Monday, April 11, 2016

Sekelumit Cerita tentang Budaya dan Alam Maumere, Flores

Dering ponsel membangunkan tidur siangku di kamar kos yang hanya didinginkan oleh kipas angin. Matahari di siang itu memang cukup terik, membuat suasana pinggiran Bogor tidak bersahabat untuk melakukan aktivitas di luar ruangan. Maunya bermalas-malasan di privat room sambil bersantai, bahkan kalau perlu tidur. Tapi ajakan untuk ke Sikka waktu itu cukup membuat semangatku timbul kembali. Apalagi kegiatan utama ke Sikka tersebut adalah menyelam. Tapi tunggu, ada yang aku lupa tanyakan. Sikka itu di mana? Mungkin karena poin pentingnya adalah menyelam jadinya aku tidak terlalu memperdulikan lokasi pastinya. Sejurus kemudian, aku baru mulai mencari-cari informasi mengenai di manakah lokasi Sikka itu. Dan ternyata lokasinya adalah di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mimpi apa aku waktu tidur siang tadi ya. Kalau memang terealisasi, itu artinya bahwa ini adalah kesempatanku untuk kedua kalinya menginjakkan tanah di Flores. Tahun 2003 dulu aku juga pernah ke Flores, tapi bukan ke Sikka dan bukan untuk menyelam. Waktu itu aku yang masih mahasiswa semester 6 tergabung bersama tim amdal sistem irigasi di beberapa lokasi di Flores. Selama seminggu plus perjalanan berangkat dan pulang aku bekerja di daerah pegunungan, hutan dan sungai. Menginapnya pun di kota tertinggi di Flores, Ruteng, yang memiliki cuaca dingin. Jadi, praktis tidak ada hubunganku dengan pekerjaanku saat ini. Bahkan sama sekali tidak melihat laut kecuali waktu berada di atas pesawat saat berangkat dan pulang kembali ke Surabaya.


Tahap selanjutnya yang harus aku persiapkan adalah alat selam dan segala sesuatu yang sekiranya nanti kubutuhkan saat berada di Sikka. Di samping menanyakan detail kegiatan kepada anggota tim dan peralatan yang diperlukan, seperti biasa aku melakukan riset kecil-kecilan mengenai seluk beluk daerah yang akan aku tuju. Rekomendasinya lumayang beragam, tapi ada satu lokasi yang langsung menarik perhatianku, Danau Kelimutu. Danau yang memilliki 3 warna air yang berbeda-beda berubah secara periodik tergantung jenis jasad renik yang dominan di perairan danau. Danau Kelimutu identik dengan uang lima ribu rupiah di era 90an. Uang tersebut suasananya memang sangat kental dengan Pulau Flores karena di sisi lain uang kertas itu juga ditampilkan salah satu alat musik tradisional dari tanah Flores, Sasando, tepatnya dari daerah Rote. Sedangkan danau Kelimutu sendiri terletak di daerah Ende, yaitu di puncak gunung Kelimutu dan merupakan kawah dari gunung tersebut. Nuansa Flores pada uang rupiah bertahan selama 9 tahun dari tahun 1992 hingga akhirnya diganti dengan nuansa tanah Sumatra pada tahun 2001. Sayang sekali, baik Danau Kelimutu maupun Rote jaraknya cukup jauh dari kota Sikka. Sehingga kemungkinan untuk singgah ke kedua tempat tersebut sangat kecil.













Semua perlengkapan untuk pekerjaan dan untuk traveling sudah siap, tinggal menunggu jadwal keberangkatan saja. Salah satu yang menjadi kendala dalam kegiatan outdoor adalah hujan. Bulan April kiranya merupakan waktu yang cukup ideal buat traveling, setidaknya hujan sudah tidak sering turun. Musim kemarau pun belum tiba, sehingga siang hari pun harusnya belum terlalu panas. Seperti banyak diberitakan di berbagai media bahwa Flores merupakan salah satu wilayah di negeri ini yang memiliki suhu yang paling panas di kala musim kemarau. Tidak pelak lagi, saat puncak kemarau, banyak titik di wilayah ini yang terlihat cokelat karena padang ilalang yang mongering. Tapi justru savana ilalang nan luas yang mongering itu justru yang menjadi daya tarik tersendiri untuk Flores dan kepulauan Sunda Kecil secara umum.

Melalui Denpasar, kami berangkat dari Jakarta menuju Sikka. Memang harus transit di Denpasar karena tidak ada pesawat langsung, itupun harus berpindah maskapai. Sungguh tidak menyenangkan kalau dalam perjalanan harus memakai dua atau lebih maskapai yang berbeda. Pertama karena aku berangkat bersama tim dengan barang bawaan yang tidak sedikit. Perbedaan maskapai berarti harus bolak balik ngurus bagasi, pekerjaan jadi lebih banyak. Kedua karena kemungkinan jadwal penerbangan yang mengalami perubahan secara sepihak dari salah satu maskapai. Jika memang terjadi perubahan jadwal di penerbangan pertama, bisa dipastikan penerbangan selanjutnya akan mengalami gangguan, bahkan tidak menutup kemungkinan gagal terbang karena terlambat. Apalagi kalau jadwal dari dua penerbangan tersebut tidak terpaut terlalu lama, sangat riskan mengalami batal terbang. Tapi begitulah realita pelayanan transportasi udara ke kota-kota kecil di luar pulau Jawa. Sebagai antisipasinya maka perlu dipertimbangkan untuk menginap satu malam di kota transit. Resikonya tentu saja jumlah hari perjalanan menjadi lebih lama, dan itu artinya memerlukan biaya ekstra terutama untuk akomodasi.

Pesawat jenis Foker yang membawaku dan tim mendarat di bandara Frans Seda di Maumere, Sikka. Cuaca siang yang cukup terik langsung membuat kulit protes. Sebelum menuju penginapan, kami singgah di sebuah rumah makan dengan menu masakan Padang. Panas-panas begini paling pas memang minum jus. Seporsi jus alpukat rasanya kurang dan terpaksa sebotol air mineral turut menghanyutkan ikan bakar dan daging rendang yang sudah lebih dulu kandas di dalam sistem pencernakanku. Usai makan siang, sambil nunggu anggota tim lainnya menyelesaikan urusannya, aku sengaja keluar dari rumah makan untuk sekedar mengamati suasana perkotaan. Kesan pertama yang muncul di benakku adalah sebuah pertanyaan, inikah pusat kotanya? Terntyata memang benar. Aku sedang berdiri di pusat kota Maumere, ibu kota kabupaten Sikka. Jika dibandingkan dengan di Jawa, tingkat keramaiannya mungkin setara dengan kota kecamatan di kabupaten  yang tidak terlalu besar. Memang tidak tepat membandingkan dengan di Jawa, jadi tidak perlu disbanding-bandingkan.




Wajah orang Flores ini memang khas. Walaupun serumpun sama orang Maluku, tapi tetap memiliki perbedaan mendasar perbedaannya. Pulau yang sempat mengheboskan di awal dekade 2000an oleh penemuan fosil manusia purba ini mayoritas pendudukanya beragama Katolik yang taat. Seperti halnya di beberapa daerah lain, hari minggu merupakan hari ibadah, itu artinya kebanyakan toko tutup di hari minggu. Geliat perekonomian baru kembali bergairah di sore hari menjelanjelang senja. Saat mobil yang membawa rombonganku jalan menyusuri perkampungan di hari minggu, nampak para penduduk memenuhi jalanan sepulang dari gereja. Aku jadi teringat waktu ke Ruteng di bulan Maret 2003 yang lalu. Saat menginap di salah satu penginapa di kota dingin itu, ada pemandangan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Ketika rombonganku akan keluar untuk makan malam, ternyata jalanan penuh dengan masyarakat yang sedang berpawai. Sebuah arak-arakan dengan membawa lilin dengan diiringi oleh semacam puji-pujian keliling kota melewati jalanan yang sengaja dikondisikan dalam suasana gelap. Beberapa waktu lamanya baru akhirnya aku mendapat penjelasan dari salah satu staf hotel bahwa pawai tersebut dalam rangka perayaan paskah. Aku sama sekali awam dengan hal ini, karena dari kecil hingga menjelang lulus kuliah tinggal di lingkungan yang tidak merayakan paskah. Dari pemandangan ini, aku bukan melihat dari sisi agama tapi dari sisi turisme. Dan memang ternyata perayaan paskah di beberapa kota di Flores menjadikan ritual keagamaan sebagai salah satu andalan untuk menarik turis untuk berkunjung. Bahkan aku pernah mendengar bahwa Flores dikenal sebagai salah satu sentral umat Katolik di Indonesia. Salah satu buktinya adalah adanya keuskupan agus di Ende. Yang menarik lagi, Sri Paus Yohanes Paulus II sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik dunia kabarnya pernah ke Maumere pada tahun 1989.

Maumere sebagai ibukota kabupaten Sikka memang cukup unik. Penduduk semakin beragam karena semakin banyak pendatang dari etnis Bugis, Jawa, China, Maluku dan lainnya yang membaur dengan penduduk asli yang mayoritas, yakni orang etnis Timor. Sebaran penduduk sebagian besar berada di pantai utara. Di samping karena daratannya yang landai, kondisi lautnya relatif tenang sehingga memungkinkan nelayan untuk melaut sepanjang waktu. Dulu sebenarnya penduduk tidak terkonsentrasi di daratan induk Pulau Flores saja, tetapi juga di beberapa pulau kecil di sebelah utara kota Maumere. Sebelum akhirnya gempa dahsyat yang yang berpusat di Larantuka di ujung timur Flores yang kemudian diikuti dengan tsunami memporak-porandakan perkampungan penduduk di pulau-pulau kecil tersebut. Sebagian besar mereka tidak bisa menyelamatkan diri dari maut, sedangkan yang masih diberikan kesempatan hidup akhirnya mengungsi ke daratan induk dan menetap membentuk perkampungan baru. Aku ingat saat kejadian itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang sedang terjadi. Di samping itu juga karena berita di media massa tidak segencar dan secepat saat ini. Siaran televisi yang ada pun hanya TVRI, itupun siaran televisiku hanya bisa dinikmati kalau aki masih ada strumnya yaitu lima hari dalam seminggu karena di kampungku waktu itu belum ada listrik. Jangan berbeda dengan yang terjadi saat gempa dan tsunami di Aceh. Pada hari itu juga berita sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia, dan hanya dalam beberapa hari bantuan sudah antri untuk masuk. Mungkin juga karena jumlah korban jiwa maupun korban material saat gempa dan tsunami di Maumere tidak sebanyak saat gema dan tsunami di Aceh.

Secara toponimi atau sejarah tata namanya, Maumere berasal dua kata dari bahasa Ende yaitu Ma’u yang berarti pelabuhan dan Mere yang berarti besar. Pemberian nama tersebut sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan Sikka. Raja Sikka pada waktu itu, Don Cosmo Semao Da Silva mengutus orang kepercayaannya yang bernama Moang Juang Korung Da Cunha untuk menjaga dan mengatur sebuah pelabuhan yang sarat pedagang bernama Alok Wolokoli. Saat menjalankan tugas dari kerajaan inilah Don Cosmo Semao Da Silva kemudian membangun perkampungan di daerah pantai sekitar cekungan teluk yang kini dikenal sebagai  Teluk Maumere. Nama-nama orang lokal Maumere dan Flores secara umum mirip dengan nama orang Portugis. Ini karena Flores saat jaman kolonial dikenal sebagai salah satu daerah pendudukan bangsa Portugis. Layaknya bangsa-bangsa Eropa lainnya, Portugis datang ke Flores untuk mempeluar daerah jajahan berkedok perdagangan. Dalam misi perdagangan ini, umumnya diboncengi oleh para misionaris yang bertugas untuk menyebarkan ajaran agama. Tidak pelak lagi, cukup banyak ditemukan peninggalan kolonial Portugis di tanah Flores. Sealin berupa simbol-simbol kekuasaan yang berupa benteng, tentu saja berupa simbol-simbol keagamaan berupa rumah ibadah. Aku berkesempatan melongok ke sebuah gereja tua, Gereja Tua Sikka, yang berarsitek khas Eropa di salah satu kampung di bagian pantai selatan Sikka. Gereja yang dirancang oleh perancang gereja katedral Jakarta ini dibangun pada era akhir 1800an itu masih dipertahankan bentuk aslinya, walaupun sudah beberapa kali mengalami pemugaran. Sayang sekali, aku tidak memiliki banyak waktu untuk melihat sisa-sisa kekuatan pertahanan serdadu Portugis di Flores.


 










Dalam perjalanan, di sebuah sudut jalanan aku melihat seorang ibu dan beberapa anak kecil sedang menjajakan buat srikaya, berharap ada pengguna jalan yang membeli buah yang sepertinya baru dipetik dari kebunnya. Berhubung aku sangat gemar makan buah, aku minta ijin ke rombongan dan minta agar sopir berhenti sejenak. Sebanyak 3 kilo buah srikaya dibeli dan dibawa ke penginapan. Ternyata tidak hanya ibu tadi yang menjajakan buah sirsak di pinggir jalan. Paling tidak ada empat atau lima orang yang jaraknya berjauhan. Aku jadi ingat waktu menjelajahi pantai selatan Jogja, tepatnya di daerah Gunung Kidul. Jika waktunya, buah srikaya sangat melimpah di sana, bahkan bisa dibilang nggak laku dijual karena saking banyaknya. Di Sikka mungkin jumlahnya tidak sebanyak di Gunung Kidul sehingga harganya relatif mahal. Atau mungkin dengan harga segitu sudah termasuk murah mengingat harga barang-barang di sini terhitung mahal. Maklum, sebagian besar kebutuhan masyarakat didatangkan dari luar daerah, terutama dari Surabaya. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab di kota yang terletak cekungan pulau Flores ini bertebaran mobil ber plat L alias nomor polisi Surabaya. Di sepanjang jalan menuju penginapan, entah berapa kali aku melihat mobil dari berbagai jenis yang ber plat L. Setibanya di penginapan, ranumnya buah srikaya menggoda imanku untuk segera menjamah dan menikmatinya. Hari yang panas seperti ini makan buah srikaya di pantai depan penginapan yang kebetulan posisinya memang menghadap ke laut itu pasti nikmat, pikirku. Benar saja, buahnya laris manis tak bersisa ketika teman-teman serombonganku ikut nimbrung menyerbu buah yang dalam bahasa daerah disebut dengan buah nona ini.



Satu lagi, Maumere memiliki kekayaan budaya yang tak ternilai harganya, yaitu kain tenun ikat Sikka yang khas dari daerah sini. Kain tenun ikat Sikka dikenal berkualitas tinggi karena disamping bahan benang dan pewarnanya yang alamiah juga dibuat dengan teliti oleh tangan-tangan trampil. Bahan pembuat benang dan pewarna untuk kain tenun ikat tersebut merupakan hasil dari bumi Maumere. Pengerjaan untuk satu lembar kain tenun ikat memerlukan waktu hingga delapan bulan lamanya sehingga memerlukan ketelitian dari penenunnya. Warna kain tenun ikat Sikka biasanya didominasi oleh kuning, merah, biru dan cokelat yang semuanya dari bahan pewarna alami. Bahan pewarna tersebut biasanya didapatkan dari akar berbagai macam tumbuhan seperti kunyit untuk mendapatkan warna kuning, kakao untuk mendapatkan warna cokelat, , sono untuk mendapatkan warna cokelat kekuningan, ketapang untuk mendapatkan warna hitam, indigo untuk mendapatkan warna ungu, pinang atau mengkudu untuk mendapatkan warna merah, saron untuk mendapatkan warna keemasan, suji untuk mendapatkan warna hijau, kulit manggis untuk mendapatkan warna biru dan lainnya. Kain tenun ikat Sikka yang asli adalah tersusun oleh benang yang dipintal sendiri oleh penduduk dari kapas yang juga ditanam oleh mereka. Walaupun dengan semakin terbukanya jalur perdagangan tidak bisa dihindarkan membanjirnya benang dari luar. Tidak pelak lagi, banyak beredar kain tenun ikat Sikka yang memiliki kualitas rendah karena berbahan sintetis. Untuk masalah harga, dengan tingkat kesulitan dalam proses pembuatan dan dari segi bahannya, kain tenun ikat Sikka tergolong murah.

Kain tenun ikat Sikka menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat asli Sikka, sudah menjadi budaya yang turun temurun. Kain tenun ini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, baik untuk keperluan hidup sehari-hari maupun untuk acara-acara yang bersifat khusus. Saat melintas di jalanan di Sikka, jangan heran kalau sebagian masrayakat setempat mengenakan kain tenun ini. Bukan hanya kaum ibu saja yang mengenakan kain tenun ini, tetapi juga kaum bapak, bahkan anak-anak. Kain tenun kadang dipakai seperti orang Jawa dengan saat memakai kebaya, kadang juga digunakan untuk melindungi diri dari terik matahari maupun debu. Saat menjalankan ritual keagamaan di gereja pun masyarakat Sikka memakai kain tenun ikat Sikka atau baju yang berbahan dasar kain tenun. Dan yang paling mencolok adalah saat diadakan acara pernikahan, pemakaman atau acara adat lainnya, kain tenun menjadi bagian yang wajib ada. Sekali lagi, kain tenun ikat Sikka adalah kekayaan budaya masyarakat Sikka dan sekaligus kekayaan nusantara yang mendunia.



Aku berkesempatan melihat rangkaian proses pembuatan kain tenun ikat Sikka di sebuah kampung di tepi pantai selatan. Dengan menempuh perjalanan sekitar 18 km dari pusat kota Maumere, akhirnya aku beserta rombongan tiba di kampung penenun kain tenun ikat Sikka. Di salah satu lokasi yang sepertinya telah disiapkan sebagai semacam tempat workshop untuk menyambut turis yang ingin melihat langsung proses pembuatan kain tenun ikat, terlihat beberapa orang menyambut kami. Suasana yang begitu sempurna tersaji, di tepi pantai dengan angin yang berhembus damai, di bawah rindang pepohonan kelapa dan keramahan penduduk. Lebih dari 30 orang yang berada di areal workshop tersebut, namun mereka tidak lantas berebut menyerbu turis yang datang. Mungkin sudah diorganisir dengan sedemikian rupa oleh sebuah kelompok, sehingga suasana begitu terkendali. Kami langsung diarahkan menuju bagian-bagian yang masing-masing merepresentasikan tahapan untuk membuat kain tenun. Mulai dari bagian pemintalan benang kapas, pencelupan benang atau pewarnaan, pembentukan motif, hingga penenunannya itu sendiri. Sejumlah mama, sebutan umum untuk ibu-ibu di kawasan timur Indonesia, sudah berada di posisi masing-masing untuk memperagakan bagian dari proses penenunan. Seorang guide dengan lancar menjelaskan setiap tahapan penenunan dan menjawab semua pertanyaan turis baik yang berkaitan dengan bahan maupun proses. Sekali lagi, apa yang mereka perlihatkan begitu rapi. Tidak mungkin kalau tidak diorganisir. Salut lah buat mereka. Semua yang terlibat dalam pekerjaan ini adalah kaum perempuan, sedangkan kaum laki-laki mengerjakan pekerjaan lain, terutama berkebun atau sebagai nelayan. Setelah selesai, barulah ibu-ibu lain yang sedari tadi hanya duduk-duduk di luar lokasi workshop mulai menyerbu kami dengan menawarkan barang dagangan mereka masing-masing. Bukan hanya kain tenun tapi juga beberapa kerajinan tangan lainnya dari kayu atau dari cangkang keong laut juga ditawarkan. Aku pun membeli, walaupun cuma satu lembar kain tenun dan satu lembar syal, sebagai bentuk penghargaan atas budaya tradisional masyarakat lokal sekaligus sebagai kenang-kenangan dari tanah Flores.




Maumere, geliat perekonomian dan pembangunannya memang terlihat sangat lambat. Namun demikian, harapan kemajuannya terbuka lebar di waktu yang akan datang. Tersedianya bandar udara terbesar di Pulau Flores, pelabuhan terbesar di Pulau Flores yang disinggahi kapal-besar besar dan santernya isu pembentukan provinsi baru semakin membuka peluang itu. Iya, provinsi Flores yang sudah diusulkan ke pemerintah pusat masih dalam proses realisasi. Dan Maumere lah kota yang digadang-gadang paling layak menjadi calon ibukota provinsi tersebut. Posisi kota Maumere yang terletak di tengah-tengah Pulau Flores semakin meningkatkan posisi jual sebagai pusat pemerintahan provinsi. Saingan terberatnya adalah kota Ende yang memiliki sejarah penting karena pernah menjadi lokasi pembuangan Presiden Soekarno, sekaligus memiliki posisi penting dalam bidang keagamaan karena sebagai keuskupan agung. Bagaimanapun juga, jika pembentukan provinsi baru itu terealisasi, baik ibukotanya di Maumere maupun Ende, kemajuan daerah ini tentunya akan semakin dapat diwujudkan. Maumere oh Maumere, namamu semakin dikenal karena belakangan ini ada lagu tentang Maumere yang cukup populer. Sikka oh Sikka, kapan ya aku punya kesempatan ke sana lagi. Flores oh Flores, eksotisme alam hadiah dari Yang Kuasa. 



Sebagai penutup aku meminjam ungkapan masyarakat Flores Timur / Lamaholot untuk menggambarkan budaya masyarakat Flores secara umum: Ola tugu, here happen, ILua watana, Gere Kiwan, Pau keha heka ana, Geleka lewo gewayan, toran murin laran, yang artinya: bekerja di ladang, mengiris tuak, berkerang (mencari siput di laut), berkarya di gunung, melayani / memberi hidup keluarga (istri dan anak-anak), mengabdi kepada pertiwi / tanah air, menerima tamu asing.
    
 
   


Bitung, 05042016, 03:14pm
*catatan seorang pejalan

No comments:

Post a Comment