|
Nudibranch |
Saat mendengar kata Sulawesi
Utara, pikiran sebagian besar orang biasanya akan segera terbayang oleh
keindahan bawah laut Bunaken. Iya, Taman Nasional Laut Bunaken memang sudah
menyandang predikat sebagai salah satu destinasi selam andalan Indonesia yang
namanya telah mendunia. Tidak jarang, aku mendengar ungkapan bahwa belum afdhol
pergi ke Sulawesi Utara (Manado) kalo belum singgah di Bunaken. Walaupun,
berdasarkan cerita yang aku dapatkan ternyata banyak juga wisatawan yang datang
ke Bunaken bukan untuk menyelam, tapi hanya melihat pemandangan bawah laut dari
atas kapal. Tersedia beberapa kapal yang disebut dengan kapsul yang bagian
bawahnya terbuat dari bahan tembus pandang. Atau yang lebih hemat dengan naik
kapal nelayan yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga seperti kapsul yang
tarifnya cukup mahal. Dunia bawah air Sulawesi Utara
sejatinya sangat beragam, namun masih banyak yang belum dieksplorasi. Mulai
dari pulau-pulau kecil di Sangihe-Talaud, hingga di di sebelah selatan
semenanjung utara Pulau Sulawesi yang membawa keunikan Teluk Tomini. Setiap
wilayah geografis di Sulawesi Utara memiliki keunikan masing-masing mengikuti
pola pergerakan masa air dan geologi yang sangat dinamis. Salah satu alternatif
tujuan penyelaman di Sulawesi Utara yang mulai mendunia selain Bunaken adalah
Selat Lembeh yang terletak di Kota Bitung.
|
Pelabuhan Samudera di Kota Bitung |
Secara finansial, sebenarnya
berwisata bawah air di Selat Lembeh jauh lebih mudah dan murah dibanding ke
Bunaken. Dari Bandara Internasional Sam Ratulangi Manado, kita bisa menyewa
mobil / taksi ke Bitung dengan tarif sekitar Rp. 200.000,-. Di sini kita harus
pandai tawar-menawar harga tarif taksi agar tidak jadi objek ‘pemerasan’ oleh
sopir. Ada beberapa operator taksi yang beroperasi di bandara, tapi tarifnya
bisa dibilang sama dengan penyewaan mobil. Alternatif lainnya dengan tarif yang
jauh lebih murah adalah naik angkutan umum. Keluar dari bandara, naik angkot
menuju Paal II, kemudian disambung dengan bis antar kota sampai pinggiran Kota
Bitung. Untuk mencapai pusat kota, dari terminal bis kemudian naik angkot. Jarak
tempuh dari bandara ke pusat Kota Bitung adalah sekitar 60 km yang bisa
ditempuh dalam waktu sekitar satu setengah jam untuk kondisi lalu lintas
normal. Selama tiga tahun berdomisili di Sulawesi Utara, aku jarang sekali
menemukan lalu lintas macet antara bandara sampai Kota Bitung.
|
Hiruk pikuk aktivitas di seputar Selat Lembeh dilihat dari salah satu sisi |
|
Kapal pesiar sebagai simbol aktivitas pariwisata |
Sesampainya di Kota Bitung, ada
beberapa model penginapan yang bisa jadi pilihan. Mulai dari losmen, hotel
kelas melati sampe resort yang kelasnya setara dengan hotel berbintang. Lokasi
penginapan pun ada pilihan, di pusat kota, di pelosok, atau bahkan sekalian di
Pulau Lembeh. Sejumlah resort sudah tersedia di Pulau Lembeh. Aku lebih
menyarankan untuk menginap di sekitar kota jika ingin sekalian menikmati suasana kota pelabuhan yang kian ramai ini. Hotel Nalendra dan Wisma Pelaut
mungkin bisa jadi pilihan. Suasana kota juga sangat menarik untuk diabadikan,
terutama di waktu malam. Lain ceritanya kalau ingin mendapatkan suasana tenang yang jauh dari kebisingan kota, penginapan di Pulau Lembeh mungkin menjadi pilihan yang tepat. Bitung merupakan kota industri yang berkembang pesat,
dan didukung oleh keberadaan pelabuhan besar di ujung tenggara Selat Lembeh.
Tidak heran jika sebagian besar penduduk Kota Bitung adalah pendatang. Mulai
dari Minahasa, Sangir, Gorontalo, Makassar, Maluku, Papua, Jawa, dan masih
banyak lagi. Berbagai macam latar belakang budaya, bahasa, agama, etnis dan adat
istiadat yang akhirnya membentuk budaya baru yang telah berkembang. Berkeliling
Kota Bitung bisa memanfaatkan angkot yang bisa kemana saja sesuai request penumpangnya. Atau jika ingin lebih leluasa bisa
menggunakan jasa ojek, tentunya kalau kita bersolo traveler. Ojek bisa ditemukan di pangkalan ojek yang jumlahnya
sangat banyak, atau tukang ojek yang mondar-mandir mencari penumpang.
|
Nudibrach yang menjadi indikator kerusakan terumbu karang |
|
Scorpion fish, si cantik yang berbisa |
Kembali ke Selat Lembeh, selat yang memisahkan daratan induk Sulawesi dan Pulau Lembeh merupakan selat
sempit yang membujur dari timur laut ke arah barat daya dengan sedikit melengkung. Selat Lembeh yang memiliki panjang sekitar 20 km merupakan objek
daya tarik wisata (ODTW) Kota Bitung. Selat Lembeh bagi pecinta underwater photography manca negara mungkin sudah tidak asing lagi,
tapi justru masing jarang wisatawan lokal yang mengetahuinya. Aku juga baru
mengetahui begitu menariknya Selat Lembeh setelah berdomisili di Kota Bitung
sekitar sembilan tahun yang lalu. Wajar, karena dunia penyelaman di negeri ini
baru nge trend beberapa tahun
terakhir, sementara di negara-negara maju sudah berkembang lebih dari dua puluh
tahun yang lalu. Cukup banyak publikasi tentang keunikan biota laut Selat Lembeh,
tapi hampir seratus persen yang mempublikasikan adalah orang asing.
Kemajuan hobby menyelam yang berkembang pesat di Indonesia akhir-akhir ini
turut mendongkrat popularitas Selat Lembeh sebagai destinasi selam dengan
keunikan tersendiri. Hal ini juga didukung dengan banyaknya dive operator yang ada di Kota Bitung.
Hampir semua resort memiliki fasilitas dan paket diving. Penginapan-penginapan
kecil pun sudah memiliki hubungan baik dengan dive master yang nantinya disambungkan ke dive operator. Selama menyelam di Selat Lembeh, biasanya aku hanya
menyewa kapal nelayan dan tabung saja karena sudah memiliki semua peralatan
selam pribadi. Jika selam sudah menjadi hobby, sebaiknya memang memiliki
peralatan dasar selam (masker, fin, booth, BCD dan regulator) sendiri sehingga
biaya yang harus dikeluarkan bisa ditekan saat melakukan trip selam.
|
Ikan khas terumbu karang |
Topografi pantai
di Selat Lembeh secara umum memiliki pantai tidak terlalu lebar kemudian
diikuti tubir, bahkan banyak lokasi memiliki pantai berupa tebing. Ukuran selat
tidak terlalu lebar, dengan jarak tersempit sekitar 800 meter menyebabkan arus
cukup kuat pada beberapa titik. Hal ini mengingat pada ujung utara Selat Lembeh
berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Kondisi seperti ini menyebabkan
terumbu karang jarang ditemukan. Berdasarkan catatanku, hanya di Tanjung
Batuangus dan Pulau Serena yang memiliki terumbu karang dengan kategori sehat.
Aktivitas nelayan yang tidak sehat di masa lalu menjadi faktor penting bagi
kerusakan terumbu karang Selat Lembeh. Di samping itu, kegiatan industri dan
lalu lintas perairan yang padat di sekitar Selat Lembeh juga menjadi ancaman
tersendiri. Namun, di sisi lain tingginya tekanan dan kondisi alam yang ada di
Selat Lembeh tersebut justru membentuk sebuah ekosistem yang unik, termasuk
biota-biota yang berasosiasi di dalamnya.
|
Sontong yang banyak ditemukan di Selat Lembeh |
|
Udang karang sebagai salah satu biota eksotis |
|
Walaupun kondisi karang secara umum jelek, berbagai macam anemon masih ditemukan di Selat Lembeh |
|
Kawanan ikan sering dijumpai di bagian luar selat |
Bila perairan
Bunaken di kenal akan keindahan terumbu karang dan keanekaragaman jenis
ikannya, maka Selat Lembeh dikenal akan keunikan biota yang berasosiasi di dalamnya. Bahkan, sebenarnya perairan
Selat lembeh tidak memiliki terumbu karang yang cukup bagus seperti yang
terdapat di sekitar Bunaken. Memang, harus dipahami sejak awal bahwa tujuan menyelam di
Selat Lembeh bukan untuk menikmati keindahan terumbu karang dan aneka warna
ikan. Keistimewaan Selat Lembeh justru terletak pada
keunikan biota yang berukuran kecil dan biota-biota yang berkamuflase dengan
baik pada habitat. Sebagian dari biota-biota tersebut bahkan termasuk langka dan
bahkan tidak dapat ditemukan di tempat lain, atau bersifat endemik. Karena keistimewaan tersebut, Selat Lembeh sering kali dijuluki
sebagai The Mecca of Divers atau The
Mecca of Macro Photography. Pengalamanku menyelam
di Selat Lembeh, dive site yang
memiliki terumbu karang bisa dihitung dengan jari, dan di antaranya yang
memiliki terumbu karang dalam kondisi masih bagus hanya ada beberapa spot saja.
Padahal, terdapat lebih dari 80 dive site
yang sudah teridentifikasi dengan baik di seluruh wilayah Selat Lembeh.
|
Biota di antara sampah menjadi daya tarik tersendiri |
penyelam
yang baru pertama kali menyelam di Selat Lembeh mungkin akan kecewa dan cepat
merasakan kebosanan ketika sudah berada di dalam air. Pasalnya, sebagian titik
penyelaman yang ada di Selat Lembeh adalah berupa hamparan pasir hitam bekas
erupsi gunung berapi di masa lampau. Namun, dengan bantuan kejelian mata dive guide, biota-biota eksotis satu per satu akan kita jumpai. Di sinilah
letak keunikan penyelaman di Selat Lembeh. Yang menarik lagi dari destinasi
selam di Selat Lembeh adalah jenis penyelaman muck dive. Ya, menyelam di antara sampah. Beberapa jenis sampah
seperti kaleng, botol, gelas, dan banyak lagi justru menjadi pilihan bagi
beberapa biota unik untuk tinggal atau sekedar bersembunyi dari pemangsa untuk
sementara waktu. Beberapa ship wreck
dari kapal sisa Perang Dunia juga menjadi destinasi selam unggulan di Selat
Lembeh. Tercatat,
berbagai jenis kelompok gurita dan cumi-cumi unik hanya dapat ditemukan di
Selat Lembeh, endemik di wilayah sempit ini. Berbagai jenis nudibranch juga
menghuni wilayah ini. Pada suatu kesempatan, aku sempat berdiskusi dengan
ilmuwan dari Belanda dan Amerika bahwa Selat Lembeh merupakan salah satu surga
bagi nudibranch langka. Frog fish dengan
beraneka warna, pigmy sea horse, sea dragon, crocodile fish, pipe fish,
dan masih banyak lagi jenis ikan unik dan langka semakin membuat Selat Lembeh
spesial. Dan bahkan jenis-jenis biota yang sudah masuk dalam daftar spesies dilindungi
pun masih dapat ditemukan di kawasan perairan Selat Lembeh ini. Kesadaran
masyarakat untuk tidak menggunakan bom saat menangkap ikan turut membantu
pemulihan kondisi terumbu karang di wilayah ini.
|
Di antara hamparan pasir hitam, berbagai jenis nudibranch seringkali terlihat mencolok |
|
Nudibranch di antara karang |
Selat Lembeh
menjadi bagian penting bagi kemajuan perekonomian Kota Bitung, bahkan Sulawesi
Utara secara umum. Berbagai kegiatan industri yang turut menyumbang kemajuan
perekonomian Sulawesi Utara berlangsung di wilayah ini. Pengamatanku di
lapangan, lebih dari sepuluh perurahaan ikan berada di kawasan Selat Lembeh.
Sejumlah perusahaan besar juga berdiri dengan megah di sekitar Kota Bitung.
Pada satu sisi, Selat Lembeh telah dikenal oleh ilmuwan dan wisatawan manca
negara sebagai daerah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, dan di sisi
lain keberadaan industri yang berkembang pesat di daerah ini menjadi ancaman
bagi kelestarian ekosistem perairan. Dengan kondisi seperti itu, akhirnya
muncul upaya perlindungan dalam bentuk Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD).
Dan kebetulan aku pernah mengikuti sosialisasi dari Pemerintah Daerah mengenai
rencana penetapan untuk wilayah konservasi tersebut. Bahkan terdengar isu agar
Selat Lembeh diupayakan menjadi situs warisan dunia atau marine world heritage site bersama Taman Nasional Laut Bunaken dan perairan Likupang berdasar North Sulawesi Tourist Guide. Kenyataannya,
ancaman tekanan lingkungan yang berasal dari kegiatan industri di sekitar Selat
Lembeh saat ini justru menjadikan ekosistem di wilayah geografis yang sempit
ini menjadi unik. Peran dan kesadaran masyarakat sangat penting sangatlah
penting untuk menjaga keharmonisan alam ini. Mudah-mudahan kekayaan alam
tersebut tetap lestari agar predikat Selat Lembeh sebagai kiblat untuk underwater macro photography tetap
melekat.
|
Salah satu jenis nudibranch yang cantik |
Selepas
menikmati serangkaian penyelaman, sambil menikmati segarnya kelapa muda dan
sajian khas Sulawesi Utara, klapper tart, tidak ada salahnya untuk juga
menikmati trip wisata lain di sekitar Kota Bitung. Beberapa destinasi wisata
alam antara lain Cagar Alam Tangkoko dan Batuangus, Gunung Dua Saudara, Taman
Marga Satwa Tandurusa, Pantai Tanjung Merah dan Batu Nona. Selain itu, juga
terdapat destinasi wisata sejarah, yaitu Monumen Trikora Mandala Sakti di Pulau
Lembeh serta wisata religi di Klenteng Seng Bo Kiong. Sekedar menikmati wisata
kuliner malam hari di kawasan Pasar Tua yang menyediakan berbagai olahan dari
laut, atau jalan-jalan di Pelabuhan Samudera Bitung dan dermaga Ruko Pateten. Harap berhati-hati saat hari sudah larut karena banyak kasus kejahatan yang diawali oleh minuman keras. Seperti wilayah lain di Indonesia timur, masyarakat memiliki kebiasaan meminum minuman keras tradisional, Cap Tikus. Tapi dengan mengetahui adat dan kebiasaan masyarakat setempat, tetidaknya kita memiliki persiapan dan antisipasi agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa menjustifikasi bahwa kebiasaan yang mereka lakukan adalah sesuatu yang tidak baik. Kita harus tetap menghargainya sebijak mungkin. Akhirnya, selamat berwisata di negeri nyiur melambai. Torang samua basudara.
Bitung, 30112014,
03:59pm
*catatan seorang pejalan
No comments:
Post a Comment