Friday, June 26, 2015

Pesona Natuna, Pesona Nusantara

Pantai berbatu yang khas di Natuna
Beberapa waktu yang lalu, sempat ramai berita di berbagai media nasional tentang Pulau Natuna. Al kisah negara tetangga kita yang gemar mencaplok kekayaan alam Indonesia, Malaysia, kembali berulah. Kali ini mencoba mengklaim Pulau Natuna sebagai salah satu wilayah dari negara yang pernah hampir diserang sewaktu zaman pemerintahan presiden Bung Karno dahulu. Sebelumnya, negara yang sering diberi plesetan sebagai malingsia tersebut telah mencaplok dua pulau terluar kita, Pulau Sipadan dan Ligitan. Bukan hanya itu, beberapa kekayaan budaya nasional kita juga telah mereka klaim sebagai kekayaan budaya milik mereka. Sebut saja kesenian Reog yang jelas-jelas berasal dari salah satu kota di provinsi Jawa Timur, yaitu Ponorogo. Mungkin karena disana ada sejumlah orang yang awalanya merupakan TKI yang merantaau bertahun-tahun dan akhirnya menjadi warga negara tetap kemudian mencoba untuk menghidupkan kesenian tradisional asal daerahnya. Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah Malaysia menganggap itu sebagai bagian dari kebudayaan mereka. Tidak berhenti sampai disitu saja, Malaysia juga sempat mengklaim batik sebagai kekayaan budaya yang berasal dari sana. Beruntung tidak lama kemudian PBB segera menetapkan bahwa batik merupakan warisan dunia yang berasal dari Indonesia. Lagu ‘Rasa Sayange’ juga tidak luput dari klaim Malaysia, bahkan menjadi lagu ikon pariwisata mereka di tevelisi-televisi nasional Malaysia. Masih banyak kekayaan seni dan budaya asal Indonesia yang dicoba diklaim oleh Malaysia. Gerak cepat pemerintah Indonesia yang didukung oleh protes besar-besaran dari berbagai kalangan telah menyelamatkan kekayaan Indonesia dari Klaim negara tetangga yang seharusnya dulu menjadi bagian dari negara kita.



Pemandangan menjelang pendaratan di Pulau Natuna
Kembali ke klaim beberapa pulau yang sempat diklaim oleh Malaysia, ternyata semuanya tidak lepas dari kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, terutama bahan tambang. Pulau Sipadan dan Ligitan yang pada masa pemerintahan presiden Gus Dur telah lepas ke tangan mereka disinyalir memiliki cadangan minyak di perairan sekitarnya. Pulau Nunukan yang memang terbagi menjadi dua, sebagian masuk wilayah Indonesia dan sebagian masuk wilayah Malaysia, hingga saat ini masih kerap terjadi konflik. Bukan hanya di wilayah daratannya namun juga di wilayah perairan, berkali-kali kapal perang milik Malaysia masuk ke wilayah perairan Indonesia dan mencoba memprovokasi kapal perang angkatan laut Indonesia. Di pulau tersebut juga sudah diketahui memiliki cadangan minyak yang cukup banyak. Sama halnya kasus yang terjadi dengan Timor Timur. Konon kabarnya Australia dan Amerika sengaja membuat isu-isu yang mendorong perpecahan di provinsi termuda kita waktu itu. Kedua negara tersebut yang didukung oleh beberapa negara barat sangat bersemangat memerdekakan Timor Timur, kini Timor Leste, agar mereka berkesempatan mengeruk kekayaan tambang minyak di laut Timor. Hingga diputuskan untuk dilaksanakan jajak pendapat masyarakat disana, dan hasilnya golongan pro integrasi harus mengungsi ke Nusa Tenggara Timur karena kalah suara dengan golongan pro kemerdekaan. Namun kenyataannya hingga saat ini tidak ada kegiatan tambang disana, masyarakat yang dijanjikan kehidupan baru yang makmur masih tetap melarat. Sempat terdengar kabar bahwa ada semacam wacana untuk kembali menjadi bagian dari Indonesia, mengingat ternyata jajak pendapat atas inisiasi Australia banyak kecurangan yang memungkinkan kemenangan golongan pro kemerdekaan.

Jalanan sempit berkelok-kelok tapi mulus yang membentang di Pulau Natuna


Saat ini Malaysia tetap dicurigai masih gencar melakukan serangan dan terus mencari peluang untuk mencaplok wilayah Indonesia. Jika mendengar dan melihat tayangan-tayangan film dokumenter jelas terlihat upaya-upaya Malaysia menggerogoti tanah di Pulau Kalimantan dengan cara memindahkan patok tapal batas. Provokasi Malaysia sangat jelas di wilayah perbatasan dengan giatnya pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana. Sangat kontras keadaannya dengan wilayah perbatasan yang masuk wilayah Indonesia, kondisinya sangat minim. Warga perbatasan yang ber KTP Indonesia pun lebih mengenal bahasa, mata uang dan budaya negara tetangga daripada milik mereka sendiri. Racun dari seberang semakin dalam merasuk karena begitu mudahnya masyarakat kita di perbatasan untuk mendapatkan berbagai fasilitas dari negeri Jiran. Ternyata Malaysia memang bukan hanya ingin merebut beberapa wilayah Indonesia dengan cara frontal tetapi juga melalui pendekatan persuasif ke masyarakat perbatasan. Natuna walau saat ini masih tergolong aman tetap harus diwaspadai oleh pemerintah pusat mengingat rongrongan terhadap kekayaan tambang di sana dari negeri seberang sangat besar.


Salah satu pantai yang menjadi tujuan wisata

Natuna, tidak pernah terpikirkan sebelumnya aku bakalan menjejakkan alas kakiku di sana, terbayang lokasinya dimana pun tidak pernah. Referensi tentang tempat-tempat indah di pulau yang letaknya termasuk berada pada posisi paling utara negeri ini pun tidak aku miliki. Tapi aku sering mendapatkan cerita perjalanan dari beberapa teman yang pernah melakukan kegiatan atau sekedar jalan-jalan. Yang pasti aku ketahui adalah Natuna sebagai salah satu nama pulau yang ingin dikuasai negara tetangga sehingga Slank pernah membuatkan lirik sebagai warning kepada pemerintah untuk mempertahankan pulau tersebut, bersama Timor Timur waktu itu. Keindahan alam dan pantainya benar-benar tidak pernah terbayangkan olehku. Hanya beberapa foto hasil jepretan salah seorang teman saja yang sempat aku lihat, yang tentu saja tidak bisa menggambarkan kondisi Natuna secara utuh. Seperti apa kondisi masyarakatnya, ada apa saja disana, makanan khas apa saja yang bisa dijumpai disana, oleh-oleh apa yang kira-kira bisa dibawa pulang kalau dari sana, bagaimana dengan harga-harga disana, dan lain-lain, dan lain-lainnya lagi semua serba blank bagiku.


Miris, limpasan limbah yang dibuang ke laut
Penerbangan ke Natuna hanya dilayani oleh tiga maskapai dengan menggunakan pesawat yang berisi kurang dari seratus penumpang. Beberapa saat sebelum mendarat aku disuguhi pemandangan yang membuatku terkesima, bukan karena kagum tetapi sebaliknya, miris melihat aliran air sungai yang berwarna hitam yang menyebar ketika masuk menuju lautan. Entah apa yang menyebabkan aliran air tersebut berwarna hitam, kemungkinan limbah rumah tangga, tapi apakah separah itu. Juga pemandangan yang menyayat hati tentang bekas pembalakan hutan di dekat pantai. Begitu mendarat baru aku tahu bahwa Bandar Udara Ranai di Natuna adalah milik tentara, mungkin angkatan udara. Barang bagasi dari pesawat menuju ke ruang kedatangan, yang sebenarnya hanya bangunan kecil multi fungsi, di urus oleh tentara berseragam. Barang bagasi telah diterima, aku yang datang ke Natuna bersama salah seorang teman langsung mencari tumpangan menuju kota. Taksi yang dimaksud oleh penduduk lokal sebenarnya adalah mobil pribadi yang difungsikan sebagai angkutan umum, dengan tetap menggunakan plat hitam. Tarif yang dikenakan kepada penumpang adalah dihitung per penumpang karena kita harus berbagi taksi dengan penumpang lainnya yang mengarah ke kota. Jarang tersedia mobil carteran yang bisa kita manfaatkan sebagai taksi pribadi untuk kita sendiri, kecuali dengan kesepakatan tertentu. Dengan jarak bandara yang tidak terlalu jauh dengan kota, dan jalanan yang tergolong sepi walaupun relatif sempit, perjalanan hanya ditempuh kurang dari setengah jam untuk sampai di pusat kota.


Areal bekas pembalakan
Kami datang ke Natuna tanpa melakukan reservasi hotel sebelumnya karena memang agak susah menghubungi nomor telephon hotel yang kami dapatkan dari hasil pencarian melalui internet. Salah satu cara yang kami anggap paling ampuh adalah meminta bantuan sopir taksi untuk mencarikan hotel sesuai dengan kriteria yang kami inginkan, tentunya menyesuaikan dengan ketersediaan yang ada di lokasi kami berada. Sopir taksi membawa kami ke hotel yang menurutnya sebagai hotel terbaik di Natuna, dan kami pun menurut saja dengan apa yang dibilang oleh sopir taksi tadi. Dilihat dari luar, hotel yang dimaksud memang tidak terlalu bagus, tapi mungkin memang yang paling bagus dibandingkan dengan yang lainnya. Kami memesan satu kamar, menyimpan barang bawaan dan kemudian mencari warung terdekat untuk makan siang. Dari warung tersebut tersebut pula lah, kami akhirnya mendapatkan motor untuk disewa selama beberapa hari. Rencananya kami akan tinggal beberapa hari di Natuna, dengan beberapa daftar kepentingan yang akan coba kami wujudkan semuanya. Motor merupakan sarana yang paling praktis untuk kami gunakan berkeliling kota dan tempat lain sekitarnya.


Salah satu sisi di pinggiran kota Ranai
Siang itu hari sangat cerah, tiada mendung dan terik sinar matahari panasnya meresap terasa hingga beberapa millimeter menembus kulit, semakin menghitamkan kulitku yang memang sudah hitam. Kami mengendarai motor sewaan berkeliling kota Ranai, ibukota kabupaten Kepulauan Natuna. Tidak banyak yang dapat kami jumpai, tapi ada satu yang menarik perhatian kami. Sebuah masjid besar menghadap ke pantai dengan dua jalan akses yang dipisahkan oleh kolam, mengarah ke masjid tersebut dengan jarak sekitar 500 meter dari jalan raya. Sekilas, melihat posisi dan tata letak kompleks masjid tersebut memingatkanku pada Taj Mahal di India. Kami tidak singgah ke kompleks masjid tersebut, hanya berfoto kemudian melanjutkan perjalanan keliling kota hingga menemukan sebuah dermaga kecil. Waktu itu hari sudah beranjak petang, beberapa saat lagi matahari sudah akan meninggalkan langit siang di kota yang logat melayunya sangat kental itu. Kami berdua menikmati sunset di sebuah dermaga kecil, menunggu matahari menyisakan kisah tentang langit yang berubah gelap di balik bukit. Di sisi lain bulan yang hampir purnama muncul dari balik cakrawala, memancarkan cahaya keemasan di antara deburan sekawanan ombak yang datang berarak. Gelap malam yang membawa angin dengan semerbak aroma garam merayu kami untuk segera beranjak meninggalkan lamunan di batas senja itu. Sebuah warung seafood yang akhirnya menjadi langganan hampir di setiap jam makan kami selama berada di Pulau Natuna mengundang kami lewat aroma ikan bakarnya yang sedap. Esok pagi, entah roman picisan macam apa lagi yang akan menjadi bekal untuk berkelana di atas dua roda.

Masjid Agung Natuna yang mengadopsi Taj Mahal menghadap pantai dan berlatar belakang perbukitan


Beragam jajanan tradisional di sebuah warung makan
Stop, bukan saatnya untuk merangkai kata-kata yang sok puitis seperti sastrawan sekelas Kahlil Gibran, karena saatnya harus berpikir ke tempat mana kami harus pergi. Di sebuah persimpangan, sekilas kami melihat ada semacam warung kecil yang lumayan ramai. Sejurus kemudian, kami membelokkan arah motor dan bergerak mendekatinya penuh selidik. Tampak berjajar jajanan yang rata-rata belum pernah aku lihat sebelumnya, entah apa isinya dan bagaimana rasanya, masih menjadi misteri yang akan segera kami ketahui jawabannya. Tunjuk sana tunjuk sini sambil menanyakan nama dan bahannya, masing-masing kami membawa piring dan memilih beberapa jenis jajanan tersebut. Segelas teh manis hangat menyempurnakan sarapan pagi ini bersama beberapa penduduk lokal yang terlihat sering memandangi kami. Banyak juga jajanan yang kami ambil dan telah berpindah tempat dan berubah bentuk ke dalam perut kami, soal harga masih terbilang murah meriah. 


Tujuan kami selanjutnya pagi itu adalah sebuah pantai di belakang pertokoan yang masih dalam tahap pembangunan. Saat itu laut sedang surut jauh, bahkan kami harus berjalan kaki hampir 1 km untuk mencapai tubir. Sampai lewat tengah hari kami menyusuri rataan pasir, dengan beberapa hasil yang walaupun tidak maksimal tapi cukup sebagai modal awal untuk pencarian berikutnya. Waktu makan siang telah tiba, naga dalam perut rasanya sudah sejak tadi protes karena tidak diberi jatah sepiring nasi, semangkuk soto dan ikan laut bakar. Lagi-lagi, warung seafood menjadi andalan pemenuhan kebutuhan logistik kami, plus seporsi es kelapa muda cukup menjadi penawar lapar dan dahaga kami. What a nice lunch and beautiful day. Hampir lupa, kami belum memberitahukan kegiatan kami ke dinas terkait, dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan. Kami pun datang ke kantor dinas yang lokasinya berada di kompleks masjid yang sehari sebelumnya telah kami datangi, dan satu kantor lagi yang letaknya agak keluar kota. Tidak banyak informasi yang kami dapatkan, bahkan mereka mengandalkan informasi dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh instansi tempatku bekerja. Praktis mereka tidak pernah melakukan kegiatan yang berhubungan dengan eksplorasi sumber daya alam laut. Kekecewaan kami sedikit terobati setelah kami mendatangi salah satu objek wisata menarik yang cukup potensial untuk dikembangkan.


Alief Stone Park menjadi ikon pariwisata Natuna
Alief Stone Park atau Taman Batu Alief, begitulah nama tempat wisata baru yang aku singgahi dari sore sampai selepas senja. Cerita pembukaan tempat wisata baru ini cukup menarik untuk disimak. Bermula dari seorang yang sedang jalan-jalan dan akhirnya menemukan tanah yang terletak pada sebuah tanjung dengan batu-batu besar yang menjulang dan berserakan di sepanjang pantai. Otak bisnis sang penemu tersebut langsung jalan dengan melihat tempat yang potensial untuk dikembangkan sebagai tempat wisata. Orang tersebut lalu mencari informasi mengenai pemilik lahan tersebut dan bermaksud membelinya. Awalnya lokasi ini sangat kotor, banyak sampah dan dan beling serta terkesan angker. Dalam waktu hampir setahun membersihkan dan menata pantai, lambat laun menjadi buah bibir. Pemilik lahan yang sebenarnya tinggal di Jakarta tersebut meminta anaknya untuk mempromosikan melalui internet. Alhasil, kian hari kawasan wisata pribadi mereka semakin dikenal, bahkan menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi di Natuna yang dimuat di majalah pesawat yang melayani penerbangan ke pulau tersebut. Beberapa acara televisi nasional yang bertemakan perjalanan pun pernah meliput tempat ini. Nama ‘alief’ sendiri disematkan karena salah satu batu menghujam tanah dengan posisi berdiri seperti huruf pertama dalam urutan huruf Arab, Alief. Sebelum kembali ke hotel, aku sempat bercengkerama dengan anak pemilik lahan yang kini dipercaya untuk mengelola taman wisata batu Alief Stone Park. Selain mengelola taman batu tersebut, ternyata dia juga berencana memulai bisnis penyelaman yang belum tergarap padahal optensinya cukup bagus.

Demi kenyamanan wisatawan, sarana prasarana di Alief Stone Park semakin diperbaiki


Senja di salah satu sudut kota Ranai dilihat dari laut
Aku lalu kembali ke hotel dan kemudian makan malam di salah satu rumah makan yang kami curigai sebagai rumah judi. Kami baru menyadarinya setelah beberapa lama sambil menunggu pesanan, beberapa perlengkapan judi dan hadiah terlihat di beberapa sudut ruangan. Dan semakin malam semakin banyak tamu yang datang berbondong-bondong dengan penampilan orang berduit dan nampaknya sudah memesan posisi duduk. Kami merasa di tempat yang tidak wajar karena ketidaktahuan, bukan bermaksud untuk ikut membesarkan bisnis perjudian mereka. Kami berjalan kembali ke hotel dengan berbagai prasangka, termasuk dugaan bahwa pasti anggota kepolisian pasti bukannya tidak tahu dengan kegiatan ini. Tidak ingin berpanjang lebar membahas segala macam dugaan yang belum tentu benar itu, kami akhirnya memilih untuk istirahat karena besok pagi kami masih akan tetap mencari buruan kami. Hujan di malam itu membuat suasana menjadi dingin, pengantar tidur yang sempurna setelah seharian kepanasan.


Purnama di beranda kota Ranai
Pagi-pagi sudah turun hujan, dan rencana yang telah disusun semalam terpaksa harus dirubah. Sambil menunggu hujan reda, kami hanya duduk-duduk di hotel memandangi hotel sambil ngobrol tanpa tema yang spesifik. Setelah makan siang, begitu hujan agak reda kami langsung turun ke pantai di sekitar hotel. Tidak ada hasil yang kami dapatkan walaupun sudah berkeliling pantai cukup jauh. Kami lalu kembali ke hotel dan berharap besok cuaca mendukung pekerjaan kami, tidak seperti hari itu. Praktis hari itu tiada hasil sama sekali, tidak produktif. Saat makan malam di warung, kami mencoba mencari informasi mengenai objek wisata yang sering dikunjungi oleh wisatawan dan menjadi andalan Pulau Natuna. Salah satu objek wisata yang menarik perhatian kami adalah air terjun yang lokasinya cukup jauh dari pusat kota. Kami pun membuat rencana untuk mendatangi objek wisata tersebut dua hari kemudian, setelah satu lokasi pantai yang menjadi target pencarian kami. Untuk besok harinya, kami akan tetap berangkat ke lokasi yang sudah menjadi target kami walau hujan seharian sekalipun. Hujan masih saja setia mengguyur sejak kemarin, dan mendung yang menggantung di langit masih berwarna kelam. Belum ada tanda-tanda hujan akan reda, mungkin seharian ini harapannya sangat kecil melihat matahari. Sesuai komitmen di hari sebelumnya, apapun yang akan terjadi kami akan tetap berangkan ke pantai pagi itu. Berangkat dengan motor, kami singgah terlebih dahulu ke warung di persimpangan, setelah mengisi perut baru kemudian melanjutkan perjalanan ke pantai. Sebelum tiba di pantai yang dituju, kami membelokkan laju motor ke sebuah perkebunan kelapa yang berada di sebuah tanjung berbukit. Anehnya, begitu mendekati puncak bukit angin kencang yang menakutkan dan hujan yang amat lebat tiba-tiba datang. Kami pun berhenti di balik sebuah batu besar untuk menghindari terpaan angin, dengan tetap waspada terhadap kemungkinan pohon tumbang. Hampir setengah jam lamanya kami terjebak pada suasana yang bikin sekujur tubuh merinding. Perpaduan antara suara angin, hujan dan goncangan pepohonan kelapa membuat suasana begitu mencekam. Badan yang dibalut oleh baju yang telah basah oleh hujan terus menggigil kedinginan, sementara hujan dan angin masih tetap seperti semula. Kami pun akhirnya memutuskan untuk kembali turun ke arah jalan raya dan menuju ke pantai yang menjadi tujuan awal kami. Memang benar-benar suatu keanehan karena begitu keluar dari perkebunan kelapa tersebut, hujan berganti gerimis dan tidak ada lagi angin yang menakutkan.


Batu yang berbentuk Kodok di salah satu pantai
Tiba di pantai yang berada di sebelah tebing, kami bertemu dengan salah seorang penduduk yang kebetulan sedang duduk santai di teras rumahnya, sekalian meminta ijin untuk ke pantai dan menitipkan motor. Dari obrolan singkat tersebut aku bisa menyimpulkan bahwa orang tersebut pernah mengenyam pendidikan minimal di bangku kuliah. Hujan kembali turun, saat kami memulai pekerjaan di pantai yang waktu itu sedang dalam posisi surut rendah. Dingin tidak menjadi halangan yang berarti buat kami mengingat target hari itu harus sudah selesai semua pekerjaan. Selama di pantai kami bertemu dengan beberapa orang nelayan yang ternyata sedang menjaring ikan dan mencari gurita. Satu hal yang patut disayangkan adalah ketika secara tidak sengaja aku mendapati salah satu dari nelayan tersebut ternyata meggunakan bahan kimia untuk menangkap ikan. Sungguh tindakan yang tidak dapat dibenarkan karena efek yang ditimbulkan dari apa yang dilakukannya tersebut sangat merusak sumber daya alam laut. Di saat berbagai pihak tengah gencar mengkampanyekan penangkapan ikan dengan cara yang sehat, oknum nelayan yang aku temui tersebut justru tampak tidak merasa berdosa melakukan hal sebaliknya. Pendidikan yang rendah dan desakan kebutuhan ekonomi mungkin menjadi alasan orang tersebut melakukan tindakan terlarang. Cerita memilukan kisah seorang nelayan penangkap ikan dengan menggunakan bahan kimia tadi menjadi penutup hari yang hampir selalu diwarnai dengan hujan itu. Bersyukur malam harinya hujan mulai reda, menyisakan gerimis yang suasananya sangat mendukung untuk ngemil atau makan makanan dan minum minuman yang hangat-hangat.


Air terjun Hiu Ceruk
Hari terakhir di Pulau Natuna suasana sangat bersahabat. Setelah tiga hari diguyur hujan, mulai pagi matahari sudah bersinar dengan cerahnya. Rencana kami ke air terjun pun terlaksana sesuai harapan. Berangkat sebelum hari beranjak siang dengan motor, kami bergerak menuju ke arah luar kota. Berbekal hanya berupa informasi mengenai nama air terjun dan perkiraan jarak dan arahnya, kami merasa bahwa kemungkinan kesasar. Terhitung lebih dari tiga kali kami menanyakan kepada orang yang kami temui di perjalanan tentang air terjun yang kami maksud. Lokasi air terjun berada jauh dari jalan raya, dengan akses yang cukup menyulitkan bagi yang belum pernah datang ke sana. Menjelang kompleks air terjun, terlihat beberapa fasilitas outbound dan camping ground serta kolam renang yang agak terbengkalai. Mungkin karena jarang sekali dimanfaatkan untuk kegiatan, fasilitas pendukung yang sangat minim nampaknya juga menjadi kendala tersendiri. Dan ternyata air terjun yang cukup terkenal di seluruh penjuru Pulau Natuna tersebut hanya aliran sungai kecil yang di salah satu titiknya melewati sebuah batu yang akhirnya menyerupai air terjun. Air terjun Hiu Ceruk namanya, terletak di desa Ceruk, sekitar satu jam dari kota Ranai dengan kendaraan. Sedikit kecewa, namun tetap berusaha menghibur dengan membasuh muka dengan airnya yang lumayan dingin. Tidak butuh waktu lama untuk merasakan bosan berada di dekat air terjun yang sebenarnya lebih cocok untuk disebut sebagai sungai saja.

Camping ground dan lokasi outbound di sekitar air terjun


Batu Rusia, situs yang terbengkalai
Kami kembali menuju kota dengan menyimpan dalam-dalam segala kekecewaan tentang air terjun tadi, padahal ekspektasi kami sudah terlanjur terlalu tinggi dengan kondisinya. Kami menyempatkan diri untuk singgah di beberapa titik di sepanjang pantai yang kami lalui, sekedar santai menikmati siang yang cerah seelah sebelumnya diguyur hujan berhari-hari. Jalanan mulus yang sepi dan berliku-liku sangat menyenangkan untuk dilalui dengan bermotor, dengan jajaran pohon kelapa di sekitarnya. Sekilas kami melihat sebuah objek menarik di tepian jalan tapi terkesan terbengkalai tidak terawat. Sebuah batu besar yang tertulus sebagai Batu Rusia dengan sedikit narasi, yang ternyata termasuk salah satu benda cagar budaya yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Sangat disayangkan karena tidak ada upaya serius untuk menjaganya padahal sangat potensial sebagai salah satu objek wisata mengingat sejarah yang melekat padanya cukup menarik untuk diungkapkan. Sudah tidak ada keseriusan untuk merawatnya, dijadikan tempat berteduh sapi yang akhirnya buang kotoran di sekitar batu tersebut pula. Di sekitar batu tersebut terdapat sebuah rumah yang terdapat di tengah rawa berair, juga tidak terawat tapi sangat bagus sebagai objek foto.


Laut sebagai latar depan Masjid Agung Natuna
Tujuan kami selanjutnya adalah masjid yang dari kejauhan memang terlihat sangat fenomenal untuk ukuran sebuah kabupaten kecil tersebut. Sesuai dengan yang telah aku perkirakan, bangunan sebesar itu di tempat yang tidak terlalu ramai ujung-ujungnya pasti terbengkalai. Tidak hanya satu dua bagian saja yang terlihat sudah tidak seperti seharusnya, tapi banyak sekali bagian yang telah mengalami kerusakan. Miris dan terasa mubadzir, kenapa membuat bangunan semegah ini kalau sangat minim pemanfaatannya. Cukup sudah perjalananku ke Pulau Natuna ini, dengan berbagai cerita yang aku alami selama total waktu hampir seminggu. Cerita di tanah yang katanya kaya akan sumber daya tambangnya tetapi masyarakat masih hidup dengan sangat sederhana. Kisah yang kualami mulai dari hari yang sangat panas terik sampai hujan berhari-hari yang dingin. Perpisahan dengan Pulau Natuna ditandai dengan landasan pacu bandara yang banjir dan goncangan pesawat yang lumayang memacu adrenalin saat penerbangan menuju Batam. Jika aku ingat-ingat kembali, sejak melakukan perjalanan dengan pesawat udara tahun 2003 lalu hingga saat itu, baru kali ini aku merasakan takut di pesawat.




 







Ranai, 21122012, 02:22pm


*catatan seorang pejalan

No comments:

Post a Comment