Friday, July 3, 2015

Dokter Ekspedisi: Kisah dan Perannya dalam Tim Penelitian

Stiker yang menandakan fasilitas kesehatan di kapal
Sebelum mengikuti ekspedisi di Kaimana ini, aku belum pernah sekalipun bertemu dengan dokter ekspedisi. Di samping aku tidak memiliki banyak teman yang berprofesi sebagai dokter, juga karena memang sebelumnya belum pernah melibatkan seorang dokter selama mengikuti ekspedisi. Aku memang pernah mendengar istilah tentang dokter ekspedisi, itu pun hanya sekali dua kali saja dan tidak secara detail. Waktu aku menang kontes Blacktrail ke Raja Ampat yang diselenggarakan oleh salah satu perusahaan pembersih muka dan National Geographic, salah seorang pemenang lain adalah seorang dokter. Teman tadi banyak bercerita tentang kisahnya menjadi seorang dokter di negara-negara miskin bekas konflik di Afrika. Aku juga menyempatkan membaca cerita-ceritanya yang ada di blog pribadi dan aku twitter serta facebook miliknya. Banyak hal-hal seru yang dialami, dengan segala keterbatasan fasilitas dan tentunya keluar dari zona nyaman, dia harus memberikan pelayanan kepada pasien yang ada disana. Menurutku seperti itulah harusnya dokter, sesuai dengan sumpah dan janji yang mengikat pada profesinya, bukan malah mencekik pasien dengan obat-obatnya yang mahal. Dari kisah-kisah yang diceritakan oleh teman dokterku tadi, aku langsung membayangkan mungkin seperti itulah kehidupan yang dialami oleh seorang dokter ekspedisi, dan ternyata dugaanku tidak semua benar.


Fasilitas kesehatan di ruang kesehatan
Berdasarkan dari pengamatan dan pengalamanku bersama dokter ekspedisi pada sebuah ekspedisi yang aku ikuti, terlihat bahwa fasilitas obat-obatan yang dibawa ke lapangan relatif lengkap, minimal obat-obat sebagai pertolongan pertama. Karena memang tidak mungkin membawa fasilitas layaknya sebuah klinik kesehatan. Awalnya aku mengira bahwa dokter tersebut merupakan dokter yang sengaja dibayar dari budget yang diambil dari keuangan ekspedisi untuk pelayanan kesehatan peserta ekspedisi. Atau sebagai salah satu staf di lembaga penelitian yang mengadakan ekspedisi tersebut. Namun akhirnya terbukti bahwa dugaanku itu salah sama sekali. Dari informasi yang aku dapatkan, dokter ekspedisi tersebut ternyata mendapatkan sponsor tersendiri untuk bergabung dengan tim ekspedisi. Dia mencari sendiri sumber dana di luar sumber dana yang digunakan untuk pembiayaan ekspedisi. Persis seperti cerita dari ekspedisi lainnya, yang ternyata hampir sebagian peserta ekspedisi berusaha mencari sumber dana sendiri sebagai sponsor untuk bisa bergabung dengan tim ekspedisi. Berbeda dengan yang selama ini aku ketahui, dari semua kegiatan penelitian yang diadakan oleh instansi dalam negeri, semua anggota tim mendapatkan honor dari kegiatan tersebut.

Fasilitas ruang kesehatan yang cukup memadai di kapal riset Baruna Jaya VIII


Perlengkapan untuk pertolongan pertama
Adanya fakta bahwa anggota tim penelitian tidak harus menjadi tanggungan finansial sebuah kegiatan penelitian patut menjadi wacana untuk diterapkan di Indonesia, termasuk melibatkan dokter ekspedisi. Harus menjadi bahan pertimbangan bahwa keberadaan dokter ekspedisi sangat vital karena resiko kecelakaan di lapangan saat penelitian sangat besar. Ironisnya, di samping tidak ada dokter yang menyertai suatu kegiatan penelitian, faktanya juga tidak ada asuransi jiwa yang menanggung kecelakaan dalam penelitian. Seolah-olah bahwa kegiatan penelitian (baik di lapangan maupun di laboratorium) tidak memiliki resiko kecelakaan. Padahal, tidak sedikit kisah tragis yang berakibat fatal dalam kegiatan penelitian, apalagi penelitian yang di lakukan di alam bebas yang tidak bisa diprediksi sumber bahaya yang mengancam.Pada suatu hari seorang teman peneliti dari salah satu pusat penelitian di tempatku bekerja pernah menceritakan pengalamannya tentang perubahan jadwal penelitian karena salah satu anggota tim mengalami sakit yang cukup parah. Penelitian yang dilakukan di sebuah pulau terpencil di wilayah Maluku harus dihentikan dan rute kapal terpaksa dialihkan ke kota terdekat yang memerlukan waktu berhari-hari. Padahal biaya operasional per hari untuk kapal yang dipakai dalam penelitian tersebut sangat mahal. Pernah juga aku mendengar cerita tentang salah satu tim penelitian yang meninggal di lapangan saat sedang melakukan penelitian. Penyebabnya adalah semacam serangan jantung yang tidak segera ditangani oleh tim medis dikarenakan lokasinya yang jauh dari keberadaan dokter. 


Pertolongan pertama akibat racun biota laut berbisa
Atau, dari pengalamanku sendiri ketika dua kali terkena racun dari biota laut saat tergabung dalam sebuah penelitian, yang mengharuskan aku istirahat total dan tidak bisa bekerja selama berhari-hari. Untungnya daya tahan tubuhku cukup bagus sehingga dapat melawan racun biota laut tersebut, jika tidak mungkin ceritanya akan berbeda. Waktu pertama kali terkena racun biota di sekitar Manado (Sulawesi Utara), enam tahun yang lalu, aku bisa pulih tanpa harus mendapatkan pertolongan dari dokter. Di sinilah pentingnya pengetahuan pertolongan pertama pada kecelakaan dan teori survival. Beruntung aku pernah mempelajarinya beberapa waktu sebelumnya sehingga sedikit mengetahui apa yang harus aku lakukan jika mengalami sedangkan tiada dokter yang menangani. Namun setahun yang lalu waktu terkena lagi di Pulau Pari (Jakarta), aku terpaksa dibawa ke dokter untuk mendapatkan pertolongan pertama, kebetulan ada dokter jaga di puskesmas. Belum lagi cerita-cerita dari pengalaman orang lain yang banyak sekali jenis kecelakaan yang dialami.


Perlengkapan di ruang kesehatan sebuah kapal riset
Dari satu ekspedisi yang aku ikuti kali ini saja, entah berapa orang yang akhirnya harus mendapatkan penanganan dari dokter. Mulai dari luka di kepala akibat terbentur atap kapal, kaki tertusukpaku yang sudah berkarat, infeksi akibat sengatan ubur-ubur, demam dan panas tinggi, luka-luka akibat terantuk batu, hingga patah di tangan akibat terjatuh saat penelusuran gua. Dapat dibayangkan betapa repotnya jika tidak ada dokter yang ikut dalam ekspedisi ini. Mungkin harus bolak balik ke kota mengantarkan orang sakit ke rumah sakit, sedangkan jarak lokasi penelitian dengan kota terdekat adalah sekitar 6 jam perjalanan dengan perahu karet, sangat tidak efektif. Di sinilah peran seorang dokter ekspedisi benar-benar terasa manfaatnya. Bukan hanya bagi anggota tim ekspedisi, melainkan juga bagi masyarakat lokal di sekitar lokasi penelitian yang memerlukan bantuan medis, sedangkan dokter sulit dijangkau atau ketiadaan biaya. 

Peran ahli pijat kadangkala sangat membantu saat terjadi kecelakaan waktu di lapangan


Dokter ekspedisi ikut menyiapkan mesin boat
Dalam beberapa kesempatan aku mendapati dokter sedang memberikan pelayanan medis kepada anak-anak di kampung karena suatu penyakit, sedangkan orang tuanya tidak memiliki biaya untuk pergi ke dokter atau membeli obat. Atau saat akan meninggalkan sebuah kampung kecil nan terpencil, terlihat dokter memberikan stok obat-obatan kepada salah seorang penduduk yang dari penampilannya mencerminkan seorang gadis yang terpelajar. Pernah juga aku terlibat dalam sebuah adegan yang mendebarkan ketika salah satu taruna kolaps di kelas. Aku terlibat membantu dokter dalam memberikan pertolongan kepada taruna tersebtu, karena orang lain yang ada di situ tidak ada yang bisa berbahasa Inggris. Sekali lagi aku mencatat pentingnya seorang dokter dalam sebuah ekspedisi, apalagi yang dilakukan di daerah terpencil dan dalam waktu yang lama.Dokter yang ikut dalam ekspedisi di Papua ini ternyata tidak hanya melulu memberikan pelayanan medis saat ada yang sakit, lalu berdiam diri saat semua anggota tim sehat-sehat. Ternyata dia juga proaktif dan terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh anggota tim lainnya. Terlihat sang dokter menjadi orang yang paling sibuk menyiapkan perahu karet yang akan dipakai selama ekspedisi. Mulai dari menyeting sampai memperbaiki bagian yang rusak, hingga perahu karet siap digunakan. Bukan hanya satu perahu karet tapi ada tujuh, walau akhirnya hanya memakai empat saja karena yang lainnya rusak. Tidak berhenti sampai disitu, sang dokter juga terlihat aktif mengangkut barang-barang ekspedisi dari gudang ke kapal. Intinya, walaupun profesinya sebagai dokter tapi bukan berarti menutup mata ketika ada hal lain yang bisa dikerjakan dan melibatkan dia. Aku jadi terkesan kepadanya sebagai pribadi, bukan sebagai seorang profesional.


Dokter ekspedisi membantu menyiapkan boat
Ada kasus yang menurutku sangat fatal, dan beruntung ada dokter ekspedisi di antara kami. Pada tiga malam terakhir ekspedisi, ketika kami sudah tinggal beres-beres menjelang pulang, tiba-tiba salah satu anggota tim mengeluh dada sakit. Kejadiannya lewat tengah malam, dan harus di bawa ke rumah sakit karena kondisinya yang cukup parah, sementara dokter ekspedisi terlihat kurang fit sejak sore. Ternyata, yang bersangkutan adalah penderita jantung yang secara kontinyu mengkonsumsi obat, dan pasca perawatan enam bulan kemudian. Serangan tiba-tiba malam itu dipicu oleh kopi yang seharusnya jadi salah satu pantangan yang harus ditaati. Setelah dibawa ke rumah sakit, hanya ditangani oleh dokter jaga seperlunya saja, baru ketika hari sudah pagi kemudian diperiksa oleh dokter penyakit dalam. Oleh pengantar sudah diceritakan kronologis di lapangan serta riwayat sebelumnya, termasuk adanya penyakit diabetes yang juga diderita. Dokter rumah sakit kemudian memberikan resep dan meminta susternya melanjutkan tugas sesuai instruksi dokter. Salah satu pengantar kemudian mengklarifikasikan kepada dokter ekspedisi tentang obat-obatan yang diberikan berdasarkan diagnosa dari dokter rumah sakit, karena ada kecurigaan dengan proses diagnosanya. Benar saja, diagnosa yang diberikan tidak tepat, akibatnya obat yang diberikan pun salah, ditambah pemberian infus glukosa padahal pasien menderita diabetes. Sempat terjadi ketegangan antara dokter ekspedisi dan dokter rumah sakit. Dokter rumah sakit tetap pada keyakinannya bahwa diagnosa yang diberikan tersebut sudah tepat, sedangkan dokter ekspedisi berpendapat lain. Dokter ekspedisi bilang bahwa obat yang diberikan dokter rumah sakit salah karena obat tersebut merupakan antibiotik, sedangkan seharusnya tidak ada kaitannya dengan antibiotik. Artinya bahwa hampir terjadi malpraktek. Untungnya koordinator tim atas rekomendasi dokter ekspedisi segera bergerak cepat, dan memutuskan untuk tidak melanjutkan menggunakan jasa dokter rumah sakit tetapi dialihkan ke dokter dari pihak asuransi. Aku tidak mengerti, jika dilihat dari aspek hokum atau etika kedokteran apakah hal-hal seperti ini akan menimbulkan dampak lanjutan atau tidak. Tapi yang paling penting adalah terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan yang dikarenakan oleh ketidakhati-hatian dokter rumah sakit tadi.

Selain menjadi tenaga medis, dokter ekspedisi turut membaur dalam pekerjaan lain selain pekerjaan utama


Pelajaran yang dapat diambil dari kisah dan peran dokter ekspedisi ini sungguh banyak. Tentang sebuah profesi, tanggung jawab, sisi kemanusiaan, solidaritas, team work, pembentukan jati diri, multi talent, dan masih banyak lagi. Alangkah indahnya jika setiap anggota tim dalam ekspedisi, atau dalam forum apapun, ditanamkan nilai-nilai seperti itu. Atau, apabila ada kesadaran dari setiap pribadi untuk menjadi seperti itu. Niscaya kesan yang akan dibawa ketika ekspedisi berakhir menjadi sangat bermakna. Mendapatkan keluarga baru, berperan dalam tim, menjadi bagian yang menyenangkan dalam tim, sungguh sebuah impian. Semoga apa yang aku lihat dan alami ini juga menjadi pelajaran bagi anggota tim ekspedisi yang lain, terutama teman-teman yang berasal dari dalam negeri. Untuk kemudian jadi bahan pertimbangan mengusahakan adanya seorang dokter dalam sebuah tim ekspedisi, bukan sebagai pilihan tetapi sebuah keharusan. Tentunya akan jauh lebih baik lagi apabila didukung oleh pembuat kebijakan, karena harusnya mereka juga tahu dan sadar tentang resiko dari sebuah penelitian. Mustinya mereka mengerti bahwa keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang mengikuti kegiatan penuh risiko tersebut memerlukan jaminan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Sungguh, sebuah pekerjaan besar untuk menanamkan iklim penelitian yang aman di negeri ini.


Dokter ekspedisi saat menyiapkan pengobatan di kapal
Kabar gembira akhirnya datang dari institusi tempatku bekerja. Dalam kegiatan yang diadakan di awal tahun ini, seorang dokter diikutsertakan dalam ekspedisi yang dilakukan di sepanjang pesisir barat Sumatra. Dengan adanya dokter dalam kegiatan ekspedisi, minimal sudah ada perhatian terhadap risiko kegiatan di lapangan, apalagi sudah sejak dua puluhan tahun yang lalu sudah tidak ada asuransi untuk kegiatan penelitian di lapangan. Padahal, risiko terjadinya kecelakaan ketika di lapangan sangatlah besar. Semoga ke depannya perhatian pemerintah dan pihak-pihak terkait terhadap segala risiko yang menyangkut keselamatan jiwa ketika mengikuti kegiatan ekspedisi dan penelitian di lapangan semakin baik lagi.



  



Sorong, 22112014, 11:59 am


*catatan seorang pejalan

No comments:

Post a Comment