Beberapa
kali aku datang ke kota Tanjung Pinang, ibukota provinsi Kepulauan Riau yang
terletak si Pulau Bintan, namun belum sekalipun singgah ke Pulau Penyengat. Di
samping karena memang tidak ada alokasi waktu, maklum karena jadwal pekerjaan
yang sangat padat hingga larut malam, juga karena kurang paham tentang apa
sebenarnya Pulau Penyengat itu. Aku baru mendapatkan keterangan singkat tentang
pulau tersebut setelah ketiga kalinya datang ke Tanjung Pinang. Itu pun aku
masih belum mendapatkan waktu yang tepat untuk menyeberang. Baru, setelah kali
ke empat aku kembali ke Bintan dan kebetulan ada waktu longgar, maka dengan
tidak membuang-buang waktu aku langsung berniat untuk ke Pulau Penyengat. Paling
tidak, aku punya waktu tiga hari yang agak longgar sepulang setibanya dari
perjalanan jauh dari Anambas. Mungkin lebih baik kalau aku menawarkan ke
beberapa orang dari rombonganku untuk menyeberang ke Pulau Penyengat, walaupun
sebenarnya aku tidak pernah mempermasalahkan kalau harus jadi solo traveler.
Sesuai perkiraan, dari delapan teman serombongan yang aku tawari untuk
menyeberang, hanya satu orang yang bersedia gabung bersamaku. Ternyata beberapa
orang sudah pernah ke Pulau Penyengat, sehingga enggan untuk beranjak kembali.
Sedangkan yang lainnya beralasan karena masih ada yang harus dikerjakan atau
karena masih merasa lelah setelah perjalanan kapal laut selama 18 jam. Okelah,
akhirnya aku hanya berdua saja dengan salah seorang teman yang akan menyeberang
ke Pulau Penyengat.
Aku mencoba
mencari informasi dari internet mengenai sejarah dan seluk beluk Pulau
Penyengat. Pulau Penyengat diketahui mengalami perubahan nama atau dikenal
dengan nama lain sesuai dengan masa dan bangsa yang menyebutnya. Pulau Penyengat
sudah sejak lama dikenal pelaut sejak beberapa abad yang lampau sebagai tempat
persinggahan. Para pelaut yang berlayar di sekitar Selat Malaka tersebut singgah
ke pulau ini terutama bertujuan untuk mengisi air tawar sebagai persediaan di
kapal mereka. Atas dasar cerita rakyat yang telah diketahui secara turun
temurun, nama pulau tersebut disematkan karena adanya sebuah mitos yang berupa
pantangan yang berkaitan dengan sumber air. Alkisah diceritakan pada suatu
waktu ada seorang pelaut yang melanggar pantangan pada saat mengambil air,
seketika itu pelaut tersebut lalu diserang oleh ratusan serangga berbisa
semacam lebah. Serangga tersebut memiliki senjata berupa penyengat untuk
menyuntikkan bisanya. Bangsa Belanda mengenal pulau ini dengan sebutan Pulau
Indera dan Pulau Mars. Tatkala Kerajaan Riau dipusatkan di pulau ini, pulau kecil
ini dikenal dengan nama Pulau Penyengat Inderasakti.
Pulau kecil
yang berjarak kurang dari 2 km dari kota Tanjung Pinang diketahui memiliki
sejarah yang panjang bagi sejumlah kerajaan atau kesultanan di bagian barat
Indonesia, Singapura dan Malaysia. Pulau Penyengat berperan penting dalam jatuh
bangunnya Imperium Melayu, yang terdiri dari Kesultanan Johor, Pahang, Siak dan
Lingga. Peran penting tersebut dikarenakan kesultanan-kesultanan tersebut
karena pengaruh dari Kerajaan Riau yang berdiri sejak tahun 1722. Berdirinya
Kerajaan Riau berdiri sebagai buntut dari perang yang memperebutkan tahta
Kesultahan Johor antara dua bersaudara keturunan sultan. Pemenang dari perang saudara
tersebut kemudian mendirikan Kerajaan Johor-Riau-Lingga karena mendapatkan bala
bantuan dari bangsawan Bugis, kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Kota
Tinggi di Johor ke Hulu Sungai Carang di Bintan. Sedangkan saudaranya, sebagai
pihak yang kalah, akhirnya menyingkir dan kemudian mendirikan Kesultanan Siak
di daratan Sumatra.
Setelah pemerintahan
Kerajaan Johor-Riau-Lingga berjalan, Pulau Penyengat berperan sebagai pusat
pertahanan sekaligus sebagai kediaman
dan pusat pemerintahan dari Yang Dipertuan Muda setelah dipindahkan dari Hulu
Sungai Carang. Sementara itu, Yang Dipertuan Besar atau sultan berpindah kedudukan
ke Daik, Lingga. Beberapa tahun sebelumnya, Pulau Penyengat sebenarnya
merupakan hadiah dari Sultan kepada istrinya yang memungkinkan pulau ini
mendapat perhatian yang memadai dari sultan. Yang Dipertuan Muda memiliki
kedudukan lebih rendah dibandingkan dengan Yang Dipertuan Besar. Namun demikian
Yang Dipertuan Muda memiliki peran penting yaitu mengatur pemerintahan,
perekonomian, angkatan perang dan masalah operasional lainnya. Pada awal tahun
1900an, kedudukan Yang Dipertuan Besar akhirnya juga dipindahkan ke Pulau
Penyengat. Pemindahan kedudukan ini tentu saja diikuti dengan pembangunan
simbol-simbol kekuasaan sultan, antara lain istana, kantor, mahkamah, rumah
sakit dan lainnya. Sehingga akhirnya Pulau Penyengat selain dikenal sebagai
pusat pemerintahan juga diketahui sebagai pusat agama, adat-istiadat dan
kebudayaan Melayu. Pemerintahan Riau-Lingga mengalami antiklimaks pada tahun 1911,
yaitu ketika Belanda menurunkan sultan. Sultan dianggap melawan pemerintah
kolonial karena menolak menandatangani surat perjanjian. Sementara itu tidak
ada seorang pun bangsa Melayu yang bersedia menjadi penerus sultan, bahkan
sebagian besar penduduk memilih untuk pindah ke Singapura dan Johor. Belanda
akhirnya diambil alih Pulau Penyengat.
Sepeninggal
penduduk Pulau Penyengat, tersisa beberapa ratus orang dari 6000an yang pernah
mendiami pulau, bangunan-bangunan menjadi terbengkalai dan tidak dapat
dihindari penjarahan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung-jawab. Sultan
yang kala itu juga telah mengungsi ke Singapura ketika mendengar bahwa Belanda
akan mengambil alih simbol-simbol kerajaan, termasuk bangunan dan harta benda
lainnya. Sultan kemudian memberikan perintah kepada rakyat yang masih tinggal
di Pulau Penyengat untuk menghancurkan simbol-simbol kerajaan tersebut dan
menanami lahan yang masih kosong. Tujuannya adalah untuk menghindarkan
berpindahnya simbol-simbol kerajaan tersebut ke tangan Belanda. Akibatnya,
walaupun masa berakhirnya kerajaan tersebut baru sekitar 100 tahun yang lalu,
namun sangat sedikit bukti kejayaan kerajaan tersebut yang tersisa. Bukti yang
masih dapat dinikmati hingga kini hanya berupa masjid, empat kompleks pemakaman
diraja, dua bekas istana dan beberapa gedung lama, serta benteng dan sumur tua.
Untuk
mencapai pulau dengan panjang sekitar 2000 meter dan lebar sekitar 850 meter
ini bisa ditempuh dengan menumpang perahu motor untuk penyeberangan reguler
selama kurang lebih 15 menit dari kota Tanjung Pinang. Ketika perahu yang kita
tumpang tiba di dermaga pulau yang memiliki luas pulau 240 hektar ini,
pandangan kita akan langsung tertuju pada sebuah bangunan megah berwarna dasar
kuning. Ya itulah Masjid Sultan Riau, salah satu situs peninggalan keraraan
yang tersisa dan masih terawat dengan baik. Aku datang ke Pulau Penyengat
berbarengan dengan beberapa penduduk lokal yang bekerja di kota Tanjungpinang
serta beberapa orang turis lokal. Beberapa pengemudi becak motor menyambut
kedatangan para penumpang perahu dan langsung menawarkan jasa untuk berkeliling
pulau. Mereka biasanya telah memiliki rute tetap ke berbagai situs wajib selama
satu jam dengan harga yang telah ditetapkan. Akan tetapi jika kita ingin lebih
lama atau ingin keluar dari rute biasanya, kita bisa nego harga sewa bentor
kepada pengemudi. Pengemudi bentor selain sebagai pengantar para turis untuk
berkeliling, dia juga dapat berperan ganda sebagai pemandu yang siap memberikan
penjelasan dan menceritakan sejarah setiap situs yang didatangi. Di pulau ini
memang tidak diperkenankan ada mobil atau kendaraan sejenisnya, sehingga untuk
berpindah dari satu situs ke situs yang lain dengan cepat adalah dengan
menumpang bentor atau menyewa motor. Kalaupun ingin menikmati pulau ini dengan
berjalan kaki, sangat memungkinkan dapat mengelilingi pulau ini kurang dari
satu hari dengan berjalan santai. Bukan saja mobil, di pulau ini pun tidak
diperkenankan membangun hotel, sehingga jika ingin menginap bisa menumpang di rumah
penduduk setempat.
Aku sengaja
tidak menyewa bentor ataupun sepeda motor, walaupun sebenarnya tidak punya
tujuan khusus mau kemana. Tapi yang pasti begitu menginjakkan kaki di pulau
ini, aku bersama temanku langsung menuju ke Masjid Raya Sultan Riau. Masjid
yang konon awalnya dibangun oleh Sultan pada tahun 1803 dan dilanjutkan oleh
Yang Dipertuan Muda pada tahun 1832 ini memiliki keunikan karena mencampurkan
putih telur sebagai bahan perekat untuk dinding. Berhubung aku datang sudah
lewat waktu sholat Ashar, dan jadwal sholat Maghrib pun masih jauh, aku pun
hanya berkeliling melihat-lihat detail bagian-bagian masjid. Selain bangunan
utama sebagai rumah ibadah dan kegiatan keagamaan lainnya, di sekitar masjid
juga terdapat beberapa bangunan tambahan, dua diantaranya adalah Rumah Sotoh
yang berfungsi sebagai tempat pertemuan. Juga terdapat dua buah bangunan lain
berupa balai sebagai tempat untuk menghidangkan makanan yang disediakan oleh
pengurus masjid saat diadakan kenduri atau di waktu berbuka puasa. Masjid ini
terbuka untuk umum, dalam artian bahwa siapa saja boleh masuk dengan catatan
tetap menjaga kesopanan terutama dalam hal berpakaian dan berperilaku. Sebagai
contoh, laki-laki yang hanya mengenakan celana pendek tidak diperkenankan
memasuki masjid. Pengambilan gambar di dalam masjid pada dasarnya tidak
diperbolehkan kecuali ada ijin khusus dari pengurus masjid. Lantaran
keterbukaannya, tidak heran jika pada hari minggu atau hari libur jumlah
pengunjung yang datang ke masjid ini menembus angka seribu orang. Halaman
masjid yang bersih sering kali digunakan bukan hanya untuk kegiatan keagamaan
namun juga untuk kegiatan dibidang seni dan budaya, misalnya untuk
penyelenggaraan lomba pembacaan syair dan gurindam dua belas.
Tidak
disangka, begitu keluar dari kompleks masjid aku melihat seseorang yang
sepertinya tidak asing bagiku. Benar saja, sosok yang mengendarai motor bersama
dua anak kecil itu adalah seseorang yang telah aku kenal cukup dekat
sebelumnya. Dia adalah penduduk lokal Pulau Penyengat. Sebenarnya bukan orang
asli dari Pulau Penyengat tetapi menurut ceritanya dia adalah keturunan Bugis
yang memang memiliki hubungan yang erat dengan kerajaan Riau. Dalam
perantauannya, seorang teman tadi akhirnya menikah dengan keturunan bangsawan
kerajaan Riau, dan akhirnya menetap di Pulau Penyengat. Begitu saling melihat,
kami pun langsung saling menyapa. Sejurus kemudian, dia menawarkan untuk
mengajak keliling pulau dengan meminjamkan sepeda motornya kepada kami
sedangkan dia memakai sepeda motor yang lainnya. Aku tidak tahu akan diaja
kemana saja, hanya mengikutinya dari belakang. Melintasi pemukiman penduduk
asli Pulau Penyengat yang damai. Melintasi perkebunan yang hijau. Dan akhirnya
kami pun tiba di salah satu kompleks pemakaman. Di Pulau Penyengat ini paling
tidak terdapat delapan kompleks pemakaman para bangsawan yang tersebar di
seluruh pulau.
Perjalanan
religi kami berziarah ke makam leluhur bangsa Melayu pertama-tama dimulai dari kompleks
makam Engku Putri Raja Hamidah. Engku Putri Raja Hamidah yang merupakan anak
dari Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau ke IV merupakan istri dari Sultan
Mahmud. Mas kawin dari perkawinan tersebut adalah Pulau Penyengat. Dan dari
perkawinan tersebut, Engku Putri Raja Hamidah menjadi tokoh penting karena
sebagai pemegang amanat alat-alat kebesaran kerajaan yang diperuntukkan dalam
penobatan sultan. Di dalam kompleks makam ini juga terdapat makam Raja Ali
Haji, seorang bangsawan sekaligus seniman dengan karya besarnya yang berupa
Gurindam Dua Belas. Gurindam Dua Belas sendiri sejatinya adalah sebuah petunjuk
untuk menjalankan kehidupan sehari-hari yang bertujuan untuk membentuk akhlak
mulia dan menegakkan ajaran agama Islam. Selanjutnya, aku diajak menuju ke
kompleks makam Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV. Raja Haji
Fisabilillah merupakan sosok pahlawan bagi masyarakat Melayu karena
kegigihannya dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda, dan selanjutnya
oleh pemerintah Republik Indonesia diagugerahi gelar pahlawan nasional. Kemudian
kami menuju ke kompleks makam Raja Jakfar, yang merupakan putera dari Raja Haji
Fisabilillah dan sekaligus sebagai Yang Dipertuan Muda VI. Pada masa
pemerintahan Raja Jakfar inilah pusat kerajaan dipindahkan dari hulu Riau ke
Pulau Penyengat sekaligus merubah tatanan Pulau Penyengat laksana kota yang
berselera tinggi. Laju sepeda motor selanjutnya menuju ke kompleks makam Daeng
Marewah atau juga dikenal dengan Kelana Jaya Putera, ialah Yang Dipertuan Muda
I. Kami lalu
meneruskan perjalanan menuju ke kompleks makam Daeng Celak, yaitu Yang
Dipertuan Muda II sekaligus ayahanda dari Raja Haji Fisabilillah. Perjalanan religi
kami diakhiri di ke kompleks makam Raja Abdurrahman, yang tidak lain adalah
Yang Dipertuan Muda VII sekaligus pendiri Masjid Raya Sultan Riau. Dari sini,
kompleks Masjid Raya Sultan Riau yang terletak di dekat dermaga dapat terlihat
samar-samar karena tertutup oleh rimbunnya pepohonan. Di dalam masing-masing
kompleks makam tersebut, selain terdapat makam bangsawan juga terdapat makam
lain yang merupakan kerabat dan sahabat dekat dari bangsawan yang bersangkutan.
Di
sela-sela perjalanan dari kompleks makam yang satu ke kompleks makam yang lain,
aku juga diajak untuk singgah di beberapa situs dan bangunan lainnya. Balai
Adat Indra Perkasa menjadi salah satu tempat yang sering dikunjungi oleh turis.
Bangunan yang berupa rumah panggung khas Melayu, yaitu rumah adat Riau ini
merupakan tempat perjamuan untuk menyambut tamu penting dan juga sebagai tempat
untuk mengadakan musyawarah. Di dalamnya terdapat perlengkapan adat serta
kesenian Melayu yang terdapat pada ruang utama. Bagi yang percaya, air dari
sumber yang berada di bagian bawah rumah panggung ini berkhasiat untuk
menyembuhkan berbagai macam penyakit dan membukakan pintu jodoh. Situs lain
yang masih dapat dijumpai adalah Istana Raja Ali yang dikenal dengan Istana
Kantor, berfungsi sebagai kediaman dan sekaligus kantor bagi Raja Ali Yang
Dipertuan Muda VIII. Hingga saat ini kondisi bangunan istana memang sudah tidak
utuh, namun dari yang dapat dilihat, bangunan ini masih memperlihatkan
kemegahannya di masa lalu. Situs yang tidak kalah nilai sejarahnya adalah Bukit
Kursi. Di atas tanah yang paling tinggi di pulau inilah dibangun sebuah benteng
pertahanan pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fisabilillah.
Beberapa tahun yang lalu, pemerintah provinsi Kepulauan Riau merencanakan
pembangunan sebuah monumen dengan nama Monumen Bahasa Melayu di atas tanah
bekas benteng. Tujuannya adalah sebagai simbol penghormatan dan penghargaan
kepada Raja Ali Haji atas jasa-jasanya dalam bidang bahasa. Namun sampai saat
ini pembangunan monumen tersebut belum terealisasi.
Sampai
disini perjalananku untuk sedikit mengenal tentang sejarah dan budaya Melayu
melalui peninggalan Kerajaan Riau. Sebuah peninggalan besar yang sudah
selayaknya diperhatikan oleh pihak-pihak yang terkait. Memang terdengar kabar
bahwa sejak sepuluh tahun yang lalu Pulau Penyengat telah diusulkan ke badan
PBB yang mengurusi masalah pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO)
untuk dijadikan sebagai salah satu situs warisan dunia. Faktanya, jalan untuk
mendapatkan status tersebut tidaklah mudah karena berbagai persyaratan yang
harus dipenuhi. Satu dekade telah berlalu dan memang Pulau Penyengat tidak
masuk daftar penilaian pada pembahasan tahun lalu. Tidak jelas kenapa Pulau
Penyengat tidak masuk dalam daftar tersebut, dan itu artinya sampai dua dekade
yang akan datang status sebagai situs warisan dunia belum akan disandang oleh
Pulau Penyengat. Sangat disayangkan mengingat sebagai asal usul Bahasa Melayu
berasal dari sini, dan bahasa tersebut juga digunakan di beberapa negara di
Asia Tenggara. Lebih menyedihkan lagi karena Bahasa Melayu saat ini oleh dunia
dikenal sebagai bahasa asli Malaysia. Padahal jika status sebagai situs warisan
dunia disematkan kepada Pulau Penyengat, maka serangkaian keuntungan akan
datang mengikuti selain menegaskan bahwa Bahasa Melayu berasal dari Indonesia,
bukan Malaysia. Tempat yang mendapatkan status tersebut akan mendapatkan
kucuran dana dari UNESCO untuk pemeliharaan dan pengelolaan. Di sisi lain,
lokasi tersebut akan dikenal dunia yang menjadikan nilai jualnya melejit
sehingga geliat pariwisata akan lebih bergairah.
Fakta
memilukan yang membuat penantian akan status sebagai situs warisan dunia akan
lebih panjang lagi setelah terungkap bahwa Pulau Penyengat belum termasuk benda
cagar budaya nasional. Dengan tidak adanya status cagar budaya tersebut maka
bukti legalitas bahwa Pulau Penyengat dilindungi secara nasional belum ada.
Ketiadaan aturan perlindungan tersebut berarti ketiadaan jaminan bahwa situs
tersebut masih asli atau sudah mengalami perubahan. Sedangkan keaslian sebuah
situs merupakan kriteria yang disyaratkan oleh UNESCO untuk dapat masuk dalam
daftar situs warisan dunia. Lebih parahnya lagi, ternyata pemerintah daerah
belum menyatakan keseriusannya dalam upaya pengelolaan situs tersebut. Artinya
bahwa hal ini menjadi kelemahan tersendiri yang paling mendasar. Pasalnya,
UNESCO juga mensyaratkan keseriusan dari pemerintah daerah dan masyarakat dalam
upaya pengelolaan sebuah situs sebelum didaftarkan. Berkaca dari fakta-fakta
yang ada itulah, semoga ke depannya semoga ada niat dari berbagai pihak yang
terkait dalam rangka mewujudkan status Pulau Penyengat sebagai salah satu situs
warisan dunia. Dengan harapan bahwa masa keemasan kerajaan Riau dapat dikenal
dan dikenang dengan baik, lebih jauh lagi dapat dibangkitkan kembali di jaman
modern ini.
Aku
menyeberang kembali menuju ke kota Tanjung menjelang senja, dengan membawa
beberapa lembar catatan pribadi tentang Pulau Penyengat. Entah untuk siapa
catatan tersebut akan kualamatkan, tapi yang jelas kini aku mulai mengerti
bahwa tidak mudah untuk belajar sejarah, apalagi mengerti tentang sejarah.
Karena pada setiap jaman, sejarah mengalami pergeseran. Dan terjadinya
pergeseran tersebut memungkinkan terhapusnya sejarah yang telah lampau. Sekali
lagi, harus dimaklumi bahwa sejarah ditulis oleh pihak yang berkuasa, yang
berarti bahwa banyak sejarah yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan
kebenarannya. Dan biarlah aku menulis sedikit tentang sejarah Pulau Penyengat
dengan caraku sendiri sambil menikmati seporsi mie lendir, secangkir kopi O, sepaket
otak-otak ikan khas Kepulauan Riau dan juga tidak lupa siput gonggongnya.
Bitung, 05042016,
03:14pm
*catatan seorang pejalan
No comments:
Post a Comment