Tuesday, June 30, 2015

Mengendap-endap dan Mengintip Penyu Bertelur

Penyu hijau (Chelonia mydas)
Penyu, apa bedanya dengan kura-kura? Jelas berbeda. Namanya saja sudah berbeda. Bukan begitu cara menjawab yang tepat. Jadi begini, penyu dan kura-kura berbeda secara ilmu biologi (beserta ilmu-ilmu turunannya). Dilihat dari klasifikasinya, kedua kelompok hewan reptil ini terpisah walaupun memiliki nenek moyang yang sama. Secara taksonomi, keduanya memiliki posisi yang berbeda kelompok sesuai karakter-karakter yang dimiliki. Di pandang dari faktor habitatnya saja kedua kelompok hewan yang tulang belakangnya termodifikasi menjadi seperti tempurung ini sudah berbeda, penyu hidup di laut sedangkan kura-kura hidup di darat dan air tawar. Dan yang pasti, semua jenis penyu tidak seperti kura-kura yang dapat menarik kepala dan kakinya ke dalam tempurung. Di Indonesia jenis penyu tidak lah banyak, hanya enam jenis saja, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu tempayan (Caretta caretta) dan penyu ridel (Lepidochelys olivacea). Penyu hijau adalah jenis penyu yang paling umum ditemukan di perairan Indonesia, sedangkan penyu belimbing merupakan jenis terbesar yang dapat ditemukan.


Telur penyu di habitatnya
Dalam dunia zoology, penyu diketahui merupakan salah satu hewan purba yang masih hidup, maksudnya adalah hewan yang ditemukan hidup pada zaman dinosaurus dan masih dapat ditemukan di zaman modern sekarang ini. Oleh karena itu penyu, dan beberapa jenis hewan lainnya yang dapat ditemukan di zaman yang berbeda ini, juga disebut sebagai fosil hidup atau living fosil. Penelitian fosil menunjukkan tidak ada, atau sangat sedikit, perubahan struktur tulang pada tubuh penyu. Artinya bahwa perjalanan evolusi dari penyu berjalan sangat lambat, demikian halnya yang terjadi pada kura-kura yang merupakan saudara terdekat penyu. Umur penyu secara normal bisa mencapai ratusan tahun, tergantung dari jenisnya. Pemangsa utama penyu adalah manusia. Sedangkan pemangsa penyu dewasa di alam sangatlah sedikit, hanya predator raksasa dari kelompok hiu. Pemangsaan terhadap penyu biasanya saat penyu masih dalam fase telur oleh biawak, dan pada saat masih juvenil (tukik) terutama oleh burung elang dan burung pemangsa lainnya. Beberapa hasil penelitian dari peneliti penyu menyatakan bahwa hanya kurang dari 10% dari telur yang ditetaskan yang mampu bertahan hidup hingga dewasa.


Kisah tentang penyu juga diceritakan dalam sebuah adegan pada film kartun untuk anak-anak ‘Finding Nemo’. Aku menilai film kartun tersebut sangat bagus, sarat dengan pendidikan dan pengetahuan, yang dikemas sedemikian rupa sehingga porsinya pas untuk konsumsi anak-anak (maupun dewasa). Dikisahkan bahwa penyu yang berumur seratus tahun dengan beberapa ekor tukik anaknya termasuk dalam kategori penyu yang masih muda. Mereka berpindah dari suatu wilayah perairan ke wilayah perairan lainnya dalam sebuah migrasi dengan memanfaankan pola arus yang melintas di sekitar benua Australia. Sangat menarik dan banyak sekali pengetahuan yang bisa didapat dari film kartun tersebut, sesuai banget dengan pelajaran ilmiah yang aku dapatkan dari bangku pendidikan formal.

Bangunan berbentuk penyu sebagai bagian dari lembaga konservasi penyu di Pangumbahan, Sukabumi


Fasilitas di lokasi penangkaran penyu di Pangumbahan
Salah satu misteri sekaligus keunikan dari penyu adalah yang kalau dalam pelajaran sastra mereka tidak mengenal pepatah ‘bagai kacang lupa kulitnya’. Maksudnya adalah mereka tidak akan melupakan asal usulnya ketika dilahirkan (lebih tepatnya ditetaskan). Jika induk mereka bertelur di sebuah pulau, maka suatu saat nanti setelah dewasa dia akan kembali ke tempat semula untuk tujuan bertelur mengikuti jejak induknya. Walaupun dalam perjalanan hidupnya dari mulai pertama kali dia keluar dari sarang di waktu masih tukik sampai usia dewasa yang siap bertelur dia mungkin mengembara ke seluruh samudera di dunia. Hal ini telah banyak dibuktikan oleh para ilmuwan dengan hasil-hasil penelitian mereka, jadi bukan hanya sebuah isapan jempol belaka. Jika kita searching di google atau youtube, banyak sekali film dokumenter tentang kisah penyu yang kembali ke tempat asalnya dia ditetaskan, hanya untuk bertelur.


Pangumbahan, Sukabumi
Mengamati penyu yang sedang bertelur memang sangat mengasyikkan, dari mulai menunggu dia naik ke pantai, mencari lokasi yang pas, menggali pasir, mengeluarkan telur, menimbun telurnya, hingga kembali lagi masuk ke laut. Cukup banyak lokasi di Indonesia yang telah diketahui sebagai tempat pendaratan penyu (istilah yang digunakan untuk menunjukkan lokasi bertelurnya penyu), baik yang rutin maupun yang dalam waktu tertentu saja. Aku memang belum banyak memiliki pengalaman mengikuti proses penyu bertelur, baru di empat lokasi saja. Pertama di Taman Nasional Meru Betiri – Jember (Jawa Timur), kedua di Kema – Minahasa Utara (Sulawesi Utara), ketiga di Pangumbahan – Sukabumi (Jawa Barat), dan yang keempat di Pulau Tumbu-tumbu – Kaimana (Papua Barat). Dan satu lagi lokasi tempat pendaratan penyu yang pernah aku datangi, tapi aku tidak mengikuti prosesi penyu bertelur, yaitu di Teluk Buli – Halmahera Timur (Maluku Utara). Berita baiknya pemerintah, LSM, maupun masyarakat adat telah menetapkan sebagian lokasi pendaratan penyu sebagai kawasan yang dilindungi. Meru Betiri, Pangumbahan dan Pulau Tumbu-tumbu merupakan kawasan konservasi yang bertujuan untuk melindungi penyu. Meru Betiri yang termasuk dalam kawasan taman nasional sudah jelas statusnya dikelola oleh pemerintah pusat melalui Kementrian Kehutanan. Pangumbahan yang tidak termasuk dalam kawasan taman nasional tentunya memiliki metode pengelolaan yang sedikit berbeda, tetapi pengelolaannya tetap dilakukan oleh pemerintah. Lain lagi ceritanya dengan Pulau Tumbu-tumbu yang dikelola oleh salah satu LSM internasional, jelas mereka memiliki standar tersendiri dalam upaya pengelolaan, walaupun atas persetujuan pemerintah. Yang patut dikhawatirkan adalah lokasi-lokasi pendaratan penyu yang tidak (atau belum) mendapatkan status kawasan konservasi, seperti halnya Kema dan Teluk Buli.


Menunggu penyu yang sedang bertelur
Pada dasarnya, dimanapun lokasinya prosesi penyu bertelur memiliki kesamaan dalam tahapan. Penyu akan naik ke pantai untuk bertelur biasanya mengikuti keberadaan bulan. Saat bulan gelap, sulit sekali mendapatkan penyu yang naik ke pantai untuk bertelur. Sebaliknya, saat sekitar bulan purnama, di lokasi yang diketahui sebagai tempat pendaratan penyu bisa beberapa ekor penyu yang naik untuk bertelur dalam satu malam. Setelah berada di pantai berpasir, penyu akan mencari lokasi yang dianggap pas dan aman dari pemangsa. Begitu menemukan lokasi yang dimaksud, proses selanjutnya adalah menggali lubang untuk menyimpan telur hingga kedalaman tertentu dengan menggunakan keempat kakinya. Pada beberapa kasus diketahui bahwa kadang-kadang penyu membuat dua lubang dalam sekali naik ke pantai. Salah satu di antara dua lubang tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi biawak dan anjing yang suka mencari telur penyu dengan cara membongkar lubang. Sekali bertelur, penyu bisa menghasilkan puluhan hingga ratusan butir telur. Proses mengeluarkan telur tersebut bisa berlangsung lebih dari satu jam lamanya.


Penyu selesai bertelur
Dua hal yang harus dipatuhi saat melakukan pengamatan proses penyu bertelur kalau tidak ingin penyu batal bertelur. Pantangannya adalah tidak boleh berisik dan tidak boleh menggunakan cahaya apapun dari mulai penyu naik ke pantai hingga penyu mengeluarkan telur. Jika pantangan tersebut dilanggar, maka penyu akan merasa terganggu dan segera kembali ke laut walaupun sudah menggali lubang untuk bertelur. Penggunaan cahaya diperbolehkan apabila penyu sudah mengeluarkan telur yang ke sekian, lebih dari sepuluh. Sampai tahap ini, penyu tidak akan mempedulikan kondisi berisik maupun penerangan oleh cahaya model apapaun, dia akan tetap melanjutkan prosesinya. Setelah selesai bertelur, penyu biasanya akan beristirahat sejenak, mungkin terlalu payah seperti orang bersalin. Jika diamati lebih dekat, penyu akan terlihat menangis dan kelelahan. Kemudian, lubang tempat meletakkan telur tersebut ditutup kembali seperti semula. Dan setelah selesai semua, penyu akan kembali ke laut. lamanya proses dari pertama kali penyu naik ke pantai hingga kembali lagi ke laut bisa menghabiskan waktu 2 – 3 jam.

Setelah selesai bertelur, penyu menimbun telur dengan cara menutup lubang


Cangkang penyu akan dijual di Halmahera
Sampai disitu, telur penyu tidak berarti sudah aman, karena selain ancaman dari predator alami dan juga dari tangan manusia nakal yang suka mengambil telur. Terutama lokasi-lokasi pendaratan penyu yang tidak berada dalam kawasan konservasi, sangat rawan bagi proses pendaratan penyu dan juga bagi kelestarian penyu. Aku pernah menjumpai dan mendengar kabar bahwa telur penyu di jual bebas di beberapa kota di Indonesia, seperti di kota Padang (Sumatra Barat). Sayang sekali aku tidak mendapatkan gambar sebagai dokumentasi penjualan telur penyu yang dijajakan di pinggir jalan raya dekat pantai. Sebenarnya aparat keamanan sudah beberapa kali melakukan razia terhadap pedagang telur penyu, beberapa kali pula mereka diberikan sanksi. Namun tingginya permintaan membuat perdagangan penyu tetap saja marak. Memakan telur penyu dipercaya mampu meningkatkan keperkasaan pria, padahal itu hanya mitos saja. Bahkan yang benar adalah sebaliknya, jika dilihat dari komposisinya, sebagian besar telur penyu terdiri dari lemak, yang tidak bagus bagi tubuh. Di sinilah pentingnya upaya perlindungan penyu dan kawasan yang menjadi tempat perlindungan penyu, meminimalkan kekhawatiran akan pengambilan telur penyu oleh manusia. Walaupun tidak menutup kemungkinan di dalam kawasan konservasi pun masih terjadi pencurian telur penyu, ironisnya melibatkan orang dalam. Petugas yang diharapkan dapat menjaga dan mencatat jumlah telur penyu justru berbuat nakal, menjual secara illegal dan melaporkan jumlah yang jauh di bawah jumlah aslinya. Belum lagi permintaan daging penyu yang berkedok untuk keperluan upacara keagamaan umat Hindu, seperti yang terjadi di Bali. Atau permintaan penyu hidup untuk ritual keagamaan di salah satu kelenteng di Tuban (Jawa Timur). Begitu besarnya ancaman bagi penyu mulai dari telur, baik oleh predator alami maupun untuk dikonsumsi manusia, sampai permintaan dagingnya. Untungnya berita miring tersebut, menurut kabar yang beredar, tidak berlangsung di Kaimana (Papua Barat), khususnya di kawasan konservasi penyu Pulau Tumbu-tumbu.

Penjagalan penyu di Kema
Penyu setelah dijagal


Pos monitoring penyu di Kaimana
Pada saat pengamatan penyu di Pulau Tumbu-tumbu, aku bersama empat belas orang lainnya datang ke sebuah pulau kecil bernama Pulau Venu yang tak berpenghuni. Di sana hanya ada sebuah bangunan rumah yang difungsikan sebagai pos pengamatan penyu oleh salah satu LSM internasional, yaitu Conservation International. Sebuah LSM yang tidak asing bagiku karena aku pernah terlibat beberapa ekspedisi dan kegiatan dengan mereka, sampai akhirnya mendapatkan beasiswa untuk studi master juga dari mereka. Karena sebelumnya aku juga telah mengenal beberapa orang yang bekerja di LSM tersebut, sehingga waktu ngobrol dengan penjaga pos pemantau tersebut jadinya lebih nyambung. Dan ternyata sang penjaga juga mengenal baik nama teman-teman yang aku sebutkan karena ternyata beberapa dari mereka pernah bertugas di pulau tersebut. Berdasarkan cerita singkat dari sang penjaga pos, penyu yang biasa mendarat ke pulau tersebut adalah penyu hijau (yang paling sering), penyu sisik, penyu pipih dan kadang penyu belimbing. 


Fasilitas pos pengamatan penyu
Sebelum mencari penyu yang akan bertelur, aku sempatkan ngobrol dengan salah satu dari empat orang penjaga pos, sedangkan anggota rombongan yang lain sudah berlalu menyusuri pantai. Beberapa saat kemudian aku menyusul mereka. Dan belum lama berjalan, dari kejauhan aku sudah mendapati mereka sedang mengendap-endap, sebagian besar lainnya hanya tiarap. Pikirku, pasti sudah ada penyu yang naik ke pantai. Benar saja, setelah aku bergabung dengan mereka, aku melihat sesuatu yang bersinar. Sorot mata penyu yang mengkilap terkena sinar bulan, bagaikan mata kucing yang terkena sinar di malam hari. Sekian lama kami menunggu, dan menunggu. Kemudian mendekat pelan-pelan setelah penyu menggali lubang yang cukup dalam. Kami masih menunggu pada jarak yang sekiranya tidak mengganggu penyu, dalam diam dan tanpa penggunaan lampu penerangan. Sampai akhirnya penyu terlihat berdiam diri, sudah tidak menggali lagi. Itu artinya bahwa proses mengeluarkan telur sudah berlangsung, tapi kami masih ragu dan belum berani mengganggu. Dengan sedikit menyesal akhirnya aku bilang ke rombongan yang kebanyakan adalah peneliti dari Prancis, bahwa proses mengeluarkan telur sudah selesai karena penyu sudah mulai menutup lubangnya. Aku bilang sudah bisa menyalakan lampu dan mengambil gambar dengan kamera. Satu per satu mencoba menyapa penyu, memegang punggungnya, berfoto bersama, bahkan ada yang berusaha menunggangi tapi tidak diperbolehkan sama anggota rombongan yang lain.



Beberapa orang terlihat sedikit kecewa karena tidak bisa melihat dan mengabadikan momen proses penyu bertelur dengan sempurna. Tapi secara umum mereka sudah cukup puas karena tidak perlu waktu lama untuk bertemu dengan penyu yang sedang mendarat, sebuah keberuntungan. Rombongan meninggalkan penyu yang masih berusaha menutup lubang tempat bertelurnya, dan kembali ke kapal. Masing-masing pulang dengan membawa cerita berdasarkan versi dan sudut pandang mereka, seperti halnya dengan aku. Aku manggut-manggut saja mendengarkan celoteh dari pengalaman teman-temanku tadi,  sambil sesekali membantah dengan kalimat guyonan yang sebenarnya mengejek. Tapi apapun yang dikatakan oleh teman-temanku tadi, aku berharap bahwa penyu akan tetap lestari di alam, bukan di kebun binatang atau taman safari. Dengan begitu anak cucu nanti tidak hanya mendengar cerita dariku atau membaca tulisanku saja tentang keberadaan penyu dan proses bertelur mereka. Mari kita lestarikan penyu. Katakan tidak untuk konsumsi daging dan telur penyu!! Stop perdagangan daging dan telur penyu!! Stop perburuan penyu!!









Kaimana, 22112014, 08:57am



*catatan seorang pejalan

No comments:

Post a Comment