 |
Menara Jam Gadang |
Sesuai dengan namanya, Bukittinggi sebagian wilayahnya
merupakan daratan perbukitan. Bukittinggi, namanya menegaskan posisinya, sudah bukit yang secara jelas merujuk pada sesuatu yang tinggi, ditambah dengan kata tinggi pula. Bukittinggi, sebuah wilayah yang terletak di salah satu sudut Bukit Barisan yang membentang
dari ujung utara sampai bagian selatan Pulau Sumatra. Suasananya yang asri
dengan sebagian wilayahnya berupa hutan lindung, udaranya yang sejuk karena
berada pada ketinggian di atas 900 mdpl dan bentang alam berbukit-bukit dan
berlembah yang menyenangkan, serta diapit oleh dua buah gunung berapi yaitu
Gunung Singgalang dan Gunung Marapi. Tidak salah jika kota ini disebut sebagai
Paris van Sumatra. Dari wilayah perkotaan, terlihat kedua gunung tersebut
berdiri dengan gagahnya seolah-olah menjaga keutuhan kota. Karena kemiripannya,
kota ini juga disebut-sebut sebagai saudara kembar (sister city) dari kota
Seremban di Negeri Sembilan, Malaysia. Di awal kemunculannya, kota Bukittinggi
semula merupakan pasar mingguan bagi masyarakat Agam Tuo, yang kemudian
berkembang pesat menjadi kota (stadsgemeente) setelah kedatangan penjajah
Belanda. Bahkan karena berkembang dengan begitu pesatnya akhirnya berubah
fungsi menjadi ibukota Afdeeling
Padangshce Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam.
 |
Salah satu sudut di pedesaan Bukittinggi |
Pada masa pendudukan Belanda, Bukittinggi pada tahun 1828
dikenal dengan sebutan Gemetelyk Resort. Karena suasananya yang begitu
menyenangkan dengan iklim yang sesuai untuk ukuran orang Eropa, oleh Belanda
kawasan ini dijadikan sebagai salah satu pusat pemerintahan sekaligus tempat
peristirahatan para opsir. Nama Bukittinggi pernah dikenal dengan nama Fort de
Kock. Fort de Kock sendiri sebenarnya adalah nama sebuah benteng peninggalan
Belanda yang berada di Bukit Jirek. Seiring dengan berjalannya waktu, lambat
laun tumbuh dan berkembang pemukiman di sekitar benteng hingga menjadi sebuah
kota, yang dikenal dengan nama Fort de Kock, kini Bukittinggi. Fungsi utama
pembangunan benteng ini adalah untuk pertahanan kubu Belanda dari gempuran
rakyat Minangkabau pada masa Perang Padri (1821 – 1837). Perang Padri sendiri
sebenarnya bukan perang antara Belanda melawan penduduk pribumi antar kelompok
adat dan kelompok agama, tetapi perang saudara penduduk pribumi yang disusupi
oleh Belanda.
 |
Persawahan yang subur simbol kemakmuran |
Hingga kini, masih bisa ditemukan beberapa meriam di sekitar
benteng yang menjadi saksi sejarah peristiwa yang terjadi di wilayah ini. Benteng
ini dibangun sebelum di Jawa mulai berkecamuk Perang Diponegoro yang konon
membutuhkan biaya yang hampir membuat tentara Belanda bangkrut. Atas komando
Kapten Bouer sekitar tahun 1825, atau pada masa Baron Hendrik Merkus de Kock
sewaktu menjadi komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jendral Hindia Belanda,
oleh karenanya benteng ini dinamakan Fort de Kock. Masa penjajahan Belanda berakhir seiring dengan kekalahannya
oleh tentara Jepang. Akan tetapi kemasyuran kota Bukittinggi tidak begitu saja
luntur bersama tentara Belanda yang mulai angkat kaki. Jepang menjadikan kota
Bukittinggi sebagai pusat pengendalian pemerintahan militer untuk kawasan
Sumatra, Singapura, bahkan sampai Thailand. Saking istimewanya, Bukittinggi
dijadikan sebagai tempat kedudukan komandan militer ke 25 Kempetai di bawah
pimpinan Mayor Jendral Hirano Toyoji. Perubahan penguasa berakibat pada
perubahan nama kota, dari yang semula bernama Stadsgemeente Fort de Kock menjadi
Bukittinggi Si Yaku Shao. Oleh Jepang wilayah kota kemudian diperluas dengan
memasukkan beberapa nagari (desa) disekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut,
Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah.
 |
Tanah dataran tinggi yang yang subur menjadi latar belakang pembentuk budaya Bukittinggi yang menawan |
Nama Bukittinggi begitu istimewa bagi perjalanan sejarah
Negara RI. Sejarah bangsa ini tidak bakal dapat dilepaskan dengan salah satu
kota di tanah minang ini. Bukittinggi pernah menjadi sebuah kota yang sangat
penting di masanya. Kota terbesar kedua di Sumatra Barat ini pernah dijadikan
sebagai ibukota negara pada masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia, pernah
menjadi ibukota provinsi Sumatra, pernah menjadi pernah ibukota provinsi
Sumatra Tengah, dan juga menjadi ibukota provinsi Sumatra Barat. Pada tanggal
19 Desember 1948 kota Bukittinggi berfungsi sebagai ibukota negara dengan
status Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Peristiwa pemindahan
ibukota negara tersebut dilakukan setelah Yogyakarta yang menjadi ibukota
negara jatuh ke tangah Belanda saat agresi militernya. Tanggal tersebut lalu
ditetapkan sebagai Hari Bela Negara oleh pemerintah berdasarkan keppres tanggal
18 Desember 2006. Awalnya Sumatra hanya terdiri dari satu provinsi, dan
Bukittinggi lah yang menjadi ibukota provinsi. Namun, peta pemerintahan dan
wilayahnya mengalami dinamika yang relatif cepat di tahun 50 an. Saat menjadi ibukota
provinsi Sumatra Tengah (tahun 1956), wilayahnya meliputi beberapa karesidenan
seperti Sumatra Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau. Kini
karesidenan-karesidenan tersebut telah berkembang menjadi provinsi sendiri.
Peta wilayah terus berkembang, selanjutnya setelah Sumatra Barat ditetapkan
menjadi provinsi, ibukota provinsi kemudian dipindahkan ke kota Padang.
Faktanya memang status ibukota provinsi telah dipindahkan dari kota Bukittinggi
ke kota Padang sejak tahun 1958, namun di atas kertas stastus tersebut baru
resmi pada tahun 1978 dengan adanya Peraturan Pemerintah. Layaknya seorang tokoh besar yang mempunya beberapa nama
lain atau julukan, kota Bukittinggi walaupun kota kecil namun tercatat menyandang
beberapa nama julukan. Beberapa julukan bagi kota ini selain Fort de Kock dan
Paris van Sumatra antara lain Kota Pendidikan, Kota Jam Gadang, Kota Wisata,
Kota Sejarah, Kota Tri Arga, Kota Jasa dan Perdagangan, Kota Pelayanan
Kesehatan, Kota Dahlia, Kota Perjuangan, serta Kota Kuiner. Beberapa kuliner
yang sangat akrab bagi pengunjung kota Bukittinggi diantaranya nasi kapau,
katupek pical, dan tentu saja rendang yang ditetapkan sebagai makanan terlezat
di dunia beberapa waktu yang lalu. Saking terkenalnya kelezatan masakan minang
kota Bukittinggi, kawasan ini dijuluki sebagai the paradise of culinary.
 |
Jalanan yang mulus menuju kota Bukittinggi |
Membanggakan. Itu mungkin sebuah kata yang bisa
menggambarkan betapa kota ini memang
patut untuk dibanggakan, baik oleh masyarakat lokal maupun nasional. Betapa
tidak, sederet nama dikenal dalam skala nasional, bahkan internasional,
dikaitkan dengan Bukittinggi. Sejumlah tokoh nasional lahir, atau minimal
pernah menghabiskan sebagian masa hidupnya di kota ini. Sebut saja Abdoel Halim
(Perdana Menteri Indonesia, Pahlawan Nasional), Abdulgani (Direktur Utama
Garuda Indonesia), Aisjah Girindra (World Halal Council), Arif Arryman
(Penasehat Senior Menko Ekuin), Asvi Warman Adam (Sejarawan, Peneliti LIPI),
Ayub Rais (Saudagar), Dahlan Djambek (Pejuang Kemerdekaan, Menteri Kabinet
PRRI), Datuk Halim Thantawi (Konglomerat, Pendiri HIPMI), Dino Patti Djalal
(Duta Besar Indonesia, Juru Bicara Presiden), Elprisdat M. Zen (Ketua Dewan
Pengawas Lembaga Penyiaran Publik TVRI), Emirsyah Satar (Dirut Garuda Indonesia),
Fazwar Bujang (Dirut Krakatau Steel), Hasnul Suhaimi (Presdir XL Axiata),
Hasyim Djalal (Duta Besar Indonesia, Ahli Hukum Laut Internasional), Hasyim
Ning (Pejuang Kemerdekaan, Konglomerat), Hazairin (Menteri Indonesia, Ahli
Hukum Adat), Irwan Sjarkawi (Presiden Komisaris Bakrie and Brothers), M. Fuad
Basya (Kepala Pusat Penerangan TNI), Maizar Rahman (Sekjen OPEC, Ketua Dewan
Gubernur OPEC), Mohammad Hatta (Proklamator, Wakil Presiden, Pahlawan
Nasional), Mursyid Bustami (Dirut RS Otak Nasional), Rizal Satar (Presdir
PricewaterhouseCoopers FAS), Samsuridjal Djauzi (Dirut RS Dharmais, Guru Besar
FKUI), Sotion Ardjanggi (Dirjen Aneka Industri Depperin, Ketum Kadin), Srahril
Sabirin (Senior Financial Economist World Bank, Gubernur BI), Syarifah Nawawi
(Pejuang Pendidikan Perempuan Indonesia), Yasirwan Uyun (Dirut TVRI), Yunahar
Ilyas (Ketua MUI, Ketua PP Muhamaddiyah, Guru Besar UMY), Zulharmans (Ketua
Umum PWI, Anggota DPR RI). Dan pastinya masih banyak yang lain.
 |
Pemukiman di wilayah kota Bukittinggi |
Bukan kebetulan aku mengenal kota Bukittinggi. Sudah lama
aku mendengar kemasyurannya, membaca beritanya, mengikuti sejarahnya, sampai
berangan-angan tentang realitanya. Sampai beberapa tahun yang lalu, Bukittinggi
menjadi salah satu lokasi yang masuk dalam daftar yang ingin aku datangi. Pucuk
di cinta ulam pun tiba, kalau sudah rejekinya nggak akan kemana. Kesempatan
untuk ke Bukittinggi pun datang juga, saat aku terima telfon beberapa hari
setelah lebaran. Sebenarnya, tujuan ke Bukittinggi bukan untuk berwisata atau
ber haha hihi sambil duduk ongkang-ongkang kaki, tapi untuk menyelesaikan
sebuah pekerjaan. Sebenarnya juga, tawaran pekerjaannya bukan untuk ke
Bukittinggi, tetapi ke pulau-pulau kecil di seberang kota Padang. Lagipula
kerjaanku memang hampir selalu berhubungan dengan laut, sementara Bukittinggi
berada di pegunungan. Jadinya kalau ingin ke Bukittinggi ya harus meluangkan
waktu di luar waktu kerja. Aku memberanikan diri untuk menjadwalkan ke
Bukittinggi karena biasanya dalam satu trip kerjaanku ada sisa dua sampai tiga
hari untuk istirahat dan menyusun laporan sementara sebelum kembali ke kantor. Pekerjaan di lapangan sudah selesai, laporan sementara sudah
kelar, beres-beres perlengkapan lapangan pun sudah oke, selanjutnya adalah
merealisasikan keinginan menikmati indahnya kota Bukittinggi. Perjalanan di
mulai dari kota Padang. Jarak antara kota Padang dengan kota Bukittinggi tidak
terlalu jauh. Waktu tempuh perjalanan sekitar dua sampai tiga jam jika kondisi
lalu lintas lancar. Akan berbeda ceritanya jika perjalanan dilakukan pada akhir
pekan atau bertepatan dengan hari libur. Beberapa ruas jalan akan mengalami
kemacetan sehingga menjadikan waktu tempuh semakin molor. Tersedia angkutan
umum yang cukup memadai yang menghubungkan kedua kota tersebut. Namun jika
ingin privasi dan agar lebih leluasa mendatangi destinasi-destinasi menarik
engan menyewa mobil. Berhubung perjalananku menuju ke Bukittinggi bertepatan
dengan hari pasar di suatu negeri (desa), terpaksa aku beserta rombongan harus
rela bermacet ria hingga beberapa jam lamanya. Berangkat dari Padang jam 9
pagi, dan baru tiba di Bukittinggi menjelang jam 2 sore.
 |
Air terjun Lembah Anai di pinggir jalan |
 |
Pengunjung air terjun yang cukup padat |
Di tengah perjalanan, aku bersama rombongan singgah untuk
beberapa waktu di sebuah air terjun yang letaknya berada tepat dipinggir jalan,
air terjun Lembah Anai. Anggota rombongan yang sebagian besar sudah pernah ke
Bukittinggi sudah mengetahui keberadaan air terjun tersebut. Sementara aku baru
mengetahuinya dari obrolan di mobil setelah berangkat dari Hotel Padang. Aku
hanya menerka, kira-kira seperti apa penampakan dari air terjun tersebut. Sama
sekali tidak terpikirkan olehku untuk mencoba mencari tahu lewat internet. Aku
biarkan imajinasiku mengembara liar membayangkan indahnya air terjun tersebut.
Hingga akhirnya aku menyadari bahwa jalanan mulai menanjak, di kanan dan kiri
mulai diwarnai dengan lembah dan gunung, serta suhu udara yang kian terasa
sejuk. Menurut obrolan tadi, itu artinya bahwa air terjun tersebut sudah kian
dekat. Mobil diparkir pada tempat yang telah disediakan, dan segera semua
anggota rombongan berhamburan keluar dari mobil. Ada yang langsung menuju ke
air terjun, ada yang membelokkan arah kaki ke beberapa toko oleh-oleh dan
jajanan khas setempat yang berjajar di pinggir jalan di sekitar air terjun, dan
tentunya ada pula yang sibuk mencari toilet. Suasana di kawasan air terjun pagi
itu lumayan ramai, karena kebetulan waktunya berbarengan dengan musim liburan
sekolah. Tidak pelak lagi, banyak remaja yang kemungkinan adalah pelajar SMP
dan SMA silih berganti berpose di depan air terjun. Beberapa orang terlihat
asik menceburkan diri di dinginnya air terjun, sebagian lainnya sibuk ber
selfie dengan ponselnya, atau foto grup dengan gayanya masing-masing. Memang,
air terjunnya bisa dikatakan bagus, tapi kalau penuh sesak oleh pengunjung
seperti itu menurutku jadinya terlihat kurang menarik. Dengan ketinggian
sekitar 30 meter, kabarnya air terjun ini tidak pernah kering, hanya debitnya
yang sedikit berkurang saat musim kemarau. Selain posisinya yang berada di
samping jalan raya dan juga alirannya memotong jalan, di depan air terjun ini
juga membentang rel kereta api. Karena posisinya tersebut, hampir dipastikan
para pelancong terutama yang dari luar daerah yang melintas akan menyempatkan
diri untuk singgah dan menikmati sejuknya suasana di sekitar air terjun.
 |
Hidangan di Nasi Kapau Uni Lis |
Perjalanan menuju ke Bukittinggi kembali dilanjutkan,
pemandangan di sepanjang perjalanan sungguh sayang untuk dilewatkan, dan rasanya lebih sempurna lagi
perjalanan ini karena ditemani beberapa jenis cemilan khas masyarakat
Minangkabau. Setibanya di Bukittinggi, tujuan pertama adalah mencari tempat
makan siang. Kami langsung menuju ke sebuah tempat makan di sebuah pasar, Pasar
Lereng yang merupakan bagian dari Pasar Atas Bukittinggi dan tentu saja dengan
menu utama nasi kapau. Letak destinasi wisata kuliner ini sebenarnya berada di
sebuah lahan miring. Namun sudah ditata sedemikian rupa selama puluhan, mungkin
ratusan, sehingga terasa nyaman walaupun untuk menjangkaunya harus menuruni
anak tangga yang lumayan tinggi. Terdapat juga pasar tradisional dan pasar baju
bekas layak pakai yang menurut informasi sudah dikenal luas oleh masyarakat
minang, bukan saja masyarakat di Bukittinggi tetapi juga di daerah lain.
Ternyata, tidak hanya satu dua warung saja yang menawarkan nasi kapau, tapi
puluhan, dengan menu dan penyajian yang cenderung seragam. Nasi Kapau Uni Lis
merupakan yang paling tersohor namanya karena kono warung inilah yang menjadi
perintis sejak tahun 1970an dan hingga kini cita rasanya tetap terjaga. Satu
demi satu menu ditawarkan kepada kami. Seperti halnya masakan padang lainnya,
lauk pauk yang disajikan di warung nasi kapau juga identik dengan masakan
pedas, bersantan, berbumbu yang kental dan tentu saja berkolesterol tinggi.
Satu yang paling unik dari cara penyajian di warung makan nasi kapau adalah
pada sendok kuah santan yang memiliki ukuran tangkai tidak lazim. Jika biasanya
panjang tangkai sendok kuah kurang dari 30 cm, yang ini panjangnya bisa
mencapai 80 cm, mungkin ada yang lebih.
 |
Pintu masuk utama ke goa Jepang |
 |
Vandalisme di dalam goa Jepang |
Setelah makan siang, tujuan selanjutnya adalah menuju sebuah
goa peninggalan tentara Jepang. Goa yang dimaksud bukan merupakan goa yang
terbentuk oleh proses alam, tetapi dibuat sebagai bagian dari sistem
pertahanan. Goa ini berada di bawah kota Bukittinggi dengan salah satu ujungnya
berada di bibir tebing menuju lembah Ngarai Sianok. Untuk masuh ke dalam goa
Jepang tersebut, atau orang lokal menyebutnya sebagai lobang Jepang, setiap
pengunjung dikenai biaya retribusi dari Dinas Pariwisata setempat. Seliain itu,
setiap pengunjung yang datang secara berkelompok wajib didampingi oleh pemandu
wisata yang keberadaannya juga atas koordinasi dari Dinas Pariwisata.
Mula-mula, kami diberikan penjelasan umum mengenai bagian per bagian dari goa
tersebut, kemudian masuk menyusuri rute yang telah ditentukan. Sang pemandu
seperti sudah mengenal betul dengan seluk-beluk setiap bagian dari goa, dengan
cekatan dia menjelaskan dan menjawab setiap pertanyaan yang kami lontarkan.
 |
Kera ekor panjang yang banyak dijumpai di sekitar goa |
Kesan yang aku dapatkan, kondisi goa cukup terjaga dan terlihat banyak perbaikan
di sana sini. Fasilitas pendukung pun terlihat dibangun, termasuk lampu
penerangan, papan informasi, cctv, dan perangkat keamanan lainnya. Walaupuan
pengoperasionalannya terlihat tidak berjalan sebagai mana mestinya dan yang
paling memprihatinkan adalah terlihat adanya vandalisme, corat-coret yang
dilakukan oleh tangan jahil yang menyasar ke fasilitas yang disediakan. Begitu
keluar dari mulut goa di pintu yang berbeda dengan pintu masuk, kami disambut
oleh kawanan kera ekor panjang. Keberadaan kera ini sudah sangat akrab dengan
penduduk dan pengunjung goa, bahkan seolah-olah menunggu uluran tangan berupa
makanan dari pengunjung. Di kompleks goa ini juga berderet bangunan kios
oleh-oleh khas Minangkabau, kebanyakan berupa kerajinan tangan.
 |
Pemandu wisata sedang memberi penjelasan |
 |
Fasilitas penerangan yang cukup memadai |
 |
Menara pandang Ngarai Sianok |
Destinasi berikutnya adalah menuju ke salah satu lokasi yang
juga menjadi ikon Bukittinggi, yaitu Ngarai Sianok. Keberadaan ngarai ini
sangat tersohor ke seluruh penjuru tanah air, bahkan dari obrolan dengan salah
seorang teman yang berasal dari Malaysia, ketenaran Ngarai Sianok juga sudah
lama samapi di negeri tetangga tersebut. Posisi Ngarai Sianok berada tepat
dipinggiran kota Bukittinggi dimana salah satu view point untuk menikmatinya
berada di dekat pintu masuk pintu goa Jepang. Tersedia juga sebuah menara
pandang yang berada di atas goa Jepang yang sangat cocok untuk menikmati
panorama Ngarai Sianok dengan latar belakang Gunung Marapi, terutapa pada saat
menjelang matahari tenggelam. Didasar ngarai, terdapat sebuah sungai yang
memiliki aliran yang cukup besar dengan air jernih dan lumayan dingin. Sekedar
mencuci muka dengan air dari aliran sungai tersebut cukup membuat badan segar
setelah seharian berkeliling kota Bukittinggi. Di beberapa titik di tepian
sungai tersebut, masyarakat setempat memanfaatkan aliran airnya sebagai sumber
pengairan persawahan. Damai rasanya berada di areal persawahan yang terletah di
tepian sungai, sambil menikmati angin sore yang mulai terasa dingin. Angina
yang berhembus cukup kencang karena mengalir dari gunung melalui dasar ngarai
yang diapit oleh tebing kapur di samping kiri dan kanannya. Sebenarnya ada satu
lokasi lagi yang disediakan sebagai lokasi view point Ngarai Sianok dari sisi
lain, yaitu Great Wall. Namun kami batal mendatangi lokasi tersebut karena
waktu sudah terlampau sore dan sebagian dari kami sudah tidak mampu untuk
melewati jalan mendaki tersebut.
 |
Aliran sungai di lembah Ngarai Sianok |
 |
Satu sisi Ngarai Sianok dilihat dari menara pandang |
 |
Menara Jam Gadang |
Belum lengkap rasanya ke Bukittinggi kalau belum ke menara
Jam Gadang, walau sekedar foto-foto di sekitarnya saja, karena memang kami
tidak diijinkan untuk masuk. Menara setinggi 26 meter ini dulunya dibangun
sebagai penanda kota Bukittinggi (nol kilometer) dan menjadi ikon kota tersebut
hingga sekarang. Jam Gadang merupakan sebutan yang merujuk pada empat buah jam
berukuran besar yang berada di keempat sisi menara. Kata Gadang dalam bahasa
Minangkabau berarti besar, seperti halnya Rumah Gadang yang berarti rumah atau
bangunan yang berukuran besar. Yang menarik lagi, menurut sejarah Jam Gadang
didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda dan merupakan produk terbatas
(limited edition) dari sebuah pabrik jam di Jerman yang bernama Vortmann
Relinghausen pada tahun 1892. Di dunia, pabrik jam yang dimaksud
hanya membuat dua, satu untuk Big Ben (Inggris) dan satunya lagi untuk Jam
Gadang (Hindia-Belanda). Jam Gadang sendiri dibangun pada tahun 1926 sebagai
hadiah dari Ratu Belanda kepada sekretaris Fort de Kock, Rook Maker. Yazid Rajo
Mangkuto, arsitek yang putra daerah Bukittinggi membuat atap berbentuk bulat
dengan patung ayam jantan menghadap ke timur, mungkin sesuai dengan yang
diinginkan oleh pemerintah. Pergantian penguasa membuktikan turut mempengaruhi
arsitek Jam Gadang, terutama hiasan pada atapnya. Terbukti bahwa pada masa
pendudukan Jepang, atap Jam Gadang dirubah menjadi berbentuk pagoda. Kemudian
pada masa pemerintahan kita, walau perubahannya baru dilakukan pada tahun 2010,
atap Jam Gadang tersebut kembali mengalami perubahan menjadi bentuk gonjong
atau seperti atap rumah adat Minangkabau.
 |
Menara Jam Gadang seiring dengan perkembangan jaman menjadi jantung kota Bukittinggi yang ikonik |
 |
Museum Bung Hatta di sekitar kompleks Jam Gadang |
Suasana di seputaran menara yang
pembangunannya menghabiskan dana yang cukup fantastis pada waktu itu (sekitar
3000 Gulden) cukup semarak mulai pagi hingga larut malam. Puncak keramaian
terjadi pada sore hari menjelang matahari tenggelam hingga selepas jam makan
malam. Dan pada hari minggu atau hari libur nasional pengunjung biasanya jauh
lebih banyak. Kondisi ini tentu menjadi lahan bagi para pedagang asongan,
tukang foto keliling, dan kawan-kawannya untuk mengais rejeki di seputaran
taman Menara Jam Gadang. Taman yang asri, berada di pusat kota, pemandangan yang
tergolong mewah, ditambahi dengan sejarah yang cukup penting menjadikan tempat
ini sangat ideal untuk bersantai. Apalagi tidak jauh dari kompleks menara Jam
Gadang berdiri sebuah bangunan yang didedikasikan kepada salah satu pahlawan
nasional yang juga sebagai bapak proklamator, Bung Hatta. Saying sekali
kedatanganku ke Bukittinggi relatif singkat dan momennya kurang pas sehingga
tidak berkesempatan untuk masuk ke dalam Museum Bung Hatata. Namun hal itu
tidak serta merta mengurangi makna kedatanganku ke Bukittinggi secara
signifikan, karena suasana yang seistimewa ini terlalu berharga untuk sebuah
penyesalan karena tidak dapat masuk ke dalam museum. Suasana yang memang sangat
ideal, dan suasananya menjadi lebih pas saat menjelang petang, duduk santai
sambil menyeruput secangkir kopi hitam dan kentang atau pisang goreng di kafe
yang banyak terdapat di sekitar Jam Gadang.
 |
Salah satu pusat oleh-oleh makanan khas Bukittinggi |
Pingin rasanya menginap di Bukittinggi, menghabiskan malam
di kota impianku ini, tapi aku harus menunda keinginanku itu untuk sementara ini.
Perjalanan kembali ke kota Padang pun dimulai sebelum hari terlalu malam karena
ada beberapa persinggahan lagi yang akan kami tuju. Sebelum jauh meninggalkan
kota Bukittinggi, kami singgah di salah satu toko oleh-oleh khas kota ini yang
cukup terkenal. Sebenarnya tidak hanya satu toko, tapi ada beberapa toko yang
umumnya menjual makanan khas, seperti sanjai atau kripik singkong balado dan
semacamnya. Bukittinggi dan kota-kota lain di Minangkabau ini memang surganya
kuliner, banyak sekali ragamnya dan umumnya dengan rasa bumbunya yang kuat
serta kebanyakan berselera pedas. Puas dengan segala macam oleh-oleh makanan
ringan khas Bukittinggi, perjalanan kami berlanjut menuju sebuah rumah makan dengan
sajian utama berupa sate padang, Rumah Makan Sukur. Dibandingkan dengan semua
sate padang yang pernah aku makan, citarasa sate pada di rumah makan ini memang
paling lezat. Apalagi dengan minuman penutup berupa jus pinang muda atau pinang
muda hangat yang rasanya agak sepat. Tidak mengherankan jika mantan presiden
SBY beserta rombongan pernah menjadikan rumah makan ini sebagai rujukannya
ketika berkunjung ke Bukittinggi. One day trip yang sempurna ini ditutup dengan
perjalanan menurun melalui jalanan berlika-liku menuju kota Padang. Sebelum
tengah malam, mobil yang kami sewa sudah memasuki pelataran hotel tempat kami
menginap. Puas rasanya, dan jika ada kesempatan lagi, aku tidak akan pernah
merasa bosan mengunjungi Bukittinggi. Hanya macet lah mungkin yang dapat merusak
trip ke Bukittinggi yang telah disusun.



Padang, 4 September 2014
*Catatan Seorang Pejalan
Titanium Trimmer - The best trimmer
ReplyDeleteShop Titanium Trimmer titanium alloy from TitaniumArt. titanium rings Browse our titanium easy flux 125 amp welder online collection of Trimmer for an titanium chainmail amazing selection of unique and used titanium rings materials.
h103k7bcwvq436 masturbators,dildo,cheap sex toys,male masturbator,wolf dildo,vibrators,horse dildo,dildos,dog dildo r090y2lqdqm762
ReplyDeleteit135 jordans 11,Cheap Jerseys china,wholesale nfl jerseys,cheap jerseys,wholesale jerseys,nfl jerseys,cheap nfl jerseys,Cheap Jerseys free shipping,wholesale nfl jerseys rm836
ReplyDelete