|
Menara di depan Masjid Raya Baiturrahman |
Pesawat yang membawaku terbang melakukan
beberapa manuver saat mengitari perbukitan berkabut sebelum tinggal landas.
Kedua kaki ini menginjakkan tanah di Bandar udara Sultan Iskandar Muda di suatu
siang yang panas itu. Sekaligus sebagai tanda bahwa itu adalah pertama kalinya
aku menjejakkan kaki di tanah Andalas, yang berarti bahwa daya jelajahku
mengitari nusantara semakin luas. Bagian barat Indonesia memang belum pernah
aku datangi sebelumnya, termasuk Pulau Sumatra dan Kalimantan bagian barat.
Padahal, sebelumnya beberapa kali aku telah memiliki kesempatan untuk datang ke
pulau yang pernah menyesatkan pelayar dari Eropa ratusan tahun silam, di kira
sebagai India. Tetapi banyak hal yang menghalangi, yang kemudian menyebabkan
aku gagal untuk berangkat kesana. Kakakku yang telah merantau ke Banda Aceh
sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu tidak disangka bertemu dengan pujaan
hatinya, kemudian menikah dan berdomisili di sana. Baru kali ini aku berkesempatan
untuk singgah dan menikmati suasana sebuah wilayah paling barat negeri ini yang
konon sangat kental dengan nafas islaminya, yang kemudian disebut sebagai
negeri serambi Mekah. Syariat Islam menjadi sumber utama dari semua tatanan
dalam setiap sendi kehidupan masyarakat di sana, termasuk yang paling mencolok
adalah aturan pemakaian jilbab bagi setiap perempuan ketika beraktivitas di
luar rumah.
|
Bendera parta lokal |
Aceh, merupakan sebuah provinsi yang
sebelumnya bernama Daerah Istimewa Aceh kemudian pada jaman pemerintahan
presiden Gus Dur berubah nama menjadi Nangroe Aceh Darussalam. Dengan segala
kesucian yang melekat padanya namun tetap memiliki masa lalu yang kelam, mulai
dari isu adanya ladang ganja sampai konflik yang melibatkan gerombolan
separatis yang menamakan diri mereka sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tidak
berhenti di situ saja ternyata, cerita kelam tentang Aceh berlanjut hingga
terjadinya peristiwa yang mengguncang dunia di suatu penghujung tahun. Lebih
dari 200.000 nyawa melayang akibat tersapu gelombang tsunami yang dahsyat
akibat gempa bumi yang menggetarkan tanah di sepanjang pantai barat Pulau
Sumatra. Sebagian tubuh yang telah tak bernyawa tersapu hingga entah berapa
jauh, sebagian lain tidak pernah diketemukan sampai saat ini. Tidak sedikit juga
yang masih hidup tapi kehilangan beberapa anggota tubuhnya, menderita cacat
fisik seumur hidupnya. Banyak di antara mereka yang dalam hitungan detik
menjadi yatim piatu, menjadi sebatang kara, menjadi tuna wisma dan menjadi pengangguran.
|
Salah satu panorama sesaat sebelum turun hujan di tepian pantai di bagian utara kota Banda Aceh |
|
Bentang alam tanah Aceh yang berbukit |
Pergerakan lempeng bumi dalam rangka
mencari kestabilan itu memang memang disadari sebagai peristiwa alam yang wajar
terjadi kapanpun dan dimanapun. Namun letak masalahnya adalah kapan dan dimana
peristiwa itu terjadi tidak akan pernah dapat dijawab oleh seluruh professor di
seluruh muka bumi ini. Begitulah kira-kira yang terjadi di pagi ketika
peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat Aceh dan seluruh
dunia. Semua terjadi secara tiba-tiba, berlalu dengan begitu cepatnya, tidak
memberikan kesempatan bagi siapapun untuk mengelak dari musibah. Peristiwa besar
yang mengingatkanku pada lagu yang pernah dinyanyikan oleh Boomerang yang
dipersembahkan untuk gempa dahsyat yang terjadi beberapa tahun sebelumnya di
salah satu sudut Pulau Flores, Larantuka. Namun kejadian waktu itu tidak
seheboh kejadian yang terjadi di Aceh, di samping karena pemberitaan belum bisa
secepat waktu gempa dan tsunami Aceh juga karena korban jiwa yang ditimbulkan
tidak sebanyak di Aceh.
|
Bentor mudah dijumpai di beberapa kota di Sumatra |
Peristiwa yang kemudian menarik perhatian
dunia yang dibuktikan dengan banyaknya bantuan yang datang ke tanah rencong
tersebut tidak selamanya menjadi momok buruk bagi masyarakat disana. Perlahan
namun pasti masyarakat berusaha bangkit dari trauma yang menghilangkan harta
benda dan nyawa saudara-saudara mereka. Paling tidak, kelak sejarah baru dengan
adanya kesepakatan damai yang ditandatangani oleh GAM, damai tercipta di bumi
Aceh. Rasa senasib dan sepenanggungan serta persaudaraan yang pada akhirnya
membawa ke sebuah kesepakatan damai. Setiap lapisan masyarakat bahu membahu
membangun kembali peradaban yang sempat diporakporandakan oleh bencana alam.
Bahkan beberapa orang entah bermaksud serius atau hanya sekedar candaan saja,
berseloroh bahwa bencana gempa bumi dan tsunami tersebut adalah peringatan dari
Yang Maha Kuasa kepada rakyat Aceh untuk segera mewujudkan perdamaian. Entah
benar atau tidak pendapat tersebut, namun jika kita renungkan kembali memang sudah
seharusnya seperti itu, tidak perlu lagi ada pertumpahan darah yang melibatkan
saudara sendiri ke dalam konflik yang berkepanjangan.
|
Halaman depan Museum Tsunami Aceh di lihat dari teras museum |
|
Latar depan Museum Tsunam |
Kini, geliat pembangunan kembali peradaban
yang pernah mati suri dalam keputusasaan telah nampak hasilnya. Gencarnya bala
bantuan materiil dan spiritual dari relawan, pemerintah dan berbagai pihak dari
luar negeri sangat bermanfaat bagi kebangkitan mereka. Duka memang masih
terlalu segar untuk dilupakan, tapi terus berkutat dalam duka tidak akan
merubah masa depan. Mungkin kira-kira begitulah semangat yang mereka tanamkan
ke dalam benak masing-masing pribadi hingga menjadi spirit massal. Museum
tsunami telah dibangun, bukan untuk bermaksud mengulik kembali kesedihan di
hati yang tak mungkin akan pernah hilang tetapi sebaliknya untuk menumbuhkan
benih harapan hari depan yang ceria. Aku datang ke museum tsunami di saat yang
kurang tepat, selain karena bukan pas hari kerja juga bertepatan dengan
persiapan acara peringatan 10 tahun peristiwa itu. Sayang sekali, kenapa hari
libur akhir pekan kenapa museum ditutup, padahal biasanya di hari libur
tersebut kunjungan dari turis lebih banyak dibanding hari kerja. Mungkin ada
alasan tersendiri dari pihak pengelola museum mengapa dilakukan penutupan di
saat libur akhir pekan, aku hanya sekedar menebak bahwa penutupan dilakukan
karena menjelang diadakannya peringatan 10 tahun tsunami tersebut.
|
Museum Tsunami menjadi obyek wisata bagi turis |
Tidak ada pihak yang bisa dijadikan tempat
untuk bertanya saat itu, aku hanya berkeliling di seputaran museum saja. Sejumlah
bendera negara yang menurut pengunjung lain merupakan negara-negara yang turut
memberikan bantuan ke Aceh dipajang disana. Juga bola-bola beton yang
bertuliskan nama-nama negara tersebut, yang diatur mengelilingi sebuah kolam
yang dijadikan tempat duduk-duduk bagi para pengunjung. Terlihat juga sebuah
helicopter dengan logo kepolisian RI yang dalam keadaan rusak parah dipajang di
salah satu sudut museum. Menurut informasi dari salah satu pedagang asongan
yang saat itu sedang mangkal di seputaran museum, di dalam museum terdapat
semacam gedung teater yang biasa memutar film tentang tsunami dan juga sebuah diorama
tentang peristiwa tsunami yang terjadi di Aceh. Di seberang museum, terdapat
sebuah lapangan yang disekelilingnya juga terdapat semacam prasasti kecil-kecil
berbentuk perahu. Di setiap prasasti tersebut terdapat nama negara beserta
bendera negara-negara pemberi bantuan pembangunan Aceh pasca tsunami. Juga
sebuah tugu yang berisi rangkuman nama-nama negara yang terdapat pada
prasasti-prasasti kecil tersebut. Jelas dari fakta-fakta yang aku temukan di
museum dan lapangan tersebut bahwa perhatian dunia internasional sangat besar
terhadap peristiwa yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai bencana nasional
ini. Entah, apakah karena faktor Aceh yang sarat kepentingan politik ataukah
benar-benar murni soal kemanusiaan.
|
Salah satu sisi interior Museum Tsunami |
|
Salah satu sisi interior Museum Tsunami |
|
Museum Tsunami sebagai wahana penyimpan cerita tentang tsunami Aceh sekaligus edukasi tentang tsunami |
|
Museum Kapal PLTD Apung 1 |
|
Museum Kapal Nelayan |
Selain museum tsunami, saksi bisu yang
dapat bertutur dalam diam tentang betapa dahsyat gelombang tsunami waktu itu
adalah sebuah kapal sejenis kapal tongkang. Kapal tersebut terdampar hingga
beberapa kilometer ke arah pemukiman, dan akhirnya tersangkut di pemukiman
padat penduduk. Kini kapal yang sejatinya adalah sebuah Pembangkit Listrik Tenaga
Diesel (PLTD) Apung 1 tersebut menjadi salah satu obyek wisata yang ramai
dikunjungi oleh wisatawan. Sebenarnya kisah tentang kapal yang terseret ombak
hingga berkilo-kilometer ke wilayah perkotaan bukan hanya satu saja, akan
tetapi ada beberapa kejadian lain yang serupa. Misalnya saja yang kapal nelayan yang
terdampar di suatu persimpangan di depan sebuah hotel. Bedanya, bangkai kapal
tersebut telah dipindahkan karena dianggap mengganggu jalan arteri yang menjadi
urat nadi transportasi masyarakat. Kini, hanya foto yang dipajang di lobi hotel
yang tersisa sebagai bukti.
|
Menara Masjid Raya Baiturrahman |
|
Menara Masjid Raya Baiturrahman |
|
Bagian depan Masjid Raya Baiturrahman, masjid yang menjadi saksi dahsyatnya peristiwa tsunami Aceh |
|
Masjid Raya Baiturrahman |
Peristiwa tsunami super dahsyat tersebut
juga tidak lepas dari kisah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Konon kabarnya,
masjid yang secara fisik terlihat kokoh ini membuktikan kekokohannya kala
goncangan gempa yang menyebabkan tsunami itu datang. Bangunan masjid masih
berdiri tegak sedangkan bangunan-bangunan yang berada di sekelilingnya sudah
rata dengan tanah. Masa air dari gelombang tsunami pun tidak berhasil masuk ke
dalam masjid. Ratusan nyawa manusia terhindar dari ganasnya gelombang karena
berlindung di dalam dan di atas atap masjid ini. Bahkan sempat ada pemberitaan tentang
masjid ini di televisi bahwa relawan dan wartawan asing yang akan membantu dan meliput
bencana alam ini dibuat tercengang oleh keberadaan sebuah bangunan yang masih tegak
berdiri di antara puing-puing bekas bangunan lainnya. Entah karena kekuatan
ghaib dari Yang Kuasa atau karena sebab lain, yang jelas masjid ini menjadi
ikon sekaligus kebanggaan masyarakat Aceh. Saat ini, Masjid Raya Baiturrahman selalu
ramai dikunjungi oleh masyarakat lokal maupun turis nasional maupun asing. Keramaian
semakin terasa saat menjelang masuk waktu sholat dan setelahnya. Terlihat kemeriahan
di dalam dan di sekitar masjid bukan hanya berkaitan dengan kegiatan keagamaan,
seperti sholat dan pengajian saja. Tidak jarang pengunjung masjid ini datang
hanya sekedar duduk-duduk santai, berfoto, ataupun yang lain di luar kegiatan
keagamaan. Aku pun sempat menjumpai beberapa orang fotografer keliling yang mencari
nafkah dengan cara menawarkan jasa kepada pengunjung masjid.
|
Fotografer keliling di sekitar masjid raya |
|
Fotografer keliling di sekitar masjid raya |
|
Bagian dalam Masjid Raya Baiturrahman yang pernah menjadi tempat berkumpulnya pengungsi tsunami |
|
Berbagai macam kopi dalam kemasan khas Aceh |
Nama besar Aceh juga tidak bisa dilepaskan
dari keberadaan kopi. Tercatat beberapa jenis kopi kualitas unggul dihasilkan
dari tanah di bagian ujung utara pulau Sumatra ini. Sebut saja kopi Ulee Kareng
dan kopi Aceh Gayo, dua jenis kopi yang namanya sudah mendunia. Cerita yang aku
dapatkan dari kakakku, keberadaan kedai kopi di kota Banda Aceh sebelum tsunami
layaknya yang ada di kota-kota lain. Namun, pasca tsunami kedai kopi di kota
Banda Aceh tumbuh bak jamur di musim penghujan. Awalnya kedai kopi dijadikan
sebagai tempat berkumpul untuk berjaga-jaga dari adanya peristiwa yang
mengharuskan masyarakat mengungsi, misalnya adanya tsunami serupa. Namun
akhirnya kedai kopi diseting sedemikian rupa sehingga memiliki penampilan yang
menarik sebagai tempat berkumpul dari berbagai kalangan usia maupun tingkat
ekonomi. Kedai kopi mengalami pergeseran menjadi sebuah sarana untuk bergaul,
membicarakan bisnis, mengerjakan skripsi dan masih banyak lagi alasan yang
digunakan untuk bisa nongkrong di kedai kopi. Semula kedai kopi hanya berupa
warkop sederhana, kini mereka berlomba-lomba untuk memberikan service yang
seoptimal mungkin kepada pengunjung. Kebanyakan kopi telah dilengkapi dengan
fasilitas wifi yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Menjamurnya kedai
kopi menjadi keunikan tersendiri bagi kota Banda Aceh, menjadi salah satu daya
tarik wisata, dan akhirnya menjadi salah satu penggerak roda ekonomi
masyarakat. Salah satu hikmah yang lahir dari peristiwa yang meluluhlantakkan
tanah Aceh.
Sedikit bergeser ke selatan dari kota Banda
Aceh, aku bersama kakak dan temanku melaju ke arah Meulaboh dengan mengendarai sepeda
motor. Kami berhenti sejenak di sebuah pantai berpasir putih kecoklatan yang
berada di dekat pabrik semen Andalas di Lhok-nga. Menurut penuturan dari
kakakku, pabrik semen yang sudah beroperasi kembali tersebut juga tidak luput
dari amukan gelombang tsunami. Kami melanjutkan perjalanan melalui jalanan
berkelok dan menanjak hingga akhirnya berhenti di atas sebuah titik yang berada
di perbukitan. Pemandangan yang menakjubkan terhampar dihadapan kami, birunya
air laut Samudra Hindia yang dihiasi oleh hijaunya beberapa buah pulau kecil yang
terserak di dekat pantai. Di sisi lain, perbukitan yang berdiri kokoh di
belakang kami membelokkan arah angin dari samudra yang berhembus membelai ranting
pepohonan di Bukit Gerutee tersebut. Puas mengagumi panorama ciptaain Ilahi sambil
menikmati seporsi mie goreng instan dan kelapa muda, kami kembali menuju Banda
Aceh. Sepanjang perjalanan, aku dibuat kagum oleh bagusnya kualitas jalan raya
yang kami lalui, seolah-olah bukan tipikal jalan raya di negaraku. Benar saja,
ternyata jalan raya yang dibangun kembali pasca tsunami tersebut dibangun atas
prakarsa negara donor yang membantu memulihkan prasarana transportasi. Tentu saja
pihak pendonor memberlakukan standar pembangunan yang berkualitas super
sehingga hasilnya juga memiliki kualitas baik.
|
Panorama dari bukit Gerutee yang memperlihatkan beberapa pulau kecil berlatar belakang Samudera Hindia |
Akhirnya, Aceh, dengan sederet cerita dan
kisahnya meninggalkan jejak yang menggambarkan masa lalunya dan bibit-bibit yang
akan tumbuh menjadi bagian awal dari masa depannya. Beberapa penciri yang
menjadi identitas Aceh dengan serta merta dibolak-balikkan oleh kejadian
mahadahsyat yang datang di penghujung tahun. Peristiwa tersebut sekaligus
menjadi tonggak sejarah bagi hidup baru masyarakat aceh di masa yang akan
datang. Beberapa bukti dan saksi perubahan revolusioner selain yang sudah
kusebut tadi masih banyak yang dapat ditemukan. Kopi dan kuliner menjadi cerita
baru dan cerita lama yang diperbarui yang menjadi pengiring perubahan gaya
hidup masyarakat aceh. Mie Aceh yang legendaris tetap menjadi salah satu
kuliner Aceh yang menjadi favoritku, terutama rasa kepiting. Tidak lupa,
sejumlah jenis kopi dari Aceh pun tidak luput dari pandanganku, dan dalam
sekejap sudah berpindah ke dalam tas punggungku. Aceh, negeri serambi Mekkah
nan damai ini semoga tetap damai sampai kapanpun. Suatu hari nanti aku ingin
datang lagi ke sana, semoga.
Banda Aceh, 26122013, 10:47 pm
*catatan seorang pejalan
seru kayaknya kalau ke Aceh nih
ReplyDelete