Telepon selulerku
bordering ketika aku sedang dalam perjalanan menggunakan bis patas dengan rute
Surabaya menuju ke Jember, Jawa Timur. Suara seorang bapak-bapak menyapa dan
menanyakan kabar serta kesibukanku. Ketika aku tanyakan namanya pun, sebut saja
pak Z, aku belum bisa langsung mengenalinya. Beberapa pertanyaan aku lancarkan
kembali, dan pada akhirnya terjawab sudah bahwa beliau adalah atasan dari
atasannya atasanku, alias big bos. Ohlala…. Seketika itu juga rasa kantukku
langsung pergi tanpa pamit meninggalkan dunia nyataku. Antara salah tingkah dan
malu, aku mulai menyusun baris demi baris kalimat untuk menjawab beberapa
pertanyaan dari beliau. Singkat cerita, tujuan utama beliau menghubungiku
adalah untuk merekomendasikan aku pergi ke China mengikuti sebuah workshop dan
training. Aku ditunjuk itu dengan alasan yang kurang relevan sebenarnya. Dengan dalih karena hobiku memotret biota laut, makanya aku yang ditunk
Pontang-panting urus pembaharuan
pasporku yang telah lebih dari dua tahun kadaluarsa. Masih saja ada yang perlu
diperbaiki dan ditambahkan, padahal bagiku ini adalah pengurusan paspor baru
untuk yang ketiga kalinya. Mulai dari masalah foto berjenggot, sampai masalah
proses yang terpending gara-gara di pingpong oleh kepentingan. Petugas yang
mengurus paspor sempat meyakinkanku bahwa aku tidak memiliki jadwal pergi ke Amerika
dalam waktu dekat ini. Menurutnya dengan foto pasporku yang berjenggot ini
hampir dipastikan sulit untuk bisa dipakai pergi ke Amerika. Kembali ke masalah
pasporku, kantor Sekretariat Negara tidak bisa memproses pasporku karena tidak
ada surat tertulis yang menyatakan bahwa keikutsertaanku semua ditanggung oleh
panitia. Sedangkan panitia tidak mensyaratkan fotokopi paspor yang masih
berlaku untuk menerbitkan funding letter. Lobi sana lobi sini dengan berbagai
argumentasi, akhirnya urusan paspor dan exit permit beres lah sudah. Tiket
pesawat pergi dan pulang pun sudah sudah aku terima lewat email yang dikirimkan
oleh panitia melalui travel agent. Undangan dan pengumuman mengenai hotel dari
panitia juga sudah aku terima. Selanjutnya menyusul surat ijin untuk
melaksanakan tugas dari kantor pun akhirnya keluar juga. Ribet, sangat ribet
dan penuh lika liku, tapi semua harus dilalui untuk kepentingan administrasi
dan juga jaminan keselamatanku di negeri orang.
Hari keberangkatan pun
datanglah. Sesuai kesepakatan dengan travel agent, aku memutuskan untuk transit
satu hari di Jakarta karena banyak yang aku perlukan waktu transit di Jakarta.
Tiba di Jakarta, aku langsung menuju kantor untuk mengambil dokumen-dokumen
yang harus kubawa. Keesokan harinya, perjalanan ke negeri China dimulai dari
kantor dengan menumpang taksi menuju ke bandara. Para calon penumpang yang
hampir semuanya berwajah oriental tersebut mulai mengambil posisi antri ketika
petugas check in pun mulai berdatangan. Setengah jam sebelum jadwal boarding, aku
langsung menuju ke gate yang telah ditentukan. Aku terus berdoa supaya
penumpang yang duduk di sebelahku bukan orang yang menjengkelkan. Beruntunglah
aku, dua penumpang di sebelahku adem ayem saja, jauh dari ekspektasi yang
pernah kubayangkan. Kebetulan aku prefer tempat duduk dekat jendela, di samping
untuk menghindari dilewat-lewati penumpang lain yang hendak ke toilet, maksudku
adalah ingin menikmati pemandangan di luar selama penerbangan. Pemandangan yang
cukup menawan terbentang di bawahku. Pertama saat melintasi bentang alam yang
berupa kombinasi antara hijaunya belantara yang dihiasi oleh kelokan beberapa
buah sungai yang airnya berwarna coklat yang kadang diselingi oleh permukiman
penduduk. Kalau berdasarkan perkiraanku, yang ada di bawahku itu adalah bagian
dari Kalimantan. Pemandangan selanjutnya adalah birunya samudera yang
membentang luas. Dapat dipastikan itu adalah Laut China Selatan yang sedang
hangat-hangatnya menjadi bahan perebutan oleh beberapa negara. Usai menikmati
sajian yang dihidangkan oleh pramugari yang semua tidak bisa berbahasa
Indonesia, suasana pesawat menjadi cukup hening. Akupun terlelap untuk beberapa
saat lamanya dan terbangun saat senja telah menyapa melalui warna lembayung
yang menghias cakrawala. Sungguh sajian yang sangat luar biasa, fenomena alam
yang mempesona.
Sampai disini,
pelayanan dan kenyamanan maskapai penerbangan ini terbilang lumayan, mungkin
karena penerbangan internasional dengan durasi cukup lama. Penerbangan dari
Jakarta menuju Guangzhou ditempuh selama lima jam. Terdengar pengumuman dalam
bahasa China dan bahasa Inggris dengan logat China. Kira-kira secara garis
besar isi dari pengumuman itu adalah bahwa beberapa saat lagi pesawat akan
mendarat di bandara internasional Baiyun di kota Guangzhou. Saat melongok ke
luar jendela, tidak terlihat sama sekali tanda-tanda sebuah kota. Ternyata di
luar kabutnya cukup tebal sehingga gemerlap lampu perkotaan tidak mampu
menembus angkasa. Namun sesekali akhirnya samar-samar terlihat lampu kota yang
kian lama kian terlihat nyata. Waktu landing semakin dekat, namun kabutnya
ternyata sampai mendekati permukaan tanah. Waktu diperdengarkan pengumuman oleh
awak kabin, tidak terdengar olehku ada pengumuman mengenai berapa suhu di luar.
Baru setelah keluar dari pesawat ada penunjuk suhu di dekat pintu masuk menuju
ruang tunggu bandara, 18oC. Ketika masuk ke bandara, aku teringat
betapa bermasalahnya aku waktu pemeriksaan di loket imigrasi waktu ke Jepang
beberapa tahun sebelumnya. Petugasnya memiliki kemampuan bahasa Inggris yang
kurang bagus, sedangkan aku tidak bisa berbahasa Jepang. Di samping itu,
menurutku mereka cenderung galak. Apakah kali ini akan terulang lagi? Semua
kekuatiranku ternyata buyar setelah giliranku bertemu petugas imigrasi.
Kemampuan bahasa Inggrisnya bagus dengan intonasi yang sangat jelas. Dia pun
sama sekali tidak galak, bahkan sebaliknya, sangat ramah terhadapku.
Setelah mengambil
bagasi, aku langsung menuju meja check in maskapai Xiamen Airlines. Sekali
lagi, aku memanfaatkan keanggotaan Garuda Miles. Setelah check in aku langsung
menuju ruang tunggu yang telah ditentukan. Alur menuju ke ruang tunggu lumayan
panjang karena ukuran bandaranya termasuk bandara besar. Namun rambu penunjuk
dan fasilitas mobil listrik pengantar penumpang sangat memadai. Menurut
pendapatku, bandara ini terbilang mewah. Jika dibandingkan dengan bandara di
Indonesia, kayaknya bandara ini satu level di atas. Walaupun pembandingnya
bandara Soetta maupun bandara Ngurah Rai. Tiga jam transit disini aku
manfaatkan untuk menikmati suasana yang berbeda dari yang ada di negaraku.
Mulai dari orang per orang secara individu maupun ketika mereka dalam kelompok.
Kebudayaan yang berbeda antara Indonesia dan China mungkin menjadi alasan yang
tepat yang membedakan suasana di dalam bandara. Sebagai contoh yang gampang
dilihat, mengenai gaya berpakaian. Penumpang maupun pekerja di pertokoan yang
kujumpai disini mencerminkan kehidupan modern kebarat-baratan. Hampir tidak
kutemukan seorangpun yang memakai sandal, semua orang bersepatu. Dan masih
banyak hal yang membedakan suasana bandara disini dan di negeriku. Akan tetapi
ternyata ada kesamaan mendasar antara kedua negara, yaitu tentang budaya antri.
Sama halnya dengan di Indonesia, disini orang saling serobot untuk masuk maupun
keluar pesawat. Yang jelas, disini aku adalah orang asing, perbedaan warna
kulit yang cukup mencolok menjadikanku terlihat semakin asing. Jadinya aku
selalu mengalah saat ada yang berminat menyerobot antrian yang seharusnya
giliranku.
Menjelang jam 9 malam
pesawat mulai bersiap untuk lepas landas. Sebelum pesawat lepas landas, seorang
pramugari menghampiriku untuk memeriksa nomor kursiku. Setelah cocok dengan
nomor yang dimaksud, dia memberikanku sebuah bingkisan yang terdiri dari
selimut, koran, air mineral dan snack yang dikemas dalam sebuah tas jinjing.
Tanpa bertanya kenapa cuma aku yang diberi bingkisan macam itu, aku terima dan
kuletakkan di kursi sebelahku yang kebetulan kosong. Beberapa penumpang lain
disekitarku terlihat memperhatikanku dengan penuh selidik. Setelah pesawat
dalam keadaan terbang stabil, baru aku mengira-ngira kenapa cuma aku yang
mendapatkan bingkisan itu. Mungkin karena pesan dari travel agent. Aku nggak
terlalu memusingkannya, dan memilih untuk memejamkan mata dan tidur. Suara
dentuman ketika roda pesawat menyentuh landasan pacu saat burung besi yang aku
tumpangi telah mendarat di bandara internasional Gaoqi di kota Xiamen
membangunkan tidurku. Jarum jam sudah menunjukkan jam 11 lebih beberapa menit
waktu setempat. Laporan mengenai suhu di luar dari awak kabin tidak jauh
berbeda dengan suhu udara di Guangzhou. Itu artinya aku bakal merasa kedinginan
apabila tidak memakai jaket atau pakaian tebal saat berada di luar ruangan.
Sesuai dengan arahan dari panitia penyelenggara kegiatan, dari bandara aku
disarankan untuk langsung check in di hotel yang telah ditentukan. Jarak antara
bandara menuju ke hotel tidak terlalu jauh, kira-kira kurang dari setengah jam
jam dengan biaya kurang dari 50 RMB. Begitu bagasi sudah ada ditangan, aku
langsung keluar bandara dan antri mendapatkan taksi. Berbekal tulisan Xiamen
City Hotel yang ditulis dalam huruf China yang diberikan oleh panitia, aku
menunjukkan tulisan tersebut di ponselku kepada sopir taksi. Maklum, kemampuan
berkomunikasi penduduk China dalam bahasa Inggris terkenal tidak bagus, hampir
sama dengan Jepang. Mereka memiliki fanatisme yang sangat tinggi terhadap
bahasa dan aksara mereka sendiri. Begitu membaca tulisan yang aku tunjukkan,
sopir taksi kelihatan mengerti dan langsung menuju ke hotel tersebut.
Tiba di hotel yang
telah ditetapkan oleh panitia pas tengah malam. Suasana perjalanan masih agak
ramai tapi lancar. Masalah timbul ketika check in hotel. Resepsionis bersikeras
meminta aku untuk membayar kamar, akupun tidak mau kalah berdebat bahwa penginapanku
ditanggung oleh panitia. Dia baru bisa menerimaku dengan baik ketika aku
tunjukkan surat dari panitia yang sengaja aku siapkan untuk menghadapi masalah
seperti ini. Aku langsung masuk ke kamar di lantai 20. Kamarnya menurutku
terlalu mewah buatku. Pikirku, daripada duitnya dibuang-buang hanya untuk kamar
seperti ini, lebih baik diberi fasilitas kamar yang biasa dan duit sisanya bisa
disimpan buat keperluan lain, apalagi kalau bisa sharing kamar. Pemikiranku
mungkin terlalu udik, tapi kan apa salahnya menghemat. Yang jelas, aku begitu
menikmati fasilitas yang diberikan, mandi kemudian istirahat karena keesokan
harinya acara akan dimulai setelah sarapan. Dengan kamar yang seperti itu,
pantas saja kalo aku sangat terlelap, apalagi kondisi badan yang lelah karena
perjalanan udara lumayan jauh dan lama. Bangun pagi jadinya nggak langsung
mandi lalu menuju restoran untuk sarapan, tapi malah tidur lagi sampe menjelang
waktu pembukaan acara training. Menu sarapan akhirnya hanya tinggal angan-angan
saja, alias terlewat karena tidur. Bangun tidur, aku langsung mandi dan
berkemas memakai pakaian rapi karena ada pembukaan training dan acaranya akan
berlangsung sampai jam 3 sore.
Sebagai seorang
muslim, sempat ada kekhawatiran dengan menu makanan orang China. Ternyata,
hotelnya sudah sering dijadikan untuk menyelenggarakan acara internasional
sehingga setiap masakan yang mengandung unsur non-halal selalu diberikan
keterangan di sekitarnya. Akan tetapi, untuk alasan keamanan, pilihan utamaku
adalah yang berbahan dasar buah, sayur dan sea food yang dimasak tanpa kuah.
Restoran hotel tergolong ramai, bahkan tidak jarang aku mengalami kesulitan
mendapatkan tempat duduk. Padahal harga makan siang di hotel sangat mahal.
Sekali makan siang di hotel bisa untuk 3 hari makan di luar hotel, atau bisa
untuk makan 2 minggu kalau di kampung halamanku. Hal ini menunjukkan bahwa
sebenarnya perekonomian di negeri ini, terutama di kota ini, sudah terbilang
maju. Dan aku yakin dalam beberapa tahun ke depan standardnya sudah setingkat
dengan Eropa atau Amerika.
Selepas acara
training, peserta di ajak untuk mengikuti semacam field trip ke sebuah pulau
kecil yang berada di Sanniang Bay yang letaknya berada di bawah jembatan
penghubung antara Pulau Xiamen dan daratan China. Tujuan utamanya adalah ke
sebuah penangkaran dan area konservasi mamalia laut lumba-lumba putih (white dolphin). Saat melintasi jalanan menuju ke dermaga penyeberangan, ku lihat
bahwa kota ini sudah tertata begitu rapinya. Seorang teman dari Timor Leste
berargumen bahwa Xiamen memang diproyeksikan sebagai kota pariwisata, teras
negeri China untuk menyelenggarakan acara-acara yang bersifat internasional.
Kalau dipikir-pikir memang masuk akal. Bangunan pencakar langit bertebaran
dimana-mana. Sistem transportasinya pun sudah bagus. Imbasnya memang menjadikan
biaya hidup di sini menjadi sangat mahal. Namun dibalik itu semua, sistem
pemerintahan yang menganut sistem komunis tidak memungkinkan masyarakat
memiliki hak milik atas tanah. Artinya bahwa semua tanah milik negara, masyarakat
bisa memanfaatkannya akan tetapi jika pemerintah menghendaki tanah tersebut
maka yang bersangkutan harus menyerahkannya tanpa ganti rugi sepeserpun.
Sekitar setengah jam
lamanya waktu yang ditempuh untuk menyeberang ke tempat penangkaran lumba-lumba
putih. Setibanya di pulau tersebut, kami disambut oleh seorang guide yang hanya
bisa berbahasa Mandarin. Seorang panitia lokal menterjemahkan penjelasan dari
guide dari bahasa Mandarin ke bahasa Inggris. Sebelum menuju ke kolam
lumba-lumba, kami diajak berkeliling menyisir tepian pulau melalui jalan
setapak yang telah disediakan. Ternyata pulau ini selain berfungsi sebagai area
konservasi juga menjadi salah satu tujuan untuk berwisata kota Xiamen, dan
terutama untuk melangsungkan foto
pre-wedding. Pulaunya memang bagus, dengan pantai berpasir putih dan ditumbuhi
banyak pohon cemara. Aku lupa menanyakan, apakah ini pulau asli atau pulau
buatan. Yang jelas, ketika hari sudah sore tamu dari kota berbondong-bondong
datang ke pulau ini untuk tujuannya masingm-masing. Banyak titik untuk foto
yang bagus di sini, mulai dari pantai dengan latar belakang kota Zhangzhou di
daratan China atau kota Xiamen sendiri, sebuah danau air asin yang berada di
tengah pulau, atau Haicang Bridge yaitu sebuah jembatan yang menghubungkan
Pulau Xiamen dengan daratan China. Terdapat juga beberapa buah rumah kecil yang
difungsikan sebagai penginapan, sepertinya cocok untuk yang sedang honey moon.
Atau mengelilingi pulau dengan berkuda melalui pantai, danau dan hutan.
Lumba-lumba putih
(Chinese white dolphin) atau juga disebut dengan humpback dolphin memiliki nama
ilmiah Sousa chinensis (Osbeck,
1765). Sebenarnya, mamalia laut yang satu ini tidak benar-benar berwarna putih,
akan tetapi lebih cenderung abu-abu dan bertotol-totol ketika masih muda. Hewan
yang sering disalahartikan sebagai ikan ini merupakan varietas dari
Indo-Pacific humpback dolphin dengan sebaran di sepanjang pesisir China, Asia
Tenggara hingga Australia. Salah satu biota paling cerdas ini digadang-gadang
menjadi ikon pariwisata dari kota Xiamen. Atraksi lumba-lumba ini sebenarnya
bukan murni sebagai ajang pertunjukan komersil seperti yang pernah kulihat di
Indonesia. Kalau yang aku lihat di Indonesia memang menjadikan lumba-lumba
sebagai bisnis pertunjukan keliling dari satu kota ke kota yang lain. Tapi yang
ada di Xiamen ini lebih ke rutinitas sehari-hari yang dilakukan oleh petugas
yang bertanggung jawab di area kolam tersebut, terutama bertepatan dengan
jadwal pemberian pakan. Mungkin mirip yang diterapkan terhadap fauna di beberapa
lokasi wisata resmi di Indonesia seperti di Taman Impian Jaya Ancol atau Taman
Safari Indonesia. Di pengamatanku, hanya terdapat dua ekor lumba-lumba putih
yang ditempatkan di kolam tersebut.
Di area konservasi
ini, selain terdapat sebuah kolam besar untuk atraksi lumba-lumba putih juga
terdapat sebuah gedung display untuk berbagai macam biota laut. Biota yang ditampilkan pada display tersebut
cukup beragam, selayaknya yang pernah aku lihat di Museum Raffles di Singapura.
Tata letak spesimen dan setting ruangannya pun dibuat sebegitu apiknya sehingga
informatif dan tidak membosankan. Sayangnya di Indonesia belum ada yang seperti
itu. Bahkan sekelas Museum Zoologi Bogor yang notabene memiliki koleksi flora
dan fauna tropis yang sangat lengkap pun belum mengupayakan pembangunan
spesimen display yang modern. Justru aku pernah melihat di Jatim Park, yaitu
salah satu obyek wisata di kota Batu – Jawa Timur yang sebenarnya telah membuat
spesimen display walaupun masih dalam skala kecil. Aku Cuma berharap dan
membayangkan kalau dalam beberapa waktu ke depan Indonesia memiliki spesimen
display modern seperti ini. Di samping sebagai salah satu bentuk untuk menympan
spesimen koleksi flora dan fauna nusantara, juga sebagai upaya untuk
memperkenalkannya ke khalayak ramai. Layaknya negara-negara maju di dunia,
harusnya negara sebesar dan sekaya Indonesia ini memiliki sebuah Natural
History Museum. Lagi-lagi aku berhayal seiring dengan berlalunya kapal yang
kami tumpangi menuju ke pelabuhan Xiamen. Andai kata aku menyusun sebuah konsep
berdirinya museum sejarah alam di Indonesia, kira-kira seperti apa ya baiknya.
Informasi yang aku
dapatkan dari internet bahwa tidak jauh hotel itu terdapat sebuah pusat
keramaian, pedestrian yang namanya sudah cukup popular. Zhongshanlu Street Pedestrian namanya.
Kami berjalan kaki sekitar setengah jam. Memang benar, suasananya sangat ramai.
Udara dingin membawa kami ke suatu titik, dan akhirnya terpencar menjadi
beberapa kelompok kecil. Sedangkan aku sendiri bergabung bersama dua orang
teman dari Malaysia. Masuk mall, pertokoan, dan akhirnya ke deretan rumah makan
yang sangat ramai. Di situ kami membeli cumi-cumi yang ditusuk dan digoreng
kering dengan dibalut tepung berbumbu. Ukurannya yang besar sudah cukup
membuatku kenyang, lebih tepatnya sebenarnya eneg. Kami kemudian mencoba masuk
ke sebuah toko souvenir, dengan harapan siapa tau ada yang bisa dibeli untuk
oleh-oleh. Tapi aku sama sekali tidak membeli apapun karena barang dagangannya semua
ada di Indonesia. Kembali kami pulang menuju hotel, menyusuri jalanan yang kami
lalui saat berangkat. Jam sudah menunjukkan waktu hampir tengah malam ketika
kami bertiga tiba di hotel. Aku pun langsung menuju kamar untuk packing dan
istirahat karena besok harus berangkat pagi-pagi ke bandara. Sebenarnya hanya
sebentar saja packingnya, karena di samping barang bawaanku yang memang
sedikit, juga karena sudah aku packing kemarin-kemarinnya.
Sebelum jam 6 pagi aku
sudah terbangun, hari masih gelap. Jam 7 aku menuju ke restoran, sarapan.
Tercatat baru di hari terakhir itulah aku sarapan. Biasanya nggak pernah
sarapan karena rasa malas untuk beranjak dari kasur lebih menguasai daripada
rasa lapar. Ternyata menu sarapannya cukup menggiurkan, dengan variasi yang
beraneka ragam. Aku bertemu beberapa orang yang aku kenal, yang juga merupakan
peserta training workshop. Kemungkinan mereka juga akan terbang kembali ke
negaranya pagi itu. Beres sarapan, aku kembali ke kamar untuk mengambil
barang-barangku, sebuah koper ukuran kecil dan sebuah tas punggung. Sesampainya
di lobi, segera aku membereskan urusan administrasi kamar. Dan seperti yang
disampaikan oleh panitia bahwa urusan kamar sudah dibereskan oleh panitia. Jadi
urusanku sudah beres. Selanjutnya adalah memesan taksi. Secara kebetulan pula,
bersamaku adalah peserta dari China yang akan terbang ke Beijing. Dia
menawariku untuk ikut bersama dengan taksinya ke bandara. Aku pun mengiyakan. Setengah
jam lamanya perjalanan dari hotel ke bandara, dan kami hanya ngobrol sekenanya
karena sama-sama masih ngantuk. Sampai di bandara aku langsung check in, naik
Xiamen Air menuju bandara Changi di Singapura, lanjut naik Airfast menuju
Surabaya. Dengan demikian berakhirlah pejalanan singkatku ke salah satu sudut
paling modern di negeri Tiongkok.
Bitung, 05042016, 03:14pm
*catatan
seorang pejalan