Senja kala itu, kapal KM Airaha 2 milik Akademi Perikanan
Sorong telah merapat di sekitaran Pulau Namatotte, Kaimana. Terhitung, itu hari
ke 12 pelayaranku bersama tim peneliti dari IRD Perancis, LIPI, dan beberapa
instansi lokal tanah Papua. Sebelumnya, kami sudah berlayar lebih dari 50 jam
dari Sorong menuju Kaimana, dan telah melakukan penyelaman di beberapa lokasi
di wilayah perairan kabupaten di Papua Barat ini. Saat memasuki teluk yang
terbilang lebar itu, deretan lampu yang terang benderang bagaikan pasar malam
di tengah laut telah menyapa di kejauhan. Kenapa banyak lampu yang membentuk
sejumlah koloni di tengah laut? Jawabannya adalah karena di situ bediri bagan-bagan
tempat menangkap ikan puri. Bagan-bagan tersebut sebenarnya adalah semacam
kapal kayu yang didesain sedemikian rupa sehingga memiliki struktur bangunan
yang memungkinkan kapal tersebut menggelar jaringnya. Bagan, atau tepatnya
kapal bagan tersebut diparkir dengan jangkar tertancap pada posisi yang telah
ditentukan oleh pemilik bagan. Setiap bagan memiliki sejumlah lampu yang
dinyalakan dari sebuah generator. Lampu-lampu tersebut memiliki tingkat
penerangan yang cukup untuk mengundang ikan-ikan kecil semacam teri, yang dalam
bahasa lokal disebut ikan puri. Tujuan peletakan bagan yang sebenarnya adalah
menangkap ikan puri. Tapi biasanya ada
beberapa biota lain yang ikut tertangkap sebagai tangkapan sampingan, antara
lain beberapa jenis ikan lain serta cumi-cumi. Ikan puri sendiri sebenarnya
merupakan umpan pancingan untuk ikan yang lebih besar semisal ikan cakalang.
Hampir setiap pagi, beberapa kapal penangkap ikan cakalang datang ke bagan
untuk mengambil ikan umpan.
Adanya penerangan dari lampu tidak hanya mengundang ikan
puri dan plankton. Nah, ikan puri dan plankton itulah yang pada akhirnya yang
menarik perhatian Whale-Shark untuk datang secara periodik ke bagan tersebut. Lagipula,
hampir setiap pagi atau setiap ada kapal yang ambil ikan puri, penjaga bagan
biasa menghamburkan ikan puri ke arah Whale-Shark tersebut. Kebiasaan seperti
ini nampaknya sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan dialami secara
turun-temurun oleh Whale-Shark. Sehingga kesan yang timbul makhluk raksasa ini
sebagai hewan piaraan, teman sekaligus sumber hiburan tersendiri bagi para
penjaga bagan. Ada semacam ketergantungan dari hiu jinak tersebut terhadap
uluran tangan penjaga bagan. Sama halnya dengan yang terjadi di kebanyakan
tempat wisata perairan yang menawarkan memberi makan ikan saat snorkeling,
seperti yang terjadi di Bali dan Lombok. Dari sisi ekologis, hal itu jelas
menyalahi kodrat. Logikanya, sedikit banyak akan merubah perilaku sang biota. Dapat
dibayangkan apabila kegiatan memberi makan tersebut tiba-tiba dihentikan sama
sekali setelah berlangsung bertahun-tahun, mungkin secara psikologis
biota-biota liar tersebut akan mengalami gangguan. Bahkan tidak mungkin akan
terjadi kemungkinan terburuk, kematian, karena makanan yang biasanya tersedia
sudah tidak ada lagi. Bagi Whale-Shark sendiri, secara alamiah dalam
jaring-jaring makanan peranannya adalah sebagai pemakan ikan-ikan kecil dan
plankton.
Whale-Shark? Whale apa Shark? Whale (paus) dan Shark (hiu)
adalah dua makhluk yang kekerabatannya sangat jauh. Satunya keluarga mamalia,
satunya lagi keluarga ikan. Nah, lantas kenapa disebut Whale-Shark? Usut punya
usut, ternyata makhluk yang satu ini memang memiliki perawakan yang mirip paus
(whale), tapi sebenarnya adalah keluarga hiu (shark). Whale-Shark (Hiu-Paus),
atau oleh masyarakat Papua biasa disebut dengan nama Gunaro Bintang, dalam
struktur tata nama memiliki nama ilmiah Rhincodon
typus. Di berbagai tempat di Indonesia, Whale-Shark memiliki beberapa nama
lokal antara lain Hiu-Bodoh, Hiu-Geger Lintang dan Hiu-Bintang. Pertanyaan
selanjutnya adalah, apakah mungkin makhluk ini merupakan bentuk peralihan
antara ikan dan mamalia, atau sebaliknya? Ilmu pengetahuan dan teknologi
mungkin bisa menuntun kita pada jawaban yang tepat. Ilmu pengetahuan tentang
biologi, evolusi, dan filogeni beserta analisis dan teori-teori yang berkaitan
dalam takaran yang pas akan menyediakan jawabannya. Jika dengan analisis dan
teori belum memberikan jawaban yang maksimal, tentunya teknologi akan sangat
mendukung. Banyak tools yang bisa diaplikasikan, dengan memanfaatkan bantuan dari
teknologi sekuensi DNA misalnya. Dewasa ini, pemanfaatan ilmu genetik dengan
sekuensi DNA sudah berkembang dengan sangat pesat. Dengan batuan tool ini pula
banyak spesies baru yang telah dideskripsikan, banyak hubungan kekerabatan
antar biota yang sudah diungkapkan, bahkan hubungan nenek moyang antar individu
dalam satu spesies yang tersebar di seluruh dunia.
Secara umum di perairan Papua, ada dua tempat yang telah
diketahui menjadi habitat Whale Shark, yaitu di Namatotte, Triton Bay (Kaimana)
dan di Kwatisore, Taman Nasional Teluk Cendrawasih (Nabire). Keduanya menjadi
tempat mencari makan Whale-Shark karena sama-sama
dimanfaatkan untuk meletakkan bagan penangkap ikan puri. Di Triton Bay ini,
kisah tentang Whale-Shark sudah cukup lama diketahui. Sudah cukup banyak
liputan media maupun tulisan tentang keberadaan makhluk anggun ini. Whale-Shark
sebenarnya belum lama menjadi incaranku dalam berpetualang, mengingat
kemungkinan untuk mewujudkannya sangat kecil. Bahkan baru sekitar dua tahun
terakhir ini aku bisa dikatakan baru mengenal istilah Whale-Shark, walaupun
sebelumnya pernah bertemu di aquarium milik salah satu eksportir biota hias di
Jakarta. Pada akhirnya, aku benar-benar diperkenalkan dengan kisah tentang
Whale-Shark oleh beberapa kesempatan yang tidak terencana. Aku teringat cerita
seru saat ngobrol tentang Whale-Shark di Kwatisore dengan salah seorang public
figure. Dia adalah Cahyo Alkantana, yang seorang diver, fotografer,
videografer, sekaligus penggiat speleology, punya hobi paramotor, dan sekaligus
host di salah satu acara petualangan di salah satu televisi swasta nasional.
Dengan berapi-api Om Cahyo menceritakan kisah Whale-Shark Kwatisore saat kami
bergabung dalam kegiatan penyelaman bersama di Raja Ampat. Dari cerita
pembuatan video dan pengambilan foto Whale-Shark di Kwatisore hingga
mempopulerkannya dalam sebuah film dokumenter, aku sudah terbawa dalam serunya
berpetualang bersama sang raksasa. Tidak berhenti sampai disitu, waktu
pertemuan dengan om Cahyo di acara Deep and Extreme Indonesia dan di acara
peringatan 125 tahun National Geographic kembali aku dicekokin dengan cerita
tentang Whale-Shark Kwatisore. Sedangkan cerita tentang Whale-Shark Triton Bay
lebih banyak aku dapatkan dari kawan-kawan di Conservation International (CI)
dan The Nature Concervancy (TNC). Kedua NGO internasional tersebut memang
terbilang aktif dalam upaya pelestarian biota dan kawasan.
Kedua kisah tentang Whale-Shark di tanah eksotik Papua ini
membuatku semakin penasaran dan ingin segera bertualang bersama. Dan akhirnya,
rasa penasaran dan keinginan tersebut terwujud saat mengikuti joint research
antara IRD (Prancis) – LIPI – Apsor di perairan Kabupaten Kaimana. Sebelum
dapat melihat Whale-Shark, kru kapal KM Airaha 2 menuju ke bagan yang berada
paling luar di mulut teluk untuk memastikan informasi mengenai Whale-Shark di
malam itu. Informasi yang didapat, Whale-Shark biasanya ‘diberi makan’ di waktu
fajar, atau saat kapal yang mengambil ikan puri biasa datang. Informasi
lainnya, tidak boleh ada penyelam di sekitar bagan karena gelembung udara yang
dikeluarkan oleh penyelam akan mengganggu keberadaan Whale-Shark. Selain itu,
penjaga bagan menyarankan untuk membeli ikan puri jika ingin melihat
Whale-Shark lebih lama, dengan cara menghamburkan ikan puri secara bertahap.
Kenapa harus membeli, ternyata alasannya karena saat itu harga ikan puri sedang
tinggi lantaran sedang tidak musim.
Keesokan harinya, selepas subuh semua tim bersiap menuju ke
bagan tempat Whale-Shark biasa muncul. Tim yang akan ikut berjumlah 21 orang
yang dibagi dalam dua perahu karet, terdiri dari lima orang penyelam, 14 orang
hanya snorkeling, dan sisanya adalah motoris. Loh kok masih ada penyelam? Yang
tidak diperbolehkan adalah penyelaman menggunakan SCUBA equipment, sedangkan
mereka melakukan penyelaman menggunakan CCR equipment yang tidak menghasilkan
gelembung udara. Usut punya usut, ternyata tidak ada larangan penyelaman
menggunakan perlengkapan selam SCUBA. Larangan yang dimaksudkan di atas adalah
yang dibuat oleh ketua rombongan, dengan maksud agar di dalam tidak terlalu
padat oleh penyelam, sehingga proses pembuatan video tidak terganggu oleh
penyelam lain maupun oleh gelembung udara. Awalnya aku sedikit kecewa dengan
larangannya, tapi akhirnya tetap enjoy menikmati kebersamaan dengan sang
primadona. Aku tergabung dengan teman-teman yang melakukan snorkeling.
Setibanya di dekat bagan, terlihat beelasan orang sedang
sibuk di sebuah kapal yang ternyata ada kapal penangkap cakalang yang mengambil
ikan puri. Beberapa orang di antaranya sudah tanggap dengan maksud kami datang
ke bagan tersebut, mereka berteriak ‘dia ada di sebelah kanan’. Setelah perahu
karet berhenti, kami pun segera turun ke air. Aku justru bertanya-tanya karena
salah seorang teman yang sudah terlebih dahulu turun bilang kalo air keruh dan
tidak ada apa-apa. Benar saja, setelah aku turun pun tidak melihat apapun
sampai sekitar sepuluh menit kemudian. Yang terlihat hanyalah ratusan, mungkin
ribuan, ikan puri yang sebagian besar telah mati yang melayang di air yang
keruh. Keruhnya air tersebut ternyata diakibatkan oleh padatnya sisik ikan yang
telah lepas dari badannya. Yang dinanti-nantikan pun akhirnya muncul juga dari
dalam. Sang raksasa yang bergerak sangat anggun muncul dari kegelapan Teluk
Triton menuju ke arahku. Entah berapa lama mata ini tidak berkedip seolah belum
percaya bahwa ini adalah nyata. Detak jantung ini, berdegup sangat kencang,
antara rasa kagum yang teramat bercampur dengan rasa kuatir jikalau ditabrak
makhluk sebesar itu. Kalau kekhawatiran digigit memang hampir tidak ada, karena
sudah sedikit memahami pola makannya.
Aku hanya terdiam dan membiarkan diri didekati oleh sang
idola, sampai akhirnya dia berbelok ke arah gerombolan ikan puri ketika
menjelang sampai ke permukaan. Sementara itu, anggota tim yang lain sedang
asyik dengan kekagumannya masing-masing, baik yang sedang menyelam maupun yang
hanya snorkeling. Kebanyakan mereka disibukkan dengan kamera, memfoto dan
memvideokan dari berbagai sisi. Aku, hanya datang dengan alat perekam di otak
karena memang kameraku sudah rusak saat penyelaman malam di lokasi sebelumnya.
Namun aku sedikitpun tidak kecewa karena tidak bisa mengabadikan momen
perjumpaan dengan Whale-Shark, tapi justru dengan demikian aku bisa memfokuskan
diri untuk mengaguminya tanpa disibukkan dengan kamera. Di beberapa kesempatan,
aku bahkan bisa dengan leluasa membelai kulit punggungnya, memegang siripnya,
dan mengikuti gerakan gemulai dari kibasan ekornya. Aku sempat merasa miris
karena ternyata bagian sirip dada kanannya terluka, kemungkinan bekas tercabik
oleh serangan hiu. Lubang menganga selebar lebih dari 20 cm tersebut
kelihatannya sudah ada sejak beberapa hari sebelumnya. Saking penasarannya, aku
mencoba memegang sirip punggungnya, dan aku pun dibawanya berenang seolah
menungganginya untuk beberapa saat sambil mengamati luka itu. Apa yang telah kulakukan
memang tidak disarankan untuk alasa etika, baik sekedar mengelus kulitnya,
apalagi sampai menungganginya. Akan tetapi ada pengecualian untuk alasan yang
jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, terutama untuk penelitian, hal-hal
semacam itu masih diperbolehkan. Beberapa orang dari anggota tim terlihat
sedang berusaha mengambil sampel dari daging maupun kulit Whale-Shark untuk
keperluan analisis DNA.
Selain apa yang telah aku dan para penjaga bagan lakukan
tadi, sebenarnya masih banyak perlakuan-perlakuan yang sebenarnya tidak
seharusnya diterima oleh sang biota secara terus-menerus. Misalnya, kontak
dengan para penyelam ataupun pesnorkeling yang melakukan pengambilan foto
maupun video. Lambat laun perilaku alamiah dari biota akan berubah, tidak hanya
berlaku untuk Whale-Shark saja namun semua biota. Sayangnya, hal-hal semacam
ini sudah menjadi sarana hiburan bahkan untuk kepentingan komersial. Buktinya,
sehari sebelum kami tiba di lokasi pengamatan Whale-Shark, seorang penjaga
bagan memberitahukan bahwa ada peliputan biota eksotis tersebut dari salah satu
stasiun televisi swasta nasional. Aku yakin, setiap bulan minimal ada tiga kali
kegiatan yang berkaitan dengan keberadaan Whale-Shark. Artinya bahwa keberadaan
manusia sudah menjadi hal yang biasa bagi satwa liar tersebut.
Dalam beberapa kesempatan aku memiliki harapan, apapun dan
bagaimanapun kisah tentang Whale-Shark di perairan Triton Bay dan Papua secara
keseluruhan, semoga makhluk yang sudah langka ini keberadaannya tetap lestari
di habitat alaminya. Aku tidak ingin apa yang kulihat dan kagumi saat ini hanya
tinggal cerita generasi lalu bagi anak cucu nantinya. Aku yakin semua orang
pasti juga akan mengamini harapan aku itu.
Lagi pula, pemerintah dan dunia internasional sudah menetapkan aturan
keras mengenai pemanfaatan hiu secara umum. Sampai ketemu di lain waktu, wahai
sang raksasa…
Kaimana, 01112014, 10:42pm
*catatan seorang
pejalan
No comments:
Post a Comment