdiri dari satu provinsi, dan Bukittinggi lah yang menjadi ibukota provinsi. Namun, peta pemerintahan dan wilayahnya mengalami dinamika yang relatif cepat di tahun 50 an. Saat menjadi ibukota provinsi Sumatra Tengah (tahun 1956), wilayahnya meliputi beberapa karesidenan seperti Sumatra Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau. Kini karesidenan-karesidenan tersebut telah berkembang menjadi provinsi sendiri. Peta wilayah terus berkembang, selanjutnya setelah Sumatra Barat ditetapkan menjadi provinsi, ibukota provinsi kemudian dipindahkan ke kota Padang. Faktanya memang status ibukota provinsi telah dipindahkan dari kota Bukittinggi ke kota Padang sejak tahun 1958, namun di atas kertas stastus tersebut baru resmi pada tahun 1978 dengan adanya Peraturan Pemerintah. Layaknya seorang tokoh besar yang mempunya beberapa nama lain atau julukan, kota Bukittinggi walaupun kota kecil namun tercatat menyandang beberapa nama julukan. Beberapa julukan bagi kota ini selain Fort de Kock dan Paris van Sumatra antara lain Kota Pendidikan, Kota Jam Gadang, Kota Wisata, Kota Sejarah, Kota Tri Arga, Kota Jasa dan Perdagangan, Kota Pelayanan Kesehatan, Kota Dahlia, Kota Perjuangan, serta Kota Kuiner. Beberapa kuliner yang sangat akrab bagi pengunjung kota Bukittinggi diantaranya nasi kapau, katupek pical, dan tentu saja rendang yang ditetapkan sebagai makanan terlezat di dunia beberapa waktu yang lalu. Saking terkenalnya kelezatan masakan minang kota Bukittinggi, kawasan ini dijuluki sebagai the paradise of culinary.

Jalanan yang mulus menuju kota Bukittinggi
Membanggakan. Itu mungkin sebuah kata yang bisa menggambarkan betapa kota ini  memang patut untuk dibanggakan, baik oleh masyarakat lokal maupun nasional. Betapa tidak, sederet nama dikenal dalam skala nasional, bahkan internasional, dikaitkan dengan Bukittinggi. Sejumlah tokoh nasional lahir, atau minimal pernah menghabiskan sebagian masa hidupnya di kota ini. Sebut saja Abdoel Halim (Perdana Menteri Indonesia, Pahlawan Nasional), Abdulgani (Direktur Utama Garuda Indonesia), Aisjah Girindra (World Halal Council), Arif Arryman (Penasehat Senior Menko Ekuin), Asvi Warman Adam (Sejarawan, Peneliti LIPI), Ayub Rais (Saudagar), Dahlan Djambek (Pejuang Kemerdekaan, Menteri Kabinet PRRI), Datuk Halim Thantawi (Konglomerat, Pendiri HIPMI), Dino Patti Djalal (Duta Besar Indonesia, Juru Bicara Presiden), Elprisdat M. Zen (Ketua Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik TVRI), Emirsyah Satar (Dirut Garuda Indonesia), Fazwar Bujang (Dirut Krakatau Steel), Hasnul Suhaimi (Presdir XL Axiata), Hasyim Djalal (Duta Besar Indonesia, Ahli Hukum Laut Internasional), Hasyim Ning (Pejuang Kemerdekaan, Konglomerat), Hazairin (Menteri Indonesia, Ahli Hukum Adat), Irwan Sjarkawi (Presiden Komisaris Bakrie and Brothers), M. Fuad Basya (Kepala Pusat Penerangan TNI), Maizar Rahman (Sekjen OPEC, Ketua Dewan Gubernur OPEC), Mohammad Hatta (Proklamator, Wakil Presiden, Pahlawan Nasional), Mursyid Bustami (Dirut RS Otak Nasional), Rizal Satar (Presdir PricewaterhouseCoopers FAS), Samsuridjal Djauzi (Dirut RS Dharmais, Guru Besar FKUI), Sotion Ardjanggi (Dirjen Aneka Industri Depperin, Ketum Kadin), Srahril Sabirin (Senior Financial Economist World Bank, Gubernur BI), Syarifah Nawawi (Pejuang Pendidikan Perempuan Indonesia), Yasirwan Uyun (Dirut TVRI), Yunahar Ilyas (Ketua MUI, Ketua PP Muhamaddiyah, Guru Besar UMY), Zulharmans (Ketua Umum PWI, Anggota DPR RI). Dan pastinya masih banyak yang lain.

Pemukiman di wilayah kota Bukittinggi
Bukan kebetulan aku mengenal kota Bukittinggi. Sudah lama aku mendengar kemasyurannya, membaca beritanya, mengikuti sejarahnya, sampai berangan-angan tentang realitanya. Sampai beberapa tahun yang lalu, Bukittinggi menjadi salah satu lokasi yang masuk dalam daftar yang ingin aku datangi. Pucuk di cinta ulam pun tiba, kalau sudah rejekinya nggak akan kemana. Kesempatan untuk ke Bukittinggi pun datang juga, saat aku terima telfon beberapa hari setelah lebaran. Sebenarnya, tujuan ke Bukittinggi bukan untuk berwisata atau ber haha hihi sambil duduk ongkang-ongkang kaki, tapi untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Sebenarnya juga, tawaran pekerjaannya bukan untuk ke Bukittinggi, tetapi ke pulau-pulau kecil di seberang kota Padang. Lagipula kerjaanku memang hampir selalu berhubungan dengan laut, sementara Bukittinggi berada di pegunungan. Jadinya kalau ingin ke Bukittinggi ya harus meluangkan waktu di luar waktu kerja. Aku memberanikan diri untuk menjadwalkan ke Bukittinggi karena biasanya dalam satu trip kerjaanku ada sisa dua sampai tiga hari untuk istirahat dan menyusun laporan sementara sebelum kembali ke kantor. Pekerjaan di lapangan sudah selesai, laporan sementara sudah kelar, beres-beres perlengkapan lapangan pun sudah oke, selanjutnya adalah merealisasikan keinginan menikmati indahnya kota Bukittinggi. Perjalanan di mulai dari kota Padang. Jarak antara kota Padang dengan kota Bukittinggi tidak terlalu jauh. Waktu tempuh perjalanan sekitar dua sampai tiga jam jika kondisi lalu lintas lancar. Akan berbeda ceritanya jika perjalanan dilakukan pada akhir pekan atau bertepatan dengan hari libur. Beberapa ruas jalan akan mengalami kemacetan sehingga menjadikan waktu tempuh semakin molor. Tersedia angkutan umum yang cukup memadai yang menghubungkan kedua kota tersebut. Namun jika ingin privasi dan agar lebih leluasa mendatangi destinasi-destinasi menarik engan menyewa mobil. Berhubung perjalananku menuju ke Bukittinggi bertepatan dengan hari pasar di suatu negeri (desa), terpaksa aku beserta rombongan harus rela bermacet ria hingga beberapa jam lamanya. Berangkat dari Padang jam 9 pagi, dan baru tiba di Bukittinggi menjelang jam 2 sore.

Air terjun Lembah Anai di pinggir jalan
Pengunjung air terjun yang cukup padat













Di tengah perjalanan, aku bersama rombongan singgah untuk beberapa waktu di sebuah air terjun yang letaknya berada tepat dipinggir jalan, air terjun Lembah Anai. Anggota rombongan yang sebagian besar sudah pernah ke Bukittinggi sudah mengetahui keberadaan air terjun tersebut. Sementara aku baru mengetahuinya dari obrolan di mobil setelah berangkat dari Hotel Padang. Aku hanya menerka, kira-kira seperti apa penampakan dari air terjun tersebut. Sama sekali tidak terpikirkan olehku untuk mencoba mencari tahu lewat internet. Aku biarkan imajinasiku mengembara liar membayangkan indahnya air terjun tersebut. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa jalanan mulai menanjak, di kanan dan kiri mulai diwarnai dengan lembah dan gunung, serta suhu udara yang kian terasa sejuk. Menurut obrolan tadi, itu artinya bahwa air terjun tersebut sudah kian dekat. Mobil diparkir pada tempat yang telah disediakan, dan segera semua anggota rombongan berhamburan keluar dari mobil. Ada yang langsung menuju ke air terjun, ada yang membelokkan arah kaki ke beberapa toko oleh-oleh dan jajanan khas setempat yang berjajar di pinggir jalan di sekitar air terjun, dan tentunya ada pula yang sibuk mencari toilet. Suasana di kawasan air terjun pagi itu lumayan ramai, karena kebetulan waktunya berbarengan dengan musim liburan sekolah. Tidak pelak lagi, banyak remaja yang kemungkinan adalah pelajar SMP dan SMA silih berganti berpose di depan air terjun. Beberapa orang terlihat asik menceburkan diri di dinginnya air terjun, sebagian lainnya sibuk ber selfie dengan ponselnya, atau foto grup dengan gayanya masing-masing. Memang, air terjunnya bisa dikatakan bagus, tapi kalau penuh sesak oleh pengunjung seperti itu menurutku jadinya terlihat kurang menarik. Dengan ketinggian sekitar 30 meter, kabarnya air terjun ini tidak pernah kering, hanya debitnya yang sedikit berkurang saat musim kemarau. Selain posisinya yang berada di samping jalan raya dan juga alirannya memotong jalan, di depan air terjun ini juga membentang rel kereta api. Karena posisinya tersebut, hampir dipastikan para pelancong terutama yang dari luar daerah yang melintas akan menyempatkan diri untuk singgah dan menikmati sejuknya suasana di sekitar air terjun.


Hidangan di Nasi Kapau Uni Lis
Perjalanan menuju ke Bukittinggi kembali dilanjutkan, pemandangan di sepanjang perjalanan sungguh sayang untuk dilewatkan, dan rasanya lebih sempurna lagi perjalanan ini karena ditemani beberapa jenis cemilan khas masyarakat Minangkabau. Setibanya di Bukittinggi, tujuan pertama adalah mencari tempat makan siang. Kami langsung menuju ke sebuah tempat makan di sebuah pasar, Pasar Lereng yang merupakan bagian dari Pasar Atas Bukittinggi dan tentu saja dengan menu utama nasi kapau. Letak destinasi wisata kuliner ini sebenarnya berada di sebuah lahan miring. Namun sudah ditata sedemikian rupa selama puluhan, mungkin ratusan, sehingga terasa nyaman walaupun untuk menjangkaunya harus menuruni anak tangga yang lumayan tinggi. Terdapat juga pasar tradisional dan pasar baju bekas layak pakai yang menurut informasi sudah dikenal luas oleh masyarakat minang, bukan saja masyarakat di Bukittinggi tetapi juga di daerah lain. Ternyata, tidak hanya satu dua warung saja yang menawarkan nasi kapau, tapi puluhan, dengan menu dan penyajian yang cenderung seragam. Nasi Kapau Uni Lis merupakan yang paling tersohor namanya karena kono warung inilah yang menjadi perintis sejak tahun 1970an dan hingga kini cita rasanya tetap terjaga. Satu demi satu menu ditawarkan kepada kami. Seperti halnya masakan padang lainnya, lauk pauk yang disajikan di warung nasi kapau juga identik dengan masakan pedas, bersantan, berbumbu yang kental dan tentu saja berkolesterol tinggi. Satu yang paling unik dari cara penyajian di warung makan nasi kapau adalah pada sendok kuah santan yang memiliki ukuran tangkai tidak lazim. Jika biasanya panjang tangkai sendok kuah kurang dari 30 cm, yang ini panjangnya bisa mencapai 80 cm, mungkin ada yang lebih.

Pintu masuk utama ke goa Jepang
Vandalisme di dalam goa Jepang
Setelah makan siang, tujuan selanjutnya adalah menuju sebuah goa peninggalan tentara Jepang. Goa yang dimaksud bukan merupakan goa yang terbentuk oleh proses alam, tetapi dibuat sebagai bagian dari sistem pertahanan. Goa ini berada di bawah kota Bukittinggi dengan salah satu ujungnya berada di bibir tebing menuju lembah Ngarai Sianok. Untuk masuh ke dalam goa Jepang tersebut, atau orang lokal menyebutnya sebagai lobang Jepang, setiap pengunjung dikenai biaya retribusi dari Dinas Pariwisata setempat. Seliain itu, setiap pengunjung yang datang secara berkelompok wajib didampingi oleh pemandu wisata yang keberadaannya juga atas koordinasi dari Dinas Pariwisata. Mula-mula, kami diberikan penjelasan umum mengenai bagian per bagian dari goa tersebut, kemudian masuk menyusuri rute yang telah ditentukan. Sang pemandu seperti sudah mengenal betul dengan seluk-beluk setiap bagian dari goa, dengan cekatan dia menjelaskan dan menjawab setiap pertanyaan yang kami lontarkan. 

Kera ekor panjang yang banyak dijumpai di sekitar goa
Kesan yang aku dapatkan, kondisi goa cukup terjaga dan terlihat banyak perbaikan di sana sini. Fasilitas pendukung pun terlihat dibangun, termasuk lampu penerangan, papan informasi, cctv, dan perangkat keamanan lainnya. Walaupuan pengoperasionalannya terlihat tidak berjalan sebagai mana mestinya dan yang paling memprihatinkan adalah terlihat adanya vandalisme, corat-coret yang dilakukan oleh tangan jahil yang menyasar ke fasilitas yang disediakan. Begitu keluar dari mulut goa di pintu yang berbeda dengan pintu masuk, kami disambut oleh kawanan kera ekor panjang. Keberadaan kera ini sudah sangat akrab dengan penduduk dan pengunjung goa, bahkan seolah-olah menunggu uluran tangan berupa makanan dari pengunjung. Di kompleks goa ini juga berderet bangunan kios oleh-oleh khas Minangkabau, kebanyakan berupa kerajinan tangan.

Pemandu wisata sedang memberi penjelasan
Fasilitas penerangan yang cukup memadai













Menara pandang Ngarai Sianok
Destinasi berikutnya adalah menuju ke salah satu lokasi yang juga menjadi ikon Bukittinggi, yaitu Ngarai Sianok. Keberadaan ngarai ini sangat tersohor ke seluruh penjuru tanah air, bahkan dari obrolan dengan salah seorang teman yang berasal dari Malaysia, ketenaran Ngarai Sianok juga sudah lama samapi di negeri tetangga tersebut. Posisi Ngarai Sianok berada tepat dipinggiran kota Bukittinggi dimana salah satu view point untuk menikmatinya berada di dekat pintu masuk pintu goa Jepang. Tersedia juga sebuah menara pandang yang berada di atas goa Jepang yang sangat cocok untuk menikmati panorama Ngarai Sianok dengan latar belakang Gunung Marapi, terutapa pada saat menjelang matahari tenggelam. Didasar ngarai, terdapat sebuah sungai yang memiliki aliran yang cukup besar dengan air jernih dan lumayan dingin. Sekedar mencuci muka dengan air dari aliran sungai tersebut cukup membuat badan segar setelah seharian berkeliling kota Bukittinggi. Di beberapa titik di tepian sungai tersebut, masyarakat setempat memanfaatkan aliran airnya sebagai sumber pengairan persawahan. Damai rasanya berada di areal persawahan yang terletah di tepian sungai, sambil menikmati angin sore yang mulai terasa dingin. Angina yang berhembus cukup kencang karena mengalir dari gunung melalui dasar ngarai yang diapit oleh tebing kapur di samping kiri dan kanannya. Sebenarnya ada satu lokasi lagi yang disediakan sebagai lokasi view point Ngarai Sianok dari sisi lain, yaitu Great Wall. Namun kami batal mendatangi lokasi tersebut karena waktu sudah terlampau sore dan sebagian dari kami sudah tidak mampu untuk melewati jalan mendaki tersebut.



Aliran sungai di lembah Ngarai Sianok
Satu sisi Ngarai Sianok dilihat dari menara pandang













Menara Jam Gadang
Belum lengkap rasanya ke Bukittinggi kalau belum ke menara Jam Gadang, walau sekedar foto-foto di sekitarnya saja, karena memang kami tidak diijinkan untuk masuk. Menara setinggi 26 meter ini dulunya dibangun sebagai penanda kota Bukittinggi (nol kilometer) dan menjadi ikon kota tersebut hingga sekarang. Jam Gadang merupakan sebutan yang merujuk pada empat buah jam berukuran besar yang berada di keempat sisi menara. Kata Gadang dalam bahasa Minangkabau berarti besar, seperti halnya Rumah Gadang yang berarti rumah atau bangunan yang berukuran besar. Yang menarik lagi, menurut sejarah Jam Gadang didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda dan merupakan produk terbatas (limited edition) dari sebuah pabrik jam di Jerman yang bernama Vortmann Relinghausen pada tahun 1892. Di dunia, pabrik jam yang dimaksud hanya membuat dua, satu untuk Big Ben (Inggris) dan satunya lagi untuk Jam Gadang (Hindia-Belanda). Jam Gadang sendiri dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada sekretaris Fort de Kock, Rook Maker. Yazid Rajo Mangkuto, arsitek yang putra daerah Bukittinggi membuat atap berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke timur, mungkin sesuai dengan yang diinginkan oleh pemerintah. Pergantian penguasa membuktikan turut mempengaruhi arsitek Jam Gadang, terutama hiasan pada atapnya. Terbukti bahwa pada masa pendudukan Jepang, atap Jam Gadang dirubah menjadi berbentuk pagoda. Kemudian pada masa pemerintahan kita, walau perubahannya baru dilakukan pada tahun 2010, atap Jam Gadang tersebut kembali mengalami perubahan menjadi bentuk gonjong atau seperti atap rumah adat Minangkabau. 

Menara Jam Gadang seiring dengan perkembangan jaman menjadi jantung kota Bukittinggi yang ikonik

Museum Bung Hatta di sekitar kompleks Jam Gadang
Suasana di seputaran menara yang pembangunannya menghabiskan dana yang cukup fantastis pada waktu itu (sekitar 3000 Gulden) cukup semarak mulai pagi hingga larut malam. Puncak keramaian terjadi pada sore hari menjelang matahari tenggelam hingga selepas jam makan malam. Dan pada hari minggu atau hari libur nasional pengunjung biasanya jauh lebih banyak. Kondisi ini tentu menjadi lahan bagi para pedagang asongan, tukang foto keliling, dan kawan-kawannya untuk mengais rejeki di seputaran taman Menara Jam Gadang. Taman yang asri, berada di pusat kota, pemandangan yang tergolong mewah, ditambahi dengan sejarah yang cukup penting menjadikan tempat ini sangat ideal untuk bersantai. Apalagi tidak jauh dari kompleks menara Jam Gadang berdiri sebuah bangunan yang didedikasikan kepada salah satu pahlawan nasional yang juga sebagai bapak proklamator, Bung Hatta. Saying sekali kedatanganku ke Bukittinggi relatif singkat dan momennya kurang pas sehingga tidak berkesempatan untuk masuk ke dalam Museum Bung Hatata. Namun hal itu tidak serta merta mengurangi makna kedatanganku ke Bukittinggi secara signifikan, karena suasana yang seistimewa ini terlalu berharga untuk sebuah penyesalan karena tidak dapat masuk ke dalam museum. Suasana yang memang sangat ideal, dan suasananya menjadi lebih pas saat menjelang petang, duduk santai sambil menyeruput secangkir kopi hitam dan kentang atau pisang goreng di kafe yang banyak terdapat di sekitar Jam Gadang.

Salah satu pusat oleh-oleh makanan khas Bukittinggi
Pingin rasanya menginap di Bukittinggi, menghabiskan malam di kota impianku ini, tapi aku harus menunda keinginanku itu untuk sementara ini. Perjalanan kembali ke kota Padang pun dimulai sebelum hari terlalu malam karena ada beberapa persinggahan lagi yang akan kami tuju. Sebelum jauh meninggalkan kota Bukittinggi, kami singgah di salah satu toko oleh-oleh khas kota ini yang cukup terkenal. Sebenarnya tidak hanya satu toko, tapi ada beberapa toko yang umumnya menjual makanan khas, seperti sanjai atau kripik singkong balado dan semacamnya. Bukittinggi dan kota-kota lain di Minangkabau ini memang surganya kuliner, banyak sekali ragamnya dan umumnya dengan rasa bumbunya yang kuat serta kebanyakan berselera pedas. Puas dengan segala macam oleh-oleh makanan ringan khas Bukittinggi, perjalanan kami berlanjut menuju sebuah rumah makan dengan sajian utama berupa sate padang, Rumah Makan Sukur. Dibandingkan dengan semua sate padang yang pernah aku makan, citarasa sate pada di rumah makan ini memang paling lezat. Apalagi dengan minuman penutup berupa jus pinang muda atau pinang muda hangat yang rasanya agak sepat. Tidak mengherankan jika mantan presiden SBY beserta rombongan pernah menjadikan rumah makan ini sebagai rujukannya ketika berkunjung ke Bukittinggi. One day trip yang sempurna ini ditutup dengan perjalanan menurun melalui jalanan berlika-liku menuju kota Padang. Sebelum tengah malam, mobil yang kami sewa sudah memasuki pelataran hotel tempat kami menginap. Puas rasanya, dan jika ada kesempatan lagi, aku tidak akan pernah merasa bosan mengunjungi Bukittinggi. Hanya macet lah mungkin yang dapat merusak trip ke Bukittinggi yang telah disusun.














Padang, 4 September 2014


*Catatan Seorang Pejalan

Friday, October 9, 2015

Carita Punya Cerita

pagi di pantai Anyer

Jaraknya tidak terlalu jauh dari ibukota Jakarta, hanya sekitar 170 km, dengan akses yang sangat memadai yang merupakan salah satu wilayah baru hasil pemekaran provinsi Jawa Barat. Terletak cukup dekat dengan ibukota provinsi Banten, Serang, kawasan pantai Carita menjadi destinasi yang dari segala aspek sangat  terjangkau oleh masyarakat provinsi ini. Waktu tempuh dari Jakarta pada kondisi normal tanpa macet dari Jakarta menuju ke pantai Carita tidak lebih dari tiga jam. Keberadaan jalan tol Jakarta – Cilegon, atau hingga dua per tiga perjalanan, sangat memungkinkan kita melaju kendaraan dalam batas keamanan berkendara. Namun kemacetan yang diakibatkan oleh berbagai hal sering kali menjadi momok yang memicu stres saat perjalanan. Waktu perjalanan yang direncanakan tiba kurang dari empat jam tersebut bisa saja molor hingga tujuh jam lamanya. Kemacetan di jalan tol sering terjadi saat terjadi penumpukan kendaraan di pintu tol, atau saat terjadi kecelakaan lalu lintas. Sedangkan kemacetan di luar jalan tol biasanya terjadi di sekitar kawasan industri PT Krakatau Steel dan pelabuhan Merak. Pada waktu-waktu tertentu, antrian kendaraan besar yang keluar masuk perusahaan maupun pelabuhan sangat mungkin menutup jalan hingga berjam-jam. Kondisi seperti ini sangat lumrah terjadi dan tidak dapat dihindari mengingat kontribusi yang tidak kecil dari perusahaan dan pelabuhan tersebut terhadap pembangunan perekenomian wilayah ujung barat pulau Jawa ini. Dan bagi wisatawan yang akan berkunjung ke pantai Carita juga harus rela berbagi jalan dengan truk-truk besar tersebut sebelum menginjakkan kaki di pasir kecoklatan yang ada di sana.


Perjalanan dari Jakarta menuju Anyer - Carita dimulai dari sini

Sebenarnya keberadaan carita sudah bukan menjadi barang baru bagi pariwisata pantai di negeri yang merupakan salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia ini. Pantai ini sudah dikenal sejak jaman dahulu karena terkenal akan keindahannya di beberapa lokasi. Namun jika dibandingkan dengan pantai-pantai di Indonesia timur, atau di Kepulauan Seribu sekalipun, sebenarnya pantai Carita tidaklah ada apa-apanya. Air yang relatif keruh, terutama pada musim gelombang bukanlah daya tarik yang menjanjikan bagi wisata pantai. Hampir tidak adanya terumbu karang dan ikan-ikan yang berwarna warni seperti yang disuguhkan di berbagai promosi wisata pantai di beberapa tempat di Indonesia Timur tidak dijumpai di sini. Bentang alamnya pun masih kalah menarik dibandingkan dengan beberapa lokasi di pantai selatan pulau Jawa. Sedangkan pasir pantainya yang bersih hanya dapat dinikmati dengan maksimal ketika bukan musim angin dan gelombang. Jika sudah memasuki musim angin dan gelombang tinggi, kondisi pantai tidak cocok sebagai tempat wisata dan tumpukan sampah membuatnya tidak sedap dipandang mata. Satu-satunya keunggulan pantai Carita pada dasarnya hanya bertumpu pada lokasinya yang mudah untuk mengaksesnya dari Jakarta.

Hotel di sekitaran Anyer - Carita
Walaupun dapat dikatakan minim potensi wisata, sejarah membuktikan bahwa pantai Carita memiliki kisah sukses di dunia pariwisata pada beberapa waktu yang telah lalu. Bukti yang paling mudah ditemukan adalah keberadaan penginapan, resort, hotel, bungalow, cottage, restoran dan fasilitas lain yang berorientasi bisnis pariwisata, baik milik pemerintah maupun swasta. Beberapa di antara fasilitas-fasilitas tersebut masih berdiri dengan tegak, namun sebagian lainnya telah tutup dan dibiarkan terbengkalai. Penurunan jumlah pengunjung yang berakibat pada kebangkrutan lah yang kemungkinan bertanggungjawab atas kondisi seperti ini. Semakin banyaknya pilihan destinasi wisata pantai yang jauh lebih bagus serta semakin mudah dan murahnya biaya perjalanan ke lokasi-lokasi lain tersebut turut melunturkan pamor pantai Carita. Kisah sukses bisnis pariwisata pantai Carita kian lama kian tenggelam oleh kisah-kisah lain di tempat baru, terutama di Indonesia timur. Keberadaan beberapa pantai selain Carita disekitar wilayah tersebut tetap tidak mampu membangkitkan kejayaan masa lampaunya.

Pantai Anyer yang berair keruh

Dari penelusuran di internet, ternyata dahulu pantai Anyer merupakan salah satu alternatif bagi wisatawan yang ingin menjajal kegiatan selancar air (surving). Kondisi fisik lantai perairan (sea floor) yang landai, tidak terlalu dalam, berpasir dan tidak berkarang serta memiliki ombak yang cukup untuk pemula kegiatan surfing menjadi faktor yang sangat penting. Kecuali pada musim tertentu dimana kondisi ombak dan angin yang terlalu besar yang menyulitkan para surfer pemula untuk menjaga keseimbangan di atas papan surfing. Kondisi yang cukup ideal ini di beberapa titik memang masih dimanfaatkan untuk melatih kemampuan bagi para surfer pemula. Terlihat beberapa penginapan menyediakan fasilitas surfing yang dapat dimanfaatkan oleh pengunjung. Selain surfing, banyak cara lain yang bisa dilakukan ketika mengunjungi wilayah Anyer – Carita. Bersama dengan keluarga dan teman kita dapat berenang di pantai, bermain pasir, snorkeling, diving, bermain jetski, bermain banana boat, berkeliling menyewa perahu nelayan, maupun jalan-jalan santai di sepanjang bibir pantai. Bahkan hanya sekedar bersantai di area pantai sembari bercengkrama menikmati suasana ditemani es kelapa muda. Atau, jika ingin tantangan dalam bentuk lain, kita bisa juga camping atau mengikuti outbound di area ini. Sebuah pengalaman wisata pantai yang seru tentunya! Tempat wisata pantai Anyer – Carita sesungguhnya tidak hanya terdiri pantai Anyer dan pantai Carita saja, tapi terdiri dari sejumlah pantai yang sudah tersohor dan beberapa pantai-pantai satelit di sekitarnya. Sebut saja pantai Karang Bolong dan pantai Tanjung Lesung yang menjadi kwartet yang pernah menjadi primadona Banten bersama pantai Anyer dan pantai Carita.

Pesona pantai Anyer
Pesona pantai Carita














Pantai bukan satu-satunya wisata di Anyer – Carita, tetapi masih ada alternatif lain yang dapat dijadikan sebagai objek yang masuk daftar tempat yang bisa dikunjungi. Salah satunya adalah mercu suar Anyer yang terletak di kecamatan Anyer. Bangunan yang menjulang tinggi ini sangat mencolok karena selain letaknya berada di tepi pantai juga berada di sisi jalan akses menuju kawasan wisata pantai Anyer – Carita. Mercu suar setinggi 75 meter dan terdiri dari 18 tangga serta lebih dari 280 anak tangga ini merupakan salah satu bangunan peninggalan Belanda yang sampai saat ini masih berdiri kokoh untuk dijadikan sebagai destinasi wisata sejarah. Selain itu, mercu suar yang dibuka untuk umum ini sering kali dimanfaatkan sebagai wahana untuk menikmati hamparan pasir putih yang tersapu ombak dan dipadukan oleh hijaunya perbukitan tanah Banten dengan cara lain, melihat dari sudut pandang mata elang.

Sebagian pantai berbatu karang
Keunggulan wisata pantai di provinsi Banten baru boleh dikatakan sempurna kalau disertai dengan kunjungan ke salah satu ikon provinsi, bahkan ikon nusantara. Iya, gunung Krakatau (atau Krakatoa) yang namanya sangat melegenda itu adalah salah satu pesona nusantara yang membuat negeri kita semakin dikenal di dunia pariwisata. Krakatau, letusannya telah menggemparkan dunia di akhir bulan Agustus 1883 diyakini bertanggung jawab sebagai salah satu penyebab perubahan iklim dunia waktu itu. Kehebatan letusan kala itu dipercaya terdengar gemuruhnya hingga hampir 5.000 km, konon bisa didengar oleh 1/8 penduduk bumi dan menyebabkan lebih dari 36.000 nyawa melayang, atau kekuatannya setara dengan sekitar 30.000 kali bom atom yang dijatuhkan oleh tentara sekutu di kota Nagasaki dan Hiroshima pada Perang Dunia II. Korban jiwa yang ditimbulkan bukan  lah disebabkan oleh letusan langsung tapi lebih dikarenakan oleh efek sekunder, terutama gelombang tsunami yang menghantam pulau Jawa bagian barat dan Sumatra bagian selatan, serta mungkin oleh penyakit saluran pernapasan. Dengan kata lain, bentang alam Anyer – Carita yang terbentuk saat ini merupakan bentukan yang sudah terpengaruh oleh efek sekunder dari letusan gunung Krakatau. Walaupun jika dilihat dari jumlah korban jiwa yang ‘hanya’ sejumlah itu, namun dengan jumlah itu sudah terlampau banyak mengingat populasi manusia di jaman itu memang tidak sebanyak sekarang ini. Jika letusan sedahsyat itu terjadi di jaman sekarang, bukan tidak mungkin jumlah korban jiwa akan jutaan. Tidak mengherankan jika terjadi perubahan iklim global, dengan melihat fakta bahwa semburan debu vulkanik dari Krakatau menutup langit selama kurun waktu yang tidak sebentar dan tersebar hingga Eropa bahkan Amerika. Tercatat, letusan Krakatau tersebut merupakan salah satu erupsi gunung terdahsyat ketiga di Indonesia setelah Toba dan Tambora. Namun, Krakatau lah yang sampai kini merupakan letusan terbesar di dunia yang terekam oleh sejarah. Krakatau menjadi terkenal bukan saja karena kedahsyatan letusannya saja, tetapi efek domino yang ditimbulkan setelah itu selain jaman kegelapan dan penurunan suhu bumi. Sejarah kelam yang ditimbulkan Krakatau kian dramatis karena aktivitas vulkanisnya dituduh sebagai biang kehancuran beberapa peradaban besar seperti Persia, Romawi (berubah menjadi Byzantium), Arab bagian selatan, Maya, Tikal dan Nazca.

Vegetasi pioner khas pantai
Cerita tentang aktivitas vulkanik gunung Krakatau bukan hanya sebatas peristiwa maha dashyat yang mengguncang dunia kala itu saja, tapi tetap berlangsung hingga saat ini. Gunung Krakatau masih aktif, mengalami perubahan bentuk dan ukuran, serta beberapa kali mengalami letusan. Beberapa sumber menyebutkan peningkatan aktivitas vulkalik Krakatau terjadi pada tahun 1530, 1680-81, 1684, 1883, 1927-30, 1931-32, 1932-34, 1935, 1936, 1937, 1938-40, 1941, 1942, 1943, 1944, 1945, 1946, 1946-47, 1949, 1950, 1952, 1953, 1955, 1958-59, 1959-63, 1965, 1969, 1972-73, 1975, 1978, 1979, 1980, 1981, 1988, 1992-93, 1994-95, 1996, 1997, 1999, 2000, 2001, 2008-08, 2009-10, 2011, 2012 dan 2014. Kini beberapa pulau kecil telah tumbuh di areal bekas gunung Krakatau, salah satunya adalah Anak Krakatau, yang oleh masyarakat disebut sebagai Krakatau. Sebenarnya Anak Krakatau lebih tepat disebut sebagai cucu dari gunung Krakatau karena pasca letusan tahun 1883 Krakatau kembali meletus pada tahun 1927. Anak Krakatau sudah kokoh menjulang di kaldera bekas Krakatau purba dan diperkirakan oleh para ahli geologi bahwa generasi kedua Krakatau tersebut sewaktu-waktu akan kembali meletus. Prediksi dari sebagian ahli bahkan mengatakan bahwa letusan gunung Anak Krakatau akan meletus pada tahun 2015. Hitung-hitungan itu didasarkan pada selisih antara letusan tahun 1883 dan tahun 1927, 88 tahun. Maka jika dihitung ke depan sejauh 88 tahun setelah tahun 1927 akan ketemu angka tahun 2015. Walaupun demikian, sebagian ahli geologi sendiri pun tidak semuanya meyakini hitung-hitungan tersebut.

Balai-balai yang dibangun sebagai fasilitas bagi pengunjung yang disediakan perorangan maupun perusahaan

Anak Krakatau kini telah menjadi destinasi yang banyak dikunjungi, baik untuk alasan wisata, penelitian, maupun lainnya. Suksesi telah dan masih berlangsung, dibuktikan dengan laporan penelitian ilmiah dan catatan perjalanan wisata mengenai keberadaan vegetasi yang tumbuh di Anak Krakatau hingga ketinggian tertentu. Kisah suksesi di daratan Anak Krakatau juga didukung oleh laporan suksesi di bawah laut di sekitarnya. Perubahan alam dari ada kemudian hancur dan hilang oleh erupsi maha dahsyat dan kemudian muncul kembali inilah bagian yang paling menarik saat ini yang menjadi daya tarik Krakatau. Sejarah dan keberadaannya saat ini yang begitu menarik membuat semua kawasan bekas Krakatau purba mendapatkan status dilindungi dan berada di bawah pengawasan Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Dengan kata lain, seperti kawasan lindung lain, kita sudah seharusnya memiliki ijin jika ingin memasuki kawasan tersebut dengan tujuan apapun itu. Memasuki kawasan Krakatau selain dari Banten bisa juga dilakukan dari Lampung dengan memanfaatkan jasa trip organizer. Trip organizer yang berada di Banten biasanya sudah memiliki paket-paket tertentu yang melibatkan Anak Krakatau selain menawarkan paket wisata pantai di seputaran Anyer – Carita.

Kelapa sebagai pelengkap panorama pantai
Tidak lengkap rasanya berwisata ke suatu tempat jika tidak membahas tentang kekayaan kuliner dari lokasi yang kita kunjungi tersebut. Seperti halnya tempat wisata pantai yang lainnya, makanan yang sering dibicarakan oleh pengunjung ketika datang ke Anyer – Carita adalah jenis-jenis makanan yang berasal dari laut atau seafood. Memang, keberadaan warung dan rumah makan seafood cukup mudah ditemukan di sepanjang pesisir antara Anyer dan Carita. Di penginapan-penginapan pun juga menyediakan menu seafood bagi para tamu yang menginginkannya. Akan tetapi, yang sangat disayangkan adalah harga yang sering kali tidak wajar, terutama saat musim angin dan gelombang dimana jumlah tangkapan dari laut sangat terbatas. Bahkan, nama Anyer dan Carita beberapa waktu yang lalu sempat tercoreng oleh karena ulah dari beberapa oknum pengelola rumah makan yang ada di sana. Salah satu kasus yang bikin geger media sosial adalah kasus pemalakan yang diceritakan oleh pengunjung rumah makan yang memberikan harga yang sangat tidak wajar. Jika di daerah lain dengan menu yang sama paling-paling seharga kurang dari Rp. 300.000, yang dialami oleh wisatawan tersebut harus membayar di atas sejuta. Walaupun memang tidak ada kesepakatan terlebih dahulu dengan menanyakan harga sebelum memesan makanan, tapi memang sangat masuk akal jika wisatawan tersebut marah dan jengkel dibuatnya.

Masyarakat hidup di sekitar perusahaan besar
Ceritanya, seorang pengguna Facebook mengunggah sebuah bon pembayaran makanan yang diakuinya berada di sebuah rumah makan sederhana di Anyer. Di bon tersebut tertulis ada tujuh item makanan dan minuman yang telah dipesan namun setelah melihat harga setiap makanan memang layaknya harga hotel bintang lima. Sebagian besar orang yang menanggapi postingan tersebut berkomentar pedas atas kejadian tersebut, namun beberapa meragukan kebenarannya karena ttiak ada keterangan nama rumah makan yang dimaksud. Namun, postingan itu langsung mendapatkan banyak respon, belum lama setelah foto tersebut di unggah, sudah di-share oleh hampir tiga ribu orang. Beberapa orang yang menyangsikan keabsahan tersebut berpendapat bahwa postingan tersebut hanya upaya dari orang yang berusaha membuat buruk citra Anyer – Carita saja. Walaupun demikian, kasus serupa sebenarnya banyak terjadi di daerah lain, dan yang menjadi sasaran korbannya terutama adalah pengunjung dari luar daerah. Modusnya adalah tidak menyebutkan harga dari setiap menu makanan yang disediakan.

Lain pengunjung lain pula pengalaman mengenai kenakalan yang dilakukan oleh oknum rumah makan di kawasan Anyer – Carita. Pengunjung lain menceritakan bahwa tidak jarang terjadi kasus penipuan dengan cara menukar ikan laut yang pesan dengan ikan lain dengan kualitas yang lebih rendah. Pengunjung rumah makan memilih ikan yang masih mentah untuk kemudian dimasak setelah terjadi kesepakatan harga dan jenis masakannya. Setelah dihidangkan, ternyata ikan yang sudah masak tersebut bukan ikan yang telah dipilih sebelumnya, alias sudah diganti dengan ikan yang lain yang lebih jelek. Atau, jika kasusnya adalah cumi-cumi, maka tidak semua cumi-cumi yang dipotong-potong tersebut dihidangkan ke pembeli padahal sudah dibayar. Jika kasus-kasus yang disebutkan tadi memang benar, betapa ini menjadi dilema yang sangat naif. Di saat berbagai pihak berusaha membangkitkan kembali dunia pariwisata Anyer – Carita yang daya tariknya menurun drastis, di lain pihak jutru ada oknum yang membuat wisatawan enggan untuk datang. Entah, akan menjadi seperti apa dunia pariwisata pantai Anyer – Carita di masa yang akan datang. Apakah akan menjadi pulih kembali seperti beberapa waktu yang telah berlalu, atau semakin tenggelam oleh munculnya destinasi-destinasi baru lain yang lebih mempesona. Cerita apa lagi yang akan muncul dari Anyer – Carita di masa yang akan datang. Semua masih merupakan misteri yang sulit untuk diterka, sesulit memprediksi kapan waktunya Anak Krakatau kembali meletus.

Durian yang merupakan hasil pertanian sekitar Banten, atau didatangkan dari Lampung

Kedatanganku ke sekitar Anyer – Carita sebenarnya bukan untuk berwisata, melainkan menjadi panitia sekaligus asisten pembimbing sebuang workshop/training yang sifatnya scientific banget. Untuk menghindari kesan resmi dan kolot, aku berinisiatif untuk menambahkan menu vacation pada itinerary yang aku susun sebagai agenda pribadi. Jadilah akhirnya aku mencatat dan memotret beberapa item yang sama sekali tidak ada kaitannya sama workshop tersebut. Bahkan tidak jarang imajinasiku tertuju pada kisah trasis tentang kerja paksa yang memakan korban nyawa yang tidak terhitung jumlahnya dalam rangka pembangunan Jalan Raya Pos atau yang juga dikenal sebagai Jalan Raya Daendels yang menghubungkan antara Anyer di ujung barat sampai Panarukan di ujung timur pulau Jawa. Sebuah proyek besar yang digagas oleh Gubernur Jendral Hindia-Belanda, Herman Willem Daendels, yang berkuasa pada tahun 1808-1811. Kebetulan saat pergi ke Anyer waktu itu aku baru menyelesaikan membaca buku karangan Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Betapapun menyisakan kisah tragis tentang kerja paksa, di sisi lain kita patut berterima kasih karena dengan adanya jalan yang membentang sepanjang pantura tersebut pada akhirnya dapat dinikmati manfaatnya hingga kini. Tidak hanya sampai disitu, khayalanku juga mengembara membayangkan kisah dari salah satu founding father kita yang sempat menghabiskan sebagian kisah hidupnya di daerah ini. Tan Malaka, sang pencetus Republik Indonesia, yang menyamar menjadi seorang karyawan di perusahaan Jepang yang benama Bajah Kozan yang dalam statusnya sebagai pejuang mendesak Soekarno-Hatta untuk segeram memproklamasikan kemerdekaan. Kebetulan juga waktu itu aku sedang membaca buku karangan Tan Malaka yang berjudul Dari Penjara ke Penjara serta buku lainnya yang berjudul Madilog. Aku belum tau persis apakah yang dimaksud oleh Tan Malaka sebagai Bajah Kozan tidak lain adalah PT Krakatau Steel yang berdiri megah di jalanan sekitar Cilegon itu atau yang lainnya. Yang jelas, keberadaan perusahaan baja terbesar di negeri ini tersebut sangat berperan dalam pembangunan ekonomi masyarakat banten dan sekitarnya, termasuk salah satunya pembangunan di sektor pariwisata.

Sehabis berpanas-panasan di pantai, melewati berbagai aktivitas bersama deburan ombak dan pasir kecoklatan, menikmati sajian kuliner dengan menu utama seafood dan kelapa muda, melewati pengembaraan imajinasi yang melibatkan dua penulis sejarah yang berkaitan dengan Anyer – Carita. Jika kebetulan musimnya, saat perjalanan pulang ketika sebelum masuk tol kita akan menjumpai deretan penjaja durian. Lengkap sudah cerita tentang wisata ke Anyer – Carita. Pulang ke Jakarta dengan kesan yang beraneka macam, tergantung dari sudut pandang mana kita melihat dan menyampaikan kembali pengalaman kita.

Kapal sebagai fasilitas wisata
Kapal nelayan dan kapal wisata


Salah satu sisi pantai Anyer saat surut yang sering dijadikan sebagai obyek wisata pantai


Jakarta, 14 Januari 2015



*catatan seorang pejalan

Thursday, July 23, 2015

Sapaan Hangat dari Whale-Shark, Raksasa Penghuni Triton Bay

Senja kala itu, kapal KM Airaha 2 milik Akademi Perikanan Sorong telah merapat di sekitaran Pulau Namatotte, Kaimana. Terhitung, itu hari ke 12 pelayaranku bersama tim peneliti dari IRD Perancis, LIPI, dan beberapa instansi lokal tanah Papua. Sebelumnya, kami sudah berlayar lebih dari 50 jam dari Sorong menuju Kaimana, dan telah melakukan penyelaman di beberapa lokasi di wilayah perairan kabupaten di Papua Barat ini. Saat memasuki teluk yang terbilang lebar itu, deretan lampu yang terang benderang bagaikan pasar malam di tengah laut telah menyapa di kejauhan. Kenapa banyak lampu yang membentuk sejumlah koloni di tengah laut? Jawabannya adalah karena di situ bediri bagan-bagan tempat menangkap ikan puri. Bagan-bagan tersebut sebenarnya adalah semacam kapal kayu yang didesain sedemikian rupa sehingga memiliki struktur bangunan yang memungkinkan kapal tersebut menggelar jaringnya. Bagan, atau tepatnya kapal bagan tersebut diparkir dengan jangkar tertancap pada posisi yang telah ditentukan oleh pemilik bagan. Setiap bagan memiliki sejumlah lampu yang dinyalakan dari sebuah generator. Lampu-lampu tersebut memiliki tingkat penerangan yang cukup untuk mengundang ikan-ikan kecil semacam teri, yang dalam bahasa lokal disebut ikan puri. Tujuan peletakan bagan yang sebenarnya adalah menangkap ikan puri.  Tapi biasanya ada beberapa biota lain yang ikut tertangkap sebagai tangkapan sampingan, antara lain beberapa jenis ikan lain serta cumi-cumi. Ikan puri sendiri sebenarnya merupakan umpan pancingan untuk ikan yang lebih besar semisal ikan cakalang. Hampir setiap pagi, beberapa kapal penangkap ikan cakalang datang ke bagan untuk mengambil ikan umpan.



Adanya penerangan dari lampu tidak hanya mengundang ikan puri dan plankton. Nah, ikan puri dan plankton itulah yang pada akhirnya yang menarik perhatian Whale-Shark untuk datang secara periodik ke bagan tersebut. Lagipula, hampir setiap pagi atau setiap ada kapal yang ambil ikan puri, penjaga bagan biasa menghamburkan ikan puri ke arah Whale-Shark tersebut. Kebiasaan seperti ini nampaknya sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan dialami secara turun-temurun oleh Whale-Shark. Sehingga kesan yang timbul makhluk raksasa ini sebagai hewan piaraan, teman sekaligus sumber hiburan tersendiri bagi para penjaga bagan. Ada semacam ketergantungan dari hiu jinak tersebut terhadap uluran tangan penjaga bagan. Sama halnya dengan yang terjadi di kebanyakan tempat wisata perairan yang menawarkan memberi makan ikan saat snorkeling, seperti yang terjadi di Bali dan Lombok. Dari sisi ekologis, hal itu jelas menyalahi kodrat. Logikanya, sedikit banyak akan merubah perilaku sang biota. Dapat dibayangkan apabila kegiatan memberi makan tersebut tiba-tiba dihentikan sama sekali setelah berlangsung bertahun-tahun, mungkin secara psikologis biota-biota liar tersebut akan mengalami gangguan. Bahkan tidak mungkin akan terjadi kemungkinan terburuk, kematian, karena makanan yang biasanya tersedia sudah tidak ada lagi. Bagi Whale-Shark sendiri, secara alamiah dalam jaring-jaring makanan peranannya adalah sebagai pemakan ikan-ikan kecil dan plankton.


Whale-Shark? Whale apa Shark? Whale (paus) dan Shark (hiu) adalah dua makhluk yang kekerabatannya sangat jauh. Satunya keluarga mamalia, satunya lagi keluarga ikan. Nah, lantas kenapa disebut Whale-Shark? Usut punya usut, ternyata makhluk yang satu ini memang memiliki perawakan yang mirip paus (whale), tapi sebenarnya adalah keluarga hiu (shark). Whale-Shark (Hiu-Paus), atau oleh masyarakat Papua biasa disebut dengan nama Gunaro Bintang, dalam struktur tata nama memiliki nama ilmiah Rhincodon typus. Di berbagai tempat di Indonesia, Whale-Shark memiliki beberapa nama lokal antara lain Hiu-Bodoh, Hiu-Geger Lintang dan Hiu-Bintang. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah mungkin makhluk ini merupakan bentuk peralihan antara ikan dan mamalia, atau sebaliknya? Ilmu pengetahuan dan teknologi mungkin bisa menuntun kita pada jawaban yang tepat. Ilmu pengetahuan tentang biologi, evolusi, dan filogeni beserta analisis dan teori-teori yang berkaitan dalam takaran yang pas akan menyediakan jawabannya. Jika dengan analisis dan teori belum memberikan jawaban yang maksimal, tentunya teknologi akan sangat mendukung. Banyak tools yang bisa diaplikasikan, dengan memanfaatkan bantuan dari teknologi sekuensi DNA misalnya. Dewasa ini, pemanfaatan ilmu genetik dengan sekuensi DNA sudah berkembang dengan sangat pesat. Dengan batuan tool ini pula banyak spesies baru yang telah dideskripsikan, banyak hubungan kekerabatan antar biota yang sudah diungkapkan, bahkan hubungan nenek moyang antar individu dalam satu spesies yang tersebar di seluruh dunia.


Secara umum di perairan Papua, ada dua tempat yang telah diketahui menjadi habitat Whale Shark, yaitu di Namatotte, Triton Bay (Kaimana) dan di Kwatisore, Taman Nasional Teluk Cendrawasih (Nabire). Keduanya menjadi tempat mencari makan Whale-Shark karena sama-sama dimanfaatkan untuk meletakkan bagan penangkap ikan puri. Di Triton Bay ini, kisah tentang Whale-Shark sudah cukup lama diketahui. Sudah cukup banyak liputan media maupun tulisan tentang keberadaan makhluk anggun ini. Whale-Shark sebenarnya belum lama menjadi incaranku dalam berpetualang, mengingat kemungkinan untuk mewujudkannya sangat kecil. Bahkan baru sekitar dua tahun terakhir ini aku bisa dikatakan baru mengenal istilah Whale-Shark, walaupun sebelumnya pernah bertemu di aquarium milik salah satu eksportir biota hias di Jakarta. Pada akhirnya, aku benar-benar diperkenalkan dengan kisah tentang Whale-Shark oleh beberapa kesempatan yang tidak terencana. Aku teringat cerita seru saat ngobrol tentang Whale-Shark di Kwatisore dengan salah seorang public figure. Dia adalah Cahyo Alkantana, yang seorang diver, fotografer, videografer, sekaligus penggiat speleology, punya hobi paramotor, dan sekaligus host di salah satu acara petualangan di salah satu televisi swasta nasional. Dengan berapi-api Om Cahyo menceritakan kisah Whale-Shark Kwatisore saat kami bergabung dalam kegiatan penyelaman bersama di Raja Ampat. Dari cerita pembuatan video dan pengambilan foto Whale-Shark di Kwatisore hingga mempopulerkannya dalam sebuah film dokumenter, aku sudah terbawa dalam serunya berpetualang bersama sang raksasa. Tidak berhenti sampai disitu, waktu pertemuan dengan om Cahyo di acara Deep and Extreme Indonesia dan di acara peringatan 125 tahun National Geographic kembali aku dicekokin dengan cerita tentang Whale-Shark Kwatisore. Sedangkan cerita tentang Whale-Shark Triton Bay lebih banyak aku dapatkan dari kawan-kawan di Conservation International (CI) dan The Nature Concervancy (TNC). Kedua NGO internasional tersebut memang terbilang aktif dalam upaya pelestarian biota dan kawasan.


Kedua kisah tentang Whale-Shark di tanah eksotik Papua ini membuatku semakin penasaran dan ingin segera bertualang bersama. Dan akhirnya, rasa penasaran dan keinginan tersebut terwujud saat mengikuti joint research antara IRD (Prancis) – LIPI – Apsor di perairan Kabupaten Kaimana. Sebelum dapat melihat Whale-Shark, kru kapal KM Airaha 2 menuju ke bagan yang berada paling luar di mulut teluk untuk memastikan informasi mengenai Whale-Shark di malam itu. Informasi yang didapat, Whale-Shark biasanya ‘diberi makan’ di waktu fajar, atau saat kapal yang mengambil ikan puri biasa datang. Informasi lainnya, tidak boleh ada penyelam di sekitar bagan karena gelembung udara yang dikeluarkan oleh penyelam akan mengganggu keberadaan Whale-Shark. Selain itu, penjaga bagan menyarankan untuk membeli ikan puri jika ingin melihat Whale-Shark lebih lama, dengan cara menghamburkan ikan puri secara bertahap. Kenapa harus membeli, ternyata alasannya karena saat itu harga ikan puri sedang tinggi lantaran sedang tidak musim.


Keesokan harinya, selepas subuh semua tim bersiap menuju ke bagan tempat Whale-Shark biasa muncul. Tim yang akan ikut berjumlah 21 orang yang dibagi dalam dua perahu karet, terdiri dari lima orang penyelam, 14 orang hanya snorkeling, dan sisanya adalah motoris. Loh kok masih ada penyelam? Yang tidak diperbolehkan adalah penyelaman menggunakan SCUBA equipment, sedangkan mereka melakukan penyelaman menggunakan CCR equipment yang tidak menghasilkan gelembung udara. Usut punya usut, ternyata tidak ada larangan penyelaman menggunakan perlengkapan selam SCUBA. Larangan yang dimaksudkan di atas adalah yang dibuat oleh ketua rombongan, dengan maksud agar di dalam tidak terlalu padat oleh penyelam, sehingga proses pembuatan video tidak terganggu oleh penyelam lain maupun oleh gelembung udara. Awalnya aku sedikit kecewa dengan larangannya, tapi akhirnya tetap enjoy menikmati kebersamaan dengan sang primadona. Aku tergabung dengan teman-teman yang melakukan snorkeling.


Setibanya di dekat bagan, terlihat beelasan orang sedang sibuk di sebuah kapal yang ternyata ada kapal penangkap cakalang yang mengambil ikan puri. Beberapa orang di antaranya sudah tanggap dengan maksud kami datang ke bagan tersebut, mereka berteriak ‘dia ada di sebelah kanan’. Setelah perahu karet berhenti, kami pun segera turun ke air. Aku justru bertanya-tanya karena salah seorang teman yang sudah terlebih dahulu turun bilang kalo air keruh dan tidak ada apa-apa. Benar saja, setelah aku turun pun tidak melihat apapun sampai sekitar sepuluh menit kemudian. Yang terlihat hanyalah ratusan, mungkin ribuan, ikan puri yang sebagian besar telah mati yang melayang di air yang keruh. Keruhnya air tersebut ternyata diakibatkan oleh padatnya sisik ikan yang telah lepas dari badannya. Yang dinanti-nantikan pun akhirnya muncul juga dari dalam. Sang raksasa yang bergerak sangat anggun muncul dari kegelapan Teluk Triton menuju ke arahku. Entah berapa lama mata ini tidak berkedip seolah belum percaya bahwa ini adalah nyata. Detak jantung ini, berdegup sangat kencang, antara rasa kagum yang teramat bercampur dengan rasa kuatir jikalau ditabrak makhluk sebesar itu. Kalau kekhawatiran digigit memang hampir tidak ada, karena sudah sedikit memahami pola makannya.



Aku hanya terdiam dan membiarkan diri didekati oleh sang idola, sampai akhirnya dia berbelok ke arah gerombolan ikan puri ketika menjelang sampai ke permukaan. Sementara itu, anggota tim yang lain sedang asyik dengan kekagumannya masing-masing, baik yang sedang menyelam maupun yang hanya snorkeling. Kebanyakan mereka disibukkan dengan kamera, memfoto dan memvideokan dari berbagai sisi. Aku, hanya datang dengan alat perekam di otak karena memang kameraku sudah rusak saat penyelaman malam di lokasi sebelumnya. Namun aku sedikitpun tidak kecewa karena tidak bisa mengabadikan momen perjumpaan dengan Whale-Shark, tapi justru dengan demikian aku bisa memfokuskan diri untuk mengaguminya tanpa disibukkan dengan kamera. Di beberapa kesempatan, aku bahkan bisa dengan leluasa membelai kulit punggungnya, memegang siripnya, dan mengikuti gerakan gemulai dari kibasan ekornya. Aku sempat merasa miris karena ternyata bagian sirip dada kanannya terluka, kemungkinan bekas tercabik oleh serangan hiu. Lubang menganga selebar lebih dari 20 cm tersebut kelihatannya sudah ada sejak beberapa hari sebelumnya. Saking penasarannya, aku mencoba memegang sirip punggungnya, dan aku pun dibawanya berenang seolah menungganginya untuk beberapa saat sambil mengamati luka itu. Apa yang telah kulakukan memang tidak disarankan untuk alasa etika, baik sekedar mengelus kulitnya, apalagi sampai menungganginya. Akan tetapi ada pengecualian untuk alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, terutama untuk penelitian, hal-hal semacam itu masih diperbolehkan. Beberapa orang dari anggota tim terlihat sedang berusaha mengambil sampel dari daging maupun kulit Whale-Shark untuk keperluan analisis DNA.


Selain apa yang telah aku dan para penjaga bagan lakukan tadi, sebenarnya masih banyak perlakuan-perlakuan yang sebenarnya tidak seharusnya diterima oleh sang biota secara terus-menerus. Misalnya, kontak dengan para penyelam ataupun pesnorkeling yang melakukan pengambilan foto maupun video. Lambat laun perilaku alamiah dari biota akan berubah, tidak hanya berlaku untuk Whale-Shark saja namun semua biota. Sayangnya, hal-hal semacam ini sudah menjadi sarana hiburan bahkan untuk kepentingan komersial. Buktinya, sehari sebelum kami tiba di lokasi pengamatan Whale-Shark, seorang penjaga bagan memberitahukan bahwa ada peliputan biota eksotis tersebut dari salah satu stasiun televisi swasta nasional. Aku yakin, setiap bulan minimal ada tiga kali kegiatan yang berkaitan dengan keberadaan Whale-Shark. Artinya bahwa keberadaan manusia sudah menjadi hal yang biasa bagi satwa liar tersebut.


Dalam beberapa kesempatan aku memiliki harapan, apapun dan bagaimanapun kisah tentang Whale-Shark di perairan Triton Bay dan Papua secara keseluruhan, semoga makhluk yang sudah langka ini keberadaannya tetap lestari di habitat alaminya. Aku tidak ingin apa yang kulihat dan kagumi saat ini hanya tinggal cerita generasi lalu bagi anak cucu nantinya. Aku yakin semua orang pasti juga akan mengamini harapan aku itu.  Lagi pula, pemerintah dan dunia internasional sudah menetapkan aturan keras mengenai pemanfaatan hiu secara umum. Sampai ketemu di lain waktu, wahai sang raksasa…
(beberapa foto merupakan sumbangan dari: Gilles di Raimondo, Prancis)



Kaimana, 01112014, 10:42pm




*catatan seorang pejalan