
Dering
ponsel membangunkan tidur siangku di kamar kos yang hanya didinginkan oleh
kipas angin. Matahari di siang itu memang cukup terik, membuat suasana
pinggiran Bogor tidak bersahabat untuk melakukan aktivitas di luar ruangan.
Maunya bermalas-malasan di privat room sambil bersantai, bahkan kalau perlu
tidur. Tapi ajakan untuk ke Sikka waktu itu cukup membuat semangatku timbul
kembali. Apalagi kegiatan utama ke Sikka tersebut adalah menyelam. Tapi tunggu,
ada yang aku lupa tanyakan. Sikka itu di mana? Mungkin karena poin pentingnya
adalah menyelam jadinya aku tidak terlalu memperdulikan lokasi pastinya.
Sejurus kemudian, aku baru mulai mencari-cari informasi mengenai di manakah
lokasi Sikka itu. Dan ternyata lokasinya adalah di Pulau Flores, Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Mimpi apa aku waktu tidur siang tadi ya. Kalau memang
terealisasi, itu artinya bahwa ini adalah kesempatanku untuk kedua kalinya
menginjakkan tanah di Flores. Tahun 2003 dulu aku juga pernah ke Flores, tapi
bukan ke Sikka dan bukan untuk menyelam. Waktu itu aku yang masih mahasiswa
semester 6 tergabung bersama tim amdal sistem irigasi di beberapa lokasi di
Flores. Selama seminggu plus perjalanan berangkat dan pulang aku bekerja di daerah
pegunungan, hutan dan sungai. Menginapnya pun di kota tertinggi di Flores,
Ruteng, yang memiliki cuaca dingin. Jadi, praktis tidak ada hubunganku dengan
pekerjaanku saat ini. Bahkan sama sekali tidak melihat laut kecuali waktu
berada di atas pesawat saat berangkat dan pulang kembali ke Surabaya.
Tahap
selanjutnya yang harus aku persiapkan adalah alat selam dan segala sesuatu yang
sekiranya nanti kubutuhkan saat berada di Sikka. Di samping menanyakan detail
kegiatan kepada anggota tim dan peralatan yang diperlukan, seperti biasa aku
melakukan riset kecil-kecilan mengenai seluk beluk daerah yang akan aku tuju.
Rekomendasinya lumayang beragam, tapi ada satu lokasi yang langsung menarik
perhatianku, Danau Kelimutu. Danau yang memilliki 3 warna air yang berbeda-beda
berubah secara periodik tergantung jenis jasad renik yang dominan di perairan
danau. Danau Kelimutu identik dengan uang lima ribu rupiah di era 90an. Uang
tersebut suasananya memang sangat kental dengan Pulau Flores karena di sisi
lain uang kertas itu juga ditampilkan salah satu alat musik tradisional dari
tanah Flores, Sasando, tepatnya dari daerah Rote. Sedangkan danau Kelimutu
sendiri terletak di daerah Ende, yaitu di puncak gunung Kelimutu dan merupakan
kawah dari gunung tersebut. Nuansa Flores pada uang rupiah bertahan selama 9
tahun dari tahun 1992 hingga akhirnya diganti dengan nuansa tanah Sumatra pada
tahun 2001. Sayang sekali, baik Danau Kelimutu maupun Rote jaraknya cukup jauh
dari kota Sikka. Sehingga kemungkinan untuk singgah ke kedua tempat tersebut
sangat kecil.



Semua
perlengkapan untuk pekerjaan dan untuk traveling sudah siap, tinggal menunggu
jadwal keberangkatan saja. Salah satu yang menjadi kendala dalam kegiatan
outdoor adalah hujan. Bulan April kiranya merupakan waktu yang cukup ideal buat
traveling, setidaknya hujan sudah tidak sering turun. Musim kemarau pun belum
tiba, sehingga siang hari pun harusnya belum terlalu panas. Seperti banyak
diberitakan di berbagai media bahwa Flores merupakan salah satu wilayah di
negeri ini yang memiliki suhu yang paling panas di kala musim kemarau. Tidak
pelak lagi, saat puncak kemarau, banyak titik di wilayah ini yang terlihat
cokelat karena padang ilalang yang mongering. Tapi justru savana ilalang nan
luas yang mongering itu justru yang menjadi daya tarik tersendiri untuk Flores
dan kepulauan Sunda Kecil secara umum.
Melalui
Denpasar, kami berangkat dari Jakarta menuju Sikka. Memang harus transit di
Denpasar karena tidak ada pesawat langsung, itupun harus berpindah maskapai.
Sungguh tidak menyenangkan kalau dalam perjalanan harus memakai dua atau lebih
maskapai yang berbeda. Pertama karena aku berangkat bersama tim dengan barang
bawaan yang tidak sedikit. Perbedaan maskapai berarti harus bolak balik ngurus
bagasi, pekerjaan jadi lebih banyak. Kedua karena kemungkinan jadwal
penerbangan yang mengalami perubahan secara sepihak dari salah satu maskapai.
Jika memang terjadi perubahan jadwal di penerbangan pertama, bisa dipastikan
penerbangan selanjutnya akan mengalami gangguan, bahkan tidak menutup kemungkinan
gagal terbang karena terlambat. Apalagi kalau jadwal dari dua penerbangan
tersebut tidak terpaut terlalu lama, sangat riskan mengalami batal terbang.
Tapi begitulah realita pelayanan transportasi udara ke kota-kota kecil di luar
pulau Jawa. Sebagai antisipasinya maka perlu dipertimbangkan untuk menginap
satu malam di kota transit. Resikonya tentu saja jumlah hari perjalanan menjadi
lebih lama, dan itu artinya memerlukan biaya ekstra terutama untuk akomodasi.
Pesawat
jenis Foker yang membawaku dan tim mendarat di bandara Frans Seda di Maumere, Sikka.
Cuaca siang yang cukup terik langsung membuat kulit protes. Sebelum menuju
penginapan, kami singgah di sebuah rumah makan dengan menu masakan Padang.
Panas-panas begini paling pas memang minum jus. Seporsi jus alpukat rasanya
kurang dan terpaksa sebotol air mineral turut menghanyutkan ikan bakar dan
daging rendang yang sudah lebih dulu kandas di dalam sistem pencernakanku. Usai
makan siang, sambil nunggu anggota tim lainnya menyelesaikan urusannya, aku sengaja
keluar dari rumah makan untuk sekedar mengamati suasana perkotaan. Kesan
pertama yang muncul di benakku adalah sebuah pertanyaan, inikah pusat kotanya?
Terntyata memang benar. Aku sedang berdiri di pusat kota Maumere, ibu kota
kabupaten Sikka. Jika dibandingkan dengan di Jawa, tingkat keramaiannya mungkin
setara dengan kota kecamatan di kabupaten yang tidak terlalu besar. Memang tidak tepat
membandingkan dengan di Jawa, jadi tidak perlu disbanding-bandingkan.




Wajah orang
Flores ini memang khas. Walaupun serumpun sama orang Maluku, tapi tetap
memiliki perbedaan mendasar perbedaannya. Pulau yang sempat mengheboskan di
awal dekade 2000an oleh penemuan fosil manusia purba ini mayoritas pendudukanya
beragama Katolik yang taat. Seperti halnya di beberapa daerah lain, hari minggu
merupakan hari ibadah, itu artinya kebanyakan toko tutup di hari minggu. Geliat
perekonomian baru kembali bergairah di sore hari menjelanjelang senja. Saat
mobil yang membawa rombonganku jalan menyusuri perkampungan di hari minggu,
nampak para penduduk memenuhi jalanan sepulang dari gereja. Aku jadi teringat
waktu ke Ruteng di bulan Maret 2003 yang lalu. Saat menginap di salah satu
penginapa di kota dingin itu, ada pemandangan yang belum pernah aku lihat
sebelumnya. Ketika rombonganku akan keluar untuk makan malam, ternyata jalanan
penuh dengan masyarakat yang sedang berpawai. Sebuah arak-arakan dengan membawa
lilin dengan diiringi oleh semacam puji-pujian keliling kota melewati jalanan
yang sengaja dikondisikan dalam suasana gelap. Beberapa waktu lamanya baru
akhirnya aku mendapat penjelasan dari salah satu staf hotel bahwa pawai
tersebut dalam rangka perayaan paskah. Aku sama sekali awam dengan hal ini,
karena dari kecil hingga menjelang lulus kuliah tinggal di lingkungan yang tidak
merayakan paskah. Dari pemandangan ini, aku bukan melihat dari sisi agama tapi
dari sisi turisme. Dan memang ternyata perayaan paskah di beberapa kota di
Flores menjadikan ritual keagamaan sebagai salah satu andalan untuk menarik
turis untuk berkunjung. Bahkan aku pernah mendengar bahwa Flores dikenal
sebagai salah satu sentral umat Katolik di Indonesia. Salah satu buktinya
adalah adanya keuskupan agus di Ende. Yang menarik lagi, Sri Paus Yohanes
Paulus II sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik dunia kabarnya pernah ke
Maumere pada tahun 1989.
Maumere
sebagai ibukota kabupaten Sikka memang cukup unik. Penduduk semakin beragam
karena semakin banyak pendatang dari etnis Bugis, Jawa, China, Maluku dan
lainnya yang membaur dengan penduduk asli yang mayoritas, yakni orang etnis
Timor. Sebaran penduduk sebagian besar berada di pantai utara. Di samping
karena daratannya yang landai, kondisi lautnya relatif tenang sehingga
memungkinkan nelayan untuk melaut sepanjang waktu. Dulu sebenarnya penduduk
tidak terkonsentrasi di daratan induk Pulau Flores saja, tetapi juga di
beberapa pulau kecil di sebelah utara kota Maumere. Sebelum akhirnya gempa
dahsyat yang yang berpusat di Larantuka di ujung timur Flores yang kemudian diikuti
dengan tsunami memporak-porandakan perkampungan penduduk di pulau-pulau kecil
tersebut. Sebagian besar mereka tidak bisa menyelamatkan diri dari maut,
sedangkan yang masih diberikan kesempatan hidup akhirnya mengungsi ke daratan
induk dan menetap membentuk perkampungan baru. Aku ingat saat kejadian itu aku
masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang sedang terjadi. Di samping itu juga
karena berita di media massa tidak segencar dan secepat saat ini. Siaran
televisi yang ada pun hanya TVRI, itupun siaran televisiku hanya bisa dinikmati
kalau aki masih ada strumnya yaitu lima hari dalam seminggu karena di kampungku
waktu itu belum ada listrik. Jangan berbeda dengan yang terjadi saat gempa dan
tsunami di Aceh. Pada hari itu juga berita sudah tersebar ke seluruh penjuru
dunia, dan hanya dalam beberapa hari bantuan sudah antri untuk masuk. Mungkin
juga karena jumlah korban jiwa maupun korban material saat gempa dan tsunami di
Maumere tidak sebanyak saat gema dan tsunami di Aceh.
Secara
toponimi atau sejarah tata namanya, Maumere berasal dua kata dari bahasa Ende
yaitu Ma’u yang berarti pelabuhan dan Mere yang berarti besar. Pemberian nama
tersebut sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan Sikka. Raja Sikka pada
waktu itu, Don Cosmo Semao Da Silva mengutus orang kepercayaannya yang bernama
Moang Juang Korung Da Cunha untuk menjaga dan mengatur sebuah pelabuhan yang
sarat pedagang bernama Alok Wolokoli. Saat menjalankan tugas dari kerajaan
inilah Don Cosmo Semao Da Silva kemudian membangun perkampungan di daerah
pantai sekitar cekungan teluk yang kini dikenal sebagai Teluk Maumere. Nama-nama orang lokal Maumere
dan Flores secara umum mirip dengan nama orang Portugis. Ini karena Flores saat
jaman kolonial dikenal sebagai salah satu daerah pendudukan bangsa Portugis.
Layaknya bangsa-bangsa Eropa lainnya, Portugis datang ke Flores untuk mempeluar
daerah jajahan berkedok perdagangan. Dalam misi perdagangan ini, umumnya
diboncengi oleh para misionaris yang bertugas untuk menyebarkan ajaran agama.
Tidak pelak lagi, cukup banyak ditemukan peninggalan kolonial Portugis di tanah
Flores. Sealin berupa simbol-simbol kekuasaan yang berupa benteng, tentu saja
berupa simbol-simbol keagamaan berupa rumah ibadah. Aku berkesempatan melongok
ke sebuah gereja tua, Gereja Tua Sikka, yang berarsitek khas Eropa di salah
satu kampung di bagian pantai selatan Sikka. Gereja yang dirancang oleh
perancang gereja katedral Jakarta ini dibangun pada era akhir 1800an itu masih
dipertahankan bentuk aslinya, walaupun sudah beberapa kali mengalami pemugaran.
Sayang sekali, aku tidak memiliki banyak waktu untuk melihat sisa-sisa kekuatan
pertahanan serdadu Portugis di Flores.


Dalam
perjalanan, di sebuah sudut jalanan aku melihat seorang ibu dan beberapa anak
kecil sedang menjajakan buat srikaya, berharap ada pengguna jalan yang membeli
buah yang sepertinya baru dipetik dari kebunnya. Berhubung aku sangat gemar
makan buah, aku minta ijin ke rombongan dan minta agar sopir berhenti sejenak.
Sebanyak 3 kilo buah srikaya dibeli dan dibawa ke penginapan. Ternyata tidak
hanya ibu tadi yang menjajakan buah sirsak di pinggir jalan. Paling tidak ada
empat atau lima orang yang jaraknya berjauhan. Aku jadi ingat waktu menjelajahi
pantai selatan Jogja, tepatnya di daerah Gunung Kidul. Jika waktunya, buah
srikaya sangat melimpah di sana, bahkan bisa dibilang nggak laku dijual karena
saking banyaknya. Di Sikka mungkin jumlahnya tidak sebanyak di Gunung Kidul
sehingga harganya relatif mahal. Atau mungkin dengan harga segitu sudah
termasuk murah mengingat harga barang-barang di sini terhitung mahal. Maklum, sebagian
besar kebutuhan masyarakat didatangkan dari luar daerah, terutama dari
Surabaya. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab di kota yang terletak
cekungan pulau Flores ini bertebaran mobil ber plat L alias nomor polisi
Surabaya. Di sepanjang jalan menuju penginapan, entah berapa kali aku melihat
mobil dari berbagai jenis yang ber plat L. Setibanya di penginapan, ranumnya
buah srikaya menggoda imanku untuk segera menjamah dan menikmatinya. Hari yang
panas seperti ini makan buah srikaya di pantai depan penginapan yang kebetulan
posisinya memang menghadap ke laut itu pasti nikmat, pikirku. Benar saja,
buahnya laris manis tak bersisa ketika teman-teman serombonganku ikut nimbrung
menyerbu buah yang dalam bahasa daerah disebut dengan buah nona ini.



Satu lagi,
Maumere memiliki kekayaan budaya yang tak ternilai harganya, yaitu kain tenun ikat
Sikka yang khas dari daerah sini. Kain tenun ikat Sikka dikenal berkualitas
tinggi karena disamping bahan benang dan pewarnanya yang alamiah juga dibuat
dengan teliti oleh tangan-tangan trampil. Bahan pembuat benang dan pewarna
untuk kain tenun ikat tersebut merupakan hasil dari bumi Maumere. Pengerjaan
untuk satu lembar kain tenun ikat memerlukan waktu hingga delapan bulan lamanya
sehingga memerlukan ketelitian dari penenunnya. Warna kain tenun ikat Sikka
biasanya didominasi oleh kuning, merah, biru dan cokelat yang semuanya dari
bahan pewarna alami. Bahan pewarna tersebut biasanya didapatkan dari akar
berbagai macam tumbuhan seperti kunyit untuk mendapatkan warna kuning, kakao
untuk mendapatkan warna cokelat, , sono untuk mendapatkan warna cokelat
kekuningan, ketapang untuk mendapatkan warna hitam, indigo untuk mendapatkan
warna ungu, pinang atau mengkudu untuk mendapatkan warna merah, saron untuk
mendapatkan warna keemasan, suji untuk mendapatkan warna hijau, kulit manggis
untuk mendapatkan warna biru dan lainnya. Kain tenun ikat Sikka yang asli
adalah tersusun oleh benang yang dipintal sendiri oleh penduduk dari kapas yang
juga ditanam oleh mereka. Walaupun dengan semakin terbukanya jalur perdagangan
tidak bisa dihindarkan membanjirnya benang dari luar. Tidak pelak lagi, banyak
beredar kain tenun ikat Sikka yang memiliki kualitas rendah karena berbahan
sintetis. Untuk masalah harga, dengan tingkat kesulitan dalam proses pembuatan
dan dari segi bahannya, kain tenun ikat Sikka tergolong murah.
Kain tenun
ikat Sikka menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat asli Sikka,
sudah menjadi budaya yang turun temurun. Kain tenun ini dimanfaatkan untuk
berbagai kepentingan, baik untuk keperluan hidup sehari-hari maupun untuk
acara-acara yang bersifat khusus. Saat melintas di jalanan di Sikka, jangan
heran kalau sebagian masrayakat setempat mengenakan kain tenun ini. Bukan hanya
kaum ibu saja yang mengenakan kain tenun ini, tetapi juga kaum bapak, bahkan
anak-anak. Kain tenun kadang dipakai seperti orang Jawa dengan saat memakai
kebaya, kadang juga digunakan untuk melindungi diri dari terik matahari maupun
debu. Saat menjalankan ritual keagamaan di gereja pun masyarakat Sikka memakai
kain tenun ikat Sikka atau baju yang berbahan dasar kain tenun. Dan yang paling
mencolok adalah saat diadakan acara pernikahan, pemakaman atau acara adat
lainnya, kain tenun menjadi bagian yang wajib ada. Sekali lagi, kain tenun ikat
Sikka adalah kekayaan budaya masyarakat Sikka dan sekaligus kekayaan nusantara
yang mendunia.



Aku
berkesempatan melihat rangkaian proses pembuatan kain tenun ikat Sikka di
sebuah kampung di tepi pantai selatan. Dengan menempuh perjalanan sekitar 18 km
dari pusat kota Maumere, akhirnya aku beserta rombongan tiba di kampung penenun
kain tenun ikat Sikka. Di salah satu lokasi yang sepertinya telah disiapkan
sebagai semacam tempat workshop untuk menyambut turis yang ingin melihat
langsung proses pembuatan kain tenun ikat, terlihat beberapa orang menyambut
kami. Suasana yang begitu sempurna tersaji, di tepi pantai dengan angin yang
berhembus damai, di bawah rindang pepohonan kelapa dan keramahan penduduk.
Lebih dari 30 orang yang berada di areal workshop tersebut, namun mereka tidak
lantas berebut menyerbu turis yang datang. Mungkin sudah diorganisir dengan
sedemikian rupa oleh sebuah kelompok, sehingga suasana begitu terkendali. Kami
langsung diarahkan menuju bagian-bagian yang masing-masing merepresentasikan
tahapan untuk membuat kain tenun. Mulai dari bagian pemintalan benang kapas,
pencelupan benang atau pewarnaan, pembentukan motif, hingga penenunannya itu
sendiri. Sejumlah mama, sebutan umum untuk ibu-ibu di kawasan timur Indonesia,
sudah berada di posisi masing-masing untuk memperagakan bagian dari proses
penenunan. Seorang guide dengan lancar menjelaskan setiap tahapan penenunan dan
menjawab semua pertanyaan turis baik yang berkaitan dengan bahan maupun proses.
Sekali lagi, apa yang mereka perlihatkan begitu rapi. Tidak mungkin kalau tidak
diorganisir. Salut lah buat mereka. Semua yang terlibat dalam pekerjaan ini
adalah kaum perempuan, sedangkan kaum laki-laki mengerjakan pekerjaan lain,
terutama berkebun atau sebagai nelayan. Setelah selesai, barulah ibu-ibu lain
yang sedari tadi hanya duduk-duduk di luar lokasi workshop mulai menyerbu kami
dengan menawarkan barang dagangan mereka masing-masing. Bukan hanya kain tenun
tapi juga beberapa kerajinan tangan lainnya dari kayu atau dari cangkang keong
laut juga ditawarkan. Aku pun membeli, walaupun cuma satu lembar kain tenun dan
satu lembar syal, sebagai bentuk penghargaan atas budaya tradisional masyarakat
lokal sekaligus sebagai kenang-kenangan dari tanah Flores.





Maumere,
geliat perekonomian dan pembangunannya memang terlihat sangat lambat. Namun
demikian, harapan kemajuannya terbuka lebar di waktu yang akan datang.
Tersedianya bandar udara terbesar di Pulau Flores, pelabuhan terbesar di Pulau
Flores yang disinggahi kapal-besar besar dan santernya isu pembentukan provinsi
baru semakin membuka peluang itu. Iya, provinsi Flores yang sudah diusulkan ke
pemerintah pusat masih dalam proses realisasi. Dan Maumere lah kota yang
digadang-gadang paling layak menjadi calon ibukota provinsi tersebut. Posisi
kota Maumere yang terletak di tengah-tengah Pulau Flores semakin meningkatkan
posisi jual sebagai pusat pemerintahan provinsi. Saingan terberatnya adalah
kota Ende yang memiliki sejarah penting karena pernah menjadi lokasi pembuangan
Presiden Soekarno, sekaligus memiliki posisi penting dalam bidang keagamaan
karena sebagai keuskupan agung. Bagaimanapun juga, jika pembentukan provinsi
baru itu terealisasi, baik ibukotanya di Maumere maupun Ende, kemajuan daerah
ini tentunya akan semakin dapat diwujudkan. Maumere oh Maumere, namamu semakin
dikenal karena belakangan ini ada lagu tentang Maumere yang cukup populer.
Sikka oh Sikka, kapan ya aku punya kesempatan ke sana lagi. Flores oh Flores,
eksotisme alam hadiah dari Yang Kuasa.



Sebagai penutup aku meminjam ungkapan
masyarakat Flores Timur / Lamaholot untuk menggambarkan budaya masyarakat
Flores secara umum: Ola tugu, here happen, ILua watana, Gere Kiwan, Pau keha
heka ana, Geleka lewo gewayan, toran murin laran, yang artinya: bekerja di ladang,
mengiris tuak, berkerang (mencari siput di laut), berkarya di gunung, melayani
/ memberi hidup keluarga (istri dan anak-anak), mengabdi kepada pertiwi / tanah
air, menerima tamu asing.
Bitung, 05042016,
03:14pm
*catatan seorang pejalan
No comments:
Post a Comment