Saturday, July 11, 2015

Saksi Bisu Murka Alam Tanah Rencong, Tragedi di Penghujung Tahun

Menara di depan Masjid Raya Baiturrahman
Pesawat yang membawaku terbang melakukan beberapa manuver saat mengitari perbukitan berkabut sebelum tinggal landas. Kedua kaki ini menginjakkan tanah di Bandar udara Sultan Iskandar Muda di suatu siang yang panas itu. Sekaligus sebagai tanda bahwa itu adalah pertama kalinya aku menjejakkan kaki di tanah Andalas, yang berarti bahwa daya jelajahku mengitari nusantara semakin luas. Bagian barat Indonesia memang belum pernah aku datangi sebelumnya, termasuk Pulau Sumatra dan Kalimantan bagian barat. Padahal, sebelumnya beberapa kali aku telah memiliki kesempatan untuk datang ke pulau yang pernah menyesatkan pelayar dari Eropa ratusan tahun silam, di kira sebagai India. Tetapi banyak hal yang menghalangi, yang kemudian menyebabkan aku gagal untuk berangkat kesana. Kakakku yang telah merantau ke Banda Aceh sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu tidak disangka bertemu dengan pujaan hatinya, kemudian menikah dan berdomisili di sana. Baru kali ini aku berkesempatan untuk singgah dan menikmati suasana sebuah wilayah paling barat negeri ini yang konon sangat kental dengan nafas islaminya, yang kemudian disebut sebagai negeri serambi Mekah. Syariat Islam menjadi sumber utama dari semua tatanan dalam setiap sendi kehidupan masyarakat di sana, termasuk yang paling mencolok adalah aturan pemakaian jilbab bagi setiap perempuan ketika beraktivitas di luar rumah.


Bendera parta lokal
Aceh, merupakan sebuah provinsi yang sebelumnya bernama Daerah Istimewa Aceh kemudian pada jaman pemerintahan presiden Gus Dur berubah nama menjadi Nangroe Aceh Darussalam. Dengan segala kesucian yang melekat padanya namun tetap memiliki masa lalu yang kelam, mulai dari isu adanya ladang ganja sampai konflik yang melibatkan gerombolan separatis yang menamakan diri mereka sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tidak berhenti di situ saja ternyata, cerita kelam tentang Aceh berlanjut hingga terjadinya peristiwa yang mengguncang dunia di suatu penghujung tahun. Lebih dari 200.000 nyawa melayang akibat tersapu gelombang tsunami yang dahsyat akibat gempa bumi yang menggetarkan tanah di sepanjang pantai barat Pulau Sumatra. Sebagian tubuh yang telah tak bernyawa tersapu hingga entah berapa jauh, sebagian lain tidak pernah diketemukan sampai saat ini. Tidak sedikit juga yang masih hidup tapi kehilangan beberapa anggota tubuhnya, menderita cacat fisik seumur hidupnya. Banyak di antara mereka yang dalam hitungan detik menjadi yatim piatu, menjadi sebatang kara, menjadi tuna wisma dan menjadi pengangguran.

Salah satu panorama sesaat sebelum turun hujan di tepian pantai di bagian utara kota Banda Aceh


Bentang alam tanah Aceh yang berbukit
Pergerakan lempeng bumi dalam rangka mencari kestabilan itu memang memang disadari sebagai peristiwa alam yang wajar terjadi kapanpun dan dimanapun. Namun letak masalahnya adalah kapan dan dimana peristiwa itu terjadi tidak akan pernah dapat dijawab oleh seluruh professor di seluruh muka bumi ini. Begitulah kira-kira yang terjadi di pagi ketika peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat Aceh dan seluruh dunia. Semua terjadi secara tiba-tiba, berlalu dengan begitu cepatnya, tidak memberikan kesempatan bagi siapapun untuk mengelak dari musibah. Peristiwa besar yang mengingatkanku pada lagu yang pernah dinyanyikan oleh Boomerang yang dipersembahkan untuk gempa dahsyat yang terjadi beberapa tahun sebelumnya di salah satu sudut Pulau Flores, Larantuka. Namun kejadian waktu itu tidak seheboh kejadian yang terjadi di Aceh, di samping karena pemberitaan belum bisa secepat waktu gempa dan tsunami Aceh juga karena korban jiwa yang ditimbulkan tidak sebanyak di Aceh.


Bentor mudah dijumpai di beberapa kota di Sumatra
Peristiwa yang kemudian menarik perhatian dunia yang dibuktikan dengan banyaknya bantuan yang datang ke tanah rencong tersebut tidak selamanya menjadi momok buruk bagi masyarakat disana. Perlahan namun pasti masyarakat berusaha bangkit dari trauma yang menghilangkan harta benda dan nyawa saudara-saudara mereka. Paling tidak, kelak sejarah baru dengan adanya kesepakatan damai yang ditandatangani oleh GAM, damai tercipta di bumi Aceh. Rasa senasib dan sepenanggungan serta persaudaraan yang pada akhirnya membawa ke sebuah kesepakatan damai. Setiap lapisan masyarakat bahu membahu membangun kembali peradaban yang sempat diporakporandakan oleh bencana alam. Bahkan beberapa orang entah bermaksud serius atau hanya sekedar candaan saja, berseloroh bahwa bencana gempa bumi dan tsunami tersebut adalah peringatan dari Yang Maha Kuasa kepada rakyat Aceh untuk segera mewujudkan perdamaian. Entah benar atau tidak pendapat tersebut, namun jika kita renungkan kembali memang sudah seharusnya seperti itu, tidak perlu lagi ada pertumpahan darah yang melibatkan saudara sendiri ke dalam konflik yang berkepanjangan.

Halaman depan Museum Tsunami Aceh di lihat dari teras museum

Latar depan Museum Tsunam
Kini, geliat pembangunan kembali peradaban yang pernah mati suri dalam keputusasaan telah nampak hasilnya. Gencarnya bala bantuan materiil dan spiritual dari relawan, pemerintah dan berbagai pihak dari luar negeri sangat bermanfaat bagi kebangkitan mereka. Duka memang masih terlalu segar untuk dilupakan, tapi terus berkutat dalam duka tidak akan merubah masa depan. Mungkin kira-kira begitulah semangat yang mereka tanamkan ke dalam benak masing-masing pribadi hingga menjadi spirit massal. Museum tsunami telah dibangun, bukan untuk bermaksud mengulik kembali kesedihan di hati yang tak mungkin akan pernah hilang tetapi sebaliknya untuk menumbuhkan benih harapan hari depan yang ceria. Aku datang ke museum tsunami di saat yang kurang tepat, selain karena bukan pas hari kerja juga bertepatan dengan persiapan acara peringatan 10 tahun peristiwa itu. Sayang sekali, kenapa hari libur akhir pekan kenapa museum ditutup, padahal biasanya di hari libur tersebut kunjungan dari turis lebih banyak dibanding hari kerja. Mungkin ada alasan tersendiri dari pihak pengelola museum mengapa dilakukan penutupan di saat libur akhir pekan, aku hanya sekedar menebak bahwa penutupan dilakukan karena menjelang diadakannya peringatan 10 tahun tsunami tersebut.




Museum Tsunami menjadi obyek wisata bagi turis
Tidak ada pihak yang bisa dijadikan tempat untuk bertanya saat itu, aku hanya berkeliling di seputaran museum saja. Sejumlah bendera negara yang menurut pengunjung lain merupakan negara-negara yang turut memberikan bantuan ke Aceh dipajang disana. Juga bola-bola beton yang bertuliskan nama-nama negara tersebut, yang diatur mengelilingi sebuah kolam yang dijadikan tempat duduk-duduk bagi para pengunjung. Terlihat juga sebuah helicopter dengan logo kepolisian RI yang dalam keadaan rusak parah dipajang di salah satu sudut museum. Menurut informasi dari salah satu pedagang asongan yang saat itu sedang mangkal di seputaran museum, di dalam museum terdapat semacam gedung teater yang biasa memutar film tentang tsunami dan juga sebuah diorama tentang peristiwa tsunami yang terjadi di Aceh. Di seberang museum, terdapat sebuah lapangan yang disekelilingnya juga terdapat semacam prasasti kecil-kecil berbentuk perahu. Di setiap prasasti tersebut terdapat nama negara beserta bendera negara-negara pemberi bantuan pembangunan Aceh pasca tsunami. Juga sebuah tugu yang berisi rangkuman nama-nama negara yang terdapat pada prasasti-prasasti kecil tersebut. Jelas dari fakta-fakta yang aku temukan di museum dan lapangan tersebut bahwa perhatian dunia internasional sangat besar terhadap peristiwa yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai bencana nasional ini. Entah, apakah karena faktor Aceh yang sarat kepentingan politik ataukah benar-benar murni soal kemanusiaan.

Salah satu sisi interior Museum Tsunami
Salah satu sisi interior Museum Tsunami

Museum Tsunami sebagai wahana penyimpan cerita tentang tsunami Aceh sekaligus edukasi tentang tsunami 

Museum Kapal PLTD Apung 1
Museum Kapal Nelayan

Selain museum tsunami, saksi bisu yang dapat bertutur dalam diam tentang betapa dahsyat gelombang tsunami waktu itu adalah sebuah kapal sejenis kapal tongkang. Kapal tersebut terdampar hingga beberapa kilometer ke arah pemukiman, dan  akhirnya tersangkut di pemukiman padat penduduk. Kini kapal yang sejatinya adalah sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung 1 tersebut menjadi salah satu obyek wisata yang ramai dikunjungi oleh wisatawan. Sebenarnya kisah tentang kapal yang terseret ombak hingga berkilo-kilometer ke wilayah perkotaan bukan hanya satu saja, akan tetapi ada beberapa kejadian lain yang serupa. Misalnya saja yang kapal nelayan yang terdampar di suatu persimpangan di depan sebuah hotel. Bedanya, bangkai kapal tersebut telah dipindahkan karena dianggap mengganggu jalan arteri yang menjadi urat nadi transportasi masyarakat. Kini, hanya foto yang dipajang di lobi hotel yang tersisa sebagai bukti.

Menara Masjid Raya Baiturrahman
Menara Masjid Raya Baiturrahman



Bagian depan Masjid Raya Baiturrahman, masjid yang menjadi saksi dahsyatnya peristiwa tsunami Aceh


Masjid Raya Baiturrahman
Peristiwa tsunami super dahsyat tersebut juga tidak lepas dari kisah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Konon kabarnya, masjid yang secara fisik terlihat kokoh ini membuktikan kekokohannya kala goncangan gempa yang menyebabkan tsunami itu datang. Bangunan masjid masih berdiri tegak sedangkan bangunan-bangunan yang berada di sekelilingnya sudah rata dengan tanah. Masa air dari gelombang tsunami pun tidak berhasil masuk ke dalam masjid. Ratusan nyawa manusia terhindar dari ganasnya gelombang karena berlindung di dalam dan di atas atap masjid ini. Bahkan sempat ada pemberitaan tentang masjid ini di televisi bahwa relawan dan wartawan asing yang akan membantu dan meliput bencana alam ini dibuat tercengang oleh keberadaan sebuah bangunan yang masih tegak berdiri di antara puing-puing bekas bangunan lainnya. Entah karena kekuatan ghaib dari Yang Kuasa atau karena sebab lain, yang jelas masjid ini menjadi ikon sekaligus kebanggaan masyarakat Aceh. Saat ini, Masjid Raya Baiturrahman selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat lokal maupun turis nasional maupun asing. Keramaian semakin terasa saat menjelang masuk waktu sholat dan setelahnya. Terlihat kemeriahan di dalam dan di sekitar masjid bukan hanya berkaitan dengan kegiatan keagamaan, seperti sholat dan pengajian saja. Tidak jarang pengunjung masjid ini datang hanya sekedar duduk-duduk santai, berfoto, ataupun yang lain di luar kegiatan keagamaan. Aku pun sempat menjumpai beberapa orang fotografer keliling yang mencari nafkah dengan cara menawarkan jasa kepada pengunjung masjid.

Fotografer keliling di sekitar masjid raya
Fotografer keliling di sekitar masjid raya





Bagian dalam Masjid Raya Baiturrahman yang pernah menjadi tempat berkumpulnya pengungsi tsunami


Berbagai macam kopi dalam kemasan khas Aceh
Nama besar Aceh juga tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kopi. Tercatat beberapa jenis kopi kualitas unggul dihasilkan dari tanah di bagian ujung utara pulau Sumatra ini. Sebut saja kopi Ulee Kareng dan kopi Aceh Gayo, dua jenis kopi yang namanya sudah mendunia. Cerita yang aku dapatkan dari kakakku, keberadaan kedai kopi di kota Banda Aceh sebelum tsunami layaknya yang ada di kota-kota lain. Namun, pasca tsunami kedai kopi di kota Banda Aceh tumbuh bak jamur di musim penghujan. Awalnya kedai kopi dijadikan sebagai tempat berkumpul untuk berjaga-jaga dari adanya peristiwa yang mengharuskan masyarakat mengungsi, misalnya adanya tsunami serupa. Namun akhirnya kedai kopi diseting sedemikian rupa sehingga memiliki penampilan yang menarik sebagai tempat berkumpul dari berbagai kalangan usia maupun tingkat ekonomi. Kedai kopi mengalami pergeseran menjadi sebuah sarana untuk bergaul, membicarakan bisnis, mengerjakan skripsi dan masih banyak lagi alasan yang digunakan untuk bisa nongkrong di kedai kopi. Semula kedai kopi hanya berupa warkop sederhana, kini mereka berlomba-lomba untuk memberikan service yang seoptimal mungkin kepada pengunjung. Kebanyakan kopi telah dilengkapi dengan fasilitas wifi yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Menjamurnya kedai kopi menjadi keunikan tersendiri bagi kota Banda Aceh, menjadi salah satu daya tarik wisata, dan akhirnya menjadi salah satu penggerak roda ekonomi masyarakat. Salah satu hikmah yang lahir dari peristiwa yang meluluhlantakkan tanah Aceh.


Sedikit bergeser ke selatan dari kota Banda Aceh, aku bersama kakak dan temanku melaju ke arah Meulaboh dengan mengendarai sepeda motor. Kami berhenti sejenak di sebuah pantai berpasir putih kecoklatan yang berada di dekat pabrik semen Andalas di Lhok-nga. Menurut penuturan dari kakakku, pabrik semen yang sudah beroperasi kembali tersebut juga tidak luput dari amukan gelombang tsunami. Kami melanjutkan perjalanan melalui jalanan berkelok dan menanjak hingga akhirnya berhenti di atas sebuah titik yang berada di perbukitan. Pemandangan yang menakjubkan terhampar dihadapan kami, birunya air laut Samudra Hindia yang dihiasi oleh hijaunya beberapa buah pulau kecil yang terserak di dekat pantai. Di sisi lain, perbukitan yang berdiri kokoh di belakang kami membelokkan arah angin dari samudra yang berhembus membelai ranting pepohonan di Bukit Gerutee tersebut. Puas mengagumi panorama ciptaain Ilahi sambil menikmati seporsi mie goreng instan dan kelapa muda, kami kembali menuju Banda Aceh. Sepanjang perjalanan, aku dibuat kagum oleh bagusnya kualitas jalan raya yang kami lalui, seolah-olah bukan tipikal jalan raya di negaraku. Benar saja, ternyata jalan raya yang dibangun kembali pasca tsunami tersebut dibangun atas prakarsa negara donor yang membantu memulihkan prasarana transportasi. Tentu saja pihak pendonor memberlakukan standar pembangunan yang berkualitas super sehingga hasilnya juga memiliki kualitas baik.

Panorama dari bukit Gerutee yang memperlihatkan beberapa pulau kecil berlatar belakang Samudera Hindia



Akhirnya, Aceh, dengan sederet cerita dan kisahnya meninggalkan jejak yang menggambarkan masa lalunya dan bibit-bibit yang akan tumbuh menjadi bagian awal dari masa depannya. Beberapa penciri yang menjadi identitas Aceh dengan serta merta dibolak-balikkan oleh kejadian mahadahsyat yang datang di penghujung tahun. Peristiwa tersebut sekaligus menjadi tonggak sejarah bagi hidup baru masyarakat aceh di masa yang akan datang. Beberapa bukti dan saksi perubahan revolusioner selain yang sudah kusebut tadi masih banyak yang dapat ditemukan. Kopi dan kuliner menjadi cerita baru dan cerita lama yang diperbarui yang menjadi pengiring perubahan gaya hidup masyarakat aceh. Mie Aceh yang legendaris tetap menjadi salah satu kuliner Aceh yang menjadi favoritku, terutama rasa kepiting. Tidak lupa, sejumlah jenis kopi dari Aceh pun tidak luput dari pandanganku, dan dalam sekejap sudah berpindah ke dalam tas punggungku. Aceh, negeri serambi Mekkah nan damai ini semoga tetap damai sampai kapanpun. Suatu hari nanti aku ingin datang lagi ke sana, semoga.
  






Banda Aceh, 26122013, 10:47 pm



*catatan seorang pejalan

1 comment: