Sunday, June 28, 2015

Geliat Pergantian Tahun di Titik Kilometer Nol

Peta lokasi selam di Pulau Weh
Tawaran trip ke Pulau Weh ini tiba-tiba datang ketika salah seorang teman butuh seseorang untuk menemani ke lapangan mencari jenis lamun tertentu. Lamun adalah salah satu kelompok jenis tumbuhan yang hidup di laut, yang bentuknya mirip dengan ilalang yang ada di darat. Lagipula, trip ini sebenarnya bukan single trip, tetapi serangkaian trip mulai dari Batam, Natuna, Aceh dan kemudian baru Pulau Weh. Sebelum tiba di Sabang, begitu susahnya mencari tempat penginapan, maklum momen pergantian tahun di ujung barat nusantara ini merupakan salah satu destinasi favorit bagi para pelancong. Pada akhirnya kami nekat datang tanpa tahu harus menginap dimana sesampainya disana nanti. Begitupun dengan informasi mengenai keberadaan lamun di wilayah Pulau Weh. Beruntung, setelah membongkar nomor kontak di ponsel dan friend list di salah satu media social, akhirnya ada beberapa teman di Aceh yang kami hubungi. Sambil menyesap secangkir kopi Aceh Gayo yang sudah tersohor itu, kami membicarakan tentang Pulau Weh dan seluk beluknya di sebuah warung kopi yang kian menjamur di negeri Serambi Mekah ini. Beberapa informasi penting berhasil kami dapatkan, termasuk alternatif penginapan yang bisa kami jadikan sebagai tempat istirahat. Untuk urusan transportasi penyeberangan laut dari Banda Aceh menuju Sabang, kami mempercayakannya kepada kakakku. Kakakku walaupun bukan orang asli Aceh tetapi sudah cukup lama berdomisili di Banda Aceh dan telah beberapa kali melakukan penyeberangan ke Pulau Weh.


Antrian di loket penjualan tiket penyeberangan
Benar saja, begitu mengecek jadwal kapal menuju Pulau Weh di pelabuhan penyeberangan Ulee Lheue, banyak sekali orang yang mengantri membeli tiket untuk jadwal penyeberangan besok. Memang, tidak banyak kapal yang melayani penyeberangan dari Banda Aceh menuju Sabang dan sebaliknya, dan kondisinya lebih parah lagi apabila masuk musim angin dan ombak besar. Alternatif penyeberangan ada dua macam yaitu dengan menggunakan kapal feri atau dengan menggunakan kapal cepat. Perbedaan di antara keduanya pada durasi penyeberangan, kondisi tempat duduk dan harga tiket. Kami memutuskan untuk lebih memilih menggunakan kapal feri, mengingat bahwa kami tidak perlu tergesa-gesa untuk segera sampai di tempat tujuan. Aku justru ingin bersantai selama perjalanan, menikmati alat transportasi publik bersama masyarakat lokal kelas menengah ke bawah, sekaligus melakukan observasi ringan tentang sosiologi dan antropologi penduduk setempat. Karena menurutku justru di sinilah letak keunikan sebuah perjalanan, mengenal hidup dan kehidupan masyarakat lokal. Kalau aku memilih menggunakan kapal cepat, mungkin yang aku dapati adalah penumpang dari kalangan borjuis dan turis-turis berkantong tebal dengan gaya parlente mereka. Aku bukan anti kemapanan, tapi bagiku di beberapa momen dan lokasi pemandangan seperti itu tidaklah ada sisi menariknya.


Suasana penyeberangan menggunakan kapal cepat
Satu jam sebelum jadwal keberangkatan kapal, aku dan temanku sudah berada di pelabuhan, dengan menyewa becak motor yang membawaku dari penginapan. Lagi-lagi, aku bertemu dengan orang Jawa yang awalnya datang ke Aceh sebagai relawan pasca gempa dan tsunami di penghujung tahun 2005 lalu. Sang pengemudi becak motor akhirnya bertemu dengan pujaan hatinya yang gadis asli Aceh dan kemudian dia memutuskan untuk menjadi warga Aceh dengan menikahi gadis tersebut. Cerita tentang orang Jawa yang akhirnya menetap banyak terjadi di Aceh dan di daerah lain yang pernah aku kunjungi, tidak hanya dialami oleh kakakku dan sang pengemudi becak motor tadi. Takdir memang tidak pernah dapat kita ketahui akan membawa kita kemana dan untuk menjadi apa (atau siapa). Di mana ada peluang bagi kita untuk maju dan memperoleh penghidupan yang lebih baik, di sanalah kita akan berada dan menjadi apa yang telah telah tertulis pada garis tangan kita.

Bongkar-muat penumpang kapal feri dari dan menuju Sabang di dermaga penyeberangan Ulee Lheue


Duduk menyendiri di tepian dermaga, aku melamun sambil sesekali sambil melihat lalu lalang orang yang lewat di depanku. Penumpang dengan segala model lah, pedagang asongan lah, pengemis lah, dan tidak menutup kemungkinan copet, calo dan kawan-kawannya. Setengah jam kemudian aku bangkit dari anganku mengenai nasib dan masa depan, ketika kapal feri yang akan membawaku ke Pulau Weh mendekati dermaga pelabuhan. Temanku juga sudah terlebih dahulu tersadar dari dunia lamunannya sendiri sebelum aku datang menghampirinya. Kami tidak dapat langsung naik ke kapal walaupun kapal sudah merapat ke dermaga. Aku melihat calon penumpang yang sudah menunggu berkemas-kemas untuk kemudian antri menaiki kapal, sambil menunggu penumpang dari Sabang yang turun dari kapal. Aku sengaja memilih posisi paling belakang antrian, di samping untuk menghindari desak-desakan saat masuk kapal, aku berusaha menangkap momen-momen menarik ketika bongkar muat penumpang kapal. Berbagai ekspresi dan model dandanan para penumpang kapal dengan berbagai barang bawaan mereka menjadi objek tersendiri bagiku. Aku bersama temanku memilih bagian belakang kapal, duduk di atas koran yang digelar di atas lantai, bukan di dalam kapal dengan harapan bisa berbaur lebih dekat dengan penumpang lainnya.


Suasana di atas kapal feri menuju Sabang
Dengan durasi perjalanan lebih dari empat jam berarti cukup waktu untuk memejamkan mata atau sekedar duduk selonjor menikmati angin laut di siang hari. Sesekali aku berkeliling, menyusuri beberapa sudut kapal, menyapa beberapa penumpang yang sekiranya bisa dijadikan sebagai teman ngobrol. Aku bertemu dengan seorang biker yang datang bersama beberapa orang rombongannya dari kota Samarinda, Kalimantan Timur. Tujuan mereka adalah touring Kalimantan – Sumatra – Jawa – Kalimantan dengan mengendarai sepeda motor, dan salah satu titik yang menjadi tujuannya adalah kilometer nol di Pulau Weh. Mereka sengaja menyusun jadwal sedemikian rupa sehingga pada malam pergantian tahun mereka berada di titik kilometer nol tersebut. Salah satu kejadian lain yang akhirnya menjadi tontonan tersendiri bagi penumpang kapal adalah ketika sekelompok bencong dengan dandanan khas mereka mondar-mandir kesana kemari dengan sengaja menarik perhatian. Serentak penumpang bersorak sorai begitu salah satu bencong bertingkah. Aku lebih memilih menikmati hamparan air laut di tepeian Samudera Hindia yang siang itu sedang tenang, tanpa sengaja sekawanan lumba-lumba asik bermain pada jarak beberapa puluh meter dari kapal.


Selamat datang di Kota Sabang, Pulau Weh
Kapal masih jauh dari dermaga Kota Sabang, sementara para penumpang sudah disibukkan dengan persiapan turun beserta barang bawaan dan rombongannya. Selamat datang di pulau paling ujung di bagian barat negeri ini, kataku kepada diri sendiri yang aku lafalkan dalam hati saja. Sebenarnya Pulau Weh bukan merupakan pulau paling barat nusantara, karena masih ada lagi pulau kecil yang lokasinya lebih di barat. Pulau Rondo, sebuah pulau kecil tak berpenghuni itulah yang jatinya merupakan pulau paling depan di ujun barat wilayah NKRI. Pulau kecil tersebut tidak berpenghuni, namun untuk menjaga kedaulatan negara kita, disana sejumlah prajurit ditempatkan sebagai penjaga perbatasan. Kembali ke perjalananku yang hampir tiba, akupun menghampiri temanku, merapikan kembali barang-barang bawaan kami untuk dibawa turun ke dermaga. Turun dari dermaga, setelah lihat kanan kiri, kami lalu memutuskan untuk naik ojek motor menuju ke penginapan yang ditunjukkan oleh salah satu teman sewaktu masih di Banda Aceh. Kebetulan teman tersebut memang berasal dari Sabang, yang kemudian merantau ke daratan utama untuk sekolah dan bekerja. Ojek motor yang kami tumpangi langsung mengantarkan kami ke tempat tujuan, dan ketika tiba di lokasi yang dimaksud ternyata adalah sebuah penginapan yang dikelola oleh sebuah sekolah menengah kejuruan. Kami tidak pikir panjang karena harus segera mendapatkan tempat untuk menginap di malam itu. Aku langsung mengusulkan kepada temanku untuk menyewa motor agar dapat mencari penginapan lain yang lebih nyaman dan dekat dengan pusat keramaian. Penginapan sementara tempat kami menginap berada jauh dari perkotaan dan kondisinya tidak nyaman karena kurangnya perawatan. Dengan kondisi seperti itu, ditambah harga yang terlampau tinggi membuat semuanya menjadi tidak nyaman.

Salah satu sudut Pulau Rubiah yang mempesona
Seorang turis dengan perlengkapan keselamatan

Keesokan harinya sebelum pergi ke beberapa lokasi tujuan, kami sudah berpindah penginapan di salah satu hotel kecil di pusat kota. Dari berbagai sisi, kondisi hotel ini jauh lebih baik dibandingkan dengan penginapan yang ada di sebuah SMK tersebut, dan tarifnya pun lebih murah. Kami pun selain menginap di hotel tersebut juga menyewa motor dari pemilik hotel tersebut. Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan salah satu karyawannya, ternyata pemilik hotel tersebut adalah orang Jawa yang menurut sejarahnya dulu sebagai transmigran. Pagi itu kami belum berkesempatan untuk bertemu dengan pemilik hotelnya, tapi kami sudah harus berkeliling ke beberapa pantai untuk survey keberadaan lamun. Sambil survey, aku teringat oleh salah seorang teman fotografer underwater dari National Geographic yang beberapa waktu sebelumnya melakukan kegiatan di Pulau Weh dalam rangkaian Blacktrail yang tahun sebelumnya aku ikuti. Dari teman tersebut, aku mendapatkan informasi tentang sebuah dive operator yang bisa aku datangi jika aku ingin melakukan kegiatan penyelaman. Lokasi dive operator yang dimaksud berada di dekat Pulau Rubiah yang menjadi destinasi utama dari setiap penyelam yang datang ke Pulau Weh dengan tujuan penyelaman.



Pantai Iboih dengan latar belakang Pulau Rubiah
Aku bertemu dengan salah seorang yang ternyata adalah pemilik dive operator tersebut yang bertindak sebagai manajer, bersama adiknya yang seorang dive master mengelola usaha jasa pariwisata selam. Sejurus kemudian aku ungkapkan maksud dan tujuanku datang ke Pulau Weh. Dan ternyata pemilik dive operator tanggap dengan yang aku inginkan dan menyarankan untuk mengikuti trip diving besoknya. Pembicaraan kami kian lama semakin akrab dan seakan-akan seperti teman lama ketika aku menyebutkan asal institusi tempatku bekerja. Usut punya usut, almarhum orang tua mereka ternyata memiliki kedekatan emosional dengan instansi tempatku bekerja. Semasa hidupnya, orang tua mereka awalanya adalah pengebom ikan yang oleh instansiku tempat bekerja kemudian dilatih menjadi pengawas sumber daya laut. Hasil dari kegiatan pelatihan tersebut yang dikemudian hari menjadi modal yang terus dikembangkan oleh yang bersangkutan, hingga pada puncaknya beliau mendapatkan sebuah penghargaan yang begitu prestisius. Kalpataru sebagai bentuk penghargaan kepada para pahlawan di bidang lingkungan hidup diterima langsung dari presiden beberapa tahun sebelum meninggal. Pemilik dive operator berkisah bahwa sewaktu masih kecil dia dan adiknya selalu diajarkan untuk menghargai lingkungan di sekitarnya. Dia juga bilang bahwa rumahnya berjajar buku-buku tentang lingkungan dan sumber daya alam, yang sebagian besar didapatkan dari instansi tempatku bekerja saat ini. Selepas membuat semacam janji dengan dive master untuk bergabung dengan kegiatan penyelaman esok hari, aku bersama temanku langsung menuju ke tugu nol kilometer di ujung barat Pulau Weh, sekaligus ujung barat Indonesia. Perjalanan menuju ke tugu nol kilometer terasa cukup jauh karena di samping belum pernah kesana, juga karena kami harus menyusuri jalan kecil yang sepi menembus hutan lindung yang cukup lebat. Apalagi waktu itu mendung gelap tengah menyelimuti, dan nampaknya tidak lama lagi hujan besar akan segera turun. Kami tiba di tugu nol kilometer ketika hari sudah menjelang ashar, disana sudah ada belasan orang yang sudah tiba sebelumnya. Aku langsung memarkir motor, orientasi singkat, dan mulai berkeliling melihat apapun yang aku temukan disana. Beberapa orang penjaja kios souvenir menyambut kedatangan kami yang memang terlihat sebagai orang asing. Sebuah struktur bangunan dalam formasi tertentu seketika menjadi pusat perhatianku, itulah tugu kilometer nol yang menjadi objek tujuanku datang.

Tugu Kilometer Nol di ujung barat nusantara


Dari kejauhan bangunan itu memang tampak megah di antara rerimbunan pohon yang kemungkinan sudah berusia seratusan tahun. Namun saat aku mencoba mendekati, ternyata kondisi bangunan tidak terawat dan terkesan terbengkalai. Di sana sini terlihat bagian bangunan yang sudah lapuk dan bekas tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab yang telah meninggalkan coretan hampir di seluruh bagian, vandalisme. Prasasti yang berisi ketetapan titik kilometer nol sekaligus sebagai penanda tahun penetapannya juga tidak luput dari vandalisme tersebut. Sekawanan monyet abu-abu ekor panjang yang sibuk mencari sisa-sisa makanan yang dibuang oleh pengunjung atau warung-warung makan yang ada di kawasan itu pun tidak luput dari pengamatanku. Mereka sedang asik bersama kawanan di pepohonan dan di sekitar tebing yang di bawahnya terbentang samudera luas, Samudera Hindia. Aku sempat mengobrol dengan dua orang pengendara vespa tua yang telah dimodifikasi. Penampilan mereka dengan gaya rastafaria semakin menegaskan kekompakan dengan tunggangan yang ingin mereka tonjolkan. Yang membuat aku cukup kaget bahwa mereka datang ke Pulau Weh dalam rangka touring berdua dari Semarang, dan hari itu adalah perjalanan yang telah memasuki hari ke dua puluh.


Sisi lain Tugu Kilometer Nol
Kilometer nol, tentunya kita cukup sering menjumpainya karena di setiap kota memiliki lokasi yang disebut sebagai titik kilometer nol. Tapi, titik kilometer nol yang satu ini berbeda dan memiliki keistimewaan tersendiri, karena merupakan titik kilometer nol dari negara kita. Kilometer nol Pulau Weh, sebuah tempat yang berada di titik paling barat negeri ini, ditandai dengan adanya sebuah tugu yang dibangun oleh pemerintah beberapa tahun silam. Ditetapkan pada tanggal 24 September 1997 oleh Menristek B.J. Habibie pada posisi GPS 05o54’21,42” LU dan 95o13’00,50” BT pada ketinggian 43,6 meter di atas permukaan laut. Tempat ini pada hari-hari biasa tidak begitu ramai, bahkan cenderung sunyi dari pengunjung. Namun kondisinya menjadi berbeda ketika menjelang pergantian tahun, banyak pengunjung yang datang berbondong-bondong ke tempat ini. Bukan hanya pengunjung dari wilayah kota Sabang saja, tetapi juga berbagai kota di Indonesia, bahkan juga dari manca negara. Tujuannya tidak lain adalah ingin melewati malam pergantian tahun di tepian wilayah NKRI. Lalu apa istimewanya berada di kilometer nol ketika malam pergantian tahun?? Karena letaknya yang berada di titik paling barat Indonesia, maka tempat ini adalah tempat menikmati matahari di tahun yang dimaksud paling terakhir tenggelam di ufuk barat dibandingkan tempat lain di seluruh Indonesia, sebagai tempat terakhir yang mengalami momen pergantian tahun.


Motor milik biker dari Semarang di Tugu Kilometer Nol
Untuk mencapai tugu kilometer nol, dari pusat kota pengunjung harus melewati jalan berkelok-kelok, serta melalui tanjakan dan turunan. Perjalanan juga akan melintasi jalan curam di antara tebing yang terjal di satu sisi dan jurang yang curam di sisi lainnya. Selain itu, hamparan perkebunan rakyat dan belantara yang lumayan lebat akan menjadi pemandangan yang cukup menyejukkan ketika hari panas. Namun, akan jauh berbeda ceritanya jika sudah datang musim penghujan. Di beberapa titik kita akan mendapati jalanan yang banjir, dan dengan kondisi jalanan yang licin menuntut kehati-hatian dari pengemudi, apalagi jika melakukan perjalanan dengan mobil. Jalanan yang tidak terlalu lebar seringkali memaksa kita untuk mengurangi kecepatan jika tidak ingin bersinggungan dengan kendaraan lain, terlebih saat kita berpapasan dengan kendaraan besar. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan sebelum menuju ke tititk nol kilometer adalah kondisi kendaraan, karena jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dengan kendaraan kita saat perjalanan maka akibatnya akan sangat fatal. Dengan durasi perjalanan dari pusat kota ke titik kilometer nol yang hampir dua jam tersebut hampir dua per tiganya adalah areal perkebunan dan hutan lingdung. Artinya jika ada masalah dengan kendaraan kita, maka kita akan dihadapkan pada kesulitan yang bisa bikin stress.


Bentor sebagai sarana transportasi orang dan barang
Tidak tersedia kendaraan umum yang menghubungkan antara pusat kota dengan titik kilometer nol  tersebut, sehingga jalan satu-satunya untuk menuju kesana adalah dengan menyewa kendaraan. Pilihannya adalah dengan menyewa mobil dengan atau tanpa sopir, atau cukup dengan motor yang keduanya cukup mudah didapatkan di pusat kota. Atau, jika ingin santai kita juga bisa menyewa ojek becak motor yang merupakan sarana transportasi publik di Sabang dan juga di Aceh. Biaya sewa untuk hari-hari biasa tidak jauh berbeda dibandingkan dengan di tempat-tempat lain di Indonesia, namun sedikit lebih mahal jika mendekati pergantian tahun. Selama berada disana, aku lebih memilih untuk menyewa motor sebagai kendaraan untuk mobilitas sehari-hari. Dengan harga sewa Rp. 50.000 per hari, aku bisa dengan leluasa berkeliling pulau dan mengunjungi tempat-tempat yang aku inginkan. Berbekal informasi tempat-tempat menarik di Sabang dari hasil gugling di internet, aku juga menyempatkan untuk mengunjungi tempat lain selain titik nol kilometer. Lokasi utama yang aku pilih untuk dikunjungi adalah pantai dan lokasi penyelaman, karena memang tujuan utamaku ke Pulau Weh sebenarnya untuk mencari lokasi yang terdapat lamun atau seagrass. Kebetulan saja jadwal perjalananku te tempat ini bertepatan dengan momen pergantian tahun, bukan sebuah kesengajaan karena rencana yang serba mendadak dan tidak banyak mikir itinerary nya. Mendung kian gelap, kami pun memutuskan untuk untuk segera beranjak meninggalkan kawasan tugu kilometer nol menuju kota Sabang. Hujan yang turun dengan begitu lebatnya memaksa kami untuk berhenti sejenak di tengah hutan. Kami keliling Pulau Weh naik motor tetapi tidak dilengkapi dengan jas hujan, diperparah lagi dengan lampu utama yang dalam keadaan mati. Tiba di hotel ketika hari sudah malam, tetapi sudah tidak turun hujan lagi. Setelah makan malam, kami keliling kota sekedar mencari suasana, sekaligus berharap bertemu sesuatu yang khas dari kota ini. Kami pun singgah di suatu tempat dekat pasar karena disitu ada sesuatu yang pastinya menjadi daya tarik tersendiri buat kami, duren. Tawar menawar harga pun terjadi, dua buah duren ukuran jumbo sudah tersedia di hadapan kami, siap untuk dilahap. Nikmat sekali rasa duren yang ternyata didatangkan dari Medan, dengan harga yang sangat murah jika dibandingkan dengan harga di Jawa. Puas menikmati duren, kami kembali ke hotel dan langsung terlelap setelah menyiapkan peralatan selam yang akan di bawa besok pagi.



Schooling fish yang menjadi daya tarik tersendiri di salah satu dive spot Pulau Weh

Daftar jadwal dan peserta selam
Hari masih pagi, kami mencari warung untuk sarapan pagi di sekitar pantai. Di sebuah warung terlihat ramai oleh pengunjung, langkah kami terhenti di situ. Sejenak kami mengamati dari jauh kira-kira menu apa yang ditawarkan oleh warung tersebut sehingga membuatnya seramai itu. Samar-samar nampak beraneka jenis jajanan dan beberapa pelayan warung yang sedang mengantarkan minum ke pelanggan yang datang. Kami pun segera mengambil tempat duduk dan memesan beberapa makanan dan dua porsi minuman. Selesai sarapan, kami bergegas menuju ke dive operator agar tidak ketinggalan rombongan yang akan menyelam pagi itu. Perjalanan dengan motor dari hotel ke dive operator hampir satu jam lamanya. Setibanya di dive operator tersebut, kami langsung bertemu dengan managernya lalu diajak ke salah satu ruang untuk memilih perlengkapan selam yang belum kami bawa. Kami mengisi formulir dan mengikuti briefing sebentar untuk koordinasi selama trip penyelaman tersebut. Tim selam kami terdiri dari delapan orang ditambah dua boat man, kami digabungkan dengan wisatawan lain yang berasal dari luar negeri. Hanya satu lokasi yang kami selami, dengan kondisi gelombang yang sangat besar tapi pemandangan bawah airnya begitu luar biasa. Jika melihat schooling ikan seperti itu, aku teringat akan penyelaman yang pernah aku lakukan di Raja Ampat beberapa waktu sebelumnya. Dari informasi yang tersedia di dive operator, diketahui bahwa di wilayah Pulau Weh terdapat sejumlah titik penyelaman dengan karakter yang berbeda-beda. Mulai dari tempat berombak dengan atraksi ikan schooling nya, hamparan pasir dengan tipe muck dive nya, spot yang menawarkan keindahan terumbu karang, gunung api bawah laut hingga wreck dive. Dari sekian banyak penyelam yang datang, terlihat orang asing yang mendominasi. Kondisi seperti ini tidak hanya berlangsung saat liburan pergantian tahun saja tetapi memang biasanya juga seperti itu. Bahkan dua orang dive master yang bekerja untuk dive operator adalah orang asing. Orang lokal datang ke lokasi tersebut umumnya adalah penikmat wisata pantai, atau maksimal hanya sebatas snorkeling saja.


Moray eel di salah satu titik penyelaman
Penyelaman kali ini berakhir dengan sebuah obrolan panjang tenjang sejarah pendirian dive operator dengan pemiliknya sambil minum kopi. Sang pemilik dive operator sangat antusias menceritakan masa lalu yang dialami keluarganya hingga menjadi seperti yang terlihat sekarang ini. Kisah sukses dive operator yang dimilikinya tidak terlepas dari kisah sukses bapaknya memperbaiki hidup dan kehidupan dari seorang perusak lingkungan menjadi pahlawan lingkungan. Disitulah keluarganya merasakan begitu besarnya peran instansi tempatku bekerja, hingga dia dan keluarganya merasa sangat berhutang budi. Ujung-ujungnya, ketika aku hendak meminta nota untuk penyewaan alat selam dan biaya trip selam siang itu, sang manajer muda malah bilang kepadaku ‘kalau aku sampai meminta bayaran dari orang yang bekerja pada instansi yang telah menjadikan keluarganya sukses, sama artinya dengan meminta bayaran atas makanan yang disuguhkan kepada saudaranya sendiri’. Aku sangat terharu mendengar ucapannya itu tadi, sampai enggan meninggalkan dive operator tersebut begitu saja. Perhatianku kemudian tertuju ke deretan souvenir yang dipajang di salah satu sudut ruangan, dan akupun membeli dua buh kaos. Selain sebagai kenang-kenangan dari Pulau Weh, tujuanku membeli kaos adalah sebagai bentuk ungkapan terima kasih kepada pemilik dive operator dengan cara membeli barang dagangan yang dijajakannya.


Penyelam bercengkrama dengan kawanan ikan
Sambil menikmati makan siang seafood di sekitar dive operator tersebut, aku sempat ngobrol dengan teman tentang apa yang kami alami dari sebelum datang ke Sabang sampai kejadian yang berkaitan dengan kisah sukses pemilik dive operator. Memang, di daerah Iboih itu bukan hanya dive operator itu saja yang telah sukses dengan usaha jasa penyelaman. Terlihat sekitar sepuluh dive operator beroperasi dan bersandingan dengan beberapa toko souvenir dan rumah makan yang siang itu tampak begitu ramainya. Bahkan untuk mencari tempat parkir saja tidak mudah, apalagi jika datangnya sudah terlalu siang. Apa yang kami cari di Pulau Weh belum ada tanda-tanda keberadaannya sampai hari ketiga kami berada di Sabang. Sebelum kembali ke hotel, berdasarkan informasi dari salah satu grup chatting ku sebelumnya pernah menginformasikan bahwa terdapat air terjun yang hendaknya disinggahi ketika berada di Pulau Weh. Air terjun Pria Laut, begitulah namanya, sebuah air terjun yang aksesnya harus dijangkau dengan cara berjalan kaki. Sebenarnya air terjun tersebut tidak begitu menarik bagiku saat aku membandingkan dengan beberapa air terjun yang pernah aku datangi. Tapi paling tidak saat mandi di air terjun itu aku merasakan segarnya air yang khas dari pegunungan, walau warnanya agak putih entah kenapa. Tidak banyak kegiatan untuk menutup hariku waktu itu. Pulang ke hotel, bersih-bersih diri, makan malam dan istirahat dengan nyenyak di kamar hotel. Menyiapkan tenaga untuk petualangan besoknya yang entah akan kemana dan akan seperti apa.


Panorama di sisi jalan pinggiran Kota Sabang
Pencarian kami terhadap keberadaan lamun masih terus berlanjut, dan pagi itu kami memutuskan untuk menyewa perahu nelayan yang kebetulan sedang menambatkan talinya di pantai yang aku datangi. Sebenarnya mereka tidak berniat mencari uang hari itu karena sedang mengajak keluarganya pergi tamasya ke pantai, tepatnya di Pulau Rubiah. Tetapi akhirnya bersedia membawa kami setelah negosiasi harga, lagipula arah tujuan kami sebenarnya sama. Sekitar tiga jam kami berputar-putar mencari kemungkinan keberadaan lamun, namun hanya sekedar serasah sisa-sisa daun maupun batangnya pun tidak kami temukan. Kesimpulan akhir yang kami buat bahwa memang tidak ada lamun jenis apapun yang tumbuh di Pulau Weh, apalagi jenis tertentu yang kami cari. Dalam keputusasaan tentang target yang kami cari, kami akhirnya hanya berusaha untuk membawa suasana menjadi menyenangkan. Beberapa tempat yang sudah terkenal sebenarnya bisa menjadi alternatif kami menghapus kekecewaan kami, sebut selain Tugu Kilometer Nol, Pulau Rubiah, Pantai Iboih dan Air Terjun Pria Laot. Sebut saja Pantai Gapang, Pantai dan Benteng Jepang Anoi Hitam, Pantai Sumur Tiga, Pantai Kasih, Gunung Berapi Jaboi, dan lainnya. Kota Sabang sebenarnya juga memiliki peran penting dalam sejarah Republik ini, namun sangat jarang liputan dan bukti-bukti tentang perjalanan sejarah kota ini.

Sate gurita sebagai panganan khas Sabang
Lokasi pedestrian di pinggir pantai

Salah satu tempat yang romantis untuk menikmati sore dan malam sambil berwisata kuliner

Hari sudah menjelang petang dan kami pun memutuskan untuk segera kembali ke hotel sebelum sinar matahari meninggalkan Pulau Weh. Dalam perjalanan kembali ke arah kota, kami menjumpai sebuah warung kopi yang berada di pinggir jalan tepi jurang. Suasana warung yang di satu sisi menyajikan panorama laut dari sebuah bukit, tidak mengherankan kalau banyak pengunjung yang datang untuk menikmati sajian alam terutama menjelang senja. Satu cangkir kopi dan beberapa bungkus kacang goreng menemai kami ngobrol ngalor ngidul sampai dunia menjadi gelap. Kami pun beranjak ke arah kota setelah membayar apa yang telah kami makan dan minum. Tujuan utama kami adalah tempat makan di sekitar pantai di sisi lain kota Sabang. Penelusuran kami dengan motor berakhir di sebuah lokasi semacam pujasera yang berada di pinggir pantai. Menu favoritku di tempat itu adalah sate gurita dan secangkir kopi gayo, tapi suasananya menjadi sedikit terganggu oleh kedatangan pengamen.


Loket menuju sebuah wahana di lokasi pasar malam
Malam itu suasana kota terlalu sepi untuk disebut sebagai sebuah kota kabupaten. Aku baru ingat kalau malam itu adalah malam pergantian tahun, jadi kemungkinan sebagian penduduk kota sengaja tidur di kala masih sore dan bangun menjelang detik-detik pergantian tahun. Satu-satunya yang terlihat ramai adalah pasar malam yang berada tidak jauh dari pujasera tersebut. Aku iseng-iseng menarakan kepada temanku untuk menceburkan diri dalam hiruk-pikuknya suasana pasar malam. Awalnya temanku ragu, tetapi akhirnya kami berkeliling melihat-lihat dan menikmati beberapa jenis jajanan yang sebenarnya adalah jajanan untuk anak kecil. Beberapa momen sempat aku abadikan di sekitaran pasar malam, termasuk beberapa pedagang dan penjaga permainan untuk anak-anak yang kebanyakan datang dari Jawa. Kesibukan kecil yang sempat aku lihat yaitu di sisi lain di seberang pujasera, sekelompok orang menyiapkan panggung dan kembang api yang memang sudah menjadi agenda rutin setiap malam pergantian tahun di tempat tersebut. Mendung gelap nampak sudah menyelimuti langit kota Sabang, mungkin tidak lama kemudian akan turun hujan. Benar saja, menjelang tengah malam hujan turun dengan lebatnya, akupun memilih tidur karena besok pagi akan kembali ke Banda Aceh.

Kemeriahan pasar malam menjelang malam pergantian tahun bagi anak-anak

Jajanan tradisional di pasar malam
Wahana khas pasar malam


Kopi gayo, kopi khas daerah Aceh
Pagi datang, hari sudah berganti, bulan juga sudah berganti, tahun pun berganti beberapa jam yang lalu. Benar, sekitar tujuh jam sebelumnya adalah momen malam pergantian tahun yang aku alami di ujung barat nusantara. Bagiku secara pribadi tidak ada bedanya pergantian tahun dimanapun berada, karena memang tidak ada sesuatu yang istimewa yang aku alami. Hanya sekedar sebah kebetulan saja malam pergantian tahun kali ini aku berada di tempat yang oleh sebagian orang dianggap sebagai tempat yang spesial pada saat malam pergantian tahun. Lagian sarapan pagi itu, di tanggal 1 Januari, tidak ubahnya dengan sarapan-sarapan biasanya. Mungkin karena aku harus segera berkemas karena menjelang siang aku harus menuju ke pelabuhan agar tidak tertinggal oleh kapal yang membawaku ke Banda Aceh. Tidak ingin direpotkan dengan barang bawaan yang lumayan banyak, kami memutuskan untuk memesan becak motor yang akan mengantar kami ke pelabuhan. Lagi-lagi, kebaikan hati dari pemilik hotel yang mengusahakan becak motor dengan harga yang menurutku sangat murah dibandingkan dengan ongkos dua ojek motor saat kami datang.  Kami menyempatkan untuk basa-basi sebentar dengan pemilik hotel yang sekaligus pemilik toko yang lumayan besar di samping hotel. Perjalanan kembali dari kota Sabang menuju Banda Aceh menyisakan banyak kisah dan pelajaran bagiku. Kota Sabang, Pulau Weh, titik kilometer nol di ujung barat nusantara yang fenomenal dan akan selalu menjadi lokasi favorit bagi yang ingin melewati malam pergantian tahun. Namanya akan tetap abadi sampai kapanpun, seabadi lagu ‘Dari Sabang Sampai Merauke’ yang tersohor. Sabang…. nama besarmu, kopimu, durenmu, sate guritamu akan menjadi daya tarik yang membuatku ingin kesana lagi suatu saat.


 
   




Sabang, 01012014, 07:21am


*catatan seorang pejalan

No comments:

Post a Comment