Beberapa waktu yang lalu, sempat ramai
berita di berbagai media nasional tentang Pulau Natuna. Al kisah negara
tetangga kita yang gemar mencaplok kekayaan alam Indonesia, Malaysia, kembali
berulah. Kali ini mencoba mengklaim Pulau Natuna sebagai salah satu wilayah
dari negara yang pernah hampir diserang sewaktu zaman pemerintahan presiden Bung
Karno dahulu. Sebelumnya, negara yang sering diberi plesetan sebagai malingsia
tersebut telah mencaplok dua pulau terluar kita, Pulau Sipadan dan Ligitan.
Bukan hanya itu, beberapa kekayaan budaya nasional kita juga telah mereka klaim
sebagai kekayaan budaya milik mereka. Sebut saja kesenian Reog yang jelas-jelas
berasal dari salah satu kota di provinsi Jawa Timur, yaitu Ponorogo. Mungkin
karena disana ada sejumlah orang yang awalanya merupakan TKI yang merantaau
bertahun-tahun dan akhirnya menjadi warga negara tetap kemudian mencoba untuk
menghidupkan kesenian tradisional asal daerahnya. Seiring dengan berjalannya
waktu, pemerintah Malaysia menganggap itu sebagai bagian dari kebudayaan
mereka. Tidak berhenti sampai disitu saja, Malaysia juga sempat mengklaim batik
sebagai kekayaan budaya yang berasal dari sana. Beruntung tidak lama kemudian PBB
segera menetapkan bahwa batik merupakan warisan dunia yang berasal dari
Indonesia. Lagu ‘Rasa Sayange’ juga tidak luput dari klaim Malaysia, bahkan
menjadi lagu ikon pariwisata mereka di tevelisi-televisi nasional Malaysia.
Masih banyak kekayaan seni dan budaya asal Indonesia yang dicoba diklaim oleh
Malaysia. Gerak cepat pemerintah Indonesia yang didukung oleh protes
besar-besaran dari berbagai kalangan telah menyelamatkan kekayaan Indonesia
dari Klaim negara tetangga yang seharusnya dulu menjadi bagian dari negara
kita.
Pemandangan menjelang pendaratan di Pulau Natuna |
Kembali ke klaim beberapa pulau yang sempat
diklaim oleh Malaysia, ternyata semuanya tidak lepas dari kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, terutama bahan tambang. Pulau Sipadan dan Ligitan yang
pada masa pemerintahan presiden Gus Dur telah lepas ke tangan mereka
disinyalir memiliki cadangan minyak di perairan sekitarnya. Pulau Nunukan yang
memang terbagi menjadi dua, sebagian masuk wilayah Indonesia dan sebagian masuk
wilayah Malaysia, hingga saat ini masih kerap terjadi konflik. Bukan hanya di
wilayah daratannya namun juga di wilayah perairan, berkali-kali kapal perang
milik Malaysia masuk ke wilayah perairan Indonesia dan mencoba memprovokasi
kapal perang angkatan laut Indonesia. Di pulau tersebut juga sudah diketahui
memiliki cadangan minyak yang cukup banyak. Sama halnya kasus yang terjadi
dengan Timor Timur. Konon kabarnya Australia dan Amerika sengaja membuat
isu-isu yang mendorong perpecahan di provinsi termuda kita waktu itu. Kedua
negara tersebut yang didukung oleh beberapa negara barat sangat bersemangat
memerdekakan Timor Timur, kini Timor Leste, agar mereka berkesempatan mengeruk
kekayaan tambang minyak di laut Timor. Hingga diputuskan untuk dilaksanakan
jajak pendapat masyarakat disana, dan hasilnya golongan pro integrasi harus
mengungsi ke Nusa Tenggara Timur karena kalah suara dengan golongan pro
kemerdekaan. Namun kenyataannya hingga saat ini tidak ada kegiatan tambang
disana, masyarakat yang dijanjikan kehidupan baru yang makmur masih tetap
melarat. Sempat terdengar kabar bahwa ada semacam wacana untuk kembali menjadi
bagian dari Indonesia, mengingat ternyata jajak pendapat atas inisiasi
Australia banyak kecurangan yang memungkinkan kemenangan golongan pro
kemerdekaan.
Jalanan sempit berkelok-kelok tapi mulus yang membentang di Pulau Natuna |
Saat ini Malaysia tetap dicurigai masih
gencar melakukan serangan dan terus mencari peluang untuk mencaplok wilayah
Indonesia. Jika mendengar dan melihat tayangan-tayangan film dokumenter jelas
terlihat upaya-upaya Malaysia menggerogoti tanah di Pulau Kalimantan dengan
cara memindahkan patok tapal batas. Provokasi Malaysia sangat jelas di wilayah
perbatasan dengan giatnya pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana.
Sangat kontras keadaannya dengan wilayah perbatasan yang masuk wilayah
Indonesia, kondisinya sangat minim. Warga perbatasan yang ber KTP Indonesia pun
lebih mengenal bahasa, mata uang dan budaya negara tetangga daripada milik
mereka sendiri. Racun dari seberang semakin dalam merasuk karena begitu
mudahnya masyarakat kita di perbatasan untuk mendapatkan berbagai fasilitas
dari negeri Jiran. Ternyata Malaysia memang bukan hanya ingin merebut beberapa
wilayah Indonesia dengan cara frontal tetapi juga melalui pendekatan persuasif
ke masyarakat perbatasan. Natuna walau saat ini masih tergolong aman tetap
harus diwaspadai oleh pemerintah pusat mengingat rongrongan terhadap kekayaan
tambang di sana dari negeri seberang sangat besar.
Salah satu pantai yang menjadi tujuan wisata |
Natuna, tidak pernah terpikirkan sebelumnya
aku bakalan menjejakkan alas kakiku di sana, terbayang lokasinya dimana pun
tidak pernah. Referensi tentang tempat-tempat indah di pulau yang letaknya termasuk
berada pada posisi paling utara negeri ini pun tidak aku miliki. Tapi aku
sering mendapatkan cerita perjalanan dari beberapa teman yang pernah melakukan
kegiatan atau sekedar jalan-jalan. Yang pasti aku ketahui adalah Natuna sebagai
salah satu nama pulau yang ingin dikuasai negara tetangga sehingga Slank pernah
membuatkan lirik sebagai warning kepada pemerintah untuk mempertahankan pulau
tersebut, bersama Timor Timur waktu itu. Keindahan alam dan pantainya
benar-benar tidak pernah terbayangkan olehku. Hanya beberapa foto hasil
jepretan salah seorang teman saja yang sempat aku lihat, yang tentu saja tidak
bisa menggambarkan kondisi Natuna secara utuh. Seperti apa kondisi
masyarakatnya, ada apa saja disana, makanan khas apa saja yang bisa dijumpai
disana, oleh-oleh apa yang kira-kira bisa dibawa pulang kalau dari sana,
bagaimana dengan harga-harga disana, dan lain-lain, dan lain-lainnya lagi semua
serba blank bagiku.
Miris, limpasan limbah yang dibuang ke laut |
Penerbangan ke Natuna hanya dilayani oleh
tiga maskapai dengan menggunakan pesawat yang berisi kurang dari seratus
penumpang. Beberapa saat sebelum mendarat aku disuguhi pemandangan yang
membuatku terkesima, bukan karena kagum tetapi sebaliknya, miris melihat aliran
air sungai yang berwarna hitam yang menyebar ketika masuk menuju lautan. Entah apa
yang menyebabkan aliran air tersebut berwarna hitam, kemungkinan limbah rumah
tangga, tapi apakah separah itu. Juga pemandangan yang menyayat hati tentang
bekas pembalakan hutan di dekat pantai. Begitu mendarat baru aku tahu bahwa
Bandar Udara Ranai di Natuna adalah milik tentara, mungkin angkatan udara. Barang bagasi
dari pesawat menuju ke ruang kedatangan, yang sebenarnya hanya bangunan kecil
multi fungsi, di urus oleh tentara berseragam. Barang bagasi telah diterima,
aku yang datang ke Natuna bersama salah seorang teman langsung mencari
tumpangan menuju kota. Taksi yang dimaksud oleh penduduk lokal sebenarnya
adalah mobil pribadi yang difungsikan sebagai angkutan umum, dengan tetap
menggunakan plat hitam. Tarif yang dikenakan kepada penumpang adalah dihitung per
penumpang karena kita harus berbagi taksi dengan penumpang lainnya yang
mengarah ke kota. Jarang tersedia mobil carteran yang bisa kita manfaatkan
sebagai taksi pribadi untuk kita sendiri, kecuali dengan kesepakatan tertentu.
Dengan jarak bandara yang tidak terlalu jauh dengan kota, dan jalanan yang
tergolong sepi walaupun relatif sempit, perjalanan hanya ditempuh kurang dari
setengah jam untuk sampai di pusat kota.
Areal bekas pembalakan |
Kami datang ke Natuna tanpa melakukan
reservasi hotel sebelumnya karena memang agak susah menghubungi nomor telephon hotel
yang kami dapatkan dari hasil pencarian melalui internet. Salah satu cara yang
kami anggap paling ampuh adalah meminta bantuan sopir taksi untuk mencarikan hotel
sesuai dengan kriteria yang kami inginkan, tentunya menyesuaikan dengan
ketersediaan yang ada di lokasi kami berada. Sopir taksi membawa kami ke hotel
yang menurutnya sebagai hotel terbaik di Natuna, dan kami pun menurut saja
dengan apa yang dibilang oleh sopir taksi tadi. Dilihat dari luar, hotel yang
dimaksud memang tidak terlalu bagus, tapi mungkin memang yang paling bagus
dibandingkan dengan yang lainnya. Kami memesan satu kamar, menyimpan barang
bawaan dan kemudian mencari warung terdekat untuk makan siang. Dari warung
tersebut tersebut pula lah, kami akhirnya mendapatkan motor untuk disewa selama
beberapa hari. Rencananya kami akan tinggal beberapa hari di Natuna, dengan
beberapa daftar kepentingan yang akan coba kami wujudkan semuanya. Motor
merupakan sarana yang paling praktis untuk kami gunakan berkeliling kota dan
tempat lain sekitarnya.
Salah satu sisi di pinggiran kota Ranai |
Siang itu hari sangat cerah, tiada mendung
dan terik sinar matahari panasnya meresap terasa hingga beberapa millimeter
menembus kulit, semakin menghitamkan kulitku yang memang sudah hitam. Kami
mengendarai motor sewaan berkeliling kota Ranai, ibukota kabupaten Kepulauan
Natuna. Tidak banyak yang dapat kami jumpai, tapi ada satu yang menarik
perhatian kami. Sebuah masjid besar menghadap ke pantai dengan dua jalan akses
yang dipisahkan oleh kolam, mengarah ke masjid tersebut dengan jarak sekitar
500 meter dari jalan raya. Sekilas, melihat posisi dan tata letak kompleks
masjid tersebut memingatkanku pada Taj Mahal di India. Kami tidak singgah ke
kompleks masjid tersebut, hanya berfoto kemudian melanjutkan perjalanan
keliling kota hingga menemukan sebuah dermaga kecil. Waktu itu hari sudah beranjak
petang, beberapa saat lagi matahari sudah akan meninggalkan langit siang di
kota yang logat melayunya sangat kental itu. Kami berdua menikmati sunset di
sebuah dermaga kecil, menunggu matahari menyisakan kisah tentang langit yang
berubah gelap di balik bukit. Di sisi lain bulan yang hampir purnama muncul
dari balik cakrawala, memancarkan cahaya keemasan di antara deburan sekawanan
ombak yang datang berarak. Gelap malam yang membawa angin dengan semerbak aroma
garam merayu kami untuk segera beranjak meninggalkan lamunan di batas senja
itu. Sebuah warung seafood yang akhirnya menjadi langganan hampir di setiap jam
makan kami selama berada di Pulau Natuna mengundang kami lewat aroma ikan
bakarnya yang sedap. Esok pagi, entah roman picisan macam apa lagi yang akan
menjadi bekal untuk berkelana di atas dua roda.
Masjid Agung Natuna yang mengadopsi Taj Mahal menghadap pantai dan berlatar belakang perbukitan |
Beragam jajanan tradisional di sebuah warung makan |
Stop, bukan saatnya untuk merangkai
kata-kata yang sok puitis seperti sastrawan sekelas Kahlil Gibran, karena
saatnya harus berpikir ke tempat mana kami harus pergi. Di sebuah persimpangan,
sekilas kami melihat ada semacam warung kecil yang lumayan ramai. Sejurus
kemudian, kami membelokkan arah motor dan bergerak mendekatinya penuh selidik.
Tampak berjajar jajanan yang rata-rata belum pernah aku lihat sebelumnya, entah
apa isinya dan bagaimana rasanya, masih menjadi misteri yang akan segera kami
ketahui jawabannya. Tunjuk sana tunjuk sini sambil menanyakan nama dan
bahannya, masing-masing kami membawa piring dan memilih beberapa jenis jajanan
tersebut. Segelas teh manis hangat menyempurnakan sarapan pagi ini bersama
beberapa penduduk lokal yang terlihat sering memandangi kami. Banyak juga
jajanan yang kami ambil dan telah berpindah tempat dan berubah bentuk ke dalam
perut kami, soal harga masih terbilang murah meriah.
Tujuan kami selanjutnya pagi itu adalah sebuah pantai di belakang pertokoan yang masih dalam tahap pembangunan. Saat itu laut sedang surut jauh, bahkan kami harus berjalan kaki hampir 1 km untuk mencapai tubir. Sampai lewat tengah hari kami menyusuri rataan pasir, dengan beberapa hasil yang walaupun tidak maksimal tapi cukup sebagai modal awal untuk pencarian berikutnya. Waktu makan siang telah tiba, naga dalam perut rasanya sudah sejak tadi protes karena tidak diberi jatah sepiring nasi, semangkuk soto dan ikan laut bakar. Lagi-lagi, warung seafood menjadi andalan pemenuhan kebutuhan logistik kami, plus seporsi es kelapa muda cukup menjadi penawar lapar dan dahaga kami. What a nice lunch and beautiful day. Hampir lupa, kami belum memberitahukan kegiatan kami ke dinas terkait, dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan. Kami pun datang ke kantor dinas yang lokasinya berada di kompleks masjid yang sehari sebelumnya telah kami datangi, dan satu kantor lagi yang letaknya agak keluar kota. Tidak banyak informasi yang kami dapatkan, bahkan mereka mengandalkan informasi dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh instansi tempatku bekerja. Praktis mereka tidak pernah melakukan kegiatan yang berhubungan dengan eksplorasi sumber daya alam laut. Kekecewaan kami sedikit terobati setelah kami mendatangi salah satu objek wisata menarik yang cukup potensial untuk dikembangkan.
Tujuan kami selanjutnya pagi itu adalah sebuah pantai di belakang pertokoan yang masih dalam tahap pembangunan. Saat itu laut sedang surut jauh, bahkan kami harus berjalan kaki hampir 1 km untuk mencapai tubir. Sampai lewat tengah hari kami menyusuri rataan pasir, dengan beberapa hasil yang walaupun tidak maksimal tapi cukup sebagai modal awal untuk pencarian berikutnya. Waktu makan siang telah tiba, naga dalam perut rasanya sudah sejak tadi protes karena tidak diberi jatah sepiring nasi, semangkuk soto dan ikan laut bakar. Lagi-lagi, warung seafood menjadi andalan pemenuhan kebutuhan logistik kami, plus seporsi es kelapa muda cukup menjadi penawar lapar dan dahaga kami. What a nice lunch and beautiful day. Hampir lupa, kami belum memberitahukan kegiatan kami ke dinas terkait, dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan. Kami pun datang ke kantor dinas yang lokasinya berada di kompleks masjid yang sehari sebelumnya telah kami datangi, dan satu kantor lagi yang letaknya agak keluar kota. Tidak banyak informasi yang kami dapatkan, bahkan mereka mengandalkan informasi dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh instansi tempatku bekerja. Praktis mereka tidak pernah melakukan kegiatan yang berhubungan dengan eksplorasi sumber daya alam laut. Kekecewaan kami sedikit terobati setelah kami mendatangi salah satu objek wisata menarik yang cukup potensial untuk dikembangkan.
Alief Stone Park menjadi ikon pariwisata Natuna |
Alief Stone Park atau Taman Batu Alief,
begitulah nama tempat wisata baru yang aku singgahi dari sore sampai selepas
senja. Cerita pembukaan tempat wisata baru ini cukup menarik untuk disimak.
Bermula dari seorang yang sedang jalan-jalan dan akhirnya menemukan tanah yang
terletak pada sebuah tanjung dengan batu-batu besar yang menjulang dan
berserakan di sepanjang pantai. Otak bisnis sang penemu tersebut langsung jalan
dengan melihat tempat yang potensial untuk dikembangkan sebagai tempat wisata.
Orang tersebut lalu mencari informasi mengenai pemilik lahan tersebut dan
bermaksud membelinya. Awalnya lokasi ini sangat kotor, banyak sampah dan dan
beling serta terkesan angker. Dalam waktu hampir setahun membersihkan dan
menata pantai, lambat laun menjadi buah bibir. Pemilik lahan yang sebenarnya
tinggal di Jakarta tersebut meminta anaknya untuk mempromosikan melalui
internet. Alhasil, kian hari kawasan wisata pribadi mereka semakin dikenal,
bahkan menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi di Natuna yang dimuat di
majalah pesawat yang melayani penerbangan ke pulau tersebut. Beberapa acara televisi nasional yang bertemakan perjalanan pun pernah meliput tempat ini. Nama ‘alief’
sendiri disematkan karena salah satu batu menghujam tanah dengan posisi berdiri
seperti huruf pertama dalam urutan huruf Arab, Alief. Sebelum kembali ke hotel, aku
sempat bercengkerama dengan anak pemilik lahan yang kini dipercaya untuk
mengelola taman wisata batu Alief Stone Park. Selain mengelola taman batu
tersebut, ternyata dia juga berencana memulai bisnis penyelaman yang belum
tergarap padahal optensinya cukup bagus.
Demi kenyamanan wisatawan, sarana prasarana di Alief Stone Park semakin diperbaiki |
Senja di salah satu sudut kota Ranai dilihat dari laut |
Aku lalu kembali ke hotel dan kemudian
makan malam di salah satu rumah makan yang kami curigai sebagai rumah judi.
Kami baru menyadarinya setelah beberapa lama sambil menunggu pesanan, beberapa
perlengkapan judi dan hadiah terlihat di beberapa sudut ruangan. Dan semakin
malam semakin banyak tamu yang datang berbondong-bondong dengan penampilan
orang berduit dan nampaknya sudah memesan posisi duduk. Kami merasa di tempat
yang tidak wajar karena ketidaktahuan, bukan bermaksud untuk ikut membesarkan
bisnis perjudian mereka. Kami berjalan kembali ke hotel dengan berbagai
prasangka, termasuk dugaan bahwa pasti anggota kepolisian pasti bukannya tidak
tahu dengan kegiatan ini. Tidak ingin berpanjang lebar membahas segala macam
dugaan yang belum tentu benar itu, kami akhirnya memilih untuk istirahat karena
besok pagi kami masih akan tetap mencari buruan kami. Hujan di malam itu
membuat suasana menjadi dingin, pengantar tidur yang sempurna setelah seharian
kepanasan.
Purnama di beranda kota Ranai |
Pagi-pagi sudah turun hujan, dan rencana
yang telah disusun semalam terpaksa harus dirubah. Sambil menunggu hujan reda,
kami hanya duduk-duduk di hotel memandangi hotel sambil ngobrol tanpa tema yang
spesifik. Setelah makan siang, begitu hujan agak reda kami langsung turun ke
pantai di sekitar hotel. Tidak ada hasil yang kami dapatkan walaupun sudah
berkeliling pantai cukup jauh. Kami lalu kembali ke hotel dan berharap besok
cuaca mendukung pekerjaan kami, tidak seperti hari itu. Praktis hari itu tiada
hasil sama sekali, tidak produktif. Saat makan malam di warung, kami mencoba
mencari informasi mengenai objek wisata yang sering dikunjungi oleh wisatawan
dan menjadi andalan Pulau Natuna. Salah satu objek wisata yang menarik
perhatian kami adalah air terjun yang lokasinya cukup jauh dari pusat kota.
Kami pun membuat rencana untuk mendatangi objek wisata tersebut dua hari
kemudian, setelah satu lokasi pantai yang menjadi target pencarian kami. Untuk
besok harinya, kami akan tetap berangkat ke lokasi yang sudah menjadi target
kami walau hujan seharian sekalipun. Hujan masih saja setia mengguyur
sejak kemarin, dan mendung yang menggantung di langit masih berwarna kelam.
Belum ada tanda-tanda hujan akan reda, mungkin seharian ini harapannya sangat
kecil melihat matahari. Sesuai komitmen di hari sebelumnya, apapun yang akan
terjadi kami akan tetap berangkan ke pantai pagi itu. Berangkat dengan motor,
kami singgah terlebih dahulu ke warung di persimpangan, setelah mengisi perut
baru kemudian melanjutkan perjalanan ke pantai. Sebelum tiba di pantai yang
dituju, kami membelokkan laju motor ke sebuah perkebunan kelapa yang berada di
sebuah tanjung berbukit. Anehnya, begitu mendekati puncak bukit angin kencang
yang menakutkan dan hujan yang amat lebat tiba-tiba datang. Kami pun berhenti
di balik sebuah batu besar untuk menghindari terpaan angin, dengan tetap
waspada terhadap kemungkinan pohon tumbang. Hampir setengah jam lamanya kami
terjebak pada suasana yang bikin sekujur tubuh merinding. Perpaduan antara
suara angin, hujan dan goncangan pepohonan kelapa membuat suasana begitu
mencekam. Badan yang dibalut oleh baju yang telah basah oleh hujan terus
menggigil kedinginan, sementara hujan dan angin masih tetap seperti semula.
Kami pun akhirnya memutuskan untuk kembali turun ke arah jalan raya dan menuju
ke pantai yang menjadi tujuan awal kami. Memang benar-benar suatu keanehan
karena begitu keluar dari perkebunan kelapa tersebut, hujan berganti gerimis
dan tidak ada lagi angin yang menakutkan.
Batu yang berbentuk Kodok di salah satu pantai |
Tiba di pantai yang berada di sebelah
tebing, kami bertemu dengan salah seorang penduduk yang kebetulan sedang duduk
santai di teras rumahnya, sekalian meminta ijin untuk ke pantai dan menitipkan
motor. Dari obrolan singkat tersebut aku bisa menyimpulkan bahwa orang tersebut
pernah mengenyam pendidikan minimal di bangku kuliah. Hujan kembali turun, saat
kami memulai pekerjaan di pantai yang waktu itu sedang dalam posisi surut
rendah. Dingin tidak menjadi halangan yang berarti buat kami mengingat target
hari itu harus sudah selesai semua pekerjaan. Selama di pantai kami bertemu
dengan beberapa orang nelayan yang ternyata sedang menjaring ikan dan mencari
gurita. Satu hal yang patut disayangkan adalah ketika secara tidak sengaja aku
mendapati salah satu dari nelayan tersebut ternyata meggunakan bahan kimia
untuk menangkap ikan. Sungguh tindakan yang tidak dapat dibenarkan karena efek
yang ditimbulkan dari apa yang dilakukannya tersebut sangat merusak sumber daya
alam laut. Di saat berbagai pihak tengah gencar mengkampanyekan penangkapan
ikan dengan cara yang sehat, oknum nelayan yang aku temui tersebut justru
tampak tidak merasa berdosa melakukan hal sebaliknya. Pendidikan yang rendah
dan desakan kebutuhan ekonomi mungkin menjadi alasan orang tersebut melakukan
tindakan terlarang. Cerita memilukan kisah seorang nelayan penangkap ikan
dengan menggunakan bahan kimia tadi menjadi penutup hari yang hampir selalu
diwarnai dengan hujan itu. Bersyukur malam harinya hujan mulai reda, menyisakan
gerimis yang suasananya sangat mendukung untuk ngemil atau makan makanan dan
minum minuman yang hangat-hangat.
Air terjun Hiu Ceruk |
Hari terakhir di Pulau Natuna suasana
sangat bersahabat. Setelah tiga hari diguyur hujan, mulai pagi matahari sudah
bersinar dengan cerahnya. Rencana kami ke air terjun pun terlaksana sesuai
harapan. Berangkat sebelum hari beranjak siang dengan motor, kami bergerak
menuju ke arah luar kota. Berbekal hanya berupa informasi mengenai nama air
terjun dan perkiraan jarak dan arahnya, kami merasa bahwa kemungkinan kesasar.
Terhitung lebih dari tiga kali kami menanyakan kepada orang yang kami temui di
perjalanan tentang air terjun yang kami maksud. Lokasi air terjun berada jauh
dari jalan raya, dengan akses yang cukup menyulitkan bagi yang belum pernah
datang ke sana. Menjelang kompleks air terjun, terlihat beberapa fasilitas
outbound dan camping ground serta kolam renang yang agak terbengkalai. Mungkin
karena jarang sekali dimanfaatkan untuk kegiatan, fasilitas pendukung yang
sangat minim nampaknya juga menjadi kendala tersendiri. Dan ternyata air terjun
yang cukup terkenal di seluruh penjuru Pulau Natuna tersebut hanya aliran
sungai kecil yang di salah satu titiknya melewati sebuah batu yang akhirnya
menyerupai air terjun. Air terjun Hiu Ceruk namanya, terletak di desa Ceruk, sekitar satu jam dari kota Ranai dengan kendaraan. Sedikit kecewa, namun tetap berusaha menghibur dengan
membasuh muka dengan airnya yang lumayan dingin. Tidak butuh waktu lama untuk
merasakan bosan berada di dekat air terjun yang sebenarnya lebih cocok untuk
disebut sebagai sungai saja.
Camping ground dan lokasi outbound di sekitar air terjun |
Batu Rusia, situs yang terbengkalai |
Kami kembali menuju kota dengan menyimpan
dalam-dalam segala kekecewaan tentang air terjun tadi, padahal ekspektasi kami
sudah terlanjur terlalu tinggi dengan kondisinya. Kami menyempatkan diri untuk
singgah di beberapa titik di sepanjang pantai yang kami lalui, sekedar santai
menikmati siang yang cerah seelah sebelumnya diguyur hujan berhari-hari.
Jalanan mulus yang sepi dan berliku-liku sangat menyenangkan untuk dilalui
dengan bermotor, dengan jajaran pohon kelapa di sekitarnya. Sekilas kami
melihat sebuah objek menarik di tepian jalan tapi terkesan terbengkalai tidak
terawat. Sebuah batu besar yang tertulus sebagai Batu Rusia dengan sedikit
narasi, yang ternyata termasuk salah satu benda cagar budaya yang ditetapkan
oleh pemerintah daerah setempat. Sangat disayangkan karena tidak ada upaya
serius untuk menjaganya padahal sangat potensial sebagai salah satu objek
wisata mengingat sejarah yang melekat padanya cukup menarik untuk diungkapkan.
Sudah tidak ada keseriusan untuk merawatnya, dijadikan tempat berteduh sapi
yang akhirnya buang kotoran di sekitar batu tersebut pula. Di sekitar batu
tersebut terdapat sebuah rumah yang terdapat di tengah rawa berair, juga tidak
terawat tapi sangat bagus sebagai objek foto.
Laut sebagai latar depan Masjid Agung Natuna |
Tujuan kami selanjutnya adalah masjid yang
dari kejauhan memang terlihat sangat fenomenal untuk ukuran sebuah kabupaten
kecil tersebut. Sesuai dengan yang telah aku perkirakan, bangunan sebesar itu
di tempat yang tidak terlalu ramai ujung-ujungnya pasti terbengkalai. Tidak
hanya satu dua bagian saja yang terlihat sudah tidak seperti seharusnya, tapi
banyak sekali bagian yang telah mengalami kerusakan. Miris dan terasa mubadzir,
kenapa membuat bangunan semegah ini kalau sangat minim pemanfaatannya. Cukup
sudah perjalananku ke Pulau Natuna ini, dengan berbagai cerita yang aku alami selama
total waktu hampir seminggu. Cerita di tanah yang katanya kaya akan sumber daya
tambangnya tetapi masyarakat masih hidup dengan sangat sederhana. Kisah yang
kualami mulai dari hari yang sangat panas terik sampai hujan berhari-hari yang
dingin. Perpisahan dengan Pulau Natuna ditandai dengan landasan pacu bandara
yang banjir dan goncangan pesawat yang lumayang memacu adrenalin saat
penerbangan menuju Batam. Jika aku ingat-ingat kembali, sejak melakukan
perjalanan dengan pesawat udara tahun 2003 lalu hingga saat itu, baru kali ini
aku merasakan takut di pesawat.
Ranai, 21122012, 02:22pm
*catatan
seorang pejalan
No comments:
Post a Comment