Thursday, July 23, 2015

Sapaan Hangat dari Whale-Shark, Raksasa Penghuni Triton Bay

Senja kala itu, kapal KM Airaha 2 milik Akademi Perikanan Sorong telah merapat di sekitaran Pulau Namatotte, Kaimana. Terhitung, itu hari ke 12 pelayaranku bersama tim peneliti dari IRD Perancis, LIPI, dan beberapa instansi lokal tanah Papua. Sebelumnya, kami sudah berlayar lebih dari 50 jam dari Sorong menuju Kaimana, dan telah melakukan penyelaman di beberapa lokasi di wilayah perairan kabupaten di Papua Barat ini. Saat memasuki teluk yang terbilang lebar itu, deretan lampu yang terang benderang bagaikan pasar malam di tengah laut telah menyapa di kejauhan. Kenapa banyak lampu yang membentuk sejumlah koloni di tengah laut? Jawabannya adalah karena di situ bediri bagan-bagan tempat menangkap ikan puri. Bagan-bagan tersebut sebenarnya adalah semacam kapal kayu yang didesain sedemikian rupa sehingga memiliki struktur bangunan yang memungkinkan kapal tersebut menggelar jaringnya. Bagan, atau tepatnya kapal bagan tersebut diparkir dengan jangkar tertancap pada posisi yang telah ditentukan oleh pemilik bagan. Setiap bagan memiliki sejumlah lampu yang dinyalakan dari sebuah generator. Lampu-lampu tersebut memiliki tingkat penerangan yang cukup untuk mengundang ikan-ikan kecil semacam teri, yang dalam bahasa lokal disebut ikan puri. Tujuan peletakan bagan yang sebenarnya adalah menangkap ikan puri.  Tapi biasanya ada beberapa biota lain yang ikut tertangkap sebagai tangkapan sampingan, antara lain beberapa jenis ikan lain serta cumi-cumi. Ikan puri sendiri sebenarnya merupakan umpan pancingan untuk ikan yang lebih besar semisal ikan cakalang. Hampir setiap pagi, beberapa kapal penangkap ikan cakalang datang ke bagan untuk mengambil ikan umpan.



Adanya penerangan dari lampu tidak hanya mengundang ikan puri dan plankton. Nah, ikan puri dan plankton itulah yang pada akhirnya yang menarik perhatian Whale-Shark untuk datang secara periodik ke bagan tersebut. Lagipula, hampir setiap pagi atau setiap ada kapal yang ambil ikan puri, penjaga bagan biasa menghamburkan ikan puri ke arah Whale-Shark tersebut. Kebiasaan seperti ini nampaknya sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan dialami secara turun-temurun oleh Whale-Shark. Sehingga kesan yang timbul makhluk raksasa ini sebagai hewan piaraan, teman sekaligus sumber hiburan tersendiri bagi para penjaga bagan. Ada semacam ketergantungan dari hiu jinak tersebut terhadap uluran tangan penjaga bagan. Sama halnya dengan yang terjadi di kebanyakan tempat wisata perairan yang menawarkan memberi makan ikan saat snorkeling, seperti yang terjadi di Bali dan Lombok. Dari sisi ekologis, hal itu jelas menyalahi kodrat. Logikanya, sedikit banyak akan merubah perilaku sang biota. Dapat dibayangkan apabila kegiatan memberi makan tersebut tiba-tiba dihentikan sama sekali setelah berlangsung bertahun-tahun, mungkin secara psikologis biota-biota liar tersebut akan mengalami gangguan. Bahkan tidak mungkin akan terjadi kemungkinan terburuk, kematian, karena makanan yang biasanya tersedia sudah tidak ada lagi. Bagi Whale-Shark sendiri, secara alamiah dalam jaring-jaring makanan peranannya adalah sebagai pemakan ikan-ikan kecil dan plankton.


Whale-Shark? Whale apa Shark? Whale (paus) dan Shark (hiu) adalah dua makhluk yang kekerabatannya sangat jauh. Satunya keluarga mamalia, satunya lagi keluarga ikan. Nah, lantas kenapa disebut Whale-Shark? Usut punya usut, ternyata makhluk yang satu ini memang memiliki perawakan yang mirip paus (whale), tapi sebenarnya adalah keluarga hiu (shark). Whale-Shark (Hiu-Paus), atau oleh masyarakat Papua biasa disebut dengan nama Gunaro Bintang, dalam struktur tata nama memiliki nama ilmiah Rhincodon typus. Di berbagai tempat di Indonesia, Whale-Shark memiliki beberapa nama lokal antara lain Hiu-Bodoh, Hiu-Geger Lintang dan Hiu-Bintang. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah mungkin makhluk ini merupakan bentuk peralihan antara ikan dan mamalia, atau sebaliknya? Ilmu pengetahuan dan teknologi mungkin bisa menuntun kita pada jawaban yang tepat. Ilmu pengetahuan tentang biologi, evolusi, dan filogeni beserta analisis dan teori-teori yang berkaitan dalam takaran yang pas akan menyediakan jawabannya. Jika dengan analisis dan teori belum memberikan jawaban yang maksimal, tentunya teknologi akan sangat mendukung. Banyak tools yang bisa diaplikasikan, dengan memanfaatkan bantuan dari teknologi sekuensi DNA misalnya. Dewasa ini, pemanfaatan ilmu genetik dengan sekuensi DNA sudah berkembang dengan sangat pesat. Dengan batuan tool ini pula banyak spesies baru yang telah dideskripsikan, banyak hubungan kekerabatan antar biota yang sudah diungkapkan, bahkan hubungan nenek moyang antar individu dalam satu spesies yang tersebar di seluruh dunia.


Secara umum di perairan Papua, ada dua tempat yang telah diketahui menjadi habitat Whale Shark, yaitu di Namatotte, Triton Bay (Kaimana) dan di Kwatisore, Taman Nasional Teluk Cendrawasih (Nabire). Keduanya menjadi tempat mencari makan Whale-Shark karena sama-sama dimanfaatkan untuk meletakkan bagan penangkap ikan puri. Di Triton Bay ini, kisah tentang Whale-Shark sudah cukup lama diketahui. Sudah cukup banyak liputan media maupun tulisan tentang keberadaan makhluk anggun ini. Whale-Shark sebenarnya belum lama menjadi incaranku dalam berpetualang, mengingat kemungkinan untuk mewujudkannya sangat kecil. Bahkan baru sekitar dua tahun terakhir ini aku bisa dikatakan baru mengenal istilah Whale-Shark, walaupun sebelumnya pernah bertemu di aquarium milik salah satu eksportir biota hias di Jakarta. Pada akhirnya, aku benar-benar diperkenalkan dengan kisah tentang Whale-Shark oleh beberapa kesempatan yang tidak terencana. Aku teringat cerita seru saat ngobrol tentang Whale-Shark di Kwatisore dengan salah seorang public figure. Dia adalah Cahyo Alkantana, yang seorang diver, fotografer, videografer, sekaligus penggiat speleology, punya hobi paramotor, dan sekaligus host di salah satu acara petualangan di salah satu televisi swasta nasional. Dengan berapi-api Om Cahyo menceritakan kisah Whale-Shark Kwatisore saat kami bergabung dalam kegiatan penyelaman bersama di Raja Ampat. Dari cerita pembuatan video dan pengambilan foto Whale-Shark di Kwatisore hingga mempopulerkannya dalam sebuah film dokumenter, aku sudah terbawa dalam serunya berpetualang bersama sang raksasa. Tidak berhenti sampai disitu, waktu pertemuan dengan om Cahyo di acara Deep and Extreme Indonesia dan di acara peringatan 125 tahun National Geographic kembali aku dicekokin dengan cerita tentang Whale-Shark Kwatisore. Sedangkan cerita tentang Whale-Shark Triton Bay lebih banyak aku dapatkan dari kawan-kawan di Conservation International (CI) dan The Nature Concervancy (TNC). Kedua NGO internasional tersebut memang terbilang aktif dalam upaya pelestarian biota dan kawasan.


Kedua kisah tentang Whale-Shark di tanah eksotik Papua ini membuatku semakin penasaran dan ingin segera bertualang bersama. Dan akhirnya, rasa penasaran dan keinginan tersebut terwujud saat mengikuti joint research antara IRD (Prancis) – LIPI – Apsor di perairan Kabupaten Kaimana. Sebelum dapat melihat Whale-Shark, kru kapal KM Airaha 2 menuju ke bagan yang berada paling luar di mulut teluk untuk memastikan informasi mengenai Whale-Shark di malam itu. Informasi yang didapat, Whale-Shark biasanya ‘diberi makan’ di waktu fajar, atau saat kapal yang mengambil ikan puri biasa datang. Informasi lainnya, tidak boleh ada penyelam di sekitar bagan karena gelembung udara yang dikeluarkan oleh penyelam akan mengganggu keberadaan Whale-Shark. Selain itu, penjaga bagan menyarankan untuk membeli ikan puri jika ingin melihat Whale-Shark lebih lama, dengan cara menghamburkan ikan puri secara bertahap. Kenapa harus membeli, ternyata alasannya karena saat itu harga ikan puri sedang tinggi lantaran sedang tidak musim.


Keesokan harinya, selepas subuh semua tim bersiap menuju ke bagan tempat Whale-Shark biasa muncul. Tim yang akan ikut berjumlah 21 orang yang dibagi dalam dua perahu karet, terdiri dari lima orang penyelam, 14 orang hanya snorkeling, dan sisanya adalah motoris. Loh kok masih ada penyelam? Yang tidak diperbolehkan adalah penyelaman menggunakan SCUBA equipment, sedangkan mereka melakukan penyelaman menggunakan CCR equipment yang tidak menghasilkan gelembung udara. Usut punya usut, ternyata tidak ada larangan penyelaman menggunakan perlengkapan selam SCUBA. Larangan yang dimaksudkan di atas adalah yang dibuat oleh ketua rombongan, dengan maksud agar di dalam tidak terlalu padat oleh penyelam, sehingga proses pembuatan video tidak terganggu oleh penyelam lain maupun oleh gelembung udara. Awalnya aku sedikit kecewa dengan larangannya, tapi akhirnya tetap enjoy menikmati kebersamaan dengan sang primadona. Aku tergabung dengan teman-teman yang melakukan snorkeling.


Setibanya di dekat bagan, terlihat beelasan orang sedang sibuk di sebuah kapal yang ternyata ada kapal penangkap cakalang yang mengambil ikan puri. Beberapa orang di antaranya sudah tanggap dengan maksud kami datang ke bagan tersebut, mereka berteriak ‘dia ada di sebelah kanan’. Setelah perahu karet berhenti, kami pun segera turun ke air. Aku justru bertanya-tanya karena salah seorang teman yang sudah terlebih dahulu turun bilang kalo air keruh dan tidak ada apa-apa. Benar saja, setelah aku turun pun tidak melihat apapun sampai sekitar sepuluh menit kemudian. Yang terlihat hanyalah ratusan, mungkin ribuan, ikan puri yang sebagian besar telah mati yang melayang di air yang keruh. Keruhnya air tersebut ternyata diakibatkan oleh padatnya sisik ikan yang telah lepas dari badannya. Yang dinanti-nantikan pun akhirnya muncul juga dari dalam. Sang raksasa yang bergerak sangat anggun muncul dari kegelapan Teluk Triton menuju ke arahku. Entah berapa lama mata ini tidak berkedip seolah belum percaya bahwa ini adalah nyata. Detak jantung ini, berdegup sangat kencang, antara rasa kagum yang teramat bercampur dengan rasa kuatir jikalau ditabrak makhluk sebesar itu. Kalau kekhawatiran digigit memang hampir tidak ada, karena sudah sedikit memahami pola makannya.



Aku hanya terdiam dan membiarkan diri didekati oleh sang idola, sampai akhirnya dia berbelok ke arah gerombolan ikan puri ketika menjelang sampai ke permukaan. Sementara itu, anggota tim yang lain sedang asyik dengan kekagumannya masing-masing, baik yang sedang menyelam maupun yang hanya snorkeling. Kebanyakan mereka disibukkan dengan kamera, memfoto dan memvideokan dari berbagai sisi. Aku, hanya datang dengan alat perekam di otak karena memang kameraku sudah rusak saat penyelaman malam di lokasi sebelumnya. Namun aku sedikitpun tidak kecewa karena tidak bisa mengabadikan momen perjumpaan dengan Whale-Shark, tapi justru dengan demikian aku bisa memfokuskan diri untuk mengaguminya tanpa disibukkan dengan kamera. Di beberapa kesempatan, aku bahkan bisa dengan leluasa membelai kulit punggungnya, memegang siripnya, dan mengikuti gerakan gemulai dari kibasan ekornya. Aku sempat merasa miris karena ternyata bagian sirip dada kanannya terluka, kemungkinan bekas tercabik oleh serangan hiu. Lubang menganga selebar lebih dari 20 cm tersebut kelihatannya sudah ada sejak beberapa hari sebelumnya. Saking penasarannya, aku mencoba memegang sirip punggungnya, dan aku pun dibawanya berenang seolah menungganginya untuk beberapa saat sambil mengamati luka itu. Apa yang telah kulakukan memang tidak disarankan untuk alasa etika, baik sekedar mengelus kulitnya, apalagi sampai menungganginya. Akan tetapi ada pengecualian untuk alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, terutama untuk penelitian, hal-hal semacam itu masih diperbolehkan. Beberapa orang dari anggota tim terlihat sedang berusaha mengambil sampel dari daging maupun kulit Whale-Shark untuk keperluan analisis DNA.


Selain apa yang telah aku dan para penjaga bagan lakukan tadi, sebenarnya masih banyak perlakuan-perlakuan yang sebenarnya tidak seharusnya diterima oleh sang biota secara terus-menerus. Misalnya, kontak dengan para penyelam ataupun pesnorkeling yang melakukan pengambilan foto maupun video. Lambat laun perilaku alamiah dari biota akan berubah, tidak hanya berlaku untuk Whale-Shark saja namun semua biota. Sayangnya, hal-hal semacam ini sudah menjadi sarana hiburan bahkan untuk kepentingan komersial. Buktinya, sehari sebelum kami tiba di lokasi pengamatan Whale-Shark, seorang penjaga bagan memberitahukan bahwa ada peliputan biota eksotis tersebut dari salah satu stasiun televisi swasta nasional. Aku yakin, setiap bulan minimal ada tiga kali kegiatan yang berkaitan dengan keberadaan Whale-Shark. Artinya bahwa keberadaan manusia sudah menjadi hal yang biasa bagi satwa liar tersebut.


Dalam beberapa kesempatan aku memiliki harapan, apapun dan bagaimanapun kisah tentang Whale-Shark di perairan Triton Bay dan Papua secara keseluruhan, semoga makhluk yang sudah langka ini keberadaannya tetap lestari di habitat alaminya. Aku tidak ingin apa yang kulihat dan kagumi saat ini hanya tinggal cerita generasi lalu bagi anak cucu nantinya. Aku yakin semua orang pasti juga akan mengamini harapan aku itu.  Lagi pula, pemerintah dan dunia internasional sudah menetapkan aturan keras mengenai pemanfaatan hiu secara umum. Sampai ketemu di lain waktu, wahai sang raksasa…
(beberapa foto merupakan sumbangan dari: Gilles di Raimondo, Prancis)



Kaimana, 01112014, 10:42pm




*catatan seorang pejalan

No comments:

Post a Comment