 |
Peta lokasi selam di Pulau Weh |
Tawaran trip ke Pulau Weh ini tiba-tiba
datang ketika salah seorang teman butuh seseorang untuk menemani ke lapangan
mencari jenis lamun tertentu. Lamun adalah salah satu kelompok jenis tumbuhan yang hidup di laut, yang bentuknya mirip dengan ilalang yang ada di darat. Lagipula, trip ini sebenarnya bukan single trip,
tetapi serangkaian trip mulai dari Batam, Natuna, Aceh dan kemudian baru Pulau
Weh. Sebelum tiba di Sabang, begitu susahnya mencari tempat penginapan, maklum
momen pergantian tahun di ujung barat nusantara ini merupakan salah satu
destinasi favorit bagi para pelancong. Pada akhirnya kami nekat datang tanpa tahu
harus menginap dimana sesampainya disana nanti. Begitupun dengan informasi
mengenai keberadaan lamun di wilayah Pulau Weh. Beruntung, setelah membongkar
nomor kontak di ponsel dan friend list di salah satu media social, akhirnya ada
beberapa teman di Aceh yang kami hubungi. Sambil menyesap secangkir kopi Aceh Gayo yang sudah
tersohor itu, kami membicarakan tentang Pulau Weh dan seluk beluknya di sebuah warung kopi yang kian menjamur di negeri Serambi Mekah ini. Beberapa
informasi penting berhasil kami dapatkan, termasuk alternatif penginapan yang
bisa kami jadikan sebagai tempat istirahat. Untuk urusan transportasi
penyeberangan laut dari Banda Aceh menuju Sabang, kami mempercayakannya kepada
kakakku. Kakakku walaupun bukan orang asli Aceh tetapi sudah cukup lama
berdomisili di Banda Aceh dan telah beberapa kali melakukan penyeberangan ke
Pulau Weh.
 |
Antrian di loket penjualan tiket penyeberangan |
Benar saja, begitu mengecek jadwal kapal
menuju Pulau Weh di pelabuhan penyeberangan Ulee Lheue, banyak sekali orang
yang mengantri membeli tiket untuk jadwal penyeberangan besok. Memang, tidak
banyak kapal yang melayani penyeberangan dari Banda Aceh menuju Sabang dan
sebaliknya, dan kondisinya lebih parah lagi apabila masuk musim angin dan ombak
besar. Alternatif penyeberangan ada dua macam yaitu dengan menggunakan kapal
feri atau dengan menggunakan kapal cepat. Perbedaan di antara keduanya pada
durasi penyeberangan, kondisi tempat duduk dan harga tiket. Kami memutuskan untuk lebih memilih menggunakan kapal feri, mengingat bahwa kami tidak perlu tergesa-gesa untuk segera
sampai di tempat tujuan. Aku justru ingin bersantai selama perjalanan,
menikmati alat transportasi publik bersama masyarakat lokal kelas menengah ke
bawah, sekaligus melakukan observasi ringan tentang sosiologi dan antropologi
penduduk setempat. Karena menurutku justru di sinilah letak keunikan sebuah
perjalanan, mengenal hidup dan kehidupan masyarakat lokal. Kalau aku memilih
menggunakan kapal cepat, mungkin yang aku dapati adalah penumpang dari kalangan
borjuis dan turis-turis berkantong tebal dengan gaya parlente mereka. Aku bukan
anti kemapanan, tapi bagiku di beberapa momen dan lokasi pemandangan seperti
itu tidaklah ada sisi menariknya.
 |
Suasana penyeberangan menggunakan kapal cepat |
Satu jam sebelum jadwal keberangkatan
kapal, aku dan temanku sudah berada di pelabuhan, dengan menyewa becak motor
yang membawaku dari penginapan. Lagi-lagi, aku bertemu dengan orang Jawa yang
awalnya datang ke Aceh sebagai relawan pasca gempa dan tsunami di penghujung
tahun 2005 lalu. Sang pengemudi becak motor akhirnya bertemu dengan pujaan
hatinya yang gadis asli Aceh dan kemudian dia memutuskan untuk menjadi warga Aceh
dengan menikahi gadis tersebut. Cerita tentang orang Jawa yang akhirnya menetap
banyak terjadi di Aceh dan di daerah lain yang pernah aku kunjungi, tidak hanya
dialami oleh kakakku dan sang pengemudi becak motor tadi. Takdir memang tidak
pernah dapat kita ketahui akan membawa kita kemana dan untuk menjadi apa (atau
siapa). Di mana ada peluang bagi kita untuk maju dan memperoleh penghidupan
yang lebih baik, di sanalah kita akan berada dan menjadi apa yang telah telah
tertulis pada garis tangan kita.
 |
Bongkar-muat penumpang kapal feri dari dan menuju Sabang di dermaga penyeberangan Ulee Lheue |
Duduk menyendiri di tepian dermaga, aku melamun sambil sesekali sambil melihat lalu lalang orang yang lewat di depanku. Penumpang dengan segala model lah, pedagang asongan lah, pengemis lah, dan tidak menutup kemungkinan copet, calo dan kawan-kawannya. Setengah jam kemudian aku bangkit dari
anganku mengenai nasib dan masa depan, ketika kapal feri yang akan membawaku ke
Pulau Weh mendekati dermaga pelabuhan. Temanku juga sudah terlebih dahulu
tersadar dari dunia lamunannya sendiri sebelum aku datang menghampirinya. Kami
tidak dapat langsung naik ke kapal walaupun kapal sudah merapat ke dermaga. Aku
melihat calon penumpang yang sudah menunggu berkemas-kemas untuk kemudian antri
menaiki kapal, sambil menunggu penumpang dari Sabang yang turun dari kapal. Aku
sengaja memilih posisi paling belakang antrian, di samping untuk menghindari
desak-desakan saat masuk kapal, aku berusaha menangkap momen-momen menarik
ketika bongkar muat penumpang kapal. Berbagai ekspresi dan model dandanan para
penumpang kapal dengan berbagai barang bawaan mereka menjadi objek tersendiri
bagiku. Aku bersama temanku memilih bagian belakang kapal, duduk di atas koran
yang digelar di atas lantai, bukan di dalam kapal dengan harapan bisa berbaur
lebih dekat dengan penumpang lainnya.
 |
Suasana di atas kapal feri menuju Sabang |
Dengan durasi perjalanan lebih dari empat
jam berarti cukup waktu untuk memejamkan mata atau sekedar duduk selonjor
menikmati angin laut di siang hari. Sesekali aku berkeliling, menyusuri
beberapa sudut kapal, menyapa beberapa penumpang yang sekiranya bisa dijadikan
sebagai teman ngobrol. Aku bertemu dengan seorang biker yang datang bersama
beberapa orang rombongannya dari kota Samarinda, Kalimantan Timur. Tujuan
mereka adalah touring Kalimantan – Sumatra – Jawa – Kalimantan dengan
mengendarai sepeda motor, dan salah satu titik yang menjadi tujuannya adalah kilometer nol di Pulau Weh. Mereka sengaja menyusun jadwal sedemikian rupa
sehingga pada malam pergantian tahun mereka berada di titik kilometer nol tersebut. Salah satu kejadian lain yang akhirnya menjadi tontonan tersendiri
bagi penumpang kapal adalah ketika sekelompok bencong dengan dandanan khas
mereka mondar-mandir kesana kemari dengan sengaja menarik perhatian. Serentak
penumpang bersorak sorai begitu salah satu bencong bertingkah. Aku lebih
memilih menikmati hamparan air laut di tepeian Samudera Hindia yang siang itu
sedang tenang, tanpa sengaja sekawanan lumba-lumba asik bermain pada jarak
beberapa puluh meter dari kapal.
 |
Selamat datang di Kota Sabang, Pulau Weh |
Kapal masih jauh dari dermaga Kota Sabang, sementara
para penumpang sudah disibukkan dengan persiapan turun beserta barang bawaan
dan rombongannya. Selamat datang di pulau paling ujung di bagian barat negeri
ini, kataku kepada diri sendiri yang aku lafalkan dalam hati saja. Sebenarnya Pulau Weh bukan merupakan pulau paling barat nusantara, karena masih ada lagi pulau kecil yang lokasinya lebih di barat. Pulau Rondo, sebuah pulau kecil tak berpenghuni itulah yang jatinya merupakan pulau paling depan di ujun barat wilayah NKRI. Pulau kecil tersebut tidak berpenghuni, namun untuk menjaga kedaulatan negara kita, disana sejumlah prajurit ditempatkan sebagai penjaga perbatasan. Kembali ke perjalananku yang hampir tiba, akupun
menghampiri temanku, merapikan kembali barang-barang bawaan kami untuk
dibawa turun ke dermaga. Turun dari dermaga, setelah lihat kanan kiri, kami lalu
memutuskan untuk naik ojek motor menuju ke penginapan yang ditunjukkan oleh
salah satu teman sewaktu masih di Banda Aceh. Kebetulan teman tersebut memang
berasal dari Sabang, yang kemudian merantau ke daratan utama untuk sekolah dan
bekerja. Ojek motor yang kami tumpangi langsung mengantarkan kami ke tempat
tujuan, dan ketika tiba di lokasi yang dimaksud ternyata adalah sebuah
penginapan yang dikelola oleh sebuah sekolah menengah kejuruan. Kami tidak
pikir panjang karena harus segera mendapatkan tempat untuk menginap di malam
itu. Aku langsung mengusulkan kepada temanku untuk menyewa motor agar dapat
mencari penginapan lain yang lebih nyaman dan dekat dengan pusat keramaian.
Penginapan sementara tempat kami menginap berada jauh dari perkotaan dan
kondisinya tidak nyaman karena kurangnya perawatan. Dengan kondisi seperti itu,
ditambah harga yang terlampau tinggi membuat semuanya menjadi tidak nyaman.
 |
Salah satu sudut Pulau Rubiah yang mempesona |
 |
Seorang turis dengan perlengkapan keselamatan |
Keesokan harinya sebelum pergi ke beberapa
lokasi tujuan, kami sudah berpindah penginapan di salah satu hotel kecil di
pusat kota. Dari berbagai sisi, kondisi hotel ini jauh lebih baik dibandingkan
dengan penginapan yang ada di sebuah SMK tersebut, dan tarifnya pun lebih
murah. Kami pun selain menginap di hotel tersebut juga menyewa motor dari
pemilik hotel tersebut. Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan salah satu
karyawannya, ternyata pemilik hotel tersebut adalah orang Jawa yang menurut
sejarahnya dulu sebagai transmigran. Pagi itu kami belum berkesempatan untuk
bertemu dengan pemilik hotelnya, tapi kami sudah harus berkeliling ke beberapa
pantai untuk survey keberadaan lamun. Sambil survey, aku teringat oleh salah
seorang teman fotografer underwater dari National Geographic yang beberapa waktu
sebelumnya melakukan kegiatan di Pulau Weh dalam rangkaian Blacktrail yang
tahun sebelumnya aku ikuti. Dari teman tersebut, aku mendapatkan informasi
tentang sebuah dive operator yang bisa aku datangi jika aku ingin melakukan
kegiatan penyelaman. Lokasi dive operator yang dimaksud berada di dekat Pulau Rubiah
yang menjadi destinasi utama dari setiap penyelam yang datang ke Pulau Weh
dengan tujuan penyelaman.
 |
Pantai Iboih dengan latar belakang Pulau Rubiah |
Aku bertemu dengan salah seorang yang
ternyata adalah pemilik dive operator tersebut yang bertindak sebagai manajer,
bersama adiknya yang seorang dive master mengelola usaha jasa pariwisata selam.
Sejurus kemudian aku ungkapkan maksud dan tujuanku datang ke Pulau Weh. Dan
ternyata pemilik dive operator tanggap dengan yang aku inginkan dan menyarankan
untuk mengikuti trip diving besoknya. Pembicaraan kami kian lama semakin akrab
dan seakan-akan seperti teman lama ketika aku menyebutkan asal institusi
tempatku bekerja. Usut punya usut, almarhum orang tua mereka ternyata memiliki
kedekatan emosional dengan instansi tempatku bekerja. Semasa hidupnya, orang
tua mereka awalanya adalah pengebom ikan yang oleh instansiku tempat bekerja
kemudian dilatih menjadi pengawas sumber daya laut. Hasil dari kegiatan
pelatihan tersebut yang dikemudian hari menjadi modal yang terus dikembangkan
oleh yang bersangkutan, hingga pada puncaknya beliau mendapatkan sebuah
penghargaan yang begitu prestisius. Kalpataru sebagai bentuk penghargaan kepada
para pahlawan di bidang lingkungan hidup diterima langsung dari presiden
beberapa tahun sebelum meninggal. Pemilik dive operator berkisah bahwa sewaktu
masih kecil dia dan adiknya selalu diajarkan untuk menghargai lingkungan di
sekitarnya. Dia juga bilang bahwa rumahnya berjajar buku-buku tentang
lingkungan dan sumber daya alam, yang sebagian besar didapatkan dari instansi
tempatku bekerja saat ini. Selepas membuat semacam janji dengan dive
master untuk bergabung dengan kegiatan penyelaman esok hari, aku bersama
temanku langsung menuju ke tugu nol kilometer di ujung barat Pulau Weh, sekaligus
ujung barat Indonesia. Perjalanan menuju ke tugu nol kilometer terasa cukup
jauh karena di samping belum pernah kesana, juga karena kami harus menyusuri
jalan kecil yang sepi menembus hutan lindung yang cukup lebat. Apalagi waktu itu
mendung gelap tengah menyelimuti, dan nampaknya tidak lama lagi hujan besar
akan segera turun. Kami tiba di tugu nol kilometer ketika hari sudah menjelang
ashar, disana sudah ada belasan orang yang sudah tiba sebelumnya. Aku langsung
memarkir motor, orientasi singkat, dan mulai berkeliling melihat apapun yang
aku temukan disana. Beberapa orang penjaja kios souvenir menyambut kedatangan
kami yang memang terlihat sebagai orang asing. Sebuah struktur bangunan dalam
formasi tertentu seketika menjadi pusat perhatianku, itulah tugu kilometer nol yang menjadi objek tujuanku datang.
 |
Tugu Kilometer Nol di ujung barat nusantara |
Dari kejauhan bangunan itu memang tampak
megah di antara rerimbunan pohon yang kemungkinan sudah berusia seratusan
tahun. Namun saat aku mencoba mendekati, ternyata kondisi bangunan tidak
terawat dan terkesan terbengkalai. Di sana sini terlihat bagian bangunan yang
sudah lapuk dan bekas tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab yang telah
meninggalkan coretan hampir di seluruh bagian, vandalisme. Prasasti yang berisi ketetapan
titik kilometer nol sekaligus sebagai penanda tahun penetapannya juga tidak
luput dari vandalisme tersebut. Sekawanan monyet abu-abu ekor panjang yang
sibuk mencari sisa-sisa makanan yang dibuang oleh pengunjung atau warung-warung
makan yang ada di kawasan itu pun tidak luput dari pengamatanku. Mereka sedang
asik bersama kawanan di pepohonan dan di sekitar tebing yang di bawahnya
terbentang samudera luas, Samudera Hindia. Aku sempat mengobrol dengan dua
orang pengendara vespa tua yang telah dimodifikasi. Penampilan mereka dengan
gaya rastafaria semakin menegaskan kekompakan dengan tunggangan yang ingin
mereka tonjolkan. Yang membuat aku cukup kaget bahwa mereka datang ke Pulau Weh
dalam rangka touring berdua dari Semarang, dan hari itu adalah perjalanan yang
telah memasuki hari ke dua puluh.
 |
Sisi lain Tugu Kilometer Nol |
Kilometer nol, tentunya kita cukup sering
menjumpainya karena di setiap kota memiliki lokasi yang disebut sebagai titik kilometer nol. Tapi, titik kilometer nol yang satu ini berbeda dan memiliki
keistimewaan tersendiri, karena merupakan titik kilometer nol dari negara kita. Kilometer nol Pulau Weh, sebuah tempat yang berada di titik paling barat negeri
ini, ditandai dengan adanya sebuah tugu yang dibangun oleh pemerintah beberapa
tahun silam. Ditetapkan pada tanggal 24 September 1997 oleh Menristek B.J. Habibie
pada posisi GPS 05o54’21,42” LU dan 95o13’00,50” BT pada
ketinggian 43,6 meter di atas permukaan laut. Tempat ini pada hari-hari biasa
tidak begitu ramai, bahkan cenderung sunyi dari pengunjung. Namun kondisinya
menjadi berbeda ketika menjelang pergantian tahun, banyak pengunjung yang
datang berbondong-bondong ke tempat ini. Bukan hanya pengunjung dari wilayah
kota Sabang saja, tetapi juga berbagai kota di Indonesia, bahkan juga dari
manca negara. Tujuannya tidak lain adalah ingin melewati malam pergantian tahun
di tepian wilayah NKRI. Lalu apa istimewanya berada di kilometer nol ketika
malam pergantian tahun?? Karena letaknya yang berada di titik paling barat
Indonesia, maka tempat ini adalah tempat menikmati matahari di tahun yang
dimaksud paling terakhir tenggelam di ufuk barat dibandingkan tempat lain di
seluruh Indonesia, sebagai tempat terakhir yang mengalami momen pergantian
tahun.
 |
Motor milik biker dari Semarang di Tugu Kilometer Nol |
Untuk mencapai tugu kilometer nol, dari
pusat kota pengunjung harus melewati jalan berkelok-kelok, serta melalui tanjakan
dan turunan. Perjalanan juga akan melintasi jalan curam di antara tebing yang
terjal di satu sisi dan jurang yang curam di sisi lainnya. Selain itu, hamparan
perkebunan rakyat dan belantara yang lumayan lebat akan menjadi pemandangan
yang cukup menyejukkan ketika hari panas. Namun, akan jauh berbeda ceritanya
jika sudah datang musim penghujan. Di beberapa titik kita akan mendapati
jalanan yang banjir, dan dengan kondisi jalanan yang licin menuntut
kehati-hatian dari pengemudi, apalagi jika melakukan perjalanan dengan mobil.
Jalanan yang tidak terlalu lebar seringkali memaksa kita untuk mengurangi
kecepatan jika tidak ingin bersinggungan dengan kendaraan lain, terlebih saat
kita berpapasan dengan kendaraan besar. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan
sebelum menuju ke tititk nol kilometer adalah kondisi kendaraan, karena jika
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dengan kendaraan kita saat perjalanan
maka akibatnya akan sangat fatal. Dengan durasi perjalanan dari pusat kota ke
titik kilometer nol yang hampir dua jam tersebut hampir dua per tiganya adalah
areal perkebunan dan hutan lingdung. Artinya jika ada masalah dengan kendaraan
kita, maka kita akan dihadapkan pada kesulitan yang bisa bikin stress.
 |
Bentor sebagai sarana transportasi orang dan barang |
Tidak tersedia kendaraan umum yang
menghubungkan antara pusat kota dengan titik kilometer nol tersebut, sehingga
jalan satu-satunya untuk menuju kesana adalah dengan menyewa kendaraan.
Pilihannya adalah dengan menyewa mobil dengan atau tanpa sopir, atau cukup
dengan motor yang keduanya cukup mudah didapatkan di pusat kota. Atau, jika
ingin santai kita juga bisa menyewa ojek becak motor yang merupakan sarana
transportasi publik di Sabang dan juga di Aceh. Biaya sewa untuk hari-hari
biasa tidak jauh berbeda dibandingkan dengan di tempat-tempat lain di
Indonesia, namun sedikit lebih mahal jika mendekati pergantian tahun. Selama
berada disana, aku lebih memilih untuk menyewa motor sebagai kendaraan untuk
mobilitas sehari-hari. Dengan harga sewa Rp. 50.000 per hari, aku bisa dengan
leluasa berkeliling pulau dan mengunjungi tempat-tempat yang aku inginkan.
Berbekal informasi tempat-tempat menarik di Sabang dari hasil gugling di
internet, aku juga menyempatkan untuk mengunjungi tempat lain selain titik nol
kilometer. Lokasi utama yang aku pilih untuk dikunjungi adalah pantai dan
lokasi penyelaman, karena memang tujuan utamaku ke Pulau Weh sebenarnya untuk
mencari lokasi yang terdapat lamun atau seagrass.
Kebetulan saja jadwal perjalananku te tempat ini bertepatan dengan momen
pergantian tahun, bukan sebuah kesengajaan karena rencana yang serba mendadak
dan tidak banyak mikir itinerary nya. Mendung kian gelap, kami pun memutuskan
untuk untuk segera beranjak meninggalkan kawasan tugu kilometer nol menuju kota
Sabang. Hujan yang turun dengan begitu lebatnya memaksa kami untuk berhenti
sejenak di tengah hutan. Kami keliling Pulau Weh naik motor tetapi tidak
dilengkapi dengan jas hujan, diperparah lagi dengan lampu utama yang dalam
keadaan mati. Tiba di hotel ketika hari sudah malam, tetapi sudah tidak turun
hujan lagi. Setelah makan malam, kami keliling kota sekedar mencari suasana,
sekaligus berharap bertemu sesuatu yang khas dari kota ini. Kami pun singgah di suatu
tempat dekat pasar karena disitu ada sesuatu yang pastinya menjadi daya tarik
tersendiri buat kami, duren. Tawar menawar harga pun terjadi, dua buah duren
ukuran jumbo sudah tersedia di hadapan kami, siap untuk dilahap. Nikmat sekali
rasa duren yang ternyata didatangkan dari Medan, dengan harga yang sangat murah
jika dibandingkan dengan harga di Jawa. Puas menikmati duren, kami kembali ke
hotel dan langsung terlelap setelah menyiapkan peralatan selam yang akan di
bawa besok pagi.
 |
Schooling fish yang menjadi daya tarik tersendiri di salah satu dive spot Pulau Weh |
 |
Daftar jadwal dan peserta selam |
Hari masih pagi, kami mencari warung untuk
sarapan pagi di sekitar pantai. Di sebuah warung terlihat ramai oleh
pengunjung, langkah kami terhenti di situ. Sejenak kami mengamati dari jauh
kira-kira menu apa yang ditawarkan oleh warung tersebut sehingga membuatnya
seramai itu. Samar-samar nampak beraneka jenis jajanan dan beberapa pelayan warung yang sedang mengantarkan minum ke pelanggan yang datang. Kami pun segera
mengambil tempat duduk dan memesan beberapa makanan dan dua porsi minuman.
Selesai sarapan, kami bergegas menuju ke dive operator agar tidak ketinggalan
rombongan yang akan menyelam pagi itu. Perjalanan dengan motor dari hotel ke
dive operator hampir satu jam lamanya. Setibanya di dive operator tersebut,
kami langsung bertemu dengan managernya lalu diajak ke salah satu ruang untuk
memilih perlengkapan selam yang belum kami bawa. Kami mengisi formulir dan
mengikuti briefing sebentar untuk koordinasi selama trip penyelaman tersebut. Tim
selam kami terdiri dari delapan orang ditambah dua boat man, kami digabungkan
dengan wisatawan lain yang berasal dari luar negeri. Hanya satu lokasi yang
kami selami, dengan kondisi gelombang yang sangat besar tapi pemandangan bawah
airnya begitu luar biasa. Jika melihat schooling ikan seperti itu, aku teringat
akan penyelaman yang pernah aku lakukan di Raja Ampat beberapa waktu
sebelumnya. Dari informasi yang tersedia di dive operator, diketahui bahwa di
wilayah Pulau Weh terdapat sejumlah titik penyelaman dengan karakter yang
berbeda-beda. Mulai dari tempat berombak dengan atraksi ikan schooling nya,
hamparan pasir dengan tipe muck dive nya, spot yang menawarkan keindahan
terumbu karang, gunung api bawah laut hingga wreck dive. Dari sekian banyak
penyelam yang datang, terlihat orang asing yang mendominasi. Kondisi seperti
ini tidak hanya berlangsung saat liburan pergantian tahun saja tetapi memang
biasanya juga seperti itu. Bahkan dua orang dive master yang bekerja untuk dive
operator adalah orang asing. Orang lokal datang ke lokasi tersebut umumnya
adalah penikmat wisata pantai, atau maksimal hanya sebatas snorkeling saja.
 |
Moray eel di salah satu titik penyelaman |
Penyelaman kali ini berakhir dengan sebuah
obrolan panjang tenjang sejarah pendirian dive operator dengan pemiliknya
sambil minum kopi. Sang pemilik dive operator sangat antusias menceritakan masa
lalu yang dialami keluarganya hingga menjadi seperti yang terlihat sekarang
ini. Kisah sukses dive operator yang dimilikinya tidak terlepas dari kisah
sukses bapaknya memperbaiki hidup dan kehidupan dari seorang perusak lingkungan
menjadi pahlawan lingkungan. Disitulah keluarganya merasakan begitu besarnya
peran instansi tempatku bekerja, hingga dia dan keluarganya merasa sangat
berhutang budi. Ujung-ujungnya, ketika aku hendak meminta nota untuk penyewaan
alat selam dan biaya trip selam siang itu, sang manajer muda malah bilang
kepadaku ‘kalau aku sampai meminta bayaran dari orang yang bekerja pada
instansi yang telah menjadikan keluarganya sukses, sama artinya dengan meminta
bayaran atas makanan yang disuguhkan kepada saudaranya sendiri’. Aku sangat
terharu mendengar ucapannya itu tadi, sampai enggan meninggalkan dive operator
tersebut begitu saja. Perhatianku kemudian tertuju ke deretan souvenir yang
dipajang di salah satu sudut ruangan, dan akupun membeli dua buh kaos. Selain
sebagai kenang-kenangan dari Pulau Weh, tujuanku membeli kaos adalah sebagai
bentuk ungkapan terima kasih kepada pemilik dive operator dengan cara membeli
barang dagangan yang dijajakannya.
 |
Penyelam bercengkrama dengan kawanan ikan |
Sambil menikmati makan siang seafood di
sekitar dive operator tersebut, aku sempat ngobrol dengan teman tentang apa
yang kami alami dari sebelum datang ke Sabang sampai kejadian yang berkaitan
dengan kisah sukses pemilik dive operator. Memang, di daerah Iboih itu bukan hanya
dive operator itu saja yang telah sukses dengan usaha jasa penyelaman. Terlihat
sekitar sepuluh dive operator beroperasi dan bersandingan dengan beberapa toko
souvenir dan rumah makan yang siang itu tampak begitu ramainya. Bahkan untuk mencari
tempat parkir saja tidak mudah, apalagi jika datangnya sudah terlalu siang. Apa
yang kami cari di Pulau Weh belum ada tanda-tanda keberadaannya sampai hari
ketiga kami berada di Sabang. Sebelum kembali ke hotel, berdasarkan informasi
dari salah satu grup chatting ku sebelumnya pernah menginformasikan bahwa
terdapat air terjun yang hendaknya disinggahi ketika berada di Pulau Weh. Air
terjun Pria Laut, begitulah namanya, sebuah air terjun yang aksesnya harus
dijangkau dengan cara berjalan kaki. Sebenarnya air terjun tersebut tidak
begitu menarik bagiku saat aku membandingkan dengan beberapa air terjun yang
pernah aku datangi. Tapi paling tidak saat mandi di air terjun itu aku
merasakan segarnya air yang khas dari pegunungan, walau warnanya agak putih entah
kenapa. Tidak banyak kegiatan untuk menutup hariku waktu itu. Pulang ke hotel,
bersih-bersih diri, makan malam dan istirahat dengan nyenyak di kamar hotel.
Menyiapkan tenaga untuk petualangan besoknya yang entah akan kemana dan akan
seperti apa.
 |
Panorama di sisi jalan pinggiran Kota Sabang |
Pencarian kami terhadap keberadaan lamun
masih terus berlanjut, dan pagi itu kami memutuskan untuk menyewa perahu
nelayan yang kebetulan sedang menambatkan talinya di pantai yang aku datangi.
Sebenarnya mereka tidak berniat mencari uang hari itu karena sedang mengajak
keluarganya pergi tamasya ke pantai, tepatnya di Pulau Rubiah. Tetapi akhirnya bersedia membawa kami
setelah negosiasi harga, lagipula arah tujuan kami sebenarnya sama. Sekitar
tiga jam kami berputar-putar mencari kemungkinan keberadaan lamun, namun hanya
sekedar serasah sisa-sisa daun maupun batangnya pun tidak kami temukan. Kesimpulan akhir yang kami buat bahwa
memang tidak ada lamun jenis apapun yang tumbuh di Pulau Weh, apalagi jenis
tertentu yang kami cari. Dalam keputusasaan tentang target yang kami cari, kami akhirnya hanya berusaha untuk membawa suasana menjadi menyenangkan. Beberapa tempat yang sudah terkenal sebenarnya bisa menjadi alternatif kami menghapus kekecewaan kami, sebut selain Tugu Kilometer Nol, Pulau Rubiah, Pantai Iboih dan Air Terjun Pria Laot. Sebut saja Pantai Gapang, Pantai dan Benteng Jepang Anoi Hitam, Pantai Sumur Tiga, Pantai Kasih, Gunung Berapi Jaboi, dan lainnya. Kota Sabang sebenarnya juga memiliki peran penting dalam sejarah Republik ini, namun sangat jarang liputan dan bukti-bukti tentang perjalanan sejarah kota ini.
 |
Sate gurita sebagai panganan khas Sabang |
 |
Lokasi pedestrian di pinggir pantai |
 |
Salah satu tempat yang romantis untuk menikmati sore dan malam sambil berwisata kuliner |
Hari sudah menjelang petang dan kami pun
memutuskan untuk segera kembali ke hotel sebelum sinar matahari meninggalkan
Pulau Weh. Dalam perjalanan kembali ke arah kota, kami menjumpai sebuah warung
kopi yang berada di pinggir jalan tepi jurang. Suasana warung yang di satu sisi
menyajikan panorama laut dari sebuah bukit, tidak mengherankan kalau banyak pengunjung
yang datang untuk menikmati sajian alam terutama menjelang senja. Satu cangkir
kopi dan beberapa bungkus kacang goreng menemai kami ngobrol ngalor ngidul
sampai dunia menjadi gelap. Kami pun beranjak ke arah kota setelah membayar apa
yang telah kami makan dan minum. Tujuan utama kami adalah tempat makan di
sekitar pantai di sisi lain kota Sabang. Penelusuran kami dengan motor berakhir
di sebuah lokasi semacam pujasera yang berada di pinggir pantai. Menu favoritku
di tempat itu adalah sate gurita dan secangkir kopi gayo, tapi suasananya
menjadi sedikit terganggu oleh kedatangan pengamen.
 |
Loket menuju sebuah wahana di lokasi pasar malam |
Malam itu suasana kota terlalu sepi untuk
disebut sebagai sebuah kota kabupaten. Aku baru ingat kalau malam itu adalah
malam pergantian tahun, jadi kemungkinan sebagian penduduk kota sengaja tidur
di kala masih sore dan bangun menjelang detik-detik pergantian tahun.
Satu-satunya yang terlihat ramai adalah pasar malam yang berada tidak jauh dari
pujasera tersebut. Aku iseng-iseng menarakan kepada temanku untuk menceburkan diri dalam hiruk-pikuknya suasana pasar malam. Awalnya temanku ragu, tetapi akhirnya kami berkeliling melihat-lihat dan menikmati beberapa jenis jajanan
yang sebenarnya adalah jajanan untuk anak kecil. Beberapa momen sempat aku
abadikan di sekitaran pasar malam, termasuk beberapa pedagang dan penjaga
permainan untuk anak-anak yang kebanyakan datang dari Jawa. Kesibukan kecil
yang sempat aku lihat yaitu di sisi lain di seberang pujasera, sekelompok orang
menyiapkan panggung dan kembang api yang memang sudah menjadi agenda rutin
setiap malam pergantian tahun di tempat tersebut. Mendung gelap nampak sudah
menyelimuti langit kota Sabang, mungkin tidak lama kemudian akan turun hujan.
Benar saja, menjelang tengah malam hujan turun dengan lebatnya, akupun memilih
tidur karena besok pagi akan kembali ke Banda Aceh.
 |
Kemeriahan pasar malam menjelang malam pergantian tahun bagi anak-anak |
 |
Jajanan tradisional di pasar malam |
 |
Wahana khas pasar malam |
 |
Kopi gayo, kopi khas daerah Aceh |
Pagi datang, hari sudah berganti, bulan
juga sudah berganti, tahun pun berganti beberapa jam yang lalu. Benar, sekitar
tujuh jam sebelumnya adalah momen malam pergantian tahun yang aku alami di
ujung barat nusantara. Bagiku secara pribadi tidak ada bedanya pergantian tahun
dimanapun berada, karena memang tidak ada sesuatu yang istimewa yang aku alami.
Hanya sekedar sebah kebetulan saja malam pergantian tahun kali ini aku berada
di tempat yang oleh sebagian orang dianggap sebagai tempat yang spesial pada
saat malam pergantian tahun. Lagian sarapan pagi itu, di tanggal 1 Januari,
tidak ubahnya dengan sarapan-sarapan biasanya. Mungkin karena aku harus segera
berkemas karena menjelang siang aku harus menuju ke pelabuhan agar tidak
tertinggal oleh kapal yang membawaku ke Banda Aceh. Tidak ingin direpotkan
dengan barang bawaan yang lumayan banyak, kami memutuskan untuk memesan becak
motor yang akan mengantar kami ke pelabuhan. Lagi-lagi, kebaikan hati dari
pemilik hotel yang mengusahakan becak motor dengan harga yang menurutku sangat
murah dibandingkan dengan ongkos dua ojek motor saat kami datang. Kami menyempatkan untuk basa-basi sebentar
dengan pemilik hotel yang sekaligus pemilik toko yang lumayan besar di samping
hotel. Perjalanan kembali dari kota Sabang menuju Banda Aceh menyisakan banyak
kisah dan pelajaran bagiku. Kota Sabang, Pulau Weh, titik kilometer nol di ujung
barat nusantara yang fenomenal dan akan selalu menjadi lokasi favorit bagi yang
ingin melewati malam pergantian tahun. Namanya akan tetap abadi sampai
kapanpun, seabadi lagu ‘Dari Sabang Sampai Merauke’ yang tersohor. Sabang…. nama besarmu, kopimu, durenmu, sate guritamu akan menjadi daya tarik yang membuatku ingin
kesana lagi suatu saat.


Sabang, 01012014, 07:21am
*catatan
seorang pejalan
No comments:
Post a Comment