Sebuah
iklan besar di umumkan beberapa kali di majalah National Geographic Indonesia
kala itu. Iya, pengalaman itu ternyata sudah sudah tiga tahun lebih berlalu,
dan aku masih tetap ingin menuliskannya. Kebetulan aku berlangganan dan
mengoleksi majalah ini sejak muncul edisi berbahasa Indonesia, walaupun
beberapa edisi gagal aku koleksi. Iklan yang menawarkan petualangan seru ke
lima destinasi yang masing-masing tentunya menawarkan keseruannya. Blacktrail,
begitulah judul besar even ini. Sebuah even yang diadakan oleh nama besar
National Geographic yang disponsori oleh sebuah produsen pembersih muka dengan
produknya L’Oreal Men Expert. Tidak tanggung-tanggung, even tersebut merupakan
bagian dari acara yang bernuansa petualangan yang ditayangkan oleh Kompas TV.
Teroka nama acara tersebut, dengan host yang dikenal cukup ulet mempromosikan
potensi alam nusantara dari sudut pandangnya. Dia adalah Cahyo Alkantana, yang
bagi penggiat caving pasti sudah tidak asing lagi namanya. Tidak hanya itu,
untuk memikat even petualangan yang ingin menonjolkan sisi maskulin, bintang
tamu yang dihadirkan adalah seorang aktor ternama yang telah membintangi
sejumlah film nasional, dialah Nicholas Saputra.




Hari
keberangkatan pun tiba. Aku berangkat dari kantor dan berkumpul di tempat yang
telah disepakati di bandara Soetta. Begitu semua sudah kumpul, seporsi makan
malam pun dibagikan ke seluruh anggota tim. Jadi, total anggota tim adalah
sebanyak 15 orang. Kalau disebut satu per satu anggota tim yaitu lima orang
pemenang (aku, Indra, Zamroni, Yudi dan Husni), tim dari L’Oreal (Nicholas
Saputra dan Indarto), tim dari Teroka Kompas TV (Cahyo Alkantana, Daday, Lawin,
Qidqid dan satu lagi lupa namanya), dan tentu saja tim dari NG Indonesia (Vitra
serta duo bersaudara NG dive instructor Glenn dan Michael Sjukrie). Praktis,
hanya satu cewek dalam tim ini, Qidqid. Menggunakan pesawat Batavia Air Y6-845
kami berangkat dari terminal 1B pukul 22:45 WIB menuju Sorong dengan transit
sebentar di Makassar. Di bandara Sultan Hasanuddin kami sempat menikmati
secangkir kopi sembari menunggu jadwal penerbangan selanjutnya. Waktu itu
memang belum ada penerbangan Garuda menuju ke Sorong. Total perjalanan dari
Jakarta menuju ke Sorong ditempuh dalam waktu sekitar 7 jam. Kami tiba di bandara
Domine Eduardo Osok, pagi sekitar pukul 08:00 WIT.
Kesan
pertama ketika masuk ke areal ruang kedatangan bandara ini adalah, banyak orang
yang hitam kulit dan keriting rambut. Ya tentu lah, kan di tanah Papua. Jadi
keingat lagu yang didedikasikan untuk masyarakat Papua di film Di Timur
Matahari karya Ari Sihasale. Yang jelas, kondisi bandara sangat minim. Cuaca di
luar yang hangat telah membelai kulit dengan begitu mesranya. Lapar mendera. Dari
bandara kami mampir sarapan di sebuah warung Coto Makassar Bhatta yang terletak
di pinggir jalan di seberang pantai. Selanjutnya, kami menuju dermaga
penyeberangan privat Usahamina untuk naik speed boat menuju base camp di
Kepulauan Raja Ampat.

Keesokan harinya, penyelaman yang sebenarnya baru dimulai, walaupun bagiku check dive itu pun aku lakukan dengan serius dan benar-benar memperhatikan prosedur selam. Selama 3 hari ke depan kegiatan diisi dengan menyelam, dengan total penyelaman adalah 11 kali termasuk check dive, dengan formasi penyelaman 1-4-4-2. Titik-titik penyelaman yang direncanakan adalah Arborek Jetty, Manta Sandy Bottom, Yenbuba Corner, Cape Kri, Chicken Reef, Mike’s Point, Kuburan Point, Blue Magic, Mioskon, dan penyelaman terakhir kembali ke Manta Sandy Bottom. Airborek Jetty menawarkan suguhan kekayaan biota di seputar jetty, terutama soft coral dan berbagai jenis ikan. Manta Sandy Botto merupakan sebuah panggung atraksi manta, lokasi ini merupakan lokasi mencari makan bagi manta karena mungkin plankton yang melimpah. Melalui batas yang telah ditentukan, kami berdiam dengan fin pifotting di kedalaman 15 meter. Manta menjadikan lokasi ini sebagai cleaning station bagi mereka. Karang yang terlihat hanyalah dari kelompok boulder di antara hamparan pasir.akan tetapi ikan cukup beragam, terutama yang berinteraksi langsung dengan manta dalam sebuah hubungan simbiosis mutualisme. Yenbuba Corner menampilkan atraksi berbagai jenis ikan yang berasosiasi dengan karang yang cukup beragam di lokasi ini. Cape Kri merupakan lokasi penyelaman dimana berbagai jenis ikan melintas dalam kondisi schooling di satu tempat. Sebut saja, school of jackfish, grouper, snapper, barracuda bahkan black tip-shark juga beberapa kali melintas. Di akhir penyelaman, arus menghantam cukup kuat hingga diperlukan memasang hook. Kami pun berebut posisi untuk menjaga diri dari terpaan massa air agar tidak hanyut. Dalam keadaan yang demikian pun pandangan kami masih terpaut pada pesta pora ikan yang sedang memamerkan kekeluargaan mereka. Mike’s Point terletak di sebuah pulau karang kecil yang memiliki arus cukup kuat, sebuah indikasi bahwa di lokasi itu banyak ikan bermain. Di lokasi ini terdapat goa yang terdapat banyak ular laut, keanekaragaman jenis karang yang menjadikan pemandangan spektakuler dan schooling batfish yang seolah mengajakku bercengkerama. Blue Magic selain memiliki keanekaragaman karang dan ikan yang fantastis juga merupakan habitat dari wobbegong, atau juga dikenal dengan sebutan hiu karpet. Penyelaman di Kuburan Point dilakukan menjelang senja. Walaupun kondisi karang kurang bagus, berkat kejelian dive guide kami diajak menyapa beberapa ekor pigmy seahorse yang berpegangan pada akar bahar. Saking kecilnya, kameraku tidak bisa menangkap fokus ikan yang termasuk dalam keluarga kuda laut ini. Blue Magic yang merupakan bukit karang dengan puncak berada di kedalaman 9 meter di bawah permukaan juga laut memiliki arus yang juga lumayan kencang. Dan di Mioskon juga disajikan keanekaragaman karang dan ikan.

Proses
perijinan sudah beres, waktunya kembali menuju ke tujuan semula, Wayag. Speed
boat memasuki sebuah cekungan yang dikelilingi oleh perbukitan karang. Di salah
satu bukit yang telah ditentukan itulah kami akan dibuat merinding oleh
kebesaran Sang Maha Kuasa. Di sebuah pantai berpasir putih, speed boat berhenti
dan semua penumpang turun ke pantai untuk bersiap mendaki. Iya, mendaki bukit
karang. Mencapai puncak Wayag ternyata tidak mudah, seperti sebuah slogan ‘untuk
mencapai surga butuh perjuangan dan pengorbanan’. Apalagi setelah tiga hari
penyelaman, melalui perjalanan panjang, dan kondisi fisik yang mulai menurun.
Bagiku, walaupun jalur pendakian tidak terlalu tinggi dan relatif mudah, namun
ternyata hampir membuatku pingsan. Pelan-pelan akhirnya aku pun tiba di puncak
bukit. Sejenak mata kupejamkan, mengatur nafas dan bersiap menerima hadiah dari
alam. Memang benar apa yang terlihat dari foto-foto di internet tentang Wayag.
Hari itu aku berhasil membuktikannya dengan mata kepalaku sendiri, dan
mengabadikan dengan kameraku sebagai bahan untuk berbagi kelak. Kami
benar-benar merasa terharu, dan terhipnotis oleh surge dunia tanah Papua.
Sampai di
sini perjalanan kami dalam even BlackTrail destinasi terakhir 2012, Raja Ampat.
Ada dua hal penting bagiku tentang perjalanan ke Raja Ampat. Pertama, ke Raja
Ampat kalau tidak menyelam ya lebih baik ke tempat lain yang lebih terjangkau
biaya dan waktu. Kedua, ke Raja Ampat kalau belum sampai di puncak Wayag sama
saja dengan belum sah. Karena memang begitulah realitanya. Raja Ampat sangat
identik dengan kegiatan penyelaman yang melibatkan kekayaan biota lautnya, dan
pendakian puncak Wayag yang berarti menangkap eksotisme bentang alamnya. Sebuah
warisan anak cucu masyarakat nusantara yang dititipkan kepada saudara-saudara
kita di tanah Papua yang harus dijaga bersama. Kalau bukan kita, siapa lagi
yang akan menjaga keutuhannya. Kalau tidak mulai dari sekarang, kapan lagi kita
tergerak untuk menjaga kelestariannya. Dengan retribusi sejumlah Rp. 100.000,-
(dan Rp. 250.000,- untuk turis asing) dalam bentuk sebuah pin bagi turis
domestik untuk masuk ke wilayah Raja Ampat pun sebenarnya masih terlalu murah
dibandingkan dengan kepuasan yang didapatkan. Apapun itu, dengan pengalaman menyelami
perairan dan menjejaki tanah Papua ini berarti memperlebar jelajahku mengenal
nusantara. Karena trip ke Raja Ampat ini adalah yang pertama bagiku ke wilayah
Papua. Dan aku bertekat untuk datang kembali ke Papua di lain waktu, entah di
bagian mana dari bumi cenderawasih ini. Sampai jumpa lagi, Raja Ampat. (Some photos take by Mike Sjukrie and Indra Adi Wijaya).
Hitam
kulit, keriting rambut, aku Papua…

Bitung, 31032016,
11:22pm
*catatan seorang pejalan
No comments:
Post a Comment